As-7

2377 Words
Tangannya terus terulur mengelus garis wajah, menggemaskan kedua buah hatinya. Jam sebelas malam tadi saat dia hendak tidur, Pintu kamar di buka oleh kedua putranya sambil menangis. Ketika mereka ditanya alasannya, Mereka kompak menggeleng, merengek meminta tidur bersamanya malam ini. Adhinka disisi kanan dan Adhitya di kirinya, keduanya memeluk sabil dengan kompak. Perlahan dengkuran halus dari mulut sedikit terbuka mereka terdengar, setelah mendapat elusan lembut sabil dipuncak kepala si kembar. Sabil merenung di keredupan lampu kamarnya, keadaan seperti ini tidak pernah ada dalam impiannya. Pernikahan diawal yang bahagia,  merasa dicintai. Berubah berbalik membuat dia harus bertahan sendirian, membesarkan putra-putranya. Sabil belum bisa menemui Yastha untuk memberitahukan keberadaan kedua putranya, sabil tidak ingin merusak keharmonisan dan kebahagiaan sang suami yang mungkin, dengan leluasa merajut kasih dengan sang mantan. Sabil tidak tahu kisah mereka sudah sampai mana, karena sabil tidak berniat mencari tahu. Keluarga yastha, orang tuanya juga tidak ada membahas yastha ataupun memberi tahu kabar, dia sekarang seperti apa. Udara dingin di kamar berasal dari mesin pendingin, perlahan membuat mata sabil kembali berat. hingga suara sang putra andhitya, meringis dalam tidurnya, membuat mata sabil kembali terbuka, apalagi mendengar kalimat yang keluar dari bibir mungilnya, "ayah..ayah yastha..sayang ayah" seiring dengan tangan adhitya perlahan mengerat memeluk sabil "Yastha?" Gumam sabil memiringkan tubuh, untuk menghadap adhitya. Adhinka tidak lagi memeluknya. Sabil tercengang. "bagaimana bisa?" Napasnya tercekat, ada hantaman kuat yang mengenai hati "oh Tuhan, dari mana adhitya tahu?" Sabil menutup semua cerita tentang yastha pada ke dua anaknya, selama ini keduanya tidak pernah bertanya. Sepertinya Mereka mengerti pada kejadian satu tahun lalu, saat mereka pernah mengeluh iri pada teman-temannya yang memiliki kedua orang tua lengkap dan bisa menghabiskan liburan bersama, Hari itu adhinka dan adhitya merajuk terus merengek. Bertanya siapa ayah mereka, kenapa tidak ada bersama mereka. Sabil dengan tegas mengatakan belum saatnya mereka tahu dan berjanji suatu saat nanti akan menceritakan segalanya. Pada dasarnya si kembar hanya anak kecil yang penuh antusias dan belum bisa menerima begitu saja jawaban sabil, sehingga mereka menangis kencang dan terus menuntut sabil bercerita, hingga membuat sabil hilang kendali dan marah besar. Sabil tanpa sengaja membentak dan keduanya berhenti menangis. Si kembar semakin merasa bersalah ketika esok harinya, sabil masih diam pada mereka dan mendengar sabil menangis di dalam kamar. Sejak saat itu, keduanya seakan memgerti, kompak tidak membahas apa pun yang menyangkut soal sang ayah, mereka akan menunggu sampai bunda mereka siap bercerita. Kejadian tersebut memaksa mereka berpikir, apa mungkin ayah telah tiada. namun saat Yastha menemui mereka, si kembar yakin Yastha, ayah mereka. Apalagi adhinka dan adhitya pernah melihat foto ayahnyq, memakai jas putih dan celana putih dililitkan kain, berdampingan dengan sabil yang juga memakai kebaya putih dan kain yang serupa dengan yang digunakan yastha di dalam foto tersebut. Saat mereka tanpa sengaja sedang menemani denada yang sedang menonton acara televisi, sedang menyiarkan berita pernikahan artis. kebetulan menggunakan pakaian hampir serupa dengan foto itu, adhinka dan adhitya yang pada dasarnya cerdas, tahu itu merupakan foto pernikahan orang tuanya. Tanpa sabil sadari foto itu mereka ambil dan simpan, jika ada teman-temannya yang menanyakan. Kenapa tidak pernah diantar atau dijemput ayahnya, mereka menunjukkan foto tersebut dan dengan lantang "kami punya ayah! ayah kami sangat mirip dengan kami! Ini ayah dan bunda kami!" Ujarnya tegas kepada siapa pun yang bertanya, adhinka dan adhitya sangat takut jika dia disebut anak yang tidak memiliki ayah. Anak sekarang cepat dewasa, dan mudah mengerti ucapan yang tidak pantas didengar. Saat kejadian kecelakaan hampir menimpa adhitya saat itu, andhika merasa familiar dengan wajah pria yang menyelamatkan adhitya, kembarannya. Dia memilih diam karena takut salah, menyerukan pemikirannya. tapi tidak bertahan begitu saja, saat sampai rumah dia dengan cepat menuju bawah bantal. Hari ini adhinka lupa membawa foto itu, memeluk foto saat malam setelah memastikan sabil sudah terlelap dikamarnya, saat bangun pagi dengan cepat menyimpan foto tersebut di bawah bantal agar tidak ketahuan bunda. Tangan mungil itu bergetar, saat ingat  benar jika wajah pria itu sama persis seperti pria yang ada difoto. Adhitya mendekat, mendengar abangnya yang terisak sambil memeluk foto tersebut diatas ranjangnya. "Abang kenapa? Jangan menangis, aku janji bunda tidak akan menyalahkan abang. karena aku yang ceroboh dan nakal tidak dengarkan abang tadi" Dia berpikir abangnya takut dimarahi sabil, karena kejadian hari ini. Sang abang menggeleng, lalu menunjuk wajah pria yang ada difoto itu, "kita ketemu ayah, tadi ayah. dek! Abang yakin, lihat wajahnya sama!" Serunya yakin Adhitya mendekat mengambil foto tersebut, lalu membenarkan apa yang abangnya ucapkan. saling memeluk foto itu bersamaan. Anak sekecil itu dipaksa menerima takdir seperti ini, saat rasa iri pada teman-teman sekitar mereka yang memiliki orang tua lengkap, Rindu pada sosok ayah yang belum pernah mereka temui, mereka hanya bisa saling menguatkan dan memeluk foto itu. Keduanya memang sering bertengkar soal mainan, namun dalam kondisi sama lemahnya, saudara kembar ini akan saling menguatkan. Dengan ikatan batin yang saling mengerat kuat, dan saat itulah, keduanya merasa beruntung terlahir kembar. Saat akhir-akhir ini yastha muncul kembali tanpa sepengetahuan sabil, si kembar menahan diri untuk akui pada yastha, bahwa mereka tau dia adalah ayah mereka. Walau begitu, keduanya bahagia kini akhirnya mereka bisa merasakan kehadiran seorang ayah. *** Sabil menghadap kedua putranya, yang diam menekuni sarapan nasi goreng sosis mereka, sesekali sabil menyesap teh hijau hangat miliknya, pening dikepala masih terasa, namun tidak separah beberapa saat lalu. Ini pasti terjadi saat mendengar apa yang di ucapkan putra bungsunya, menyebut nama yastha, ayah mereka. Mata sabil enggan untuk kembali terpejam, seperti sihir yang mampu menghilangkan kantuk begitu saja. Untung hari ini hari Sabtu, kedua putranya libur, sabil juga sudah minta ijin pada Denada. Kondisinya yang kurang enak badan, membuatnya tidak bisa ke cafe mereka. Sabil terus menarik, mengeluarkan napas dengan gusar. Menimbang-nimbang, apa baik jika dia membahas ini. Bertanya langsung pada adhinka dan adhitya. namun ada rasa takut, jika apa yang terjadi semalam merupakan ikatan seorang anak dan ayah lewat bunga tidur saja. Jika begitu, kedua putranya akan bingung. Kenapa sabil membahas hal yang sudah lama tidak dia sukai dan bahas. Lalu paling sabil takutkan, membuat kedua putranya justru mendesak, bertanya tentang ayah mereka lagi. Adhinka mendongkak, mata bulat beningnya menatap sabil sambil pipinya mengembung naik turun mengunyah makanannya, "Bunda tidak makan?" Sabil meletakkan cangkir, berusaha menarik sudut bibirnya "tidak, kalian saja. ayo habiskan sarapannya sayang" Adhinka mengangguk dan kembali menekuni piring berisi nasi gorengnya. Sabil beralih menatap adhitya yang terlihat murung pagi ini, tangannya hanya sibuk mengaduk-aduk nasi gorengnya, walau sesekali menyuap, mengunyah dengan malas-malasan. "ade kenapa, sayang? Kok maemnya begitu, nasi goreng sosisnya tidak enak?" Aditya mendongkak dan membuat sabil terkejut, melihat wajahnya yang pucat dan mata berkaca-kaca, dengan cepat sabil bangkit dari duduknya untuk mendekati putranya. "Ya Tuhan, kamu demam sayang" sabil terkejut, hawa panas merambat pada telapak tangan saat menyentuh pipi adhitya. Adhitya tidak menjawab, air mata mulai membasahi pipi tembam yang terlihat memerah saat ini, dengan cepat sabil membawa adhitya. Adhinka juga ikut bangkit "abang habiskan sarapannya, abang mau sakit juga seperti adik?" Adhinka menggelengkan kepalanya "jadi habiskan sarapannya, nanti baru masuk kamar buat menyusul bunda sama adik" adhinka menurut kembali duduk. Sabil dengan cepat membawa tubuh putranya ke kamarnya bukan kamar si kembar, Adhitya terlihat sangat lemas. Kepalanya diletakkan di ceruk leher sabil sepanjang membawanya ke kamar. Sabil meletakkan tubuh mungil adhitya di atas ranjang, menarik selimut hingga sampai leher sang putra. Lima tahun menjadi single parent, membuatnya bisa mengatasi kepanikan dalam menghadapi situasi seperti ini, ini bukan hal pertama. Hal wajar terjadi pada anak-anak seusia putranya, dalam masa pertumbuhan pesat seperti mereka, akan ada saja penyakit demam atau Flu yang menghampiri. Silih berganti mereka seperti ini atau kadang jatuh sakit bersamaan. Sabil kembali membawa obat sirup penurun demam anak-anak, diikuti bi susi yang membawa baskom berisi air hangat dan handuk kecil untuk mengompres putranya, "terima kasih bi" Sabil mengecek suhu tubuh adhitya dengan termometer, Pengukuran suhu dengan termometer di rongga mulut adhitya, suhu di atas 38, 2°C, artinya memang demam. "Tidak sebaiknya dibawa ke dokter bu?" Sabil menuangkan sirupnya sesuai takaran, "Kalau dalam satu jam demam tidak turun kita bawa" "Ayo adik minum obatnya" adhitya menggeleng, menolak meminum obat "Eh kok gitu, adik kan jagoan. Besok katanya mau jalan-jalan sama bunda dan abang. Adik harus minum obat supaya sembuh, terus kita jadi deh jalan-jalannya" Adhitya akhirnya mengangguk walau terlihat ragu, mau meminum obatnya. Obat mulai bereaksi, kini anaknya sudah terlelap. Sabil terus mengompres kening putranya berharap bisa menurunkan panas. Sabil tidak beranjak dari sisi adhitya, adhitya menggenggam tangan bundanya kuat, meski napas anak manis itu teratur. "A...ayah...ayah" Dengan begitu lirih terus memanggil 'ayah' yang membuat sabil menjadi bingung, karena pertama kali anaknya seperti ini. Adhinka berjalan mendekat, dia naik ke atas ranjang duduk di hadapan sabil, "Bunda" Pangilnya lembut, namun sabil masih diam berkutat dengan pikirannya. Adhinka mendekat, tangan mungil itu menyentuh tangan sang bunda yang menggenggam tangan adiknya, "Bunda, adik kenapa?" Tanya dia khawatir Sabil tersentak, dia langsung terlihat biasa dengan tersenyum. Sebelah tangan mengelus puncak kepala adhinka "abang doakan adik cepat sembuh yah" adhinka mengangguk Suasana menjadi panik ketika tubuh adhitya mengigil, keringat dingin keluar banyak, bahkan membasahi pakaiannya. Sabil kehilangan akal, dia panik, memeluk adhitya dan tanpa terasa terisak menangis. Adhinka ikutan panik dan menangis, "nak, sayang ini bunda. Ya Tuhan" ucap lirih sabil masih terus memeluk adhitya. Adhinka melihat ponsel sabil tergeletak di atas meja samping ranjang, tanpa ragu dia mengambil ponsel sabil lalu berlari keluar kamar. Mengetik angka nomor yang dia hafal akhir-akhir ini, lalu suara pria yang dia pikirkan terdengar dan tanpa bisa ditahan adhinka menangis, meraung membuat pria penerima telepon ikutan panik. *** "Bi, panasnya tidak turun" Sabil memasukkan dompet ke dalam tasnya "Mau dibawa ke dokter depan bu?" Sabil menggeleng "tidak bi, bawa ke rumah sakit saja. Bibi tolong jaga abang yah, sekarang siapkan pakaian adhitya nanti biar denada yang ambil, adhitya pasti di rawat inap, melihat keadaannya seperti ini" Sabil masih berurai air mata, walau dia sudah biasa menghadapi keadaan anaknya sakit demam. Tapi kali ini hatinya gelisah, sangat gelisah. "Bunda" Adhinka menangis mendekati sabil, wanita itu membungkuk, mengelus puncak kepala putranya. "abang dirumah yah.." adhinka menggeleng dengan cepat, menolak. Sabil menghela napas, dia tahu ada ikatan batin kuat pada anaknya yang kembar ini. Adhinka sama paniknya dan sedih pasti merasakan apa yang sedang dialami adik kembarnya, tapi tidak mungkin membawa adhinka. sabil pasti tidak bisa mengawasi putranya dirumah sakit nanti, "nanti abang bisa susul bunda sama ate Denada." adhinka diam, namun masih menangis se'senggukan. Sabil mengecup puncak kepala adhinka "abang anak pintar, bunda percaya abang mengerti yah. Abang doakan adik yah.." Saat sabil masih membujuk adhinka, bi susi teriak memanggil namanya, "Ibu, adhitya bu" teriaknya, Sabil langsung mendekat. Bergerak cepat, memposisikan adhitya berbaring dengan posisi menghadap ke samping, untuk mencegah supaya air liur atau muntah tidak masuk ke saluran napas dan benar adhitya langsung mengeluarkan muntahnya. lalu sabil melonggarkan pakaian andhika agar lebih nyaman untuk bernapas. Panasnya tubuh andhitya sangat terasa, sabil masih menangis namun mencoba tidak panik. "bi tolong ambilkan pakaian adhitya yang baru, cepat bi!" Bi susi mengambil pakaian baru untuk adhitya, dengan cepat mengganti baju dan celana putranya yang sudah basah. Sabil berdiri mengangkat adhitya, "bi tolong bawakan tas saya!" dengan cepat sabil membawa adhitya, diikuti bi susi dan adhinka yang menangis. "abang pleas, jangan buat bunda makin panik!" Dia mencoba menenangkan anak sulungnya, sambil terus melangkah, sesekali menoleh untuk melihat kondisi adhitya yang lemas, masih terus memanggil, 'ayah...ayah...ayah' "Sayang, sabar yah kita ke rumah sakit. Kamu harus kuat demi bunda, nak" Sabil menarik knop pintu utama Rumahnya, namun langkah kaki dia berhenti, waktu seakan ikut berhenti. Di hadapannya pria itu berdiri. dengan kaos berwarna navy, berkerah v-neck dan jeans birunya. "Ka--kamu?" Setelah beberapa detik hanya itu yang keluar dari bibir sabil, dia sangat terkejut. Ada apa ini, apa semua hanya mimpi?. Batinnya Yastha dengan wajah datar tidak menjawab, pandangan hanya tertuju pada putranya yang di bawa sabil. Dia bergetar melihat kondisi adhitya yang pucat seperti itu, mata sayu adhitya yang biasa cerah perlahan terbuka, mencoba tersenyum begitu netra hitamnya melihat wajah sang ayah, "ayah..ayah, aku lihat ayah!" Lalu mata itu kembali terpejam dengan cepat, tanpa menunggu lagi Yasta dengan cepat mengambil alih adhitya "Mau kamu bawa ke mana putraku!" Sabil panik dan mengikuti langkah cepat yastha, Pria itu tidak menjawab malah membuka pintu belakang mobilnya Menatap sabil yang tercengang "masuk!" Perintahnya. Sabil seperti terhipnotis, menurut. Yastha meletakkan adhitya di pangkuan Sabil, memastikan aman lalu menutup pintunya. Bi susi menatap dengan tidak mengerti, maklum Yastha baru pertama kali bertemu dengannya. Yastha mengambil tas yang dibawa bi susi, dia yakin itu tas sabil "terima kasih bu" ucapnya, Adhinka berlari ke arahnya, memeluk kakinya dengan tubuh yang bergetar. Yastha mengangkat tubuh mungil putra sulungnya, "aku mau ikut yah, aku gak mau dirumah sendirian!" Adunya Yastha membawa tubuh adhinka, membuka pintu depannya. "oke, kamu ikut, tapi berhenti menangis. Jagoan ayah, tidak boleh cengeng" adhinka mengangguk patuh, duduk di bangkunya. Yastha memasang sabuk pengaman pada tubuhnya yang terlihat sangat kebesaran itu, dan juga mendaratkan kecupan di kening adhinka, "kamu pintar nak, sudah melakukan hal yang benar!" puji yastha setelah apa yang dilakukan putranya, Semua yang dilakukan yastha tidak luput dari mata sabil yang masih mendekap tubuh adhitya, bingung atas apa yang terjadi. Ribuan pertanyaan mulai terpikirkan di otaknya, namun sabil memilih bungkam dan memeluk adhitya. *** Yastha sejak semalam perasaan tak tentu, ada rasa gelisah membuat dia bergegas tanpa pikir panjang, esoknya langsung untuk menemui kedua putranya. Jika bertemu sabil biarkan dia hadapi, sudah waktunya perbaiki keadaan kacau keluarganya. namun, di pertengahan jalan ke rumah istrinya, ponselnya berdering. Kerutan di keningnya muncul begitu melihat nama sabil yang tertera di layar, yastha sudah lama menyimpan nomor sabil. masih belum punya keberanian untuk menghubungi sekalipun. Dia berpikir, tahu dari mana Sabil nomor teleponnya. Meski ragu, Yastha tetap mengangkat. Apa Sabil sudah tahu, Yastha sudah menemui anak-anakny. Justru dia mendengar Suara isakkan dan raungan sang putra yang dia kenali saat menjawab panggilan dari nomor itu, "sayang, ada apa?" Terdengar putranya mencoba mengendalikan diri, "ayah, adhitya demam, dia teriak-teriak panggil ayah. Badannya basah, bunda.. bunda juga Menangis" kata anak kecil itu, masih sesenggukan Seakan terjawab rasa gelisahnya sejak malam, kini tergantikan dengan rasa panik mendengar putranya sakit. "ayah ke sana. Tunggu ayah nak" Adhinka mengiyakan dengan cepat, Seperti orang kesetanan, memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Bertepatan ketika dia mau menekan bel rumah sabil, pintu itu terbuka. menampilkan wajah sabil yang pucat dengan tubuh lemah andhika di dekapannya. -TBC-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD