Hirota Tojo

946 Words
** Cerita ini hanyalah kisah fiktif belaka. Tidak ada kaitannya dengan sejarah maupun cerita aslinya. Nama tokoh, tempat kejadian dan isi cerita semuanya ditulis tanpa ada unsur untuk membuat sejarah baru.** Selesai membersihkan kamar , aku segera beranjak menuju dapur. Dari atas lantai satu aku melihat tuan Hiro keluar dari ruang kerja kakaknya dengan tatapan lesu. Pelayan dapur memanggilku dengan amat lembut. Tapi dari ekspressinya dia sangat enggan untuk bertemu muka dengan seseorang yang ia lirik lewat ekor matanya... "Ini obat untuknya."  Pelayan itu langsung lari ke dapur setelah memberi nampan berisi obat.  Tunggu. Berapa obat yang harus ia minum setiap harinya?  Suara sol sepatu kian mendekat , tuan Hiro berdiri di satu anak tangga dengan wajah yang dibuat terpaksa untuk tersenyum , "Racunku sudah datang yah." Aku mengeryit tak mengerti, tapi setelahnya tuan Hiro melenggang pergi melewatiku menuju ruang makannya. Aku mengekorinya hingga ia duduk tenang di mejanya. Seperti sarapan tuan Hide pagi ini, Hiro menyantap semua itu dengan lahap. Sesuatu yang mengusikku hanyalah nampan berisi obat-obatan.  Apa sakitnya separah itu? "Pelayan itu begitu ketakutan melihatku yah?" tanyanya tanpa melepaskan genggaman roti tawar berisi bacon ditangannya. Sesekali ia mencuri pandang padaku kemudian kembali menunduk. Aku mengangguk untuk membalas pertanyaannya. "Kau juga takut padaku?" tanyanya lagi. Dan aku cukup tertegun dengan caranya menatapku. Dimatanya terlihat sangat letih dan juga sedih. Aku berulang kali mengalihkan diri agar tak terpancing dengan puppy eyes itu .. "Awalnya begitu. Mereka terus memperingatkanku dengan kejadian kau yang - " Hiro meletakkan gelas susunya memotong ucapanku , " —mencekik seorang pelayan?" Spontan aku mengangguk dan mulai mengantisipasi dirinya yang mulai berdiri mendekatiku. Aku terus menunduk mengawasi langkahnya dan ... Hiro mengambil sesuatu di pundakku. Sekali lagi, itu adalah seekor kumbang pohon. Berbeda dengan kakaknya, Hiro dengan tenang meletakkan kumbang itu ke pundaknya. Bermain dengan sang kumbang seolah itu adalah temannya.  Dan ini pertama kalinya aku melihatnya tersenyum hangat. "Aku tidak melakukannya. Itu rumor —" ucapnya kini kembali murung. "Aku tidak gila. Aku baik-baik saja!!" "Semua pasien yang dianggap kehilangan akal juga akan menyatakan dirinya baik-baik saja " jawabku asal yang langsung mendapat kerutan kesedihan di wajahnya. Aku cepat-cepat menutup mulutku karena kelepasan bicara. Mulai mundur teratur, takut kalau tiba-tiba saja ia akan menyerangku. "Mereka semua tidak ada yang mau bicara denganku. Aku senang kau mau menjawab dan bicara denganku , Sartika." "Anda tau nama saya?" tanyaku bingung.  Hiro melangkah melewatiku tanpa menjawab pertanyaanku. Mendekati jendela lalu meletakkan kumbang itu pada pinggiran pot bunga. Cahaya matahari yang menyinari wajah dan kemeja putih terawangnya itu cukup mengalihkan perhatianku.  Dari rasa takut menjadi rasa iba.  "Aku mengingatkanmu sekali lagi Sartika. Pergi dari rumah ini sebelum kau —" Kalau sikapnya setenang ini, aku bisa percaya bahwa dia tidak gila. Tapi siapa yang akan menduga hal-hal yang akan terjadi kedepannya? "Lalu kenapa kau berbisik minta tolong padaku? Apa ada sesuatu dirumah ini ?" tanyaku serius , saat tuan Hiro kembali berjalan mendekat ke arahku. Kurasakan tangan dinginnya menyentuh pipi dan leherku. Melihatnya sedekat ini, mataku teralihkan pada luka goresan yang cukup dalam disebalik kemeja putih menerawangnya. Bahkan jika di perhatikan lebih dekat lagi , ada bekas kebiruan di kening yang tertutup rambutnya yang basah. Hiro mendekati telingaku dan berbisik , "Yah.. tempat ini sangat berbahaya , Sartika." . . Ucapannya masih terngiang di kepalaku. Tapi aku tak ingin memikirkannya karena bisa saja belum terbukti. Tuan Hiro kadang melupakan apa yang ia katakan. Jadi..bisa saja itu hanya omong kosong kan? Aku memilih melanjutkan pekerjaanku di dapur. Di sana sudah banyak para pembantu lain yang tengah melakukan pekerjaan mereka masing-masing. Aku lihat mbak Dewi yang cantik dan bahenol itu tengah mengupas bawang dengan kebaya yang sengaja agak melorot. Padahal kami sudah diberikan pakaian maid, tapi kata mbak yang lain memang mbak Dewi sengaja melakukan itu. Karena dia digadang-gadang jadi simpenan tuan besar.  "Hei..Sartika! Sini -" panggil mbak Dewi yang semringah sekali hari ini. Berbeda dengan mbak yang lain malah terlihat sinis mendengar suara manja mbak Dewi. "Iya mbak." "Kamu tadi ngapain?" "Beri obat tuan Hiro." Mbak Dewi manggut-manggut. Ia lantas memberikanku pisau agar membantunya mengupas bawang. "Kamu sudah tahu kan? Kalau di sini jangan dekat-dekat dengan tuan Hiro." "Tapi mana mungkin mbak. Aku kan selalu berada didekat tuan." "Nah..setelah ini kamu harus jauhi dia. Jangan percaya apapun kata-katanya." Kata-katanya? Apa yang dia maksud tentang segera keluar dari rumah ini? Apa semua pembantu di sini juga dibisiki olehnya seperti itu? "Kamu pasti heran kenapa mereka semua ndelokin aku." *ndelok : ngelihatin Aku nyengir. Sudah jelas itu karena penampilannya yang terlalu seksi kan? "Nggak tahu mbak," jawabku pura-pura tak tahu. "Mereka iri aja sama aku. Kamu juga cantik, mau nggak kalau gabung sama aku?" "Gabung? Gabung apa mbak?" balasku sambil berbisik juga. Tak lama Sunyang datang melototi kami. Dengan langkah besar ia menghampiriku dan mbak Dewi yang masih mesam mesem sendiri tak mengetahui kedatangan Sunyang. Lalu hal yang tak terduga datang. Sunyang menarik sanggul rambut mbak Dewi lalu menamparnya keras. Beliau juga bahkan mengoyak kebaya kedodoran milik mbak Dewi itu hingga menampakkan isinya.  Semua yang menonton terperenyak. Terutama saat mereka melihat dengan jelas sindoro milik mbak Dewi yang ukurannya cukup lumayan. Pantas saja mbak Dewi berkata demikian. Ia memang menarik perhatian dan pastinya disukai pria manapun dengan kemolekannya. Entah kenapa aku teringat dengan Rubini dan Parti.  "Ganti baju kamu!" Mbak Dewi diam saja. Ia malah mengibas rambutnya yang tergerai lalu nyengir lebar sambil bersedekap. "Gerah," jawabnya. Sunyang semakin geram. Ia lantas melempar bubuk kunyit ke wajah mbak Dewi hingga perkelahian pun tak terelakkan. Karena tak ada yang berani melerai termasuk aku, maka kehebohan di dapur pun akhirnya terjadi. Namun sepertinya pertikaian ini dimenangkan oleh Sunyang. Beberapa anak setianya membantunya untuk menangkap mbak Dewi lalu menyeretnya entah kemana. Aku menelan ludah karena ternyata di dalam sini pekerjanya saling membenci.  "AWAS KAU TUA BANGKA! AKU AKAN LAPORKAN INI SAMA TUAN TOJOOO! AWAS KAU!" teriak mbak Dewi yang diseret ke lorong gelap yang tak pernah kulalui sebelumnya. . . Bersambung. Jangan lupa tap love dan follow yaaah. Aku bakalan follow dan tap love balik karya kalian :* Ditunggu kritik dan sarannya juga ya gaes :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD