Pria yang berkuasa

1116 Words
Hal yang mengejutkan lainnya untuk Nadine adalah kekayaan Abraham. Mereka sejarang memakai pesawat jet pribadi menuju ke London. Nadine bersemangat sekali dengan semua kekayaan ini, kapan ya dia bisa memiliki ini seutuhnya? “Nona, anda butuh sesuatu?” “Um, tidak.” “Bagaimana dengan hidangannya? Apa anda menikmatinya?” “Tentu, ini sangat enak.” “Ingin makanan penutup?” “Apa boleh?” tanya Nadine dengan antusias. Wanita itu mengangguk. “Saya akan memberikan makanan penutup terbaik untuk anda,” ucapnya kemudian melangkah pergi meninggalkan Nadine di sana. Pelayannya juga memperlakukan Nadine dengan baik di sini. sementara Abraham, dia berada di kabin yang berbeda. Mungkin di kelas yang lebih baik. Nadine tidak peduli, yang penting sekarang dia menikmati kekayaan yang dimiliki Abraham. Ah ya, sebagai penari striptis, Nadine memang memiliki banyak uang, tapi dihabiskan oleh keperluan ibunya sampai Nadine tidak punya bagian untuk bersenang-senang. Mengingat sang Ibu sekarang sudah dalam tahap pemulihan, Nadine mulai tertarik memiliki semua kekayaan ini. apalagi dia sudah hampir dua tahun di dunia menari. “Kenapa kau tersenyum sendiri seperti orang bodoh?” “Pak,” ucap Nadine dikagetkan oleh Abraham yang tiba tiba duduk di kursi depannya. Nadine gugup seketika, dia langsung membenarkan kacamatanya dan mengaruk pipinya supaya terlihat kemerahan. “Ini makanan anda, Nona.” “Terima kasih,” ucap Nadine pada sang pramugari. Kembali ditinggalkan berdua, Nadine hanya menatap pada makanan di depannya. “Kenapa hanya dilihat? Makan.” “Bukannya bapak ada perlu untuk bicara?” “Ah ya, santai saja. sambil makan saja.” Nadine melakukannya, dia tidak bisa menolak cokelat meleleh di atas strawberry di matanya. Terlalu indah untuk dilewatkan. Ternyata, Abraham di sini membahas perihal mata kuliah yang akan diikuti oleh Nadine selama satu minggu di sana. akan ada juga pekan seni, dimana Nadine harus membuat maha karya terbaiknya, dan Abraham menyarankan patung atau lukisan. “Kalau patung, rasanya tidak bisa. itu membutuhkan waktu yang panjang, Pak. Kalau boleh, aku lebih memilih lukisan saja.” “Tentu, ambil saja apa yang membuatmu nyaman.” Nadine mulai rileks dan memakan makanan dengan lahap. “Apa bapak juga akan ke kampus setiap harinya? Sepertiku?” “Hanya mengurusi hal hal penting saja. tidak harus tiap hari.” Karena Nadine makan dengan belepotan, Abraham mengerutkan keningnya. “Makanlah dengan benar, kau membuat mataku sakit.” “Maaf, Pak,” ucap Nadine segera mengambil tissue untuk mengusap ujung bibirnya. Dan itu membuat make-up jerawat palsunya ikut luntur. “Kemerahan diwajahmu ikut hilang,” ucapnya sambil mengerutkan kening. Nadine langsung sadar dan terbatuk-batuk seketika. “Uhuk! Uhuk! Uhuk!” “Makan dengan pelan.” “Aku ke toilet sebentar, Pak. Permisi.” Bergegas pergi dengan membawa tasnya. Kamar mandi yang luas, Nadine bisa mengambil napasnya dalam di sana. “Apa yang kau lakukan, Nadine,” ucapnya pada diri sendiri dan kembali memakai make-up. Menyebalkan itu ketika dalam mode Nadine, tapi tidak ada satupun jerawat yang asli karena disembuhkan oleh perawatan Rose. Rambut pun sengaja dikembangkan supaya terlihat kribo, kacamata yang tebal kadang membuatnya pusing. Jadi, Nadine membuat rekayasanya. “Apa yang harus aku katakana pada Pak Abraham?” bingung sendiri karenanya. “Ah, aku punya ide.” Setelah keluar dari kamar mandi, Nadine kembali ke tempat duduknya. Di sana masih ada Abraham, tapi kali ini di mejanya ada teh hangat. “Ini apa, Pak?” “Untukmu, supaya tenggorokanmu hangat.” “Terima kasih, Pak. Kulitku agak sensitive, jadi aku harus memakai salep yang berwarna merah. Itu tidak mengganggu bapak ‘kan?” Abraham mengerutkan keningnya. “Kenapa harus mengganggu?” “Ah, wajah jelek ini ditakutkan membuat bapak tidak nyaman.” “Fokus pada pembahasan, bukan penampilan.” “Baik, Pak.” Sebenarnya, mengobrol dengan Abraham itu mengasyikan jika Nadine dalam mode Rose. Karena Rose bisa mengutarakan pendapat, ikut mengambil keputusan atau berani menyanggah. Jika dalam mode Nadine, perempuan itu hanya mengangguk menuruti apapun yang dikatakan oleh Abraham. *** Begitu sampai di bandara, mereka tidak langsung pergi karena Nadine mengalami jetlag, yang membuat Abraham meminta petugas bandara menyiapkan ruangan VIP untuk mereka. dan disinilah Nadine sekarang, benar benar kacau. Ada sedikit rasa senang karena wajahnya terlihat jelek, apalagi ditambah keringat dan bau muntah. Pikirnya, Abraham tidak akan mendekat, tapi pria itu malah datang dan memegang keningnya. “Pusing?” “Tidak, Pak. Terima kasih.” Nadine berniat bangun dari tidurnya. Namun Abraham menahan kepala Nadine supaya kembali berbaring di sofa tersebut. “Diam sampai kau pulih,” ucapnya dengan jijik karena terkena keringat Nadine. Seorang petugas kesehatan datang memeriksa, bahkan memberikan Nadine obat. Di ruangan itu, pada akhirnya hanya ada dirinya dan Abraham. “Cepat minum obatnya.” “Iya, Pak.” Nadine meminum obatnya dan diam diam menatap Abraham yang sibuk merokok. “Aku dengar Victoria dan teman temannya mendapatkan hukuman ya, Pak?” “Kenapa, kau takut mereka akan membully mu di luar kampus?” Nadine mengangguk. “Mereka tidak akan berani.” “Terima kasih banyak atas bantuanmu, Pak.” “Cobalah melawan kalau mereka membullymu lagi.” Abraham bangkit dari duduknya dan keluar begitu saja dari ruangan. Nadine kebingungan di sana, dia harus bagaimana sekarang? Apalagi di ruangan ini tidak ada siapa siapa selain dirinya. Nadine menunggu saja, tapi lama lama dia bosan juga dan memutuskan untuk keluar dari ruangan. Langsung berada di koridor dan melihat ada pintu lainnya. Sepertinya ini khusus para VIP, Nadine menggelengkan kepalanya mengagumi semua orang kaya ini. matanya mengedar sampai dia tidak sadar menabrak seseorang. “Ya ampun! Kau membuatku menumpahkan kopi di baju! Apa kau tidak bisa berjalan dengan benar?!” “Maaf, Nyonya. Saya tidak sengaja,” ucap Nadine khawatir. Dari penampilannya, dia orang yang sangat kaya. “Maafkan saya.” “Maaf tidak membuat bajuku kembali bagus! Kau pasti pekerja di sini kan?! atau kau gelandangan?!” “Tolong maafkan saya, Nyonya.” Sampai Nadine merasakan tubuhnya ditarik ke belakang. “Berhenti minta maaf,” ucap Abraham menatap tajam Nadine sebelum beralih pada wanita di hadapannya. “Dia bersama denganku.” “Ya ampun, Tuan Abraham. Pelayanmu membuatku kesal.” “Dia anak didikku.” “Ya ampun.” Wanita itu semakin terkejut. “Kerugianmu akan diurus oleh asistenku,” ucap Abraham menarik Nadine pergi dari tempat itu. mereka menaiki mobil. Dan Nadine hanya diam sepanjang jalan karena merasa bersalah. “Maaf.” “Berhenti minta maaf.” Abraham tampak risih. Sampai mobil memasuki sebuah gerbang menuju mansion yang tidak sebesar milik Abraham. “Kenapa kita ke sini, Pak? Bukannya harus mengantarkanku dulu ke asrama?” “Kau pikir asrama buka? Kau di sini dulu,” ucap Abraham. “Ini rumah siapa?” “Milikku.” Abraham keluar lebih dulu. Sementara Nadine, tangannya menghitung kekayaan Abraham yang bisa dilihatnya. “Gila, dia kaya sekali.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD