Tertarik pada Athalia

1336 Words
Saat tubuh tegap Mahesa menghilang di balik pintu kamar mandi, Athalia merapatkan selimutnya sembari meremasnya dengan tangan yang gemetar. “Apa yang salah dengan pertanyaanku? Mengapa dia sampai semarah itu? Bukankah dia sendiri yang menyuruhku untuk bertanya padanya?” *** Saat jam makan siang, Athalia segera membereskan pekerjaannya secepat mungkin. Perutnya lapar sekali. Dan ia ingin secepatnya pergi ke pantry kantor. “Haah, akhirnya selesai juga. Sekarang baru aku bisa mengisi perutku.” Athalia mendorong kursinya ke belakang, bangkit berdiri, lalu kakinya melangkah cepat menuju pintu lift. Akan tetapi, saat pintu lift terbuka dan Athalia akan masuk, saat itu juga Athalia tersandung kakinya sendiri dan nyaris terjatuh. “Aakhhh … “ Athalia menjerit, tubuhnya hampir ambruk ke bawah. Namun seorang lelaki yang baru keluar dari lift itu segera menahannya. “Hei Nona! Kau tidak apa-apa?” tanya lelaki itu dengan suara maskulin yang terdengar halus. Dalam dekapan tangan lelaki itu, Athalia menaikan pandangannya, hingga kedua pasang bola mata mereka berserobok satu sama lain. Dalam sekejap mata, lelaki itu langsung terperangah melihat wajah Athalia yang menurutnya sangat memesona. Bola mata wanita itu yang cokelat muda, tampak cantik baginya. Athalia segera tersadar. “Oh maaf, Tuan Ayaz. Aku tidak sengaja.” Athalia memperbaiki posisi berdirinya, lalu membenarkan rok spannya yang sedikit terangkat ke atas. Kepalanya menunduk di depan Ayaz, tadi ia berjalan terlalu ceroboh, sampai membuatnya tersandung oleh kakinya sendiri. Ayaz tersenyum. “Bukan masalah. Aku tidak merasa keberatan sama sekali. Hanya saja, lain kali mungkin kau harus lebih berhati-hati,” pesannya pada Athalia. Ayaz adalah anak kandung Jessica, sekaligus saudara tiri Mahesa. Athalia tahu siapa Ayaz karena beberapa kali Ayaz datang menemui Mahesa ke ruang kerjanya. Hanya saja, saat itu Ayaz belum memperhatikan keberadaan Athalia. Bahkan Ayaz terkejut, ternyata Athalia cantik juga. Athalia mengangguk. “Baik, Tuan. Aku permisi.” Baru saja Athalia akan masuk ke dalam lift, Ayaz menahan lengannya. “Tunggu! Kau sekretaris pribadinya Mahesa, bukan?” tanyanya menatap Athalia. Athalia kembali menoleh, mengangguk dengan memberikan senyum kecil. “Benar, Tuan Ayaz. Aku sekretarisnya Tuan Mahesa. Apa Anda ingin menemui Tuan Mahesa? Kebetulan, beliau masih berada di ruangannya.” “Oh, tentu. Aku memang akan menemuinya. Kalau boleh kutahu, siapa namamu?” “Athalia,” jawab Athalia. “Athalia? Nama yang sangat indah.” “Terimakasih atas pujiannya, Tuan. Tapi maaf, aku harus segera pergi ke pantry. Jika tidak, jam makan siangnya akan habis.” Athalia pamit, ia ingin segera menghindari Ayaz yang saat ini masih menatapnya sedalam mungkin. “Begitu? Baiklah. Kau boleh pergi. Aku juga akan ke ruangan Mahesa.” kata Ayaz sambil tersenyum. “Sampai jumpa lagi, Athalia.” Athalia hanya tersenyum canggung. Tanpa kata, ia segera masuk ke dalam lift dan meninggalkan Ayaz yang masih mengintai dengan matanya. Seperginya Athalia, Ayaz menatap pintu lift yang sudah tertutup itu sambil mengurut dagunya dengan ibu jari dan telunjuk. “Athalia,” desahnya menyebut nama Athalia. “Ke mana saja aku selama ini? Sampai-sampai aku baru menyadari kalau sekretarisnya Mahesa begitu cantik.” Ayaz bergumam sendiri, lalu tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. *** Mahesa melirik ke arah arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. “Sudah waktunya makan siang ternyata,” gumamnya sambil menghembuskan napas pelan. Rupanya Mahesa baru sadar jika sejak tadi ia terlalu asyik bertatap mesra dengan layar monitor di depannya. Hingga ia nyaris melewatkan makan siangnya. “Jam segini, Athalia pasti sudah pergi ke pantry. Lebih baik aku makan di restoran yang dekat sini saja.” Mahesa bangkit, lalu menyambar jas yang tersampir di kepala kursi kerjanya. Mahesa baru saja selesai mengenakan jasnya saat suara ketukan pintu terdengar nyaring di telinganya. “Siapa yang datang di waktu jam makan siang begini? Apa Athalia?” bibirnya bergumam pelan. Tangannya membenarkan kelepak jasnya lalu menepuk-nepuk debu tak kasat mata di sana. Sambil ia berseru. “Masuk saja!” Tak membuang waktu lama, daun pintu langsung mengayun terbuka. Dan Mahesa langsung berdecak kesal ketika melihat Ayaz lah yang datang ke ruangannya. “Selamat siang saudara tiriku!” sapa Ayaz, mengedipkan mata pada Mahesa. Membuang napasnya kasar, Mahesa merapatkan rahangnya. Tatapannya tajam menusuk ke arah Ayaz yang kini berjalan mendekat ke arahnya. “Ada urusan apa kau datang ke sini? Tadi pagi Papa sudah menggangguku, membuat moodku hancur. Lalu sekarang kau?” Mahesa berkacak pinggang, membuat kelepak jassnya tersibak. Matanya menyoroti wajah Ayaz dengan tatapan tak bersahabat. Ayaz tertawa, menarik kursi kosong yang ada di depan meja kerja Mahesa, lalu mendudukinya sambil menaikan kedua kaki panjangnya ke atas meja. Tingkahnya tampak santai, seolah ia adalah bossnya di perusahaan ini. Dan hal itu membuat Mahesa semakin muak. “Tenanglah dulu. Lemaskan mimik wajahmu. Mengapa kau tidak bisa menatapku dengan biasa saja? Ingatlah, Mahesa! Kita ini adalah saudara tiri. Sepuluh tahun yang lalu papamu sudah sah menikahi ibu kandungku.” Ayaz berkata dengan enteng. Bibirnya menampilkan senyum penuh kemenangan pada Mahesa. Mahesa memutar bola matanya jengah. “Ya. Andai dulu aku berhasil menggagalkan pernikahan mereka. Pasti aku tidak akan pernah memiliki saudara tiri yang sangat menyebalkan sepertimu dan juga Bianca,” ketusnya terang-terangan. Ayaz hanya menyeringai. Mungkin ia merasa lucu dengan ucapan Mahesa yang lebih seperti seorang anak kecil yang merajuk karena tidak setuju ayahnya menikah lagi. “Tapi sayangnya semuanya sudah terjadi. Apa yang bisa kau lakukan selain menerima saudara tirimu yang menyebalkan ini?” Ayaz kembali meledek. Mahesa membuang napasnya lagi dengan kasar, ia berusaha menahan batas kesabarannya agar tangannya tidak melayangkan tinjuan di wajah Ayaz. Jika sampai itu terjadi, maka Ayaz akan mengadu dan Mahesa sudah bisa menebak siapa yang akan dibela oleh Leuwis. “Cepat jelaskan! Apa maksud dari kedatanganmu ke ruanganku? Aku tahu, orang sepertimu tidak mungkin datang tanpa maksud licik.” Ayaz menarik sebelah ujung bibirnya, tersenyum miring. Kemudian ia menurunkan kedua kakinya yang semula naik ke atas meja. Sembari bertepuk tangan. “Wah … wah … aku acungi jempol untuk kepekaanmu yang tajam. Kau benar, aku datang menemuimu memang untuk maksud yang terselubung.” “Katakan saja! Jangan banyak basa-basi!” “Aku ingin kau menjual dua puluh persen saham perusahaanmu padaku,” pinta Ayaz. Namun malah membuat sudut bibir Mahesa berkedut, menahan tawa. Seakan ucapan yang baru saja Ayaz lontarkan adalah sebuah lelucon. “Kau ingin membeli dua puluh persen saham perusahaanku? Sebaiknya kubur saja keinginanmu itu dalam-dalam. Karena sampai kapanpun, aku tidak akan pernah menjual sahamku pada siapapun. Apalagi pada orang sepertimu!” tegas Mahesa. Mendengar itu, riak wajah Ayaz berubah keruh. Ia merasa kesal karena Mahesa tidak bersedia menjual dua puluh persen saham miliknya. “Aku adik tirimu. Apa salahnya kau menjual sahammu padaku. Lagipula yang kuminta hanya dua puluh persen saja. Bukan setengahnya!” desak Ayaz. Kali ini Mahesa yang tertawa. Tawanya terdengar lantang, hingga membuat kening Ayaz berkerut menatapnya. Sial! Ayaz merasa sedang dipermalukan sekarang. “Kau harus tahu, Ayaz. Aku membangun perusahaan ini dari nol, murni dengan keringat dan uangku sendiri. Papaku sama sekali tidak ikut campur di dalamnya. Perusahaan ini milikku! Milik Mahesa Narendra. Jadi hakku ingin menjual sahamnya atau tidak.” Mahesa benar-benar membalas telak ucapan Ayaz. Lihatlah! Bahkan Ayaz sampai diam tak berkutik saat ini. Karena apa yang dikatakan oleh Mahesa memang benar. Ia adalah pemilik Narendra Company. Boss besar yang memulai bisnisnya dari nol tanpa campur tangan dari kedua orang tuanya yang sama sekali tidak peduli padanya. Gagal mendapat apa yang diinginkannya, Ayaz mengepalkan kedua tangannya. Hatinya kesal setengah mati. Ditambah lagi, sekarang Mahesa menatapnya dengan senyum penuh ejekan. “Kau sudah tahu jawabanku, bukan? Jadi silakan pergilah dari perusahaanku. Pintunya ada di sebelah sana.” Mahesa mengarahkan telunjuknya ke arah pintu. Ia tak segan mengusir Ayaz secara terang-terangan. Menggertakkan gigi, akhirnya Ayaz pun membalikan badannya. Hendak angkat kaki dari sana. Akan tetapi, tiba-tiba saja langkahnya terhenti dan membuat Mahesa keheranan. Ayaz kembali berbalik menatap Mahesa. Seulas senyum miring tercetak jelas di bibirnya. “Oh ya. Aku lupa mengatakan satu hal lagi padamu,” kata Ayaz. Mahesa mengerutkan alisnya. “Apa?” tanyanya. “Ternyata sekretarismu cantik juga. Sepertinya akan sangat menyenangkan jika aku membuatnya berada di atas ranjangku,” ucap Ayaz dengan senyum misterius. Kata-katanya berhasil membuat Mahesa membeliakan matanya terkejut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD