Penawaran

1265 Words
"Datang ke apartemen semalam, atau rahasiamu akan aku bongkar," Ucap Abraham menggigit ujung telinga Nadine sebelum keluar dari ruangan itu dan meninggalkan Nadine sendiri. Kaget sekali dengan fakta kalau Abraham menyadari dirinya dan Rose adalah orang yang sama. Menjadi takut tiba tiba, bagaimana jika orang orang di sekitarnya tau apa yang selama ini dia lakukan. Dan terlebih, peran terakhirnya di klab milik Belle sangat memalukan. Tubuhnya luruh di karpet bulu, jantungnya berdetak kencang ketakutan. Apa yang akan Abraham lakukan setelah mengetahui mahasiswanya ternyata jal*ng yang menjajakan dirinya di luar sana. Karena Nadine terlalu kaget dan ketakutan, dia terdiam saja di ruangan ganti hingga membuat Ryan khawatir. Dimana pria itu memilih untuk masuk menyusul Nadine. "Nadine? Kau baik baik saja?" Nadine menoleh, dia mencoba untuk tidak terlihat panik. "Yaa, aku hanya terkejut dengan harga gaun ini." "Astaga, Nadine. Jangan seperti itu. Ayo berdiri. Aku membelikan ini untukmu." Ryan membantu Nadine berdiri, pria itu menatap bagaimana penampilan Nadine dengan balutan gaun yang cantik. "Kau terlihat bagus. Tinggal luruskan rambutmu, kau semakin cantik. Ingin pergi meluruskan rambut?" "Uh, kau tidak suka dengan rambutku yang seperti ini?" "Bukan begitu. Kau ini cantik, jadi aku ingin merawatmu, menjagamu. Paham kan? Aku ingin orang melihat sisi cantik itu dari mu." Nadine terkekeh memalu. "Berhenti mengatakan hal seperti itu." Meski pada kenyataannya, jantungnya berdetak kencang karena masih teringat perkataan Abraham. "Ayok, aku belikan ini untukmu." "Tidak usah, Ryan." "Hei, ayolah. Aku suka kau memakai baju seperti ini. Anggap saja hadiah pertemanan kita." "Oke, sebagai gantinya aku akan memberikanmu lukisan sebagai tanda pertemanan. Bagaimana?" "Boleh." Ryan terkekeh dan merangkul bahu Nadine. "Kau cantik dengan rambut apapun. Aku hanya ingin kau terlihat semakin baik." Setelah mereka keluar dari toko, Ryan mengajaknya untuk bermain ke game zone. Baru setelah seharian bermain, Nadine diantarkan pulang oleh Ryan sampai ke halaman gedung tempat Nadine tinggal. "Terima kasih." "Sama sama. Menyenangkan bisa berbicara denganmu." Karena jujur saja, Nadine ini memiliki intelektual yang tinggi. Membicarakan apapun dengannya pasti bisa tersambung, hanya sedikit pemalu saja yang membuat Ryan gemas. Sementara Nadine menahan gugupnya tentang Abraham. Setelah kepergian Ryan, Nadine langsung memasang wajah paniknya. Dia menggigit kukunya sendiri dan bergegas kembali ke flat. Dia harus menemui Abraham malam ini, khawatir jika nantinya kebenaran tentang dirinya tersebar di kampus hingga telinga ibunya kalau selama ini dia menjual diri dan menari striptis untuk memenuhi semua kebutuhan. “Ya ampun, Nadine. Kenapa kau masuk dengan tergesa?” “Bu, aku harus segera pergi.” “Kemana?” “Boss toko roti membutuhkan bantuanku. Aku harus membantunya saat dia kesulitan kan? dia juga telah membantuku sebelumnya.” “Apakah sedarurat itu? kau membuat Ibu menjadi cemas juga.” Nadine langsung merubah raut wajahnya mencoba tenang, mendekati sang Ibu dan memeluknya. “Tidak apa, Bu, kemungkinan Nadine pulang terlambat. Apa tidak apa?” “Tentu, kau harus membantunya. Ibu hanya panic ketika melihatmu terlihat ketakutan.” “Tidak apa, Bu, aku baik baik saja,” ucapnya meninggalkan sang ibu yang sedang menonton televise. Nadine masuk ke kamarnya dan menguncinya dari dalam. Bagaimana dia bertransformasi menjadi Rose kalau sang Ibu ada di sini? pasti aakan menuai kecurigaan darinya. Jadi, Nadine memutuskan untuk memesan sebuah hotel dulu supaya dirinya bisa bersiap tanpa rasa takut. “Nadine, kau mau kemana membawa koper?” “Oh, ini barang milik temanku, Bu. Dia menitipkannya dan sekarang dia memintaku membawanya,” ucap Nadine sambil terkekeh. Sepertinya dia harus menyewa sebuah apartemen supaya tidak dicurigai oleh ibunya. Dan memindahkan barang barang Rose ke sana. “Aku berangkat dulu, Bu.” “Hati hati, Nak. Kau terlihat kesulitan membawa koper itu.” “Tidak, ini sangat ringan.” Padahal pada kenyataannya, koper itu sangatlah berat. Ditambah lagi isinya berbagai make-up, pakaian dan semua hal yang berhubungan dengan Rose. *** Memesan kamar hotel untuk berdandan menjadi Rose. Sampai Nadine ingat, kalau Abraham tidak memintanya menjadi Rose bukan? Sayangnya sudah tanggung berdandan, tidak mungkin kalau dirinya menghapusnya lagi kan? Apalagi Abraaham sudah mengiriminya pesan pada nomor ponsel Nadine untuk menyuruhnya cepat. “Tidak akan sempat, aku harus cepat. Dia bisa saja semakin menyudutkan,” ucap Nadine yang kini sudah berpenampilan seperti Rose. Keluar dari kamar hotel dan mendapatkan beberapa tatapan menggoda dari pria yang berjalan di koriodor. “Hai, Cantik.” Membuat Nadine mengedikan bahunya malas. Mereka tidak akan tau kalau dirinya adalah Rose yang suka menari striptis di klab malam ‘kan? karena Rose yang mereka kenal itu suka memakai topeng. Dan Abraham adalah satu satunya pria yang pernah melihat sosok Rose tanpa topeng. Ketika di dalam lift, Nadine menelan salivanya kasar saat dipandang dalam oleh seorang pria. “Kau cantik, apa kita pernah bertemu?” “Aku tidak mengenalmu.” “Kau mirip dengan penari striptis, tapi aku tidak ingat dimana bertemu dengannya.” “Perhatikan ucapan anda, Tuan. Itu tidak sopan,” ucap Nadine kesal dan segera memesan taksi menuju apartemen tempat Abraham berada. Penuh dengan ketakutan ketika kakinya melangkah menuju apartemen Abraham. Nadine memasukan sandi yang dia ketahui sebelumnya kemudian masuk ke dalam. Matanya mengedar mencari sosok Abraham. “Wah, kau tidak menyangkalnya. Bahkan langsung datang dengan wajah Rose?” tanya Abraham yang baru saja keluar dari ruang kerja, pria itu masih memakai kemeja dan kacamata. Terlihat jelas dia sedang bekerja. “Apa yang kau inginkan, Abraham?” “Hhaha, kau lupa kalau aku dosenmu? Bersikaplah sopan, Nadine.” “Pak Abraham.” “Wah, sedikit aneh juga. Panggil saja aku sesukamu, Rose,” ucap Abraham kemudian kembali masuk ke ruangan kerjanya. Nadine tidak tahan, dia takut rahasianya terbongkar. Jadi dia melangkah mengikuti Abraham yang sekarang berdiri menghadap laptopnya. Nadine hanya diam di ambang pintu sambil mengetuk ngetuk ujung heels pada lantai kayu keras tersebut. “Apa yang kau inginkan dariku?” “Berhenti membuat suara, aku harus menyelesaikan pekerjaan ini dulu.” “Katakan saja apa yang kau inginkan, Abraham! Berhenti mempermainkanku!” teriak Nadine kesal. Dan itu berhasil membuat Abraham menghentikan pekerjaannya, pria itu menatap tajam Nadine. Tatapan itu malah menjadi boomerang, Nadine takut hingga dia menegakan tubuh dan menelan saliva kasar. “Aku ingin menyelesaikan semuanya malam ini. kau tau apa yang aku takutkan bukan?” “Kemarilah, duduk di sini.” menepuk pahanya sendiri. Nadine melangkah mendekat dan duduk menyamping di pangkuan Abraham. Namun pria itu menolak posisi seperti ini, dia ingin Nadine menghadapnya dan segera dituruti oleh perempuan itu. “Apa yang kau lakukan?” tanya Nadine kesal. “Hukuman karena kau berani membentakku.” “Lepaskan!” “perhatikan ucapanmu, aku memegang rahasiamu,” ucap Abraham mengecup leher Nadine. “Aku memegang kartumu, bayangkan jika orang lain tau apa yang kau lakukan selama ini. dibalik kacamata tebal, kau adalah wanita yang menjual diri dan mempertontonkan tubuhmu pada orang lain lewat tarian.” “Apa yang kau inginkan.” Nadine mulai berkeringat akibat ulah Abraham, pria nakal itu kembali membuat Nadine memanas dengan sentuhan tangan di bawah rok. Hawa sekitar membuat Nadine tercekat, apalagi suasana begitu mendukung. “Lihat aku.” Nadine melakukannya, dia menatap Abraham dengan tatapan yang menahan nafsu karena tindakan pria itu di bagian bawahnya. Tanpa diduga, Abraham mengecup bibirnya. “Menari dan tidurmu untukku saja, akan aku berikan kehidupan yang lebih baik untukmu.” Perempuan itu terkekeh. “Aku tidak lagi membutuhkan uang.” “Jangan munafik. Aku bisa memberikan apapun yang kau inginkan dan belum pernah kau dapatkan, termasuk perlindungan di kampus. Kau pikir Victoria akan diam saja? ah iya, kau pikir berita kalau kau seorang jalang tidak akan menyebar?” “Aku bukan jal*ng, Brengs*k!” “Dilarang mengumpat dengan bibir manismu.” Abraham mengecup lagi bibir Nadine bersamaan dengan tangannya yang semakin membuat Nadine menderita. dia suka melihat ekspresi Nadine.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD