"kehilanganmu mengajarkanku untuk lebih menghargai kehadiran seseorang dalam hidupku" -Yastha
***
Yastha memandang sebuah kertas laporan dari Juna, yang memberi semua informasi tentang istrinya, sabil. bukan hanya itu yang membuat Yastha diam membisu, adalah begitu dia melihat foto dua anak laki-laki. Wajah mereka masih sangat melekat di ingatannya, tepatnya tertuju pada kejadian minggu lalu saat dia bertemu dua anak kembar.
Apa ini rencana Tuhan? Dia bahkan tanpa sadar sudah bertemu keduanya, sebelum sahabatnya memberi lembaran kertas itu. Yastha memijat pelipisnya yang begitu pening, dia bahagia akhirnya tahu bagian dirinya selama ini hidup sehat dan baik-baik saja.
"Jadi kenapa lo masih diam saja Yast? Ya Tuhan, bergeraklah! Ambil langkah, jangan buat gue berpikir tindakkan gue ini sia-sia dengan memberi lo informasi itu!" Juna menunjuk lembaran kertas yang tergeletak diatas meja kerja Yastha.
Yastha mengusap wajahnya kasar "gue takut Juna" ucapnya jujur, Pria itu terlihat tak berdaya. Apa yang harus dia lakukan?
Hening beberapa detik tercipta,
Namun setelah itu tawa Juna meledak mengisi ruang tersebut "Banci huh?"
Yastha menatap Juna tajam "jangan sembarangan Juna! lo pasti gak akan mengerti akan apa yang Gue rasa saat ini"
"Lalu apa? sesulit apa Yast? Lo hanya perlu berjalan dengan kedua kaki lo itu buat bertemu mereka, mengakui kesalahan lo dan minta maaf, lalu jelaskan semuanya"
Yastha mendengus kasar "mudah memang jika hanya bicara!"
"Mudah juga bila lo lakukan, jangan terlalu banyak berpikir!" Ada jeda di kalimatnya, lalu dia merogoh saku celananya. Mungkin niatnya tidak memberi informasi terakhir ini adalah kesalahan, tidak ada cara lain. Pikirnya. Juna melempar beberapa lembar foto, "silakan terus berpikir sepanjang hidup lo, jika memang lo siap kehilangan dia buat selamanya!"
Yastha menarik lembaran foto tersebut, seketika rahangnya mengeras "dia pria yang sama!" ingatannya memutar ke minggu lalu, saat melihat istrinya dijemput pria yang sama dengan foto yang diberi Juna "siapa dia?" Yastha menatap Juna tajam meminta penjelasan, kedua tangannya mengepal diatas meja
"Reza Ardiansyah, anak pengusaha ternama di Bandung. Apa perlu gue beritahu bagaimana cara dia terus mencari cara mendekati istri lo?" Juna tidak gentar sama sekali oleh tatapan tajam Yastha yang penuh peringatan, dia tetap santai memancing amarah sahabatnya.
"Sialan! tidak perlu lo perjelas!" maki Yastha, jelas sebagai seorang pria dia sangat tahu tatapan mata Reza yang dipancarkan saat memandang sabil begitu mendamba, penuh daya tarik dan lebih mengisyaratkan bahwa pria itu menyukai sabil.
Apa yang dilakukan sabil dengan membiarkan pria itu mengecup pipinya, saat melihat itu membuatnya semakin geram, bagaimana bisa istrinya juga beri harapan seperti itu. Memberi tangan terbuka, menyambut tanpa menolak kontak fisik yang jelas-jelas membuat Yastha marah dan kecewa. Demi Tuhan, sabil masih berstatus istrinya. Pria mana yang tidak geram melihat istrinya seintim itu dengan pria lain.
"Lo sudah tahu?" Juna berpura-pura polos, masih terus menguji kesabaran sahabatnya.
"Ya" Jawab Yastha dengan dingin
Juna kembali tertawa "haruskah Gue senang atau sedih?"
Yastha mengerutkan keningnya "Kenapa lo bertanya begitu?"
"Tidak, hanya sedikit bangga sama istri lo itu. Lihat setelah dia berhasil menaklukkan Playboy seperti lo, karena ditinggal Nabila. Sekarang setelah meninggalkan lo, pesona sabil berhasil menarik seorang Reza Ardiansyah, bahkan kalian memiliki latar belakang anak pengusaha kaya dan terkenal di Indonesia, dan yang berhasil membuat gue sedih adalah melihat lo kena karma"
"Karma, kata lo?"
"Ya karma, lihat dulu lo sakiti dia dan berakhir dengan penderitaan yang lo buat sendiri. Sekarang istri lo baik-baik saja, bahkan berbanding terbalik dengan kondisi beberapa tahun belakangan ini dengan lo, dan satu lagi Yast, kedua putra lo cukup dekat dengan pria itu bahkan memanggil mereka ayah" Juna tersenyum tipis melihat raut wajah Yastha yang semakin merah dan mengeras, ucapan terakhirnya adalah bohong.
"Sorry Yast, gue berbohong demi kebaikan. Agar lo segera perbaiki ini dan ambil tindakkan" batin Juna
Dan, berhasil
Yastha mengambil kunci mobil dan ponselnya kasar, berdiri, melangkah melewati Juna yang sudah menahan tawanya
"Hei bro mau ke mana?"
"Melakukan sesuatu yang seharusnya"
"SEMOGA BERHASIL dan gak mendapatkan tamparan dari istri lo" Juna memelankan suaranya saat mengucapkan kalimat terakhir, bisa bahaya jika Yastha mendengar kalimat akhirnya dalam emosi seperti itu.
***
"Kak ada yang mencari, kakak" Chandra masuk ke ruangan sabil yang berada dilantai teratas Cafe.
"Siapa?" Sabil mendongkak menatap Chandra, "tunggu disini ya, sayang. kalian jangan bertengkar" sabil mengelus kepala kedua putranya
"Yes bunda" hanya Adhinka yang menjawab, sementara adiknya fokus menggerakkan mainan mobil barunya yang minggu lalu dibelikan Reza.
Sabil melangkah beriringan dengan Chandra,
"dia menunggu diruang VIP paling sudut Ka"
Chandra memberitahu keberadaan tamu sabil yang memilih menunggu di ruang khusus, memang tersedia di Cafe ini. Tempat lebih privasi untuk segelintiran pengunjung khusus yang memilih Cafenya sebagai tempat berdiskusi atau meeting.
Sabil mengangguk pada Chandra "terima kasih"
"Aku balik ke depan Ka"
Chandra pamit untuk mengontrol Cafe yang sedang ramai pengunjung,
Detak jantung sabil entah mengapa berdebar lebih kencang, hatinya gelisah terlihat dari kedua tangan yang saling mengerat. Walau ragu sabil tetap menggerakkan tangan mendorong pintu kaca tersebut, dia melihat punggung seorang pria yang membelakanginya.
Postur tubuh yang membuat jantungnya semakin berirama tak bersahabat, oksigen di sekitarnya entah ke mana karena perlahan menipis bahkan pendingin ruangan ini tak terasa dikulitnya.
Lima tahun dia memang tak melihat-nya, namun sabil hafal betul aroma maskulin pria tersebut. Sabil segera berbalik hendak keluar, ini tak bisa terjadi. Dia tak akan siap bertemu dengan pria itu, tak akan pernah siap sampai kapan pun.
Tangan yang memegang pintu kaca itu terhenti kala sepasang tangan melingkari perutnya "kamu tidak bisa lari lagi dari suamimu"
pria tersebut ternyata Yastha, suami sabil.
Sabil diam di tempat, Yastha bisa merasakan sabil terkejut dengan kehadirannya. Itu terasa dari tubuhnya yang menegang, "sudah puas kamu lari dariku selama ini?"
Diam. sabil masih tetap memilih bungkam, dengan perlahan Yastha memindahkan kedua tangan untuk memegang bahu sabil, diputarnya tubuh itu hingga menghadapnya, namun sabil masih menundukkan wajahnya, bahkan menutup matanya. Tangan Yastha kemudian memegang dagu sabil hingga mendongkak, sehingga dia bisa melihat jelas wajah sabil yang sudah pucat.
Cantik
Satu kata yang menggambarkan tentang wajah sabil yang sudah lima tahun tidak dilihat apalagi disentuh, perlahan sepuluh jarinya bergerak abstrak dari kening hingga dagunya, terus menerus, menelusuri setiap inci wajah cantik sabil.
Sabil masih diam, menutup matanya, Yastha tahu istrinya ini masih mencoba menggelak. Sementara sabil di dalam hatinya sudah melantunkan segala macam doa, berharap ketika dia membuka mata, ini semua hanya mimpi.
Kedua tangan sabil meremas ujung kain kemejanya, tubuhnya bergetar perlahan air matanya luruh. Yastha melihat itu, air mata berharga yang mengalir dari sudut mata indah yang masih bergeming untuk menutupi keindahannya. "Kamu mimpi, kamu tidak nyata" satu kalimat yang pertama kali lolos dari bibir penuh sang istri yang begitu dia rindukan.
Yastha mendekat, mengecup kedua mata sabil yang masih betah terpejam. Tidak singkat, Yastha memberikan kecupan yang lama hingga beberapa detik. Kemudian bibirnya mengecup hidung bangir sabil sebelum melabuh ditempat yang paling dia rindukan, bibir sabil.
Mengecup sebelum melumatnya dengan perasaan yang sarat akan kerinduan terdalam. Tanpa sabil sadari, tubuhnya juga merindukan kehangatan ini dan mengikutinya untuk membalas.
Mereka lupa akan masa lalu yang sudah mereka alami, larut dalam kerinduan itu menciptakan ciuman yang saling menuntut hingga napas keduanya hampir habis. Yastha dengan tidak rela harus melepaskan ciuman mereka, namun hingga kejadian itu mata sabil masih terpejam dan tak berniat untuk membukanya.
Kedua ibu jari Yastha perlahan naik untuk mengusap kelopak mata indah itu, "Hai, bukalah kamu tidak sedang bermimpi. Aku disini, maafkan aku"
***
"BUNDA ABANG JAHAT!"
Sabil tersentak mendengar jeritan tangis putra bungsunya, kepalanya tiba-tiba terasa berat. Rupanya dia ketiduran di sofa ruang kerja pribadinya, tunggu apa yang terjadi sebelumnya? Semua hanya mimpi? Mengapa terlihat seperti nyata, tanpa sadar ibu jarinya mengusap permukaan bibirnya.
"Bundaaa..." Adhitya naik begitu saja ke atas sofa lalu duduk di pangkuannya, kedua tangan kecil itu melingkar ke lehernya. Putranya menangis, pasti bertengkar dengan abangnya.
"abang, jahat! abang pukul adik!" adunya
Lalu pria kecil yang memiliki wajah sama dengannya tidak lama muncul dengan wajah sembab tidak jauh beda dengan adiknya "adik duluan bunda yang mulai! menghilangkan robot om Reza" adunya
Sabil menghela napas, menggeser sedikit tubuh Adhitya, menyisakan tempat untuk sang kakak "sini abang" tangannya terayun memanggil Adhinka
Adhinka perlahan mendekat, masih terisak kecil tidak separah adiknya "Jadi siapa yang mau menjelaskan ke bunda?"
"Abang"
"Adik"
Teriak keduanya bersamaan, belum mampu sabil mencerna apa arti mimpi siang bolongnya. Lebih baik dia selesaikan masalah sepele antara adik kakak ini, sebelum memikirkan mimpi yang terdapat muka mereka dalam versi dewasa. Ya, ayah mereka, yang Sabil mimpikan siang ini.
"Baiklah satu per satu kalau seperti ini"
Sabil memang mengajarkan sejak dini, jika ada masalah mereka harus mendengarkan dari dua sisi, jangan hanya satu sisi lalu mulai mengambil garis tengah hingga dengan begitu mudah untuk dipecahkan. Jika hanya dengar dari satu sisi, sudah pasti akan berat sebelah, memihak pada yang benar dalam satu sisi cerita dan kemungkinan tidak akan mampu memecahkan masalah.
"Abang mulai terlebih dahulu" putus sabil
Bibir mungil milik Adhitya menekuk "selalu abang" protesnya
Sabil mengalihkan pandangan pada Adhitya "adik, tahu peraturan bunda"
Satu lagi, sabil selalu mengurutkan harus mendengarkan yang lebih tua dulu. Walau ada dalam beberapa situasi, sabil juga mengajarkan kepada Adhinka harus mengalah pada adiknya terlebih dahulu misalnya, jika sedang mandi bersama. sabil memilih memandikan Adhitya terlebih dahulu baru abangnya. Entah orang tua di luaran sana mendidik putra-putri mereka dengan cara yang sama atau memiliki pandangan lain, namun sabil hanya berupaya dan mengikuti apa yang menurutnya benar dan dasar, memang mereka akan di didik dan mendapat pelajaran disekolah. Tetap saja pendidikan dasar seperti sikap dan moral tidak didapatkan dari sekolah melainkan dari orang rumah.
Adhitya menunduk takut "maaf bunda"
Sabil mengelus puncak kepalanya, diangkatnya dagu pria kecilnya itu,
"Sekarang kita dengarkan abang setelah itu baru adik cerita, oke sayang" adhitya mengangguk tanda mengerti
Lalu sabil mengalihkan pandangan pada putra sulungnya "ayo abang, bagaimana kejadiannya"
Kelebihan dari Adhinka jika sedang berbicara dengan siapa pun, dia berani memandang pada mata lawan bicaranya, dengan fokus seperti saat ini. mata kecil itu yang serupa dengan pria ber-DNA sama dengannya sedang menatap sabil,
"bunda ingat bulan lalu om Reza belikan kami mainan robot yang bisa jadi mobil?"
Sabil mengangguk dia ingat itu, Reza tak pernah absen membelikan mainan jenis apa pun walau sabil sudah sering sekali mengingatkan untuk tidak seperti itu, sebab secara tidak langsung memanjakan kedua putranya.
"Nah punya adik sudah rusak, dia bongkar tapi tidak bisa pasang, lalu adik pinjam punya abang. Abang pinjamkan, kan kata bunda abang harus selalu berbagi sama Adhitya" lalu mata bening itu perlahan terlihat berkaca-kaca "pas abang tadi mau main, abang tanya adik simpan dimana tap--"
ucapannya disela oleh Adhitya yang langsung mengelak "adik lupa bunda"
Adhinka lalu menatap adiknya sengit "tuh kan bunda, dia selalu begitu!"
Sabil, menghela napas melihat kelakuan si bungsu yang selalu teledor jika habis memakai sesuatu, tidak langsung dikembalikan pada tempatnya, selalu lempar sana sini.
Sabil, menangkup wajah Adhitya "bunda sudah bilang apa sama kamu sayang kalau habis main? mainan bentuk apa pun harus..."
bola matanya bergerak-gerak tidak berniat membalas tatapan bundanya "disimpan kembali ke tempatnya" jawabnya dengan suara sangat pelan
"Itu pintar, tapi bunda kecewa sama adik"
Ibu jari sabil bergerak mengelus pipi Bulat putranya yang di kembungkan "adik gak menuruti perjanjian kita, jika seperti ini maka bunda"
Mata bulat bening Adhitya semakin membulat, wajahnya menggeleng kuat "Tidaakk.. bunda jangan stop beli mainan buat adik" ucap Adhitya memohon
Sedangkan Adhinka cekikikan melihat hukuman yang diberikan bundanya pada sang adik "rasain habis kamu selalu menghilangkan punya abang!" sabil mengalihkan tatapan peringatan pada Adhinka
"Abang tidak boleh bicara seperti itu, kalian sama-sama salah!"
Kini Adhinka melipat tangannya di perutnya, memajukan bibirnya.
"kenapa abang jadi ikutan salah?" Sabil tersenyum lebar, dia mengecup kening Adhitya terlebih dahulu sebelum menurunkan putranya ke sebelah kanannya, lalu berganti mengangkat tubuh Adhinka untuk menggantikan posisinya
"Hei lihat bunda, jika melihat orang lain terutama saudara atau teman kamu salah jangan di tertawakan. Oke, kamu tahu itu perbuatan yang--" sabil sengaja memenggal kalimatnya, lalu bibir mungil Adhinka yang menjawab “--tidak disayang Tuhan" ujarnya
Senyumnya melebar, mengecup kening putranya sekilas.
"jadi apa yang harus dilakukan sekarang?" matanya menyipit melirik putra kembarnya bergantian.
Perlahan Adhitya mendekat ke arah Adhinka untuk memeluk abangnya "maafkan adik lagi Ya bang, adik masih terus-terus rusak atau hilang-kan punya abang"
Adhinka balas memeluk adiknya, dia mengangguk "abang maafkan, tapi adik jangan ulangi lagi"
"Uuuh, pria-pria bunda udah gede" dengan gemas lalu sabil membawa keduanya dalam pelukannya dan mendapat kecupan dari si kembar di setiap sisi pipinya.
Sepasang mata menyaksikan adegan ini, dia tersenyum kecut atas apa yang dia alami.
melihat namun tak bisa disentuh,
Belum saatnya, pikirnya lalu berbalik arah dengan hati yang kalut penuh penyesalan.
TBC.