Nyonya Himura

1128 Words
"Cerita ini hanya karangan fiktif belaka. Latar belakang pada jaman tersebut sengaja dibuat sebagai pelengkap dan sama sekali tidak berhubungan langsung dengan sejarah aslinya." === Tuan Hiro membawaku ke halaman belakang. Ia terus berjalan tanpa sekalipun menoleh untuk memastikan apakah aku masih mengikutinya atau tidak. Walau kenyataannya, aku tetap mengekorinya sampai kemari.  Setelah keluar dari area kolam ikan , jika terus berjalan akan banyak pohon bambu yang tumbuh entah itu dengan alami atau di tata sedemikian rupa hingga jalan tikus ini terasa lebih sejuk dan tenang. Begitu keluar dari taman bambu , kami menuju bukit rendah yang di sana terdapat pohon acer palmatum besar yang tengah berdaun merah terang. Oh..ini pohon yang kulihat dari arah gerbang utama waktu itu. "Di sini — "  Aku diam mendengarkan sambil berkeliling melihat sekitar. Tempat ini terlalu sunyi dan tenang, " — ibuku menggantung dirinya sendiri." Aku yang tadinya kurang fokus, kini melotot sempurna mengikuti telunjuk tuan Hiro yang menunjuk di mana tepatnya nyonya Himura mengakhiri hidupnya. Bayangan bagaimana ia tergantung, membuatku mundur dua langkah hingga nyaris terjatuh. "Aku melihatnya sendiri bagaimana ia tergantung. Ibuku suka tersenyum. Saat nyawanya tengah diambil pun, ia tetap tersenyum lembut padaku." Aku meneguk ludah sebelum berkata, "Anda tidak menolongnya?" Hiro menggeleng lalu mulai mendekati batang pohon itu untuk menaikinya. Aku berjengit, "Tidak. Karena waktu itu , aku tidak bisa memanjat." "Tuan...turunlah. Berbahaya jika kau naik kesana!" pekikku melihatnya terus menaiki dahan tanpa ada hambatan sedikitpun. Lantas aku mengeryit membandingkan ucapannya tadi yang jelas - jelas bilang tak bisa memanjat. "Anda bilang tak bisa memanjat." Setelah sampai di dahan yang ia mau, tuan Hiro melambai padaku dari tempatnya, "Aku sudah berlatih." Mendengar penuturannya membuatku terkikik pelan. Kenapa panjat memanjat menjadi sesuatu yang harus dipelajari? "Sartika!" panggilnya, dan aku mendongak keatas. Dia kembali membuatku  jantungan karena mulai berjalan perlahan ke salah satu batang pohon tanpa berpegangan. "Tuan Hiro!" Seperti sengaja menulikan telinganya, Hiro tak mengendahkanku sambil merentangkan tangannya. Lalu tiba-tiba ia menjatuhkan diri. "Tuan Hiro!" teriakku karena khawatir.  Dia memang gila! Sekarang aku tahu kenapa dia menjadi pria sinting di keluarga Tojo. "Aku belajar memanjat agar aku bisa bergelantungan seperti ini," ujarnya lagi sambil mengayunkan tubuhnya sendiri dibatang pohon tempatnya menjatuhkan diri. Aku yang bodoh ini, kenapa malah merentangkan tangan berharap ia bisa tertangkap seperti buah apel yang akan jatuh? Aku berdecak sebal , "Harusnya anda belajar hal-hal yang lebih berguna. Belajar menjadi waras —" Sekali sentak, Hiro kini mendaratkan dirinya tepat di hadapanku. Aku nyaris terjungkal ke belakang, kalau saja sebelah tangannya tidak menahan berat tubuhku. Dan lagi...Bertatapan dengannya sedekat ini — Kenapa ada sengatan listrik di tubuhku dan juga kerongkongan yang tiba-tiba mengering? Tangan kirinya beralih menyingkirkan anak rambutku. Aku masih tetap diam membeku saat ujung jarinya mulai menyapu bibir bawahku dengan sensual. "Selama aku berada di rumah ini, aku hanya akan menjadi orang gila Sartika." Hiro bicara dengan suara seraknya yang menggoda. Aku tak sadar sudah menggigit bibir bawahku sendiri karena ia mulai mencubit pelan pipiku, "Aku harus tetap gila agar aku bisa hidup." Tuan Hiro melepaskan tangannya dipinggangku lalu menunjuk area bambu yang kami lewati tadi, "Taman bambu itu —"  Aku yang masih berkutat dengan pikiran liarku pada tatapannya serta ucapannya yang belum kupahami tadi , mengarahkan pandanganku pada apa yang ia tunjuk. "—disana banyak yang menemani ibuku di dalam tanah, kau tahu?" Aku mengeryit bingung. Lebih tepatnya mulai merasakan aura berbeda sejak tuan Hiro menanyakan hal itu, "Maksudmu itu makam keluarga?" tanyaku polos tanpa memperhatikan mimik wajahnya yang terlihat begitu serius dan gamang. Aku menarik lagi kesimpulan lain yang mungkin mencocokkan apa yang ia maksud , " — atau di sana tempat orang-orang yang dikubur karena dibunuh?" Mendengar jawabanku, tuan Mino menatapku tepat dimata. Seolah mengiyakan ucapanku tadi. . . "Mbak! Mbak Dewi!"  Aku berteriak memanggilnya begitu melihat juru masak dapur itu terlihat berseri-seri turun dari lantai dua. Aku mengatur  napasku sebelum menanyakan sesuatu padanya, "Mana tuan Hiro?" Mbak Dewi terhenyak sebelum akhirnya memintaku menarik napas dalam-dalam. Lebih tepatnya mbak Dewi kebingungan dengan apa yang kutanyakan ini , "Bukannya sama kamu tadi? aku nggak lihat —" "Iya. Tapi tuan besar datang menjemputnya tadi." Aku tidak tahu kenapa rasa benciku berpindah pada mbak Dewi kali ini. Setelah mencantumkan nama Sunyang pada daftar teratas. Dia terus bermain - main dengan dagunya mengabaikan keseriusanku saat bertanya. "Aku tidak pasti, tapi sepertinya mereka pergi meeting." Hilang sudah kesabaranku untuk melihat aksi sok imutnya padaku itu. Aku langsung berlari ke penjuru rumah untuk mencari. Di taman tadi.. Saat rasa penasaranku bertambah mendengar kuburan 'bambu' , kami segera kembali ke tempat itu. Belum sempat ke sana, tubuhku langsung di dorong Hiro untuk bersembunyi. Sedangkan dirinya, berdiri gemetar melihat seseorang yang datang menghampirinya — "Jalan-jalan?" Suara berat namun terdengar berwibawa, meyakinkanku bahwa yang datang menghampiri adalah tuan besar. Hiro tak menjawab dan memilih menunduk menghindar untuk beradu mata. Jduuk !! Kalau saja mulutku tak kusumpal dengan tanganku sendiri, mungkin aku sudah memekik menjeritkan namanya. Entah apa salah bocah itu, tendangan keras di tulang kering kakinya membuat tuan Hiro tersungkur menahan sakit. Bahkan ia mencoba untuk tak bersuara — Airmataku keluar tanpa kusadari... "Ayo bicara —" Kutemukan lagi seseorang yang ternyata lebih gila dari Sunyang. Baru beberapa hari di rumah ini, aku semakin melihat kejanggalannya. Apa yang diucapkan Hiro itu semuanya benar? Setelah menendang kaki anaknya sendiri, kini dengan santainya tua bangka itu merangkul pundak anaknya seperti temannya sendiri. Seolah hal tadi hanya sebuah salam pertemanan. Aku mengamati sambil menimbang apa yang harus kulakukan. Ikut campur untuk semakin banyak mengorek hal-hal aneh dirumah ini, atau justru sebaliknya juga beresiko. Tapi.. Hingga kuputuskan untuk mencari tahu. Walaupun ini memang sangat merepotkan. Gagal mencari informasi dengan mbak Dewi, akupun mencari ke penjuru ruangan. Dari dapur, kamar, ruang baca, hingga ruang tengah. Semua kosong dan yang tersisa hanya beberapa pelayan yang tengah berbenah. Aku rasa di rumah ini memiliki lebih dari 10 pelayan, tapi kenapa mereka semua kompak mengatakan ' tidak tahu' atau 'tidak lihat' kemana tuan besar pergi. Hingga pencarianku berhenti di ruang kerja tuan Hide yang kosong. Aku nekat masuk untuk melihat rak-rak buku yang membuatku penasaran sejak terakhir kali aku diperiksa kesehatan olehnya di ruangan ini. Setelah kuperiksa, isinya lebih banyak tersimpan buku medis dan sejarah kuno negara mereka. Tapi aku tak menyangka, ia juga menyimpan beberapa n****+ klasik dari barat. Saat aku menyentuh rak bagian n****+, perhatianku tertuju pada map besar bersampul kulit yang letaknya ada di rak teratas. Cukup sulit menjangkaunya jika memiliki tubuh pendek sepertiku ini. Beberapa tumpukan buku tebal yang tersusun di bawah kujadikan tumpuan. Dan hasilnya, aku mendapatkan apa yang kucari dan ternyata isinya tak setebal kelihatannya. Didalamnya terkumpul data - data pribadi. Keseluruhannya adalah wanita yang bekerja di rumah ini dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Aku tertarik dengan profil wanita pertama yang ada didalam daftar. Wanita muda dengan senyum manisnya, mengingatkanku dengan seseorang di foto lainnya. Dan ah — namanya adalah Mei Himura. Bukankah ini yonya Himura yang mengakhiri hidupnya dengan gantung diri? "Sedang apa kau di sini?" Suara lelaki dewasa berintonasi marah terdengar di sebalik punggungku. Begitu aku berbalik, tangan besarnya mendorongku keras hingga membentur tubuhku ke dinding. Pipiku terangkat seolah ia memintaku untuk diam. Tapi di belakang itu , ia tetap menanyakan pertanyaan yang memintaku untuk menjawabnya — "KENAPA KAU MENYENTUH BARANG ITU !!" . . . Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD