"Cerita ini hanya karangan fiktif belaka. Latar belakang pada jaman tersebut sengaja dibuat sebagai pelengkap dan sama sekali tidak berhubungan langsung dengan sejarah aslinya."
==
"Kula kangen buk. Kangen sanget kale panjenengan, bu. Wedhal meniko ibu ngendhikan badhe nyusul kula. Nanging ibu mblenjani janji."
( Aku kangen buk. Kangen berat sama ibu.Waktu itu ibu bilang mau jemput aku. Tapi ibu ingkar janji.)
"Ibu kapan rawuh dateng ngimpi kula?" (Ibu kapan dateng ke mimpiku?)
"Kula kangen dirangkul ibu. Kula ajreh nutup mripat.
Nanging yen ibu ndugi, kula tenggo ibu teng ngimpi kula."
(Aku kangen dipeluk ibu. Aku takut nutup mata. Tapi kalau ibu datang, aku tungguin ibu di dalam mimpi.)
"Ibu...buk.."
Aku bermimpi buruk lagi. Memimpikan selendang ibu dan kematiannya di atas undakan batu.
Rambutnya terurai, dengan darah yang membanjiri kepalanya. Ibu berlari mengejar waktu, terkejar peluru lalu mati.
Pesan ibu hanya pergi ke alamat di kertas lusuh lalu pergi tanpa menoleh lagi. Kalau aku memaksa waktu itu untuk ikut dengan ibu...apa aku masih hidup?
Hidup pun susah. Bersama Sohien dan bibi, lantas sekarang berada di rumah ini. Semuanya terasa berat. Seperti mataku yang berat untuk terbuka, namun aku terusik dengan sebuah suara.
Lampu di kamarku telah padam. Mbak Dewi juga sudah pergi dari kamarku. Aku menyisiri gelap walau sebenarnya aku enggan untuk bangun. Ini tengah malam. Angin sepoi-sepoinya pun terasa amat dingin. Kubalut tubuhku dengan selimut lalu meraba gelap agar aku sampai ke nakas. Mencari korek yang kusimpan di sana. Tapi sialnya, benda tersebut tak ada di sana.
Mungkin aku lupa meletakkannya kembali, jadi aku coba cek keluar. Biasanya ada pematik cadangan di lemari dekat ruang tamu.
Aku menggeser pintu kamarku yang berhadapan langsung dengan kamar tuan Hiro. Aku mendekat ke kamar itu dulu sebelum turun ke bawah mengambil pematik. Mengendap perlahan mengintip dari lubang yang tersembunyi.
Aku menelan ludah susah payah untuk mencari tuan Hiro. Dan dia tengah tertidur pulas di atas ranjangnya. Aku pikir ,aku belum memeriksa keadaanya jadi aku teringat untuk membuka pintu kamarnya. Tapi belum sempat aku membuka pintu, aku mendengar nyanyian yang berasal dari luar jendela.
Aku melirik ke sana yang mendapati jendela terbuka lebar tanpa ada yang menguncinya. Angin malam yang bertiup sedang itupun mampu mengibarkan kain gorden putih yang ada di sana.
Meski cahaya bulan mengindahkan tempat ini, namun bagiku itu justru sedikit lebih menyeramkan. Apalagi karena suara nyanyian itu masih belum berhenti.
Aku mendekat ke tepian jendela sambil menunduk ke bawah. Kulihat ada seorang gadis yang tengah berdiri sambil menatap hutan bambu yang pernah kulalui bersama tuan Hiro. Saat aku tengah melihatnya, gadis bersurai hitam itu menoleh padaku dengan tiba-tiba.
Matanya tajam menatapku. Apalagi dengan kulit putihnya itu, menambah kesan horor. Aku terperanjat. Tatapannya sangat tajam dan menyeramkan.
Tak hanya sampai di situ. Saat aku menoleh ke belakang, betapa terkejutnya aku saat perempuan itu sudah berdiri di belakangku. Aku mendongak ke atas karena aku bisa merasakan bahwa dia tengah memperhatikanku juga.
Dan benar saja. Perempuan itu menatapku nyalang dengan mencekik leherku dari belakang.
Lalu aku mulai kehabisan napas dan tak sadarkan diri.
Ketika aku coba meracau, ternyata aku masih di atas ranjangku. Bersama dengan tuan Hide yang tengah menenangkanku.
Apa aku tengah mengigau?
"Kamu bangun?" tanya tuan Hide lembut. Aku langsung duduk menghadapnya. Meminta maaf karena aku yang sepertinya mengigau keras hingga tuan Hide datang ke kamarku.
"Gomenasai! Apa suaraku mengganggu tidur tuan."
Tuan Hide tersenyum tipis sambil mengelus anak kepalaku lagi. Walau sebentar, tapi itu cukup membuatku bersemu.
"Aku memang tak bisa tidur, jadi aku berkeliling rumah lalu mendengar kau mengigau," terangnya.
"Tuan berkeliling sendirian?"
"Hum. Mau menemani?" ajaknya.
Tanpa pikir panjang aku mengangguk atas ajakannya itu. Aku berpikir, siang kemarin aku berjalan-jalan dengan tuan Hiro. Yang sebenarnya sangat normal dan tak tampak seperti orang yang mengalami gangguan mental.
Apalagi kata-katanya yang mengatakan bahwa -- dia harus menjadi gila agar tetap hidup. Itu artinya, selama ini dia berpura-pura?
"Bagaimana keadaanmu?"
Mungkin maksud tuan Hide adalah keadaanku setelah hampir diperkosa oleh Badu hari ini. Aku pikir, aku tidak merasakan trauma yang berat hingga aku berani keluar malam ini.
Atau mungkin itu karena aku ditemani tuan yang telah menolongku?
"Baik."
Tuan Hide berhenti melangkah. Kami sekarang tepat di depan kolam ikan koi. Cahaya bulan begitu terang. Sampai-sampai kami tidak perlu lilin atau lentera untuk berjalan. Dengan perlahan tangannya mengusap daguku. Lanjut ke pipi hingga aku bisa merasakan buku-buku jarinya yang dingin.
"Kau tidak akan diganggu lagi. Percayalah."
Aku mengangguk untuk memahami apa yang coba dia katakan.
#
Waktu istirahatku sebenarnya belum habis. Tapi entah kenapa aku merasa bosan jika tidur dan makan saja di dalam kamar. Dengan memantapkan hati, aku bersiap mengenakan pakaian maidku setelah semalam tidur dengan nyenyak sekali.
Telapak tangan tuan Hide yang hangat pun masih terasa di pipiku. Aku menggeleng keras. Mungkin aku sudah gila. Pikiranku melayang entah kemana yang padahal siang kemarin aku bisa berdegup kencang bersama tuan Hiro, malamnya aku malah merasa berdebar dengan tuan Hide.
Ck. Sepertinya aku benar-benar gila.
Sebelum turun ke bawah, aku menyempatkan diri ke kamar tuan Hiro dulu. Tadi malam aku bermimpi mengintipnya di sini. Seperti nyata sekali, tapi yang kulihat saat keluar kemarin, jendela itu tertutup rapat. Lagi pula, siapa pula yang tengah malam berkeliaran dengan gaun putih di taman?
Bisa saja itu efek dari obat penenang yang kuminum. Sebelumnya mbak Dewi juga mengatakan hal tersebut bahwa aku akan mengalami halusinasi. Jadi ku enyahkan saja mimpi itu. Aku tidak mau lagi berpikir yang bukan-bukan tentang penghuni di rumah ini.
Kubuka perlahan pintu kayu aoks berwarna cokelat tua ini hingga terdengar suara berderit yang menggetarkan kesunyian. Sampai di kamar, aku bisa lihat gundukan di selimut yang kuasumsikan bahwa tuan Hiro masih tertidur dibalik selimutnya. Aku membuka sedikit tirainya agar cahaya matahari masuk dengan baik begitu juga sirkulasi udaranya.
Aku mendengar suara air mengalir dari kamar mandi. Aku langsung ke sana untuk mematikan air tersebut. Dan aku terkejut saat melihat tuan Hiro berdiri di sana tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya.
"Ma..maaf tuan! Saya pikir anda masih tidur --"
Tuan Hiro tak bergeming. Dia asik saja memotong sehelai demi sehelai rambutnya yang memang sudah menutupi wajah depannya itu. Tak lama dia menoleh, lalu menyodorkan cukur rambut padaku. Memintaku untuk memotong rambutnya.
"Ba..baiklah! Tapi...bisakah anda mengenakan pakaian dulu?"
Anehnya saat aku mengatakan hal itu, dia malah tersenyum tipis sambil berjalan melewatiku dan mengambil handuk yang tersampir di pundakku.
Aku menahan napas melihat tingkahnya itu.
.
.
Bersambung