Anggur Merah

925 Words
"Cerita ini hanya karangan fiktif belaka. Latar belakang pada jaman tersebut sengaja dibuat sebagai pelengkap dan sama sekali tidak berhubungan langsung dengan sejarah aslinya." *** Satu-satunya hal bagus yang tersisa dari rumah ini adalah fasilitasnya. Ada perpustakaan, taman botani dan beberapa hal yang sudah lama kucari, bisa kudapatkan di sini. Apalagi begitu aku tahu bahwa di rumah ini juga ada kolam air hangat yang letaknya berada diujung dapur, membuatku semakin 'betah' berada di sini.  Walaupun ada beberapa hal misterius yang mulai mengganggu... Tapi toh, apa peduliku? Aku hanya seorang pelayan rumah tangga. Beberapa pelayan di sini juga menasehatiku hal yang sama — "Airnya cukup hangat. Kamu boleh berendam di sini setelah semua penghuni rumah tidur," ujar mbak Dewi. Kami kembali bertemu setelah mbak Dewi diseret oleh Sunyang tadi. Dipelipisnya ada luka lebam dan sekarang ia tengah mengompresnya. Pakaiannya juga sudah sesuai aturan. Dia mengenakan baju maid hitam seperti yang lain. Tapi tetap saja tak melupakan bagian d**a yang sengaja ia buka kancingnya. "Dulu, aku juga pernah mendapatkan ancaman seperti yang dia katakan. Tapi  - " ujarnya menggantung saat Sunyang lewat dihadapan kami dengan tatapan curiganya. Setelah memberi salam , ia pun beranjak naik ke ruangan tuan Hideki dan kami pun melanjutkan perbincangan yang sempat tertunda. "Tapi tak pernah terjadi sesuatu seperti yang dia katakan."  # Tanpa menunggu lagi. Lepas pukul sepuluh malam, aku beranjak ke kolam untuk berendam. Kolam air hangat yang muncul secara alami ini, dijaga kelestariannya oleh pendahulu keluarga ini. Mereka  membuat sekat pembatas antara taman belakang dan kolam dengan memanfaatkan dinding kayu setinggi tiga meter , ditutup dengan atap transparan serta dihiasi oleh taman buatan dan beberapa batu koral. Dari sini, aku bisa melihat terangnya sinar rembulan. Diiringi sahut-sahutan jangkrik dan burung hantu yang mewarnai dinginnya malam ini. Sambil membawa setengah botol wine yang 'kucuri' dari lemari dapur, aku mulai menuruni tangga batu lalu melepaskan handuk untuk segera berendam. "Ah...menyegarkan sekali," gumamku mulai menyisiri kolam. Dari pinggirannya lalu ke tengah. Menyelam beberapa detik sesekali meneguk hangatnya wine yang meluncur ke tenggorokanku.  Pikiranku mulai menerawang kemana-mana. Memikirkan Rubini, Sohien dan bisnisnya, berapa gaji yang akan kudapatkan setelah bekerja selama satu bulan nanti dan juga bisikan tuan Hiro. Perihal ucapannya pagi tadi.. Tuan Hiro kembali mengatakan hal yang misterius padaku. Hal yang membahayakan dan yang tersembunyi dari rumah ini. Begitu aku mulai penasaran dengan kelanjutan ceritanya, tuan Hiro yang terlalu dekat denganku itu tiba-tiba tertawa nyaring. Dia tertawa seperti orang mabuk. "Ah..apa yang kukatakan? huh?" Dia mulai mengigau. Aku segera mengambilkan air putih yang langsung ia hempaskan ke dinding. Aku cukup terkejut tapi tak cukup gemetar melihatnya mulai kumat. "Apa yang kau lakukan? cepat bawa dia ke kamar!" Itu Sunyang , yang entah sejak kapan sudah muncul di depan pintu. Melihat tuan Hiro semakin tak terkendali , akupun segera membantu yang lain untuk menggiringnya kembali ke kamar. Karena tuan Hiro terus meracau, beberapa pembantu laki-laki datang , kemudian mengikat kedua tangan tuan Hiro seperti seorang kriminal. Aku hanya bisa diam melihatnya seperti itu. Terlebih , ikatan itu masih terikat di kedua tangannya sebelum aku menuju kemari. "Kenapa aku harus peduli? Bukankah dia memang sakit? Mbak Dewi juga bilang begitu," gumamku lalu melanjutkan acara menyelamku setelah meneguk wineku hingga habis. Begitu aku hendak keluar dari kolam, terdengar langkah kaki  datang mendekat.  Lewat cahaya bulan, aku melihat kaki itu mulai masuk ke tempat ini dan berjalan ke arah kolam. Ku sembunyikan kepalaku dengan kembali merendamkan diri. Jantungku terpacu begitu cepatnya. Karna sekilas,  siluet itu seperti tubuh laki - laki dewasa — Aku tidak tahu kenapa masih tetap diam di tempat tanpa bertanya ataupun berteriak memintanya untuk pergi. Yang kulakukan masih tetap merendam tubuhku yang hanya menyisakan hidung dan mataku ke udara. Begitu air mulai tenang, aku mencari siluet itu . Yang tiba-tiba menghilang entah kemana. Seluruh tubuhku mulai merinding. Apalagi merasakan  seseorang menarik tanganku kembali masuk ke dalam air. Aku tergagap. Merasakan air masuk ke dalam hidung dan rongga mulutku. Aku meronta untuk dilepaskan dari cengkraman kuatnya pada kedua lenganku, tapi sia-sia. Tak lama sesuatu yang kenyal menyumpal bibirku yang tadi sempat terbuka. Ia memaksa untuk mengabsen gigi dan rongga mulutku.  Begitu aku membuka mata, keterkejutanku bertambah — Tuan Hiro ? —batinku. Bukan. Ini tidak terlalu jelas olehku. Semakin aku meronta , cengkramannya semakin kuat padaku. Bahkan saat keadaanku yang tak berdaya menahan napas dan ciumannya, tangan kasar itu mulai mendorong tubuhku perlahan pada dinding kolam. Aku menggeram begitu sentuhannya mulai merambat ke payudaraku. "Tuan !!" Hening. Tak ada siapapun di sini. Bahkan di dalam kolam, hanya aku seorang. Aku menarik napas dalam-dalam lalu mencoba berpikir menggunakan logika. Begitu kulihat botol wine yang tergeletak, aku mendesis sambil melangkah keluar dari kolam. Mengenakan kembali handukku lalu bergegas pergi. "Apa aku mabuk?" gumamku bingung, yang entah bagaimana masih merasakan panas di area bibirku. . . . Masih dalam keadaan linglung, aku langsung berlari menuju lantai atas. Karena tergesa-gesa, aku tak melihat siapa yang telah kutabrak hingga membuat kami sama-sama terjatuh ke lantai. Begitu aku mendongak, darahku serasa mengalir cepat ke wajah. Karena orang yang kutabrak adalah seseorang yang kukagumi sejak menginjakkan kaki kemari. "Sartika —" "Tu..tuan Hide — gomenasai!" ujarku terbata-bata. Aku terlalu sibuk meminta maaf sampai tak menyadari , lipatan handukku terbuka hingga menampakkan setengah bagian dari tubuh atasku. "Nani!" ( Apa!) pekikku. Tuan Hide yang tak sengaja melihat lantas berbalik, "Kemana kau pergi malam-malam begini?" Suaranya terdengar agak bergetar meski ia menyembunyikan wajahnya membelakangiku. Aku terus merutuki kebodohanku yang berulah malam ini, "Anoo...itu —" "Masuklah ke kamarmu —" pintanya setelah berdeham dua kali, "—diluar sini sangat dingin." "Gomenasai (Maaf). Saya permisi tuan." Aku meninggalkannya yang masih berdiri dengan kedua tangan tertaut ke belakang. Berlari secepat mungkin sebelum dia menoleh melihatku yang masih mengenakan handuk. Begitu sampai, otomatis aku menghela napas lega setelah lolos dari hal-hal memalukanku ini. Walaupun aku yakin, ini akan menjadi pengalaman buruk yang aku dan tuan Hide alami. Ahh — baka! (Bodoh). Salahkan wine yang membuatku mabuk seperti ini ! . . . Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD