As-6

2022 Words
Tanpa sepengetahuan sabi, diam-diam setiap hari menemui Adhinka dan Adhitya saat waktu istirahat sekolah mereka. Awalnya si kembar terkejut akan kehadiran pria dewasa yang pernah menolong Adhitya waktu itu. namun karena keduanya merasa nyaman, langsung menyukai Yastha, dengan senang hati menerima kunjungan rutin Yastha. Yastha meminta merahasiakan ini dari bunda mereka dan si kembar menyetujui dengan bahagia, sebab Yastha selalu memberikan apa pun yang mereka minta seperti hari ini. Bunda mereka selalu melarang si kembar makan makanan Junk Food hanya ada jadwal sebulan satu kali, dan kini mereka bisa bebas meminta apa pun dan kapan pun. Sebab pria dewasa yang menemuinya ini selalu menuruti kemauan mereka dengan senang hati "Ayo Boys habiskan Pizza-nya sebentar lagi waktu istirahat kalian habis" Yastha memperhatikan dirinya dalam dua versi kecil itu melahap Pizza daging asap penuh Mozzarella itu dengan lahap, pipi mereka penuh mengembung terisi kunyahan makanan. Adhinka menelan kunyahannya, menatap wajah Yastha penuh binar, "Makasih om sudah baik sama kita" napasnya tercekat, merasakan sakit ketika darah dagingnya sendiri masih terus memanggilnya dengan sebutan lain. Seharusnya ayah yang mereka sematkan di gelar depan namanya bukan panggilan seperti ini. Yastha tahu akan membuat mereka shock dan terkejut jika memaksa mereka mengetahui yang sebenarnya terlalu cepat. Biarkan dia berusaha meluluhkan hati mereka, pelan-pelan. hingga mereka merasa nyaman dengan kehadiran dia yang terlambat ini. Yastha mengambil tisu basah untuk mengelap bibir mungil merah kedua putranya yang kini berlepotan, secara bergantian. "ingat janji kita, untuk sembunyikan ini dari bunda ya sayang" Keduanya mengangguk kompak, namun hanya sesaat sebab Adhinka yang paling kritis dibanding kembarannya, menatap Yastha dengan mata bulat beningnya, Yastha tidak sabar mengklaim mereka secara bebas. Jika melihat wajah keduanya yang menggemaskan seperti ini. "sebenarnya aku merasa berdosa sama bunda, om" ucpany si abang polos Yastha tersenyum, tangannya terulur mengelus pipi bulat putra sulungnya, ada rasa syukur yang selalu di panjatkan. Setelah memastikan kedua putranya dalam keadaan sehat dan tumbuh dengan normal, walau penyesalan selalu ada. Karena tidak bisa menyaksikan dan ada disisi mereka, bahkan saat mereka masih berada di dalam rahim sabil. Saat mereka pertama kali menatap dunia, belajar berguling, merangkak, berjalan, tumbuh gigi, pertama kali berbicara dengan bahasa khas bayi atau pertama kali melangkahkan kaki-kaki mungil mereka. Yastha kehilangan setiap momen kedua putranya. "ini bukan berbuat dosa, tetapi demi kebaikan kalian, kan jadi bisa bertemu sama om. makan dan meminta apa pun dari om, iya kan?" Sabil berhasil mendidik keduanya dengan baik, kecerdasan sudah terlihat dari keduanya, Yastha sebenarnya merasa bersalah saat meminta keduanya harus berbohong pada sabil. Namun, Yastha melakukan ini karena yakin sabil akan langsung sembunyikan kedua putranya lagi, Sulit bertemu jika secara langsung Yastha memintanya, tunggu waktu yang tepat. Itulah yang sedang Yastha jalankan saat ini. "Benarkah aku bisa minta apa pun, om?" Pertanyaan dengan antusias berasal dari Adhitya Yastha mengangguk, menarik putra bungsunya, mengangkatnya hingga duduk di pangkuannya. "apa pun, om janji akan memenuhinya, asal kalian masih mau bertemu dengan om dan kita berteman" Adhitya tersenyum senang menunjuk-kan gigi putih susunya yang rapi, tangan mungilnya memeluk Yastha erat. Yastha merasakan kekosongan itu mulai terisi, setiap berdekatan dengan kedua putranya. Aroma khas minyak telon dan wangi bedak Baby menjadi parfum favorit Yastha akhir-akhir ini. Yastha menghirup dalam-dalam aroma kedua putranya seakan bisa dia simpan. Lalu dia melirik Adhinka yang memperhatikan interaksinya dengan sang adik, "sini abang mau peluk om juga?" Adhinka Menganggukkan kepala dengan malu, perlahan dengan pasti bergabung duduk di pangkuan Yastha tepat di satu sisinya, Yastha merasa oksigen di halaman taman kanak-kanak ini perlahan memudar, begitu mendengar bisikan sang putra sulung, "aku senang ada om, aku merasa punya ayah dan merasakan jadi seperti teman-teman lainnya, yang bercerita betapa mereka disayangi ayahnya" Adhitya mengangguk menyetujui ucapan sang kakak, "Aku memang ayah kalian nak" suara batinnya menjerit, hanya mampu berujar dengan pilu di dalam hatinya. Oh Tuhan, mengapa takdir sesulit ini. Bisakah Yastha mengulang waktu, jika saja masa lalunya tidak datang. Maka dia yakin saat ini akan hidup bahagia dengan kedua putra dan istrinya. "Bolehkah om jadi ayah kalian?" Dengan bergetar Yastha memulai menyampaikan itu, mungkin ini pintu dia untuk semakin menggapai posisi ayah si kembar "Benarkah, om mau jadi ayah kami?" Yastha mengecup kening Adhitya dan Adhinka bergantian "Ayah, panggil ayah yah mulai sekarang. Karena kalian anak ayah!" Yastha memeluk keduanya, menahan air matanya yang memanas karena berhasil mengatakannya walau dia yakin si kembar tidak mengerti akan maksud ucapannya. Yastha tidak dapat lagi menahan air mata begitu keduanya membalas pelukannya dengan memanggilnya, "ayah, ayah kami punya ayah" Yastha semakin mempererat pelukan, "Yes kiddo, aku ayah kalian. Kemarin, hari ini dan selamanya." ketiganya masih mempertahankan posisi mereka hingga suara bel sekolah terdengar, menandakan waktu istirahat mereka berakhir. Adhinka dan Adhitya kini sudah berdiri, namun masih menghadap pada Yastha yang masih duduk di kursi taman, kedua tangan Yastha mengelus puncak kepala mereka dengan sayang. "ayo masuk, kalian kembali ke dalam kelas, Fokus sama pelajaran kalian. oke" "Iya ayah" Jawab kompak mereka dengan nada lesu, tidak hanya si kembar yang merasa waktu berputar sangat cepat. Yastha pun demikian, masih belum rela berjauhan kembali dengan kedua putranya. "Hei, dengarkan ayah" keduanya menatap wajah Yastha, mata bulat bening mereka membuat keduanya begitu menggemaskan. Senyum Yastha terpatri sejak tadi, bahkan dia rela kalau harus meninggalkan pekerjaan hanya untuk menghabiskan waktu bersama keduanya setiap hari seperti ini. "kita akan bertemu lagi besok, kalian mau ayah bawakan apa?" Mata bulat bening keduanya langsung berbinar setiap Yastha bertanya demikian, "adik mau double burger dengan ekstra keju, ayah. Besok belikan yah ayah" pinta si bungsu dengan antusias Yastha mengangguk menyetujui permintaan sang putra, lalu Yastha beralih mengelus wajah gemas putra pertamanya "abang mau apa?" Adhinka menggelengkan kepala dengan ragu "kenapa?" Tanya Yastha kembali. "Apa pun yang ayah bawakan abang pasti senang, asalkan ayah selalu menemui kami setiap hari" ujar Adhinka dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Hati ayah mana yang tidak bergetar, Sedih mendengar permintaan sederhana putranya, bahkan sebenarnya sangat mudah dikabulkan. Hanya saja perjalanan rumah tangga dengan sang istri membuat semua terasa rumit dan sulit, kesalahan yang ada padanya. Yastha mendekap kembali kedua putranya, "Ya. ayah akan kembali setiap hari, kalian bisa sabarkan? doakan ayah semoga berhasil memperbaiki semuanya, agar kita bisa bersama dan bertemu setiap waktu" Yastha merasakan kedua kepala si kembar mengangguk, padahal Yastha yakin keduanya tidak paham arti ucapannya, Yastha tetap tersenyum mengecup kedua puncak kepala putranya. "satu lagi, kalian masih harus janji tidak bicara pada bunda jika kita bertemu disini setiap hari" "Iya ayah kami janji!" kompak mereka menjawab dengan tangan keduanya membuat gerakan mengunci bibir mereka, hal kecil namun sangat menggemaskan bagi Yastha. "Ayo semangat belajarnya!" Yastha mengantar keduanya kembali ke kelas mereka. Yastha masih setia terus menatap punggung kecil mereka bahkan sampai keduanya menghilang ke dalam kelas, rasa tidak rela selalu ada sampai saat ini. Ketika harus mengakhiri pertemuan yang begitu berharga baginya. Yastha menghirup oksigen sedalam-dalamnya, seakan minta pertolongan untuk melegakan sedikit saja rasa sesak yang menjerat saat ini. Satu langkah sudah di mulai, penerimaan kedua putranya akan kehadirannya sudah lebih dari cukup, sebagai tiket untuk melangkah kelangkah selanjutnya. Sabil, sebulan lalu tidak sadarkan diri saat dia menemuinya di Cafe milik istrinya tersebut, saat itu ada rasa ketakutan tersendiri melihat sabil bereaksi seperti itu. Apa sebegitu bencinya sabil padanya atau sebegitu besarkah Yastha menyakiti hati sabil, hingga wanita itu sampai tidak sadarkan diri hanya bertemu dengannya. Beruntung saat itu Yastha langsung membawa sabil kedalam ruangannya, begitu pria yang Yastha tahu berusia delapan tahun di bawahnya, bernama Chandra menegurnya, hampir memukulnya, jika Yastha tidak langsung menjelaskan statusnya yang merupakan suami dari sabil. Chandra yang ternyata sudah tahu kisah hidup sabil, memudahkan Yastha dengan tidak bertanya lebih dalam lagi atau interogasi berlebihan, dia membantu Yastha membawa sabil ke ruang pribadi sabil dilantai tiga, Chandra pun mau menyetujui untuk tidak menceritakan pada sabil yang sesungguhnya. membiarkan sabil berpikir dirinya tertidur di sofa. Untungnya si kembar saat itu tidak melihatnya, karena keduanya sedang makan siang di Cafe bawah dengan kakak Chandra yang Yastha ingat bernama Denada. Denada saat itu juga terkejut saat masuk ke dalam ruang sabil setelah dipanggil Chandra, mereka sudah pernah bertemu tanpa sengaja saat insiden Yastha menyelamatkan Adhitya waktu itu. Yastha sangat tahu ada tatapan marah ditunjukkan Denada saat itu, Yastha kembali bersyukur saat Denada tidak melampiaskan kemarahannya dengan umpatan atau makian langsung. Membiarkan Yastha menyelesaikan masalah rumah tangganya, hanya Denada sedikit memberi ancaman. "Selesaikan masalah rumah tangga kalian. hanya, bukan berarti lo akan semakin sakiti sabil! Jika sampai itu terjadi, Gue akan bawa sabil dan kedua putra lo menjauh untuk selamanya!" Ancamnya dengan nada yang benar-benar serius dan penuh tekanan, Yastha akan segera menemui sabil kembali, dia akan terus bertindak tegas. Sabil istrinya, dia berhak atas kedua putranya. Lima tahun waktu yang tidak sebentar baginya, dia akan meluruskan segalanya dan mendapatkan mereka kembali. *** "Lo kenapa bil?" Tanya Denada begitu melihat sabil yang sedang menatapi beberapa mainan diatas karpet bulu ruang pribadi mereka siang ini. Sudah sejak beberapa menit yang lalu, sabil hanya diam dan Denada tahu wanita itu sedang berkutat dengan pikirannya, Denada sendiri sudah tahu, lambat laun sabil akan curiga perubahan yang terjadi pada si kembar. Bagi Denada cara Yastha yang selalu membelikan mainan baru untuk si kembar merupakan cara bodoh, sebab, sabil tipe wanita yang sangat peka apalagi menyangkut kedua putra dan sekitarnya. Lihatlah sekarang Sabil memandang beberapa mainan putranya yang tampak asing baginya. Kedua putranya akhir-akhir ini jarang menuntut perhatiannya, terbilang lebih ceria dari biasa. lalu ditambah lagi sabil menemukan beberapa mainan entah itu robot, mobil, atau lego keluaran terbaru. Sabil yakin, seyakin-yakinnya. Dia tidak pernah memberi uang jajan berlebih, bahkan didepan sekolahnya tidak ada toko mainan anak-anak, dapat dari mana ini semua? Sabil tersentak kala bahunya disentuh Denada "ah, ya nada kenapa?" Denada mendengus menyadari sejak tadi sabil tidak mendengarkannya, pantas saja sabil hanya diam, "astaga lo tidak dengarkan Gue dari tadi!" "Sorry nad, Gue lagi menyelidiki ini semua" sabil menunjuk mainan kedua putranya "Ada yang salah memangnya bil? Itu mainan normalkan? Lo tidak punya kerjaan sampai meneliti mainan anak-anak lo!" Denada memilih pura-pura tidak tahu, dia sudah berjanji membiarkan Yastha dan sabil menyelesaikan masalah mereka, dia hanya sahabat tidak ada kewenangan menghakimi Yastha, melarang sabil memaafkan pria itu. Denada sangat tahu sabil masih mencintai Yastha begitu dalam itu semua terlihat nyata, jika memang sabil sudah melupakan Yastha sudah sejak melangkah meninggalkan pria itu, sabil pasti sudah mengirim gugatan cerai. Nyatanya sabil mempertahankan pernikahan mereka. "Bukan seperti itu nad, ah sudahlah mungkin Gue memang lupa mereka punya mainan yang ini" sabil tampak menyerah, ketika tidak menemukan ingatan kapan dia membelikan mainan didepanya atau berasal dari siapa, Reza? Oh jelas tidak karena sudah satu bulan pria itu di Jepang. "Ya sudah lah bil, tidak bahayakan mainan itu? Selagi aman buat anak lo kenapa di pusingkan sih" Denada sengaja berbicara seperti itu agar sabil tidak semakin mencurigai dan mencari tahu ini semua. Sabil bangkit dari duduk di lantainya, menghela napasnya gusar, "Ya iya sih" dia mengedikan bahu "gue ke bawah, mau buatkan makanan buat si kembar. Lo mau sekalian gue buatkan?" Sebentar lagi jam tiga sore, artinya ke dua putranya akan bangun dari tidur siang, kebiasaan si kembar akan minta makan. Bukan makanan berat melainkan makanan seperti puding, dessert lainnya. Denada mengangguk "Boleh, lo mau buat apa?" "Gue buat puding buah naga tadi pagi, tinggal buat vla vanila aja"  ucapnya sambil berlalu meninggalkan ruangan. Denada melirik ke arah putra kembar sabil yang keluar dari pintu ruang kamar sederhana, tempat dimana si kembar selalu tidur siang, "Bunda curiga ya, ate?" tanya Adhinka melihat mainannya sudah menumpuk di karpet bulu ruang bundanya, padahal mainan itu dia sembunyikan dikotak mainan mereka sebelum mereka tidur siang tadi, Denada bangkit dan mendekat, menyamakan tingginya dengan membungkuk, "hampir, tapi kalian harus tetap diam yah. Jangan bicara sama bunda dulu, kalau ayah kalian yang kasih itu semua" "kalau bunda tanya bagaimana?" Adhitya yang bicara, sebenarnya mereka sudah bangun sejak tadi. namun memutuskan mengintip, saat mendengar pembicaraan bunda dan tante mereka. "Tidak akan, untuk saat ini bunda masih belum akan bertanya. Tetapi sebaiknya kalian jangan minta belikan mainan sama ayah dulu, sementara. Supaya bunda berhenti curiga" Denada mencoba meyakini keduanya, dan mudah bagi Denada. Sebab putra kembar sahabatnya ini, memiliki kepekaan dan kecerdasan diatas anak seusia mereka. mudah memahami ucapannya, dan benar mereka setuju permintaan Denada dengan mudah seperti biasa. -TBC-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD