As-9

2495 Words
Sabil terus memukul d**a yastha yang tidak melawannya setelah memeluknya tadi, meluapkan kekesalannya, "kamu jahat! Jangan ambil kedua putraku!" Sabil berteriak Pukulan sabil tidak terasa baginya, ini tidak seberapa dibanding yang sudah di rasakan sabil bertahun-tahun, hamil, melahirkan dan membesarkan kedua putra mereka sendirian. Tanpa dia disisinya walau bukan maunya, sabil yang memilih pergi dan hilang. "Putra kita sayang, adhinka dan adhitya putra kita!" Meluruskan kalimat sabil yang ganjil Pukulan sabil melemah, yastha kembali membawa tubuh istrinya dalam dekapan. Perlahan sabil menenggelamkan wajah didadanya, dua tangannya melingkar pada tubuh yastha. Membalas pelukan pria itu sama eratnya, sabil sadar dia hanya menguras emosi. bersikap kekanakan seperti itu. "Kenapa kamu datang, kamu mau buat aku hancur?" Katanya dengan suara yang begitu lirih Yastha menghembuskan napas lagi, melihat sabil seperti ini, sangat melukai hatinya. memilih diam, membiarkan sabil mengeluarkan setiap kata makian padanya. Taman rumah sakit ini untungnya sedang sepi, mereka terhindar dari objek pandangan mata, yang mau tahu urusan orang lain. "Jangan ambil mereka Yast, aku terima jika kamu sakiti aku, tapi kumohon jangan ambil kedua putraku. Aku tidak akan bisa hidup tanpa mereka!" Yastha semakin mengeratkan dekapannya, wajahnya menempel pada puncak kepala sabil, menghirup aroma rambut sabil yang begitu di rindukan. "aku tidak akan memisahkan kamu dengan dua putra kita, aku kembali untuk kalian. Biarkan aku dapat kesempatan kedua, untuk menjadi suami dan Ayah yang benar" Sabil menggeleng, entah untuk apa. Dia mendorong Yastha hingga pelukan mereka terlepas, menatap yastha penuh kebencian "kembalilah pada cinta pertamamu itu!"  Sabil dengan cepat berdiri, lalu berlari meninggalkan Yastha yang telat mencegahnya "Sabil!" Mengeram lalu tangannya mengusap wajahnya kasar Yastha mengejar sabil lagi, dia tahu sabil pasti kembali ke ruang rawat putranya, membuka dengan cepat pintu putih tersebut. Namun rahang yastha mengeras seketika, melihat sabil berada dalam dekapan pria yang terlihat sekali suka pada sabil. *** Reza sudah ada dalam ruangan saat sabil kembali, sabil tidak melihat Denada dan adhinka, hanya ada adhitya yang masih terlelap. Reza duduk di samping ranjang dengan mengelus puncak kepala adhitya. Reza menoleh cepat saat dengar pintu dibuka, berdiri untuk menghampiri sabil. "Hei, sori ak--" kalimatnya terpotong begitu melihat wajah sabil sembab, berurai air mata. Sabil mendekat dengan cepat dan memeluk reza, tentu reza balas memeluk wanita yang dia cintai itu. Tangannya mengelus punggung sabil yang bergetar "Adhitya pasti cepat sembuh bil, adhitya putramu yang tangguh dan kuat. Pasti akan cepat sembuh!" Reza mengira sabil menghawatirkan putranya, itu lah yang mengakibatkan keadaan sabil seperti ini. Sabil merasa memiliki seorang kakak saat reza selalu dekat dengannya. Reza adalah pria yang bersikap hangat, dewasa. Terkadang reza yang selalu membuat sabil bisa berpikir positif dalam hadapi segala masalah yang datang menghadangnya. Mau dalam hal kerjaan atau pun anak-anaknya. Reza juga begitu baik padanya dan begitu perhatian pada kedua putranya. Tidak ada perasaan lebih, hatinya masih sama, terikat kuat pada Yastha. Sabil menggeleng "dia kembali za, dia mau ambil kedua putraku!" Adunya. Reza tidak paham maksud sabil, seseorang datang menariknya, hingga pelukan mereka dipaksa terlepas. Yastha menarik lengan sabil kasar hingga pelukan yang membuatnya muak itu terlepas. Sabil meringis "lepas yast kamu menyakitiku!" Yastha tidak menghiraukan, mata tajamnya setia menatap reza yang juga menatapnya, menantang. Reza siap menarik sabil, namun yastha membawa tubuh sabil ke belakang tubuhnya "Lepaskan sabil, siapa Anda? Anda menyakitinya!" Yastha tak menjawab, melirik putra dia yang berbaring di atas ranjang, dan bersyukur adhitya masih tidur begitu pun putra lainnya, tidak ada di ruangan. "Kalau kalian mau berbuat m***m jangan di ruangan yang sama dengan putraku!" Reza tercengang, dia diam mencoba mencerna apa yang diucapkan pria yang baru pertama dilihat. Adhitya adalah putranya. Belum sempat reza mendebat, Yastha menarik sabil mengikuti langkahnya keluar. Sabil meronta dan mendesis kesakitan, sudah pasti tangannya memerah dan akan membekas, hari ini yastha mencekal dengan kuat di pergelangan tangan yang sama lebih dari satu kali. Sabil tidak percaya yastha melepas cekalannya dengan kasar, hingga hampir terjengkal ke belakang jika reza tidak sigap menangkapnya. Sejak kapan yastha juga berubah kasar seperti ini padanya! Yastha memang selalu bersikap egois, dan tidak ada, hari tanpa membuat mereka berdebat. Saat yastha mulai berubah waktu itu, membuat sabil menyerah, dan pergi. Yastha tidak pernah sedikit pun berbuat kasar dan melukainya secara fisik. Reza mengeram marah, dia siap menghantam yastha namun sabil segera mencegahnya, "pleas za, jangan! Aku baik-baik saja" Sabil mencoba meyakini, reza menghela napas kasar dan tangannya terulur mengangkat lengan sabil. Melihat Pergelangan tangan sabil merah "kamu terluka bil!" Sabil menarik sudut bibirnya, tersenyum tipis "tidak apa za, hanya merah nanti juga hilang" Yastha bersedekap, menyaksikan adegan romantis istrinya dengan pria lain, tawanya keluar membuat sabil dan reza kembali memandangnya. "aku tidak percaya ini, astaga!" Yastha berbalik, berhenti lagi di langkah kedua, kembali menghadap mereka, "Silahkan lanjutkan. tapi sabil, kamu akan menyesal telah membuat aku berpikir ulang, atas apa yang akan kulakukan! Jangan bawa pria itu masuk, bahkan menyentuh putra-putraku!" Sabil akan menjawab, tapi diurungkan, melihat denada datang menggandeng tangan kecil putranya. Denada merasakan aura tak enak, apalagi melihat wajah yastha mengeras. lalu Reza yang di samping sabil juga diam, dengan tatapan mata sama tajamnya. wajah sabil sudah sembab, terlihat habis menangis dan ketakutan. Sabil menjauhi reza, siap untuk mengambil putranya. namun kalah cepat oleh yastha yang langsung mengangkat adhinka dengan mudah "Ayah, aku makan ayam goreng sama ate denada!" Celoteh sang putra melapor pada ayahnya, baru saja makan siang dengan denada di resto siap saji yang ada didepan rumah sakit. Tangan mungil adhinka mengelus rahang yastha, itu berhasil membuat otot-otot yastha yang mengeras menjadi kembali normal. Yastha tersenyum dan mengecup pipi putranya. "anak ayah pintar, abang makan banyak?" Adhinka mengangguk cepat "Ya" lalu wajahnya perlahan murung "adik suka ayam goreng krispy itu ayah, tapi adik belum boleh makan ayam goreng kata ate" Yastha kembali mengecup putranya "nanti kalau adik sudah sembuh kita makan bersama" Mata adhinka kembali berbinar "Janji ya, ayah?" Yastha tersenyum "Iya ayah janji" Sementara sabil diam mematung, tidak bisa berkutik, Denada segera menggenggam tangan sabil, memberi kekuatan. Reza masih diam di tempat tidak beranjak, memperhatikan interaksi adhinka dengan yastha. Reza kini tau, pria itu adalah ayah kandung si kembar. Tapi kenapa yastha tadi berujar sabil adalah istrinya, "Apa selama ini, sabil masih berstatus istri dari pria itu?" Tanya batinnya Sabil mengumpulkan keberanian untuk mendekat dan mengambil putranya, namun langkahnya terhenti saat yastha menatap dengan tajam, penuh peringatan. Tanpa memberi sabil kesempatan, yastha membawa putranya masuk kembali ke ruang rawat adhitya. Dengkul sabil terasa sangat lemas, energinya terkuras habis. Katakan sabil cengeng dan lemah, karena saat ini air mata tak habis-habis kembali keluar, sabil terduduk dilantai. Denada mendekat, menenangkan sabil "Yastha salah paham nad, dia marah!" Tangannya naik turun dipunggung sabil "tunggu yastha lebih tenang bil, nanti lo bisa jelaskan" Denaea menatap sendu, memandang reza. Pria itu berdiri, bersandar pada tembok, menatap kearah mereka. Yastha marah melihat kenyataan sabil begitu dekat dengan pria lain. Tanpa peduli perasaannya, memilih pria itu dibanding menyelesaikan masalah mereka. Yastha semakin yakin sabil sudah tidak mencintainya, keadaan semakin rumit. Dua manusia dewasa itu, belum bertemu titik temu dalam masalah mereka, malah menambah melibatkan orang lain lagi dalam masalah keduanya. Setelah merasa tenang sabil terlebih dahulu mengajak reza berbicara, mereka kini berada di kantin rumah sakit. Denada ijin kembali ke cafe dan nanti malam akan kembali. Reza diam, tatapannya sejak tadi hanya memandang gelas kopi yang mengepul di hadapannya. Kedua tangan sabil juga saling meremas,  "Jadi, ada yang mau kamu jelaskan bil?" Reza membuka obrolan mereka Sabil mengangkat wajahnya, hingga matanya menatap reza yang kini juga telah menatapnya. "sori za, pria tadi Yastha. Ayah kandung kedua putraku" Reza mengangguk, dia sudah tahu itu dari apa yang disaksikan tadi. Ikatan kuat yastha dengan adhinka, sudah menggambarkan jelas hubungan mereka, tanpa perlu reza melihat hasil tes DNA sekali pun "dan kamu masih berstatus istrinya, sabil?" Sabil mengangguk dan mengalirkan cerita masa lalunya hingga sampai saat ini, "kamu tidak pernah cerita statusmu itu bil! Astaga!" Komentar pertama reza, bagai ada balok besar menghantam kepalanya. Mengetahui fakta, wanita di hadapnya yang sudah tiga tahun belakangan di sukainya. "Kamu tidak pernah tanya itu, aku pikir itu tidak penting!" Balasan sabil, semakin membuat reza tercengang "Tidak penting menurut kamu, sabil! Jika kamu beritahu siapa dirimu, aku akan cegah perasaan ini!" Sabil mengerutkan kening, mencoba mencari tahu apa maksud kalimat reza. "Maksud kamu apa za?" Reza menghela napas, menyesap kopi. Suhunya sudah normal hingga tidak melukai lidahnya, reza berdiri enggan menjawab pertanyaan sabil. Sabil tidak menyerah "za, pleas bicara. Kalau kamu diam aku tidak tahu maksudmu!" sabil menunduk "aku minta maaf, bukan maksudku menyembunyikan statusku" sesalnya. Reza menatap sabil, jalan mendekat hingga berdiri di samping sabil. Tangannya terulur mengelus puncak kepala sabil penuh sayang dan hangat, sabil mendongkak untuk menatap reza. "kamu tidak salah bil, harusnya aku mencari tahu lebih dulu, sebelum memilih mendalami perasaan ini." Sabil mengerti, benar dugaan denada dan chandra. Bahwa Reza memiliki perasaan lebih dari sekedar teman "Reza, sori" sesalnya lagi, Reza tersenyum lebar, "sudahlah, sebaiknya kamu kembali ke ruang adhitya. Bicaralah baik-baik dengan yastha" "Dia masih mencintaimu bil. Aku bisa lihat dari cara dia menatapmu. Sampaikan salamku pada si kembar, selesaikan masalahmu bil. Jangan sampai yastha melaksanakan rencana dikepalanya, karena cemburu pada kamu" Reza mengecup puncak kepala sabil, sebelum meninggalkannya. Sabil kini kembali sendiri dengan pikiran rumit. *** Yastha keluar dari kamar mandi, setelah memandikan adhinka, tubuh kecil putranya dibalut handuk putih yang tersedia dikamar mandi. Denada tadi sudah membawakan tas pakaian kedua putranya dan pakaian sabil. Yastha menurunkan Adhinka diatas sofa, anak kecil itu loncat-loncat kesenangan, karena untuk pertama kalinya dia mandi bersama ayahnya. Sabil mendekat membawa pakaian putranya, dia duduk di sofa "abang jangan loncat-loncat seperti itu!" Sabil takut anaknya jatuh, namun adhinka tetap pada kegiatannya itu. Biasanya dia lebih kalem dibanding adiknya, sabil melihat putranya lebih ekspresi, apa anak sulungnya ini sedang mencari perhatian ayahnya? Yastha kembali setelah ganti kaosnya, melihat sabil sedang memakaikan pakaian putranya kesusahan, sebab adhinka tidak mau diam. "Boy, berhenti dulu. Kasihan bunda jadi susah begitu!" mendekat menarik putranya duduk di pangkuannya. Sabil menghela napas lega, begitu adhinka langsung menurut. Juga tidak bisa memungkiri hati yang meng-hangat begitu yastha memanggilnya 'Bunda' didepan anaknya. Yastha memang belum mau buka perbincangan mereka lagi, sejak sabil kembali hingga menjelang sore pun, Yastha hanya bercengkerama dengan putra sulungnya. Lalu sibuk menyuapi adhitya, ketika putra satunya yang sedang sakit itu bangun untuk makan siang tadi. Yastha tak pernah bosan, berinteraksi dan menyahuti pertanyaan kedua putranya yang sedang aktif-aktifnya berbicara dan mau tahu. Adhitya jauh lebih baik, suhu tubuhnya sudah kembali normal. Hasil cek darah juga sudah keluar, dan kedua orang tua itu bisa bernapas lega, hasil menunjukkan normal. Adhitya hanya kelelahan dan terkena radang. Yastha tahu inilah alasan sabil melarang putranya makan junk food, dan yastha merasa bersalah, karena sebulan belakangan ini dia menuruti kemauan putranya. Sabil belum tahu perihal ini, dan yastha yakin sabil akan marah padanya jika sampai tau. Mata mereka saling memandang, saat sabil harus berada sangat dekat. ketika memakaikan kaos pada adhinka. Dia mematung, dan tersadar saat suara cekikikan berasal dari adhinka yang terimpit tubuhnya dan yastha. Seketika sabil jadi salah tingkah, Yastha melihat rona merah di wajah istrinya itu. "biar aku saja" yastha mengambil alih, memakaikan celana untuk adhinka. Adhinka memegangi bahu yastha untuk menahan keseimbangannya,  Ayahnya meminta dia berdiri diatas sofa, untuk dipakaikan celananya. Sabil menarik putranya itu untuk memakaikan bedak tabur, namun putranya itu menolak tegas. "Bun, abang ini laki-laki! Abang bukan perempuan, abang gak mau pakai itu!" Adhinka dengan cepat naik ke pangkuan yastha, dengan wajah di d**a ayahnya. Baiklah Sabil menyerah, memilih merapikan minyak telon dan bedak tabur bayinya, menaruh kembali kedalam tas.  Tanpa sabil sadari yastha tersenyum, merasa bahagia bisa berada dekat dengan istrinya dan putranya. Sabil kembali kesisi ranjang adhitya, mengelus wajah putranya penuh sayang. Jika kondisi adhitya semakin baik, besok juga adhitya dibolehkan pulang. Sabil mengucap penuh syukur atas keadaan putranya yang membaik. Sabil pilih diam tak membahas kejadian tadi siang. Mengikuti ego, untuk apa dia harus menjelaskan pada yastha. Padahal masalah terjadi diantara mereka bertahun-tahun ini, bukan hanya karena kesalahan yastha. Adanya kurang komunikasi antara mereka. *** "Abang sama ayah ke mana sih bun! Ko lama banget kembalinya" lagi-lagi adhitya bertanya, kemana ayah dan kakaknya pergi, sejak setengah jam yang lalu. Sabil menatap anaknya, setelah melihat waktu. Sekarang sudah pukul tujuh tiga puluh. Yastha keluar membawa adhinka, untuk membeli makan malam. Tapi sudah setengah jam, belum juga kembali. Mungkin mereka makan disana. "Sebentar lagi pasti datang" Benar, pintu terbuka, kaki kecil adhinka berlari ke arahnya "tuh abang sudah datang!" adhitya juga menoleh, wajahnya cemberut ketika ayahnya tidak ikut muncul. "Ayah mana, bang?" "Naik bunda!" meminta naik ke atas ranjang, sabil mengangkat tubuh adhinka. "lagi ketemu sama dokter!" jawabnya, adhinka ternyata membawa tab yastha "kita main yuk, ayah kasih pinjam ini!" ajak adhinka riang pada adiknya. Dia mengambil posisi di samping adhitya dan wajah murung adhitya, berubah antusias ketika kakaknya menyalahkan benda tersebut. Sabil pasrah, selama ini dia berusaha menjauhkan putranya dari ponsel, tab atau lainnya. Karena takut merusak mata anaknya, ketika berlama-lama menatap cahaya dilayar tersebut. Yastha kembali setelah lima belas menit, dia tidak menjelaskan apa yang dibicarakan dokter dan sabil juga enggan bertanya. "Abang, janjinya tadi main tab cuman sebentar yah" yastha menegur kedua anaknya, keduanya tidak menoleh tetap terfokus pada layar tab. Sabil terkejut ketika yastha mendekat dan langsung menarik tab tersebut, kedua putranya hendak protes dan menangis, Yastha segera menatap mereka dengan lembut, beri isyarat dengan menggelengkan kepala. "tidak, adik harus minum obat dan istirahat" "Yah ayah, adik sudah sembuh kok" elak si bungsu. Adhitya tersenyum lebar, melihatkan kondisinya yang baik-baik saja pada ayahnya. Yastha mendekat, sabil masih duduk di kursi samping ranjang rawat Adhitya, terus perhatikan semuanya. Yastha membawa tubuh adhinka. "adik minum obat sama bunda, tidak ada bantahan" tegasny, Adhitya sudah menekuk bibirnya kebawah. Sabil berdiri menyiapkan obatnya, Yastha gantian membawa adhinka duduk di sofa panjang di ruangan tersebut "Ayah" adhinka merengek. "Abang mau pulang?"  Adhinka menggeleng kuat. menurut, langsung berbaring di sofa "pintar, baru anak ayah!" pujinya, yastha menarik selimut menutupi tubuh adhinka Sabil memberi obat untuk adhitya, Putranya tidak menolak. "bunda sini, adik mau bobo sama bunda" obat mulai beraksi, adhitya mulai menguap dan meminta sabil tidur berbaring di sampingnya. Sabil naik, bergabung di ranjang yang cukup lebar. Cukup untuk dua orang dewasa sekalipun. Tidak heran, apa yang tersedia di ruang VIP membuat segalanya lebih nyaman, sekaligus membuktikan betapa berkuasanya uang, sekalipun berada di rumah sakit seperti ini. Sabil mengelus punggung putranya, yang menghadap padanya. Sedikit berhati-hati agar tidak mengenai selang infusnya. Perlahan kelopak mata adhitya terpejam. Sabil yang sudah lelah ikut terpejam, namun yastha membangunkannya. "makanlah, kamu belum makan sejak tadi" Meletakkan bungkusan, berisi makanan yang tadi dia beli dengan putranya. Sebenarnya sabil sedang malas makan, siap menolak. semua itu dapat dibaca oleh yastha, "jangan seperti anak kecil bil, makan!" Tegas memerintah. Sabil mendelik, tetap menurut. Turun dari ranjang dengan hati-hati, agar tidak membangunkan putranya. Menoleh ke sofa adhinka juga sudah terlelap. Sabil membawa bungkusan tersebut, duduk didekat kaki adhinka. Membuka kotak makan tersebut, isi-nya nasi putih, capcai dan ayam goreng. Yastha membenarkan posisi tidur adhitya, menyelimuti tubuhnya dan semua itu tak luput dari perhatian Sabil. -TBC-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD