Tak lelo, lelo, ledung

1056 Words
"Cerita ini hanya karangan fiktif belaka. Latar belakang pada jaman tersebut sengaja dibuat sebagai pelengkap dan sama sekali tidak berhubungan langsung dengan sejarah aslinya." === Pipiku terangkat seolah ia memintaku untuk diam. Tapi di belakang itu , ia tetap menanyakan pertanyaan yang memintaku untuk menjawabnya — "KENAPA KAU MENYENTUH BARANG ITU!" Aku menendang tulang keringnya dan sukses keluar dari cengkramannya. Aku marah. Karena lelaki keturunan india ini melesakkan tangannya ke bagian pahaku, "BUKAN URUSANMU!" Dia mengaduh kesakitan lalu kuinjak tangannya di lantai. Namanya Badu dan ia bekerja sebagai tukang kebun rumah ini. Sikapnya memang aneh sejak aku mulai bekerja disini. Dan aku tahu, dia pria yang cukup menjijikkan karena aku pernah mendapatinya bercinta dengan salah seorang pelayan dapur — "Jauhkan tangan kotor tanahmu itu!" Ia mendecih setelah aku berbalik, "Kau tidak akan selamat dari sini —" Kemarahanku memuncak lagi, dan kuhadiahkan sepakan sepatu pansusku sebagai penutup cengirannya yang menjijikkan. Tapi sialnya dia menangkap sebelah kakiku hingga aku terjerembab. Karena merasa menang dia lantas menindihku dan mencengkram tanganku kuat-kuat. Aku terbelalak saat merasakan gundukan kejantanannya menggesek bawah perutku. Sial! Apa dia akan.. "LEPASKAN!" "Mau kulepaskan? Puaskan aku dulu." Aku semakin ketakutan dengan cengirannya. Badu tak main-main. Meskipun aku meronta dia tetap berhasil merobek baju maidku. Dia bilang teriakanku malah seperti erangan baginya. Dia semakin gesit apalagi berhasil mengikat kedua tanganku dengan tali ravia yang entah ia dapatkan darimana. Aku semakin khawatir dia akan semakin bertindak kurang ajar. Dengan keras aku meminta tolong tapi sepertinya rumah ini membisu. Tak ada yang mendengarku. Badu melesakkan tangan kotornya itu ke pahaku lagi. Berusaha membuatku mengangkang sesuai keinginannya. Berapa kali aku berusaha menendangnya ia sama sekali tak merasa tergubris. Badu malah menghidu leherku sambil menggesekkan tubuhnya ke bagian rokku yang terbuka. "LEPASKAN! LEPASKAN AKU!" "Jangan melawan..ssst nikmati saja." "AKU TAK SUDI! PRIA GILA!" Plak! Satu pukulan keras kuterima darinya. Aku bisa merasakan rasa asin itu mengalit di sudut bibirku. Belum puas dengan itu, Badu malah semakin menjadi dengan berusaha untuk menciumku. Tentu saja aku menolak dengan segala upaya yang bisa kulakukan. "Bibirmu sudah pernah ku cecap sekali. Rasanya candu.." "Apa?" "Di kolam air panas..malam itu. Takkan kau melupaknnya. Bahkan dadamu sangat pas sekali di tanganku -" Tak lama suara deruan langkah kaki mendekat. Membuka pintu itu dengan paksa menampakkan tuan Hide yang memicingkan mata. Langsung saja dia menarik kerah Badu dan menghajarnya di sana. Tak ada perlawanan berarti dari Badu karena dia seperti siap untuk mati di tangan majikannya. Aku lemas. Bukan karena dia berhasil merogolku. Tapi aku lemas karena dia lah yang malam itu yang berhasil melecehkanku di kolam. Aku menyesal menatapnya sinis dan kurang ramah saat pertama kali bertemu dengannya. Dan dia kini malah menaruh dendam padaku hingga aku seperti ini. Atau..sebenarnya dia memang orang seperti itu? Apapun yang dilakukan wanita pasti akan selalu salah. Persis seperti apa yang Parti katakan padaku dulu. *flashback* "Wong wedok yo ngene iki. Misale diceluk langsung marani dikirone gatelen. Misale diceluk ga nyaut, diwara sombong." (Perempuan ya seperti ini lah. Kalau dipanggil langsung nyamperin nanti dibilang keganjenan. Kalau dipanggil nggak jawab, dikatain sombong.) Aku tertawa mendengarnya. Tidak biasanya Parti akan serius bicara tentang sesuatu. Biasanya dia pasti akan ngegosip tentang Rubini atau penghuni kamar merah baru namanya Sari. Parti ini sudah bersuami. Tapi ditinggal begitu saja entah kemana. Untuk menghidupi sehari-hari, pagi dia akan jualan jamu keliling. Malamnya datang ke rumah bordil. Anaknya dua dan semuanya tewas saat perang melawan koloni. Dia sedih bahkan sampai berniat untuk bunuh diri. Tapi selama bekerja di sini, dia cukup terhibur hingga melupakan semua kesedihannya. Walaupun pekerjaan ini tidaklah mudah karena terkadang harus mau tak mau melayani tentara yang pernah membunuh anaknya. Kabarnya Parti ingin pensiun karena sudah menemukan tambatan hati. Entah kapan akan dipinang, mungkin dia akan sedikit lebih bersabar. "Iku ngono lek wedok e ayu. Lek elek yo ga dilirik," sahutku. (Itu juga kalau perempuannya cantik. Kalau jelek ya nggak dilirik) "Sak iki masuo elek utowo ayu, podo ae mripate wong lanang jelalatan." (Sekarang mau jelek atau cantik, tetap saja mata lelaki jelalatan.) *Flashback end* "Sartika! Kamu tidak apa-apa?" Tuan Hide selesai dengan urusannya. Ia lantas mendekat dan langsung menutup tubuhku. Aku hanya bisa bengong sambil mengulang apa yang terjadi. Tapi yang kulakukan, malah menangis didekapannya. "Kamu baik-baik saja. Tenanglah. Semua sudah berakhir. Tenanglah." # Apa yang bisa kulakukan, hanyalah mendengar ocehan Sunyang. Entah terbuat dari apa hatinya, saat aku masih mengalami trauma seperti ini dia malah menyalahkanku karena telah lancang masuk ke ruangan tuan Hide. Meski sudah dihentikan oleh tuan Hide, si tua bangka itu masih tetap saja mengomeliku setelah tuan muda pergi. "Istirahat dan dengar kata-kataku tadi," ancamnya lalu pergi meninggalkan kamarku. Mbak Dewi geleng-geleng kepala sambil menawarkanku makanan agar aku tetap makan. Jelas saja aku jatuh sakit. Tubuhku masih menggigil dan bahkan panas dingin. Setiap kali aku mengingatnya aku langsung tak berani menutup mata. Untung masih ada mbak Dewi yang mau memperhatikanku. Padahal tadi siang aku sempet merutukinya karena tak acuh saat aku menanyakan keberadaan tuan Hiro. Ah..dia. Apa tuan Hiro sudah kembali ke kamarnya? "Yang sabar yah. Si gila itu sudah diusir keluar oleh tuan Hide." "Aku ngantuk mbak," igauku. Mbak Dewi masih setia menyisir rambutku. Aku jadi teringat dengan masa kecilku bersama ibu. "Tidurlah. Aku masih di sini kok." "Nggak bisa. Mataku tak mau tertutup." Mbak Dewi lalu mengambil inisiatif dengan menyanyikan tembang jawa padaku. Lagu yang juga biasa ibu nyanyikan untukku. Dalam dekapan mbak Dewi, aku teringat dengan ibu. Aku kangen dengan ibu. ~Tak lelo, lelo, lelo ledung, ~Cep menenga aja pijer nangis, anakku sing ayu rupane (Cup diem jangan nangis terus, anakku yg cantik wajahnya..) ~Yen nangis ndak ilang ayune, dak gadhang bisa urip mulya, (Kalau nangis nanti hilang cantiknya, tak doain hidupmu makmur..) ~Dadiya wanito kang utama, ngluhurke asmane wong tuwa, (Jadilah wanita yang paling pertama, membawa nama baik orang tua..) ~Dadiya srikandining bangsa (Jadilah srikandi bangsa..) ~Wis cep menenga anakku, kae mbulane ndadari, (Sudah cup diam anakku, itu loh bulannya baru keluar..) ~Kaya buta nggegilani, lagi nggolekki cah nangis, (Kayak raksasa gila, lagi cariin anak kecil nangis..) ~Tak lelo, lelo, lelo ledung, ~Wis cep meneng anakku cah ayu, (Sudah cup anakku yang cantik..) ~Dak emban slendang bathik kawung, (Tak gendong kain bathik kawung..) ~Yen nangis mundhak Ibu bingung, (Kalo nangis ibu jd bingung) "Kula kangen buk. Kangen sanget kale panjenengan, bu. Wedhal meniko ibu ngendhikan badhe nyusul kulo. Nanging ibu mblenjani janji." ( Aku kangen buk. Kangen berat sama ibu.Waktu itu ibu bilang mau jemput aku. Tapi ibu ingkar janji.) "Ibu kapan rawuh dateng ngimpi kulo?" (Ibu kapan dateng ke mimpiku?) "Kula kangen dirangkul ibu. Kula ajreh nutup mripat. Nanging yen ibu ndugi, kulo tenggo ibu teng ngimpi kulo."  (Aku kangen dipeluk ibu. Aku takut nutup mata. Tapi kalau ibu datang, aku tungguin ibu di dalam mimpi.) . . bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD