Gaun untuk Pesta

974 Words
Mahesa merapatkan rahangnya, dengan kesal ia merenggut kedua pergelangan tangan Athalia yang berada di dasinya. Tentu saja Athalia terkejut melihat kemarahan yang terlihat di wajah lelaki itu. “Aaakhh … “ Athalia meringis saat tangan Mahesa terlalu keras mencekal pergelangan tangannya. “Bukankah sudah kukatakan padamu. Jangan bertanya tentang hal-hal yang pribadi tentangku! Karena aku tidak suka urusanku dicampuri oleh orang lain. Kau tidak berhak mengetahui semua urusanku. Urus saja urusanmu sendiri! Ingatlah kalau tugasmu hanya melayaniku di atas tempat tidur!” Athalia terkejut menatap Mahesa yang saat ini sedang menyilatkan kemarahan di wajahnya. Athalia hanya ingin bertanya, ia tidak menyangka jika Mahesa akan menjadi semarah ini. “Ma-maaf. Aku tidak akan mengulanginya lagi,” cicit Athalia yang merasa takut melihat wajah geram Mahesa. Mahesa tidak menjawab, lelaki itu hanya mendengus kesal lalu melepaskan cekalannya dari tangan Athalia dengan menyentaknya. Kemudian Mahesa berlalu masuk ke dalam walk-in closet yang terdapat di dalam kamar itu. Athalia tergugu memegangi dadanya sendiri, matanya menatap nanar ke arah pintu walk-in closet yang tertutup rapat di depan sana. “Apa ada yang salah dengan pertanyaanku? Mengapa Mahesa sampai semarah itu?” gumam Athalia bingung. Sementara itu, di dalam walk-in closet. Mahesa menyandarkan punggungnya di pintu. Napasnya bergerak naik-turun dengan cukup cepat. Tiba-tiba ia merasakan gemuruh di dadanya. Bayangan-bayangan masa lalu mengguncang pikirannya, membuat Mahesa memejamkan mata seraya meremas kepalanya dengan kuat. “Tidak! Pergi! Tidak! Aku tidak ingin ingat lagi. Aku tidak ingin mengingat masa kelam itu. Aku tidak mau!” Mahesa menggeleng-gelengkan kepalanya, berusaha mengusir bayangan masa lalu yang berkelebat dalam benaknya. Tubuh Mahesa yang tegap itu kini merosot ke bawah. Lelaki itu duduk dengan masih memegangi kepalanya. ‘Kau pembawa sial! Kau tidak pantas hidup! Seharusnya aku tak melahirkanmu saat itu!’ bahkan ucapan itu masih terngiang jelas di telinga Mahesa. Mahesa merasakan tangannya bergetar pelan, keringat sudah membasahi pelipis dan keningnya. Setiap kali ada yang membuatnya teringat dengan masa lalunya, hal-hal seperti ini pasti akan terjadi. Ya! Mahesa memiliki trauma terhadap masa lalunya. Mahesa sendiri tahu, sebenarnya ia sering bermimpi dan mengigau seperti yang diceritakan oleh Athalia. Kadang Mahesa tak bisa tidur nyenyak, ia kerap ketakutan dalam tidurnya. Bayangan kelam masa kecilnya lah yang membuatnya takut. “Kapan aku bisa melupakan semua ini? Demi Tuhan, aku tidak ingin mengingatnya lagi,” desahnya lelah. Tepatnya saat itu Mahesa masih berusia sepuluh tahun. Saat dimana ia hidup di lingkup keluarga yang sangat tidak harmonis. Mahesa kecil memiliki segalanya. Ia bisa membeli apapun yang ia tunjuk. Namun satu hal yang tidak bisa Mahesa dapatkan. Yaitu cinta dan dekapan orang tuanya. Sandra Ardelia—Ibu kandung Mahesa kerap bertengkar nyaris setiap hari dengan Leuwis saat malam. Membuat tidur Mahesa terganggu dan bocah kecil yang malang itu justru ketakutan. Karena pertangkaran kedua orang tuanya pasti akan membuat kegaduhan yang sangat heboh. Telinga Mahesa sering menangkap suara mengumpat kedua orang tuanya yang saling memaki, juga tak jarang ia akan mendengar suara lemparan barang setiap malam. Benar! Pertengkaran Sandra dan Leuwis memang terjadi setiap malam. Karena siang harinya mereka akan sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Mereka berdua tak memperdulikan Mahesa yang meminta ditemani sarapan bersama sebelum berangkat sekolah. Sandra dan Leuwis malah sibuk mencari uang. Bahkan Mahesa kadang bersembunyi di dalam lemari dan menutup kedua telinganya untuk menghindari suara keras pertengkaran kedua orang tuanya. Puncak pertengkaran kedua orang tuanya adalah di saat Mahesa ingin memberi kejutan untuk ulang tahun ibunya yang ke tiga puluh tiga. Dengan dibantu seorang pelayan, Mahesa membuat sebuah kue cokelat yang bertuliskan happy birthday. Dengan harapan siapa tahu ibunya akan memeluknya kali ini. Namun sayang, Mahesa harus menelan kecewa malam itu. Karena Sandra dan Leuwis bertengkar sangat hebat, bahkan lebih hebat dari sebelum-sebelumnya. Mahesa yang mendengarkan mencoba mendekat, berdiri tak jauh dari tempat kedua orang tuanya yang sedang berperang mulut. “Kau berselingkuh! Kau ingin pergi dengan bossmu itu? Iya ‘kan?” suara Leuwis terdengar marah saat itu. Tatapannya tajam pada Sandra. “Kalau iya, lalu kau mau apa? Lagipula kau juga berselingkuh. Kau pikir aku tidak tahu. Kau bermain gila dengan sekretarismu di kantor!” balas Sandra. Dan Mahesa masih setia mendengarkan, tangannya meremas lengan kursi. Meski masih kecil, namun Mahesa sudah mengerti apa maksud dari ucapan kedua orang tuanya. Intinya, mereka berdua ingin bercerai. Dan hal yang paling membuat Mahesa sakit adalah malam itu juga Sandra segera membereskan pakaiannya ke dalam koper, ia akan pergi. Saat matanya melihat Mahesa, Mahesa pikir Sandra akan memeluknya untuk yang terakhir kali. Namun yang terlontar dari mulut Sandra sungguh di luar dugaan. “Kau pembawa sial! Kau tak pantas hidup! Seharusnya aku tak melahirkanmu saat itu!” Hancur sudah hati Mahesa. Ia menerima kecaman yang begitu kejam dari Sandra. Sepertinya selama hidupnya, Mahesa tidak akan pernah mendapatkan pelukan dari ibu kandungnya. “Mama!” Mahesa berteriak, memanggil Sandra yang tetap berjalan cepat menggeret kopernya. “Mamamu tidak akan kembali lagi, Mahesa. Dia langsung pergi meninggalkan kita setelah mendapatkan lelaki yang jauh lebih kaya dari Papa. Bossnya pengusaha asal jepang. Dan mamamu berselingkuh dengannya karena dia kaya raya. Dasar wanita!” Tanpa sadar, Mahesa kecil yang hatinya rapuh dan terluka, merekam kalimat Leuwis dalam otaknya. Hingga saat ini, di tiga puluh tahun hidupnya. Mahesa masih menganggap bahwa semua wanita sama saja. Yang mereka cari adalah uang. *** “Athalia! Kau tahu ‘kan, malam ini adalah pesta ulang tahun ibu tiriku. Meskipun aku tidak ingin datang, tapi mau tidak mau aku harus tetap datang ke sana. Dan aku ingin kau menemaniku,” jelas Mahesa menatap Athalia yang saat ini berdiri di depan meja kerjanya. Athalia mengangguk. “Baik, Tuan.” Seketika Mahesa memijat keningnya dan berdecak pelan. “Ah, iya. Aku lupa kalau kau belum memiliki gaun!” serunya membuang napas pelan. “Bukan masalah, Tuan. Aku memiliki beberapa gaun yang kubawa dari rumah.” “Benarkah? Gaun seperti apa yang akan kau pakai?” Mahesa menyipitkan matanya. Membuat bibir Athalia mengerut lucu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD