As-8

2097 Words
Dokter sudah mengambil sampel darah Adhitya untuk tahu gejala penyakit yang di deritanya, Yastha dan sabil berdoa, semoga ini hanya demam biasa. Adhinka sejak tadi menangis, dia takut melihat jarum suntik, ditambah pemasangan infus. Membuat Adhitya juga menangis dalam dekapan sabil yang juga ikut menangis. Adhinka semakin mempererat pelukan tangan di leher yastha, kepalanya tergeletak dibahu kekar ayahnya yang begitu hangat melindunginya dari dinginnya suhu ruang rawat Adhitya. Yastha meminta ruang kelas VIP untuk perawatan Adhitya, sabil tidak mengelak, dia masih diam dan tidak beranjak dari sisi Adhitya. Mereka masih tidak membuka suara untuk berbicara. "Ayah" suara adhinka memanggilnya "Ya sayang, adhinka mau apa?" Yastha mengusap punggung putranya "Abang mau disini, abang tidak mau pulang. Abang mau sama ayah, mau temani adik" Adhinka kembali merengek. Yastha coba untuk meregangkan pelukan Adhinka, namun sulit karena putranya memeluknya sangat erat. Yastha menghela napas sebelum berbicara dengan adhinka, matanya menatap sabil yang menggenggam erat tangan adhitya dengan tatapan mata yang kosong, yastha yakin banyak pertanyaan di pikiran sabil saat ini. "Baiklah, abang tidak akan pulang. Abang mau menginap disini temani adik sama bunda dan ayah?" Adhinka mengangguk antusias, sangat terasa dagu kecil Adhinka yang membentur bahunya ketika mengangguk "kalau begitu bisa berhenti menangis Boy?" "Iya ayah" Adhinka berhenti menangis "Duduk di sofa sini, samping ayah yah" Yastha membujuk adhinka, anak itu kembali mengangguk, melepaskan pelukannya dan duduk di samping yastha. Tetap dalam posisi yang menempel dengan ayahnya, seakan takut untuk dipisahkan. Yastha mengecup puncak kepala putra sulungnya, adhinka berbaring. menjadikan paha yastha sebagai bantalan, dan kedua kaki kecilnya ikut dinaikkan ke atas sofa. Yastha tersenyum senang, dia mengelus-elus puncak kepala adhinka, berhasil membuat putranya tenang, lalu rasa mengantuk mulai datang. Perlahan kelopak matanya memberat hingga terpejam dan dengkuran halus terdengar. Yastha tersenyum lagi sadar adhinka sudah tertidur, sepertinya putranya lelah menangis. setelah merasa tidur adhinka nyenyak yastha menggeser kepala putranya. "Ini pakai bantal" Yastha terkejut ketika melihat sabil sudah menjulang tinggi, berdiri di sampingnya. Menyerahkan bantal, mengambil dan meletakkan dengan hati-hati bantal tersebut menjadi alas kepala adhinka, sabil ternyata juga menyelimuti adhinka. Sementara Yastha tidak berhenti menatap sabil, wanita itu mengelus puncak kepala adhinka, lalu mengecupnya. Sabil menenggakkan tubuhnya, memutar tumit untuk melangkah kembali ke sisi ranjang adhitya. namun yastha dengan cepat mencekal tangannya. "kita perlu bicara" Yastha bersuara sangat pelan, takut membangunkan kedua putranya. Tanpa menunggu persetujuan sabil, dia menarik lengan sabil, keluar ruang rawat putranya. Mereka berdiri di depan ruang rawat, lorong rumah sakit bagian VIP memang lebih sepi dibanding bagian ruang lainnya. Sabil mencoba menarik lengannya, sulit karena yastha memegangnya sangat erat. sabil mengangkat kepala dan saat itu juga matanya bertatapan langsung dengan mata tajam yastha. "Lepas" desis sabil "Tidak akan!" Ancam yastha dengan serius Sabil diam dan memilih pasrah melihat lengannya masih dicekal yastha Yastha mengikis jarak mereka, tangan yang bebas memegang dagu sabil, agar kembali menatapnya "kenapa kamu datang?" lirih sabil "Kenapa kamu pergi?" Alih-alih menjawab yastha bertanya balik pada sabil. Sabil kembali diam, lidahnya terasa kelu dan otaknya tiba-tiba membeku, sulit untuk mendebat yastha. Pasangan itu masih bertahan, saling meresapi waktu yang enggan berlalu. hanya memberi waktu untuk melepas rindu lewat pancaran mata, saling menatap seperti ini. "Sudah cukup kamu menjauhkanku dari kedua putraku, aku tidak akan lepas kalian lagi dan membiarkanmu membawa mereka pergi. Sudah cukup, lima tahun lebih ini, sabil!" "Kamu yang membuatku pergi!" Keberanian sabil sudah terkumpul, kali ini tatapan matanya berubah menantang "Aku tidak pernah memintamu pergi, apalagi pergi selama ini!" Sabil membuang muka, dia tidak sanggup menatap mata suaminya. Ini terlalu cepat untuknya, berhadapan dengan Yastha. sabil belum siap atau memang tidak akan pernah siap! "Untuk apa kamu mencariku?" "Kamu masih istriku Azura Salsabila, jika kamu ingat!" Sabil menghela napas sedikit kasar, "lalu?" Yastha tertawa, dia tidak percaya akan pertanyaan sabil yang seakan menantang. "lalu, kamu bilang? Ayolah bil, kamu mau sampai kapan lari. menjauh dariku? Dalam agama dan hukum kamu masih sah menjadi istriku" Sabil kali ini tertawa, mulai tidak bisa berpikir logis. mengira dia mencari untuk memperjelas statusnya, lalu meminta cerai, setelah bahagia bersama mantan kekasihnya itu. ah dasar pelakor, apa selalu menang di jaman sekarang ini! Batinnya. "Kalau niat kamu mau ceraikan aku, silakan kirim surat cerainya, aku sudah lama menanti!" Yastha diam , "Itu kan yang kamu mau, kenapa baru menemuiku sekarang?" Rahang yastha mengeras, matanya menatap tajam sabil, seakan bisa menelan sabil hidup-hidup. Sabil meringis saat cekalan tangan yastha semakin erat "bicara apa kamu? Mimpimu terlalu jauh bil, sampai kapan pun aku tidak akan melakukan itu!" Yastha menghela napas untuk mencoba menurunkan emosi, jangan sampai dia gegabah, salah bertindak. "kamu berniat menjauhkan aku dari kedua putraku, bil? Untuk apa? Agar kamu bisa menjalin hubungan dengan pria itu?" Yastha tertawa ringan "ah siapa namanya? Reza! Iya pria yang mencium pipi wanita yang masih berstatus istri orang, seperti inikah kehidupanmu sekarang, sabil?" Sabil membulatkan mata, mendengar tuduhan yastha yang berlebihan. Mereka salah, harusnya selesaikan masalahnya dengan kepala dingin. mengapa sekarang terlihat saling menuduh! "Lepas!" Sabil marah, dia berhasil melepas cekalan Yastha. 'PLAK' Dengan cepat menampar keras pipi Yastha. Pria itu tercengang, pipinya terasa panas dan dia yakin telapak tangan sabil membekas di pipinya. "Kamu keterlaluan! Kamu tidak berubah yast, sebelum berbicara untuk menilaiku sebaiknya kamu bercermin, seperti apa dirimu! Apa salahmu! Kenapa aku selama ini dan sejauh ini membawa kedua putra kita. jauh dari jangkauan kamu! Jika kamu kembali hanya mempersulit hidupku, lebih baik kamu pergi!" Sabil melangkah masuk kembali ke ruang rawat putranya, tidak bisa membendung lagi air mata yang timbul akibat sakit hati yang datang bukan kali ini saja. Yastha tidak berubah, masih sama. Masih menjadi pria arogan dan egois, hanya bisa menumpahkan kesalahan padanya, membenarkan setiap tindakkan dia tanpa mau membicarakannya baik-baik dan selalu berhasil menyulut emosi sabil. Yastha mengusap wajahnya kasar, bodoh! Kenapa dia bertindak seperti ini, dia semakin mempersulit keadaan dan Sabil semakin sulit dia gapai. Sabil menggenggam tangan andhitya "sayang, maafkan bunda belum bisa menerima ayah kalian kembali!" menatap wajah adhitya yang tertidur pulas, tmengelus pipi tembamnya. Perlahan pertahanan yang coba sabil buat, kini runtuh di hadapan putranya. Air mata mengalir membasahi pipi, sabil menggigit bibir bawahnya agar isakkan tidak keluar dari dirinya. Sabil menghela napas lelah, dia membaringkan kepala diatas tangannya yang menggenggam tangan kecil adhitya. Sementara Yastha masih bertahan di depan ruang rawat putranya, dia terduduk dilantai dan sesekali mengusap wajahnya kasar. Kembali kehilangan kepercayaan dirinya, entah mengapa dia tidak yakin sabil masih memiliki cinta untuknya. Setelah apa yang terjadi. Yastha tersentak saat ada tepukkan dibahu, dia mendongkak dan melihat Denada, sahabat dari sabil berdiri didepanya. "Bagaimana kabar adhitya?" Yastha melirik pintu rawat putranya, "masuklah, demam sudah mulai turun saat cairan infus mulai masuk ke tubuhnya. Adhitya tidur, mungkin reaksi obat yang dia konsumsi, sabil ada di dalam" terangnya "Ko lo disini?" Yastha menghela napasnya lagi "gue habis bertengkar dengan sabil" Denada melotot mendengar apa yang dikatakan yastha "Kami terlalu takut dengan kondisi adhitya seperti ini, seharusnya gue gak buka obrolan tentang kita. Jadi bukan memperbaiki keadaan, malah membuat rumit semuanya" Denada mengangkat bahunya sekilas, "Lo harus berjuang yast, apa yang lo tinggalkan itu membekas dihati sabil. Yah gue tidak tahu sih apa yang sebenarnya terjadi. tapi kalau lo merasa benar, lo akan melakukan apa pun untuk membuktikan bahwa diri lo tidak salah" denada kembali menepuk bahu yastha "gue masuk yah, gue bakal coba bicara sama sabil" Yastha tersenyum tipis, merasa beruntung. Sabil dan dua putranya selama ini dekat dengan wanita sebaik denada "thank nad" Denada mengangguk sebelum melangkah masuk ke dalam ruang rawat adhitya. Denada yakin tubuh sabil bergetar. Tanda wanita itu sedang menangis, denada mengelus punggung sabil hingga sabil terkejut dan langsung menoleh. Denada yakin sabil mengira dia adalah yastha, sebab lihatlah dari ekspresi sabil yang mengeras. Siap marah, perlahan garis wajahnya mengendur. terlihat lega saat yang dia lihat adalah denada. "Jangan buat anak lo makin sakit bil, kalau memang mau menangis bisa dikamar mandi atau di luar!" Sabil bangkit dan memeluk tubuh denada "gue benci pria itu nad!" Denada mengelus punggung sabil,  naik turun "benar-benar cinta kan maksud lo bil" canda denada, yang mendapat pukulan di punggungnya dari sabil, denada terkekeh "pantas kedua ponakan gue tampan gitu bil, bokapnya begitu bentuknya" ujarnya lagi "Makanya dia playboy nad, saingan gue banyak. Pelakor silih berganti datang mencari celah, dari mulai orang baru sampai mantan cinta pertamanya" sabil mengeram, dia benci kenyataan itu. "Gue juga kalau lihat pria kayak laki lo gitu, pasti siap berubah jadi pelakor bil" denada terkekeh kembali Sabil mundur, sahabatnya selalu bisa buat hatinya kembali hangat. denada menghiburnya, walau kadang sabil kesal. Saat dia sedang serius, denada masih tetap melontarkan candanya, Selalu punya cara menghadapi hidup lebih santai dan sabil iri akan cara denada menjalani hidupnya, walau di usianya, dia masih sendiri dan belum memiliki kekasih. "Kalian harus bicara bil" "Sudah tadi" denada menggeleng "Bukan dengan emosi, tadi itu kalian hanya sampaikan rindu. Lokasinya saja yang tidak mendukung, gue yakin kalau kalian ada dikamar, Hm mungkin berakhir bukan dengan berdebat suara tapi--aww, gila kenapa gue dicubit!" Sabil menghentikan pembicaraan denada yang mulai melantur, dengan mencubit lengannya. "Jangan mengarang! Gue mana mau dia sentuh!" "Yakin? Kalian masih suami istri lho bil, tidak salah ko kalau kalian mau buat adik buat si kembar" Sabil berdecak kesal, dengar kalimat denada yang mulai melantur lagi. "Lo sama siapa kesini?" Memilih alihkan pembicaraan mereka. "Sendiri, oh iya Reza tadi ke Cafe nyariin lo. Gue bilang adhitya masuk rumah sakit, gue gak tahu Yastha ada disini, jadi gue kasih tahu dimana adhitya dirawat. Sori gue tidak tahu, kalau tahu gue pasti bakal rahasiain daripada terjadi perang dunia" "Ya sudah mau bagaimana, biarkan saja yastha tahu gue dekat sama reza!" "Lo mau balas dendam sama laki lo? Astaga, jangan konyol dan gegabah bil, lo bakal ribet kalau menghadapi dua pria yang saling merebutkan" kata denada, dengan suara naik dua oktaf. Sabil mendelik "nad suara lo! Anak gue entar pada bangun" dan benar saja tangis kencang berasal dari atas ranjang. Sabil mendekat dan adhitya sudah berurai air mata "ayah" Sabil tercekat lagi-lagi yang dipanggil putranya yastha bukan dia "sayang, kenapa menangis hmm?" Adhitya menggeleng cepat, menolak  "sayang" sabil terkejut atas reaksi penolakan adhitya, hatinya tercubit. "Ayah! Adik mau ayah, bukan bunda!" adhitya berteriak keras, bergerak gusar hingga merintih kesakitan "sakit bunda, sakit!" sabil melihat kasa pada infusan aditya memerah, sabil menekan tombol di atas nakas dekat ranjang. Denada berlari keluar dengan cepat,  Yastha muncul dengan langkah lebar. adhitya melepaskan pelukannya pada sabil, beralih mendekap tubuh Yastha dengan erat "Ayah" lirihnya Yastha mengelus punggung adhitya, "Iya ayah disini, berhenti menangis sayang. Lihat jarum infusnya melukai tanganmu" Adhitya menenggelamkan kepala di d**a bidang yastha, sabil hanya bisa berdiri mematung. Putranya memilih ayahnya dibandingkan dia. Suster sudah datang, memperbaiki infusan adhitya. Seperti awal adhitya menangis kesakitan merasakan infusan itu. Yastha coba menenangkan putranya dan berhasil, adhitya kembali tenang. kini telah berbaring dengan yastha yang mendekapnya. Sabil mundur beberapa langkah, dia menjatuhkan tubuhnya di sofa. Putra sulungnya ikut terbangun, "Abang" panggil sabil pada putra sulungnya, menatap lurus yastha dan adhitya Adhinka menoleh "Bunda" adhinka merengek, sabil mendekap tubuh putranya "sssttt, bunda disini!" "Adik kenapa bunda?" "Tidak apa sayang, adik cuman mau sama ayah saja" Kepala Adhinka mendongkak, mata bulat bening adhinka yang sudah berkaca-kaca menatapnya, sabil mendekat mengecup pipi bulatnya. "Abang juga mau sama ayah!" Sabil menegang, ternyata putra sulungnya juga menginginkan ayahnya. Sabil menoleh, denada duduk di sampingnya, mengerakkan bibirnya berbicara tanpa suara "it's oke bil, mereka hanya meluapkan rindu pada ayah mereka" Tapi itu tak cukup menguatkan dia. hatinya masih terasa gelisah. Adhinka melepaskan pelukan pada tubuhnya, turun dari sofa dan berlari menuju Yastha yang melangkah Ke arah mereka. Ternyata adhitya sudah kembali tidur. Semudah itu yastha menenangkan putranya? batin sabil tidak terima. Ada rasa cemburu dihatinya. Yastha dengan mudah mengangkat tubuh adhinka, mengeratkan tangan di leher ayahnya. Sabil bangkit dari posisinya, dia melangkah dengan cepat keluar ruangan tersebut. Yastha melihat mata wanitanya sudah memerah, menahan air mata. "Nad, biar gue saja!" Yastha mencegah denada yang hendak menyusul sabil Denada mengangguk dan mendekat "abang sama ate dulu yah, sayang" Adhinka menggeleng cepat, mata bulatnya sudah siap kembali menangis. Yastha menghela napas, senyum hangatnya muncul "ayah mau bicara sama bunda, sebentar. Ayah janji akan kembali kesini" Adhinka diam, matanya menatap yastha beberapa detik "Janji yah ayah akan kembali" pintanya Yastha mengangguk, mengecup puncak kepala putra sulungnya."ayah gak akan pernah pergi dari kalian" Adhinka berbuat manis, dia balik mengecup balik pipi yastha sebelum merentangkan tangan pada denada. Sabil terus melangkah cepat, langkah kaki membawa sabil ke taman rumah sakit yang ada di belakang. Sabil menghempaskan b****g di bangku kayu putih taman tersebut. dua tangan menutup wajahnya. Tak bisa menahan air mata lagi, beberapa menit dilalui, dia menangis sendiri. Hingga, Seseorang yang menarik tubuhnya dalam pelukannya. -TBC-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD