As-10

1913 Words
Sabil panik, saat denada menelepon mengatakan si kembar tidak ada disekolah. Setelah seminggu lalu adhitya kembali sehat, si kembar mulai bersekolah sejak dua hari lalu. Hari ini sabil tidak bisa menjemput ke duanya karena ada meeting diluar. Meeting biasa dilakukan olehnya atau denada, namun kali ini denada yang sedang Premenstrual Syndrome biasa yang dikenal dengan singkatan PMS, membuat denada malas mengikuti meeting dan menyerahkannya pada sabil. Beruntung meeting selesai cepat, sabil memacu mobil untuk ke sekolah putranya. Butuh waktu tiga puluh menit untuk sabil sampai disana, dengan langkah cepat, terburu-buru sabil melangkah mendekat pada denada yang berdiri didekat gerbang sekolah. Disana ada pria tua berseragam hitam-hitam, merupakan pihak keamanan sekolah dan ada wanita berusia pertengahan tiga puluhan, tidak lain adalah wali kelas putra-putranya. "Ko bisa tidak ada sih nad! Lo telat jemput anak gue!" Suara meninggi, dengan hati sudah tidak karuan rasanya. Takut hal yang mengerikan terjadi pada dua putranya itu. Wajah denada tidak beda jauh dengan sabil, sama cemasnya "gue cuman telat lima menit dari jam biasanya bil" Biasanya walau dia telat hampir setengah jam, si kembar tetap setia menunggu. Hanya waktu itu saja, Adhitya hampir celaka. Untungnya diselamatkan ayahnya. Sabil beralih menatap penjaga keamanan, minta penjelasan yang langsung dimengerti. "Bu tadi mereka berlari kearah mobil dan masuk begitu saja, saya kira salah satu keluarga yang jemput si kembar" jelasnya. Seketika wajah sabil semakin pucat, hatinya was-was. Semakin berpikir negatif, takut jika putra kembarnya di culik orang jahat. Lidah sabil kelu dan tidak bisa berpikir, "mobil? Bapak ingat ciri-ciri mobilnya, merek atau pelat nomor kalau bisa." Denada mengambil alih untuk bertanya, ketika melihat sabil syok. Bapak penjaga itu mengangguk, "Mazda, warna hitam berpelat B. Saya gak ingat detail nomornya" Sabil mengerutkan kening, tidak asing dengan merek mobil ternama yang disebut. Ingatan sabil kembali pada hari dimana yastha tiba-tiba muncul di depan rumahnya, yastha memaksa mengantar adhitya ke rumah sakit dan menjemput dengan mobil pribadi pria itu. "Tunggu, Mazda? Hitam pelat B?" Batinnya. Sabil mengangkat ponsel, mencoba menghubungi pria yang tidak lain suaminya, namun tidak ada jawaban. Sabil semakin panik, walau hatinya berucap syukur. Karena hal yang paling ditakuti setiap ibu pada saat anaknya menghilang, tidak menimpa kedua putranya. Sabil membalikkan tubuhnya tanpa pamit, dia tidak fokus hanya untuk mengucapkan terima kasih pada penjaga keamanan dan guru putra kembarnya, denada tercengang atas sikap spontan sabil. Denada mewakilinya, sebelum mengejar sabil. "bil, sabil tunggu!" denada berhasil mencekal lengan sabil "Lepas nad, gue harus susul kedua putra gue. Sebelum Yastha bawa mereka jauh dari gue!" Sabil mencoba melepaskan cekalan denada, namun denada menahannya "Yastha?" Sabil mengangguk, "Mazda cx-5 berwarna hitam dan plat B asal Jakarta, mobil yastha siapa lagi nad!" Kata sabil lirih, denada bisa melihat mata sabil berkaca-kaca. "Kenapa lo bisa berpikir--Ya tuhan, bil gue tahu lo masih marah sama yastha tapi, dia bokap anak-anak lo. Mana mungk--" sabil menyela "Memang yastha nad, dia sudah beri peringatan akan terjadi seperti ini" Air mata sabil tidak mampu tertahan lagi, ingatan berputar bagai, pemutar kaset pada kejadian seminggu lalu. Saat adhitya pulang dari rumah sakit "Terima kasih yast atas yang telah kamu lakukan untuk adhitya" Ucap sabil begitu yastha telah selesai bawa masuk adhitya, berbaring diranjang kamar sabil. Si kembar masih berada di kamar sabil, bu susi datang mengantarkan teh hangat untuk keduanya. lalu kembali ke dapur, meninggalkan mereka berdua di ruang tamu sederhana rumah sabil ini "Aku ayah mereka bil, buat apa kamu berbasa-basi mengucapkan terima kasih? Apa sebegitu, bencinya kamu padaku hingga seperti ini?" Sabil terdiam, apa dia salah berucap begitu tapi ucapan yastha menyakiti lagi hatinya, demi apa pun sabil tidak berbasa-basi. Yastha mendekat, memegang dagu sabil, sabil meringis merasakan tekanan kuat pada dagunya. "kamu benar-benar membuatku tidak mengerti harus seperti apa lagi bil, untuk mendapatkan maafmu itu!" Yastha mengeram menatap sabil, dia mendekatkan wajahnya dan menarik dagu sabil, bibirnya menyentuh bibir ranumnya. Yastha melumatnya kasar kali ini, hingga sabil merasakan asin darah dari sudut bibirnya. Sabil mendorong tubuh yastha kuat, dan berhasil membuat ciuman bibir yastha terlepas, sabil menatap yastha dengan air mata yang keluar dari sudut matanya dan sabil yakin di mata suaminya itu tidak ada penyesalan sedikit pun, atas perbuatannya ini. Sabil berdiri dengan cepat, menarik tangan yastha dengan sekuat tenaga. menyeret yastha keluar dari rumahnya "KELUAR!!!" Usirnya "Tidak akan!" Yastha tidak bergeming, berdiri di ambang pintu rumah sabil. sedangkan sabil terus berusaha sekuat tenaga mendorong tubuh yastha "Ayah, bunda" gerakkan keduanya terhenti ketika suara lirih putra-putranya terdengar. Sabil melihat mata putra kembarnya berkaca-kaca, siap ikut menangis. melihat pertengkarannya dengan ayah mereka. Adhinka dan adhitya siap mendekat, namun langkah mereka terhenti karena sabil menatapnya tajam "berhenti, dan masuk kamar!" Perintahnya Keduanya sudah menangis mendengar bundanya membentak mereka seperti itu. "apa yang kamu lakukan!" Yastha menegur sabil yang membentak kedua putranya Kedua anaknya masih diam mematung dan bergetar karena ketakutan, yastha hendak mendekati mereka. entah dari mana kekuatannya mendorong yastha, hingga keluar lalu menutup pintu rumahnya cepat dengan kasar "AYAH" teriak kedua putranya. Sabil merasa bersalah sudah membentak keduanya, dia mendekat untuk memeluk keduanya. namun tangan mungil kedua putranya memukuli sabil "bunda jahat, bunda jahat!" ucap adhitya "Kenapa bunda usir ayah!" Adhinka menambahkan, kedua anaknya tidak terima bunda mereka mengusir ayah yang baru bertemu dengan mereka Sabil menarik napas, memejamkan mata. mendapat jeritan dan kalimat putranya yang begitu kecewa padanya, sabil melirik bibi susi yang terdiam didekat pintu dapur "bi tolong bawa mereka ke kamar saya" bi susi mengangguk mencoba membawa kedua anak majikannya Namun adhinka dan adhitya menolak, dan kembali menatap sabil "kita benci bunda!" Jeritnya tidak terima, dan berhasil membuat sesak dihati sabil mendapat pernyataan seperti itu. Belum sempat sabil mendekati keduanya, mereka sudah berlari bersama menuju kamar mereka bukan kamar sabil. "Saya akan susul mereka Bu" sabil mengangguk setuju, bi susi melangkah menyusul putra kembar sabil ke kamar mereka, lalu gedoran pintu kembali menarik perhatian sabil kembali Sabil mendekat, namun tidak berniat membukakan pintu untuk yastha, tubuh sabil merosot didekat pintu, dengan punggung menempel pada daun pintu utama rumahnya. Menekuk kaki dan menenggelamkan kepalanya disana, tubuhnya bergetar hebat dan sabil kembali tak kuasa menahan kesedihannya. "Kenapa kamu datang jika hanya untuk membuat anak-anakku membenciku. Yastha! Kenapa kamu datang jika hanya menyakitiku seperti ini!" "Oh Tuhan takdir apa lagi yang sedang kujalani ini?" Lirihnya di sela tangis yang begitu pilu, lalu ditambah jeritan tangis kencang yang berasal dari kedua putranya di dalam kamar. Ponsel di saku celana sabil bergetar menandakan pesan masuk. Sabil mencoba mengabaikan, dalam suasana seperti ini. namun hatinya memaksa tangannya bergerak untuk mengambil ponselnya, dan membuka pesan yang ternyata dikirim dari nomor yang tidak dikenalnya. 0822××××××× : Kamu memaksaku untuk melakukan cara lain sabil! Aku tidak akan menyerah, aku akan membawamu kembali dan mendapatkan kedua putraku. Bagaimana pun caranya, meski pun dengan cara yang paling tidak kamu sukai! Sabil tahu pesan itu dari yastha. Meski pun, pria itu tidak menuliskan nama, perasaan sabil mendadak jadi tidak tenang, hingga sabil membuat kedua putranya membolos sekolah beberapa hari. Selain untuk membuat adhitya lebih pulih, kedua putranya juga kompak mogok bicara dengan sabil, hingga akhirnya sabil menangis di depan keduanya, meminta maaf. "maafkan bunda sayang, bunda bersumpah bahwa bunda tidak bermaksud memarahi dan membentak kalian seperti itu" Keduanya yang pada dasarnya tidak benar-benar membenci sabil, saat itu hanya kalimat yang meluap begitu saja. Karena kecewa pada sabil, akhirnya mendekat dan memeluk sabil dengan ikut menangis? "kenapa bunda usir ayah?" Adhitya, belum melupakan pertanyaannya. tentang alasan sabil saat itu, bertengkar dan mengusir ayah mereka Sabil diam, karena dia tidak punya jawaban yang baik untuk di jelaskan pada kedua putranya, sabil merengkuh keduanya mengecup pipi mereka bergantian. "orang dewasa bertengkar karena punya masalah, tunggu kalian besar nanti. Kalian pasti akan mengerti" Adhinka mengangkat kepalanya untuk menatap sabil. Sabil menghapus bekas air mata di pipi bulat putranya itu, "besar itu setinggi bunda dan ayah?" Sabil mengangguk dan kembali mempererat dekapannya "Bunda marah sama ayah? Ayah berbuat salah seperti kita?" Kali ini pertanyaan polos itu keluar dari adhitya lagi Sabil memilih diam namun adhitya kembali bertanya, "apakah ayah sangat nakal, sampai bunda tidak pernah mau kami bertemu ayah?" Sabil menegang, apakah anaknya yang masih sekecil ini memikirkan apa yang terjadi pada orang tuanya seperti ini ? Sabil mencoba tersenyum, begitu mata bulat kedua putranya kini menatapnya tidak sabar menunggu jawaban sabil. "Bukan seperti itu sayang, bunda sudah bilangkan tadi, suatu saat nanti ketika kalian setinggi bunda dan ayah, maka kalian akan mengerti. Pertengkaran orang besar tidak seperti pertengkaran kalian saat berebut mainan" Adhinka masih menatap sabil "apakah setelah ini kami tidak boleh bertemu ayah lagi?" Sabil menarik napasnya dalam-dalam lalu mengeluarkannya, seakan bisa meringankan beban pikirannya saat ini. "Boleh, bunda tidak akan pernah melarang kalian ketemu ayah. tapi biarkan bunda dan ayah selesaikan masalah kami dulu, kalian harus bersabar. Oke?" Meski enggan dan masih banyak yang mau tanyakan pada bunda mereka, namun keduanya tetap mengangguk menyetujui permintaan sabil. Yastha tidak pernah muncul lagi di rumahnya sejak saat itu, sabil sedikit bisa bernapas lega. meyakini Yastha tidak akan melakukan apa yang di ancamkan padanya lewat pesannya saat itu. "Ya tuhan bil, kenapa lo gegabah sih! Yastha pasti tidak main-main akan peringatannya itu!" Denada terkejut atas cerita sabil. Sabil melangkah menuju mobilnya yang terparkir, masih terus menghubungi yastha. "Angkat yast, pleas angkat!" Kaki sabil bergerak ke kiri lalu ke kanan, tangan satunya meremas ujung 6nya. "Bil, diangkat gak?" Denada setia menunggu sabil, sabil menggeleng lemas. "Apa sih yang buat kalian berbuat seperti ini, kenapa lo biarkan ini semakin larut sabil! Ya tuhan!" Denada ikut Frustrasi memikirkan pasangan tersebut. "Dia masih sama, malah bertindak kasar sama gue!" Pembelaan sabil "Seharusnya lo yang seorang ibu, tidak mementingkan ego bil, lo tahu si kembar yang jadi korban kalian! Mereka bukan harta gono-gini yang diperebutkan! Lo masih cinta mati sama yastha, gak usah mengelak" kalimat tajam denada keluar, "kenyataan bil, gue bicara faktanya! Kalau memang lo sudah tidak cinta pada laki lo itu, sudah sejak saat lo melangkahkan kaki meninggalkannya dan saat itu juga, lo akan menggugat cerai dia. nyatanya lo memelihara kesakitan sendiri!" Sabil tidak percaya denada yang selama ini dia, tidak berkomentar. Apalagi ikut campur masalahnya, kini dengan menggebu-gebu denada meluapkan pendapatnya. Berujar dengan penekanan, bahkan napasnya memburu, menahan emosi pada sikap sahabatnya ini. Sabil menunduk, meski tersinggung namun semua yang dilontarkan sahabatnya itu benar! Kenapa sabil lupa, bahwa yastha akan melakukan apa pun untuk mendapatkan apa yang pria itu mau, dan ini lah yang sedang terjadi Ponsel sabil berdering, pesan masuk dari yastha Adhyastha: Hotel Brian Mahendra, lantai delapan kamar 210 "Apa maksudnya ini nad?" Sabil menunjukkan isi pesan yang dikirimkan yastha "Gue gak mengerti bil, ayo gue temani!" Sabil mengangguk setuju dan siap masuk ke dalam mobil namun ponselnya kembali bergetar Adhyastha: only you! "Nad, yastha minta gue datang sendiri!" Sabil menggigit ibu jarinya, yang bebas tidak memegang ponsel Dia semakin panik, denada terdiam mencoba mencerna. Sabil yakin, jika terlalu banyak berpikir, dia takut tak bisa bertemu dengan kedua putranya lagi. "Gue pergi sendiri yah nad!" Denada menatap sabil "Oke, tapi kalau ada apa-apa lo telepon gue bil!" Denada setuju, dan hatinya berubah yakin, yastha tidak akan sakiti sabil dan harusnya mereka menyelesaikan masalah yang sudah berlarut-larut ini Denada mendekat memeluk sabil singkat, sebelum sabil masuk ke dalam mobil, denada masih berdiri di tempatnya walau kini mobil sabil semakin menjauh. Denada mengambil ponselnya untuk menelepon seseorang "Sabil menuju ke tempat lo, jangan menyakiti sahabat gue lagi! Segeralah  Selesaikan masalah kalian, gue tunggu kabar baiknya" "Sori sabil, gue kali ini harus ikut campur" monolognya, denada tidak ada niat berkhianat pada sahabatnya. Dia melihat cinta yang kuat di mata sabil, tapi sahabatnya itu terlalu besar egonya. -TBC-
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD