Mimpi Buruk

1147 Words
Setelahnya, Ayaz langsung melengos pergi. Meninggalkan Mahesa yang kini mengepalkan kedua tangannya penuh amarah. Benaknya membayangkan bagaimana Ayaz yang senang bermain perempuan, akan menyentuh Athalia. Jelas Mahesa tahu kalau Ayaz lebih berengsek darinya. “Sialan kau, Ayaz! Kau pikir kau bisa dengan mudah menarik Athalia ke atas ranjangmu? Aku tidak akan pernah membiarkan hal itu. Athalia adalah milikku saat ini. Dan aku tidak suka saat milikku diganggu oleh orang lain.” *** Tengah malam, Athalia harus terbangun saat ia samar-samar mendengar suara tangisan seseorang. Perlahan Athalia membuka kelopak matanya, ia menajamkan telinga untuk mencari di mana sumber suara itu. Dan ia terkejut saat menyadari jika suara tangisan yang seperti merintih itu berasal dari bibir Mahesa. “Mahesa?” Athalia bangkit duduk, menatap Mahesa dengan kening yang berkerut dalam. “Apa dia sedang mimpi buruk? Mengapa dia menangis dalam tidurnya?” gumam Athalia sambil terus menumbukkan pandangannya pada wajah Mahesa, memperhatikan raut wajah lelaki itu yang saat ini sedang gelisah seperti sedang mimpi buruk. Keringat dingin membanjiri kening dan pelipisnya, bibir lelaki itu bergetar pelan, menggumamkan kalimat yang tidak Athalia pahami. “Tolong! Jangan! Jangan membunuhku! Aku mohon, jangan! Jangan membunuhku!” Athalia terkejut saat ia mencoba mendekatkan telinganya ke bibir Mahesa untuk mendengar lebih jelas gumaman lelaki itu. “Si—siapa yang akan membunuhnya? Mengapa dia sampai ketakutan seperti itu dalam tidurnya?” tangan Athalia bergerak lembut, mengusap keringat dingin di sekitar wajah Mahesa. Athalia mendekatkan wajahnya, berusaha membangunkan Mahesa dari mimpi buruk yang sedang menyiksanya. “Mahesa. Bangunlah! Ayo, bangunlah!” “Tidak! Jangan membunuhku!” bibir Mahesa makin bergetar, suara rintihannya begitu menyayat hati Athalia. Melihat Mahesa yang seperti ini, membuat Athalia merasa iba. Meski seberapa garangpun lelaki itu, tapi tetap saja hati Athalia tak tega. “Tidak akan ada yang membunuhmu. Kau aman di sini. Kau hanya sedang mimpi buruk, Mahesa. Jadi bangunlah! Buka matamu!” Athalia menaruh kepala Mahesa di atas pangkuannya, tangannya menepuk-nepuk pipi lelaki itu untuk membuatnya sadar. Berkali-kali Athalia berusaha membangunkan Mahesa, namun usahanya hanya sia-sia. Entah mengapa Mahesa sulit untuk dibangunkan. Bibirnya terus saja meracaukan kalimat yang sama. “Jangan membunuhku! Jangan memukulku! Aku mohon!” Athalia merasa hatinya ikut pilu. Matanya menatap nanar wajah Mahesa yang terus saja berkeringat dingin. Athalia mengambil beberapa lembar tissue kering untuk mengusap keringat itu, lalu ia mendekap kepala Mahesa ke dadanya. Kini Athalia mengubah posisi menjadi setengah duduk dengan kaki yang berselonjor. Sesekali bibirnya mengecupi puncak kepala Mahesa, lalu berkata. “Tenanglah. Tidak akan ada yang menyakitimu. Kau bersamaku. Kau bersamaku, Mahesa,” bisik Athalia mendekap tubuh tegap Mahesa yang tampak lemah itu ke dalam pelukannya. *** Pagi hari, Mahesa baru saja keluar dari kamar mandi. Tubuh jangkungnya hanya tertutupi oleh bathrobe putih yang menampilkan otot-otot kakinya yang kekar dan keras. Athalia yang sedang berhias di depan cermin, seketika menghentikan gerakannya. Matanya melirik ke arah Mahesa yang saat ini sedang sibuk memilih dasi. “Athalia. Menurutmu aku lebih bagus mengenakan yang mana? Yang navy atau yang maroon?” Mahesa membalikan badannya, kedua tangannya mengangkat dua buah dasi sambil matanya menatap Athalia untuk meminta pendapat. Diam-diam Athalia mengulum senyum. Ini kali pertama lelaki itu meminta pendapat darinya mengenai apa yang akan ia pakai. “Aku lebih suka yang navy,” jawab Athalia. Namun Mahesa justru malah mengangkat sebelah alisnya. “Wait. Aku tidak bertanya kau suka yang mana. Aku hanya bertanya menurutmu, aku lebih cocok menggunakan dasi yang mana?” Mahesa memperjelas pertanyaannya. Dan Athalia menghela seraya merotasi bola matanya. ‘Dasar pria arogan! Padahal tidak ada yang salah dengan jawabanku,’ decaknya dalam hati. “Sorry. Kalau begitu aku meralat jawabanku tadi. Kau lebih cocok dengan dasi yang berwarna navy itu. Puas?” jelas Athalia. Mahesa hanya mengangkat kedua pundaknya, lalu menoleh pada dasi berwarna navy yang ada di tangan kananya. “It’s oke. Aku akan menggunakan yang ini,” katanya dengan senyum jumawa. Athalia mengamati punggung Mahesa yang sedang memasukan dasi berwarna maroon itu ke dalam lemari. Melihat punggung tegap itu, seketika Athalia kembali teringat dengan apa yang terjadi semalam. Dimana Mahesa terus merintih dan meracau ketakutan. Lelaki itu tidur sambil menangis. Rasanya Athalia ingin sekali mempertanyakan hal itu pada Mahesa. Ia sangat penasaran, apa yang menyebabkan Mahesa sampai bermimpi buruk seperti tadi malam? “Athalia! Apa kau hanya akan diam saja seperti patung di sana? Kemarilah! Bantu aku berpakaian!” Suara maskulin Mahesa membuat Athalia mengerjap dan tersadar dari lamunannya. “Apa? Membantumu berpakaian? Maksudmu, aku?” Athalia terkejut, ia bertanya sambil menunjuk dirinya sendiri. Memastikan bahwa apa yang didengarnya tidak salah. Mahesa memutar kepala, menoleh pada Athalia. “Iya. Memangnya siapa lagi yang ada di sini selain kau? Apa menurutmu aku sedang berbicara dengan tembok-tembok di sekelilingku?” Mahesa mulai kesal. Dan Athalia menyadari itu. “Ayo ke sini! Cepat bantu aku berpakaian atau kita akan terlambat masuk ke kantor!” Mahesa memerintah. Menghela napasnya, Athalia hanya mengangguk dan melangkah pelan mendekati Mahesa. Kini ia sudah berdiri di hadapan lelaki yang hobi marah-marah itu. “Pakaikan kemejaku!” Mahesa melempar kemejanya ke wajah Athalia dan Athalia segera menangkapnya. Karena kesal, Athalia tak sadar bibirnya menggumamkan sesuatu. “Ck! Dasar manja! Apa dia tidak malu dengan tubuhnya yang besar? Bahkan anak SD saja sudah bisa menggunakan bajunya tanpa bantuan orang lain,” Athalia menggerutu. Dan sialnya, gerutuan itu yang meski pelan, masih bisa terdengar ke telinga Mahesa. Kini Mahesa mengerutkan dahinya pada Athalia. “Apa kau sedang mengataiku?” Sadar ucapannya didengar oleh Mahesa, Athalia terkesiap dan segera menutup mulutnya dengan tangannya sendiri. “Jangan terbiasa menggunakan bibir untuk bekerja, Athalia. Tapi gunakan tanganmu saja. Kecuali jika kau sedang melayaniku di atas ranjang, barulah kau bisa berpuas-puas diri menggunakan bibirmu,” ejek Mahesa. Yang siapa sangka, ternyata berhasil membungkam mulut Athalia. Sekarang wanita itu melakukan pekerjaannya tanpa suara. Mahesa terkekeh dalam hati. Ia tidak menyangka jika hanya dengan kalimat seperti itu saja, Athalia si pemberani bisa sampai tidak berkutik. Sampai di tahap terakhir, Athalia memasangkan dasi berwarna navy itu di leher Mahesa. Barulah Athalia berani kembali membuka suaranya. “Emmhh … sebenarnya, ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu.” Mahesa memicingkan matanya, sedangkan tangan Athalia masih bergerak pelan, memasangkan dasi di leher lelaki itu. “Ini tentang apa yang terjadi padamu semalam.” Kerutan di kening Mahesa tampak semakin dalam, rasa penasaran menyelinap dalam hatinya, bertanya-tanya apa kiranya yang terjadi padanya tadi malam? “Memangnya ada apa semalam?” tanya Mahesa lagi. Athalia menelan ludahnya sesaat, sebelum akhirnya ia bicara. “Semalam kau mimpi buruk. Meski aku sudah berusaha membangunkanmu, tapi kau tetap saja menangis dan menggumamkan sesuatu dalam tidurmu. Aku masih ingat apa yang kau katakan. Kau bilang, jangan membunuhku! Jangan memukulku! Kau terus mengatakannya sambil memohon dan meneteskan air mata. Apakah mimpimu seburuk itu, Mahesa?” tanya Athalia, menatap Mahesa yang kini wajahnya tampak sangat terkejut begitu mendengar ucapan yang terlontar dari mulutnya. Bola mata lelaki itu membeliak lebar, tampak tak menyangka jika Athalia akan menanyakan hal itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD