Sesuai kesepakatan dengan Belle, akhirnya Nadine lepas dari kehidupan Rose. Dia tidak mau lagi terjun ke sana dan hanya ingin focus menjadi seorang pelukis sambil mengurus ibunya. Apalagi hari ini sang ibu akan pulang dari rumah sakit, Nadine sangat bersemangat.
Ditemani oleh Meila menuju ke rumah sakit untuk menjemput sang Ibu. “Kudengar kau berhenti di toko roti itu?”
Untuk menutupi karir Rose, Nadine bekerja juga di toko roti. Namun sekarang dia juga berhenti “Iya, aku merasa percaya diri untuk menjual lukisan setelah pulang dari London.”
“Baguslah, lagipula ibumu sudah sembuh kan?”
“Operasinya berjalan dengan lancar.”
Namun, Meila yang sedang menyetir itu heran. Katanya, Nadine mendapatkan uang itu dari bossnya, dia meminjam pada toko roti itu. tapi dia akan berhenti sekarang? Sudahlah, itu bukan urusannya. “Nadine, apa kau tidak mau meluruskan rambut dan melakukan perawatan? Aku punya uang lebih, ayok ke klinik kecantikan.”
“Tidak, uangnya simpan saja untukmu. Aku baik baik saja,” ucap Nadine. Bisa bahaya kalau dirinya berubah menjadi cantik. orang lain yang mengenali Rose mungkin tidak akan sadar kalau mereka adalah orang yang sama mengingat Nadine selalu memakai topeng setiap kali melakukan pertunjukan.
Namun, jika dengan Abraham, dirinya bahkan mendes*h kuat semalam hingga membuat pria itu melakukannya berulang kali semalam. Nadine tidak mau mengambil resiko. Cantiknya nanti saja kalau sudah lulus dan tidak bertemu dengan Abraham lagi. “Aku cukup nyaman dengan diriku yang sekarang.”
“Tapi kau jelek.”
“Tidak apa, supaya tidak ada yang mengganggu wanita jelek sepertiku.”
Baru juga Nadine bicara seperti itu, ponselnya berbunyi. Ada pesan dari seorang pria yang dulu mengajaknya berkenalan di London. “Dia pria yang kau bicarakan? Yang dari London?”
“Iyap, yang itu,” ucap Nadine membalas pesannya sambil tersenyum.
“Suka padanya?”
“Tidak terlalu, tapi lumayan untuk membuka lembaran baru.”
Karena Nadine sendiri menyukai orang yang tulus melihat dirinya sebagai orang yang buruk rupa. Sekarang dia berusaha keras menyingkirkan pemikiran menjadi kaya dengan bermain api dengan Abraham. Selain inginkan kekayaannya, Nadine juga menginginkan pria panas itu.
Dulu dia tidak secandu itu pada s*ks. Tapi setelah mencobanya, Nadine menginginkannya lagi.
“Hei, kenapa kau melamun?” tanya Meila menyadarkan.
“Tidak apa apa.”
“Kudengar Victoria dan teman temannya akan segera kembali bukan? Jangan khawatir, mereka tidak akan berani lagi padamu.”
Bukan itu yang Nadine khawatirkan, tapi dirinya sendiri yang menginginkan kegiatan panas lagi. mencoba menepisnya dengan focus pada sang ibu yang sudah menunggunya. Nadine akhirnya bisa membawa sang ibu pulang ke flat meskipun tetap harus control rutin setiap minggu.
Hampir enam bulan ibunya tidak pulang, membuat Nadine bebas sendiri di flat. Dia berharap tidak ada barang milik Rose yang ditemukan oleh ibunya.
“Terima kasih sudah membantu, Meila.”
“Sama sama, Bu, maaf Meila baru menjenguk.”
“Tidak apa, Nak. Biar ibu buatkan makanan untukmu ya.”
“Tidak usah, Bu. Meila akan segera pulang. ada yang harus Meila lakukan.” Berpamitan pada sosok itu, kemudian memeluk Nadine sebelum pergi.
Kini hanya ada Nadine dan sang ibu di flat itu. “Ibu jangan memasak, aku akan memesan makanan dari luar.”
“Kau harus menghemat uang, Nadine. Kuliahmu masih lama ‘kan? ibu tidak bisa membantu, jadi simpan uang itu. biar Ibu yang memasak.”
“Jangan, Bu. Nadine mendapatkan bonus dari boss. Jadi ada sedikit uang yang bisa kita gunakan. Masalah kuliah, aku ini murid berprestasi, jadi mereka memberikan potongan.” Berdusta seperti itu untuk membeli makanan enak.
Uang yang diberikan Abraham ini masih sangat banyak, bahkan Nadine bisa membeli rumah kecil dengannya. Sayang, dia harus menutupi kecurigaan dari sang Ibu.
***
Karena Nadine ingin menghapuskan keinginan menggebunya terhadap Abraham, maka dia memutuskan untuk lebih dekat dengan sosok bernama Ryan ini. menjalani kehidupan sebagai Nadine tidak masalah bukan? Pria ini terlihat baik juga, dia mengajak Nadine pergi ke mall untuk makan siang.
Mereka kuliah di universitas berbeda tapi masih dalam kota yang sama, jadi mudah untuk pergi berdua seperti ini. Nadine dijemput menggunakan mobil milik Ryan kemudian diajak ke salah satu resto ternama di mall ini.
“Kau mau makan apa?”
“Um, apa saja. aku tidak paham.”
“Ya ampun, kau menggemaskan sekali.”
Nadine hanya tersenyum mendengarnya dan membiarkan Ryan yang memesan makanan. mereka berbincang seputar perkuliahan dan bertukar informasi mengenai seni. Sampai Ryan berkata, “Aku memiliki keluarga yang menyukai seni. Maukah kau membuatkan satu untukku?”
“Tentu saja, akan aku buatkan untukmu.”
“Terima kasih.”
Diperlakukan dengan baik, dengan diberikan makanan yang enak enak pula. Bahkan sekarang Ryan dan Nadine sudah saling menggenggam tangan. Tentang Abraham, pria itu katanya keluar kota. Sejak malam terakhir Rose tidur bersama dengannya, Nadine belum melihatnya lagi di kampus.
“Ahh iya, aku ingin pergi ke toko baju. Mau menemani?”
“Kenapa tidak?”
Namun sayangnya, ketika mereka memasuki toko baju tersebut, sang pelayan mengatakan kalau ada VVIP yang datang dan membeli waktu mereka. Nadine penasaran dan mengintip dengan mencondongkan tubuhnya, dia kaget saat matanya bertatapan dengan Abraham yang sedang bersama seorang wanita di dalam sana.
“Ya ampun.”
“Kenapa?” tanya Ryan.
“Tidak ada.”
“Kita pergi saja ke tempat lain. Ayok.”
Namun sebelum mereka menjauh, pelayan lain tiba tiba datang dan berkata, “Tuan, silahkan masuk. VVIP kami tidak keberatan jika ada pelanggan lain karena dia akan pulang.”
“Benarkah? Bagus sekali. Ayok masuk.” Merangkul bahu Nadine dan membawanya masuk.
Bukankah seharusnya dosen menjawab sapaan mahasiswanya jika menyapa? Apalagi mereka sudah menghabiskan waktu bersama di London? Tapi Abraham malah menatapnya tajam dan mengalihkan tatapan. Seolah Nadine telah melakukan kesalahan besar.
“Hei, bukankah yang tadi itu dosenmu?”
“Iya, tapi sepertinya dia sedanng tidak mau disapa.” Nadine memilih mengajak Ryan pergi ke sisi yang lain.
Nadine ikut serta memberikan komentar pada pakaian yang dipilih oleh Ryan. Sampai pria itu memberikan Nadine satu pakaian. “Cobalah, aku rasa ini cocok untukmu.”
“Tidak perlu.”
“Tolonglah, aku memaksa. Bukannya tidak baik kalau menolak pemberian orang?”
Nadine menghela napasnya dalam dan menerimanya. Dia diantar oleh pelayan menuju kamar untuk berganti pakaian. Wah, kalau ini bukan ruang ganti, melainkan ruang tidur. ada sofa dan cermin besar. Apa tidak apa menggantinya di ruang ini?
Tapi karena baju ini yang Nadine tatap sejak tadi, dia bergegas membuka pakaiannya dan menggantinya dengan gaun pendek tersebut. “Wah, ini akan sangat cantik bila dipadukan dengan heels,” ucap Nadine sambil menunduk menatap kakinya sendiri.
Sampai tiba tiba dia dikagetkan dengan sebuah tangan yang memeluknya dari belakang. Tubuhnya tersentak dan menatap kaca di haadapannya. “Pak Abraham.”
“Berhenti bersandiwara, Rose. Aku tau kau menyukainya,” ucap Abraham.
Nadine menjerit kecil saat merasakan sesuatu yang masuk ke bawah roknya. Jemari Abraham yang nakal, ingin sekali Nadine putuskan.