"Sudah lama aku..., suka sama Mas Ilham."
Mulut Ilham mengatup rapat saat rungunya mendengar pengakuan suka dari Alexa. Yabuseet!! Gue ditembak ini. Tapi kenapa harus Lexa sih. Gumam Ilham membatin.
Sedetik, dua detik, lelaki itu masih tetap bergeming, otaknya sibuk merangkai kata balasan yang sekiranya masuk akal tapi tidak terkesan menyakiti bagi Lexa.
"Lexa becanda neh." Ilham berkata seraya terkekeh.
"Aku nggak bercanda Mas. Aku serius suka sama Mas Ilham," ucap Lexa membalas gurauan Ilham. Lagi, Ilham terdiam seketika.
Ditatapnya gadis yang baru mengungkap perasaannya itu dengan lekat. Sekilas benak Ilham menilai Alexa. Tidak ada yang kurang dari gadis itu, bahkan nyaris sempurna dengan paras cantik, tubuh langsing dan kulit putihnya. Tapi entah kenapa, Ilham sama sekali tidak tertarik pada Alexa. Bagi lelaki itu Lexa hanya sekadar rekan kerja, tidak lebih maupun kurang. Apalagi perangai Alexa selama ini yang gemar sekali bergonta-ganti pacar, menambah rasa tak empati dari Ilham. Tapi peduli apa Ilham akan polah Lexa, toh dia tak pernah menanggapi lebih dari sekadar staff kantor tempatnya bekerja.
"Yabusett! Jangan-jangan karma nya si Liliput nyamper ke gue ini. Liliput dulu kan nyatain cinta duluan ke Ghaly, lha ini si Alexa nembak gue sekarang." Ilham menggerutu dalam batin. Memori otak lelaki itu jadi tertawan pada kisah Illyana adiknya, dan Ghaly suaminya. Pasalnya dulu Illyana-lah yang menyatakan perasaan lebih dulu pada Ghaly, sama persis seperti Alexa menyatakan rasa sukanya saat ini. Hah! Tidak, mereka berbeda. Illyana sudah jelas bukan sekadar menyatakan rasa suka kala itu, tapi rasa cinta yang serius dan bermuara pada jenjang pernikahan. Ikatan yang kuat pada akad, dan bukan hanya main-main. Lalu ditilik dari segi penampilan pun adik Ilham itu lebih segalanya menurut sudut pandang lelaki itu, Illyana sejak balita sudah dibiasakan memakai pakaian tertutup serta berjilbab rapat, sedang Alexa..., bukan bermaksud membandingkan tapi Ilham sudah mendoktrin otaknya, jika kelak ia mencari pendamping hidup yang paling utama adalah perempuan itu harus menghargai dirinya sendiri, contohnya dengan tidak mengumbar aurat.
Bukan ingin mencari yang sempurna, atau yang shaliha, Ilham sadar benar, dirinya belum tentu termasuk lelaki yang shalih, hanya saja abi-ummi selalu mewanti jika mencari pendamping hidup, empat hal yang paling utama dilihat pada seorang perempuan yang akan dinikahi adalah karena empat perkara: Harta, nasab, kecantikan dan agamanya. Maka utamakan memilih wanita yang beragama, kamu akan merugi (bila tidak memilihnya). (HR. Bukhari)
Pada jaman seperti saat ini, sangatlah sukar dan langka memilih perempuan dengan sifat empat kriteria tersebut tapi diakhir hadits tersebut ditekankan pada yang agamanya baik. Karena wanita yang shalihah Insya Allah akan dapat menjadi isteri dan ibu yang baik buat anak-anaknya.
Ilham hanya tak ingin salah mengambil keputusan menyangkut masa depan bukan hanya tentang dunia tapi juga menyangkut akhirat.
Coba bayangkan saja, perbandingan perempuan muslim yang menutup dapat auratnya dengan tidak itu jika diibaratkan sebuah barang dagangan, yang satu terbungkus rapat, dipajang di etalase, tidak sembarangan tangan bisa memegang, hanya orang yang benar-benar serius yang bisa membawanya pulang, sedang yang satunya, terbuka, dipajang seadanya, bahkan banyak tangan yang menjamah, siapapun yang menghendaki, bisa dengan gampang membawanya.
Padahal sudah sangat jelas sekali perintah Allah dalam surah Al-Azab ayat 59:
Wahai Nabi! katakanllah kepada istri - istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, Hendaklah mereka menutupkan jibabnya keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenal sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah SWT Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang.
Sebab pandangan itu salah satu bentuk panah setan yang ditembak pada siapa saja. Panah ini merupakan panah yang jahat yang mampu merusak manusia bukan hanya satu tapi dua manusia sekaligus. Pandangan liar pun diharapkan tidak dilakukan sebab sudah masuk pada jenis zina mata. Apabila mata telah rusak maka akan mengarah pada kerusakan di hati.
"Mas...Ilham, kenapa diam?" Suara Alexa membawa Ilham kembali pada situasi saat ini, meninggalkan sejenak angannya yang melayang.
"Maaf Lexa, Saya bingung..," sahut Ilham.
Gadis itu menatap lekat ke dalam bola mata Ilham, "Bingung kenapa Mas? Apa tidak ada kesempatan buat aku, Mas?" Tanyanya dengan tatapan memohon.
"Kenapa kamu bisa berpikir kalau menyukai saya, Lexa? Kamu ini masih muda lho, cantik lagi, pasti bisa dapat yang lebih baik dari saya." Jawaban Ilham seolah menyiratkan bahwa dia tak siap dengan hubungan yang lebih dengan gadis itu.
"Aku nggak peduli Mas, biarpun umur kita terpaut jauh, tapi aku sudah suka sejak pertama kali kita ketemu, apa Mas Ilham mau memberi kesempatan buat Lexa?" Rupanya Alexa tetap pada pendiriannya. Ilham sampai menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, bingung dan tidak tahu harus menjawab apa.
"Mas..."
Ilham memejamkan matanya sejenak, mengambil napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan.
"Begini Lexa, untuk saat ini saya belum kepikiran untuk menjalin hubungan serius dengan lawan jenis. Ada banyak hal yang membuat saya ragu, jadi maaf sekali Lexa, tidak untuk sekarang."
"Lalu kapan Mas? Aku janji pasti akan menunggu sampai kamu siap, tapi tolong beri aku kepastian Mas."
"Oke, saya mau memberi kamu kepastian, asal dengan satu syarat."
Alexa tersenyum semringah mendengar lontaran kata Ilham.
"Apapun syaratnya Mas, pasti akan aku penuhi."
Ilham terdiam sejenak. Dia pikir dengan mengajukan syarat Alexa pasti akan mundur, tapi kenyataannya gadis itu malah menantang.
"Begini Lexa, umur saya ini sudah bukan waktunya main-main lagi jika ingin memulai sebuah komitmen, dari dulu saya selalu berharap jika calon isteri yang saya harapkan adalah perempuan yang mau menghargai dirinya sendiri." Ilham memulai penjelasannya. Sementara Alexa menyimak tanpa kedip, sesekali bibirnya tergerak seolah ingin memotong ucapan Ilham. "Saya akan mempertimbangkan tentang komitmen yang kamu mau, tapi sebelum itu saya mau kalau kamu bisa berubah lebih dulu." Sambung Ilham.
"Berubah? Maksudnya bagaimana Mas?" Alexa melempar tanya dengan mimik wajah yang sulit diartikan.
"Iya Lexa, nanti kalau kamu sudah berubah, mau berjilbab, menutup aurat, lebih menghargai diri kamu sendiri, dan juga tidak meninggalkan kewajiban salat lima waktu, baru kita akan membicarakannya lagi, mungkin."
"Mas, kenapa syaratnya harus seperti itu. Berat sekali, jujur aku belum siap kalau harus berjilbab atau memakai pakaian tertutup, tidak modis Mas, apa kata temen-temenku nanti." Alexa protes.
"Itu urusan kamu Lexa, sanggup atau tidak tergantung diri kamu sendiri, dan untuk syarat dari saya, juga sudah menjadi harga mutlak."
"Mas, tidak bisakah kalau---,"
"Maaf Lexa, jam makan siang sudah habis, kita harus kembali pada kerjaan masing-masing, sekali lagi maaf kalau belum bisa menerima perasaan kamu, saya harap kita tetap menjalin kerjasama layaknya rekan kerja seperti biasanya."
Tak menunggu balasan kata Alexa, Ilham berdiri, menyeret langkah kembali ke kubikelnya. Ilham nampak mengusap rambutnya kasar, merasa sudah berdosa karena tak langsung mungkin menyakiti hati Alexa. Tapi mau gimana lagi, hatinya benar-benar tak ada rasa dengan Alexa, masa iya harus dipaksa suka.
Duduk menyender di kursi dalam kubikel. Mata Ilham menerawang, bola matanya memang mengarah pada maket yang hampir jadi tersusun rapi di meja, tapi otaknya mengelana ke waktu bersama Alexa tadi.
"Napa lo Ham. Baru dateng udah ngelamun aja."
"Gue bingung Bar." Eluh Ilham pada Akbar.
"Akbar mengernyit. Tak paham maksud ucapan Ilham.
"Bingung kenape Mas Vroh?"
"Di rumah gue didesak abi-ummi, direcoki supaya cepat-cepat bawa calon istri, eh di sini ada Alexa yang tiba-tiba menyatakan perasaan sama gue."
"Wagelaseh..!! Lexa nembak lo, Ham? Rejeki nomplok itu namanya." Akbar membeliak, hiperbolis sendiri mendengar tutur Ilham.
"Gue tolak!"
"Serius lo, yabuseett Ham! Giliran ada yang mau aja ditolak, kesempatan bagus kok disia-siakan. Kurang sempurna apalagi coba si Alexa." Akbar mencak-mencak mendengar cerita Ilham.
"Lo paham kan Bar prinsip hidup gue dalam mencari pasangan." Timpal Ilham mengingatkan Akbar. Akbar terlihat angut-angut, paham apa yang dimaksud Ilham.
Prinsip Ilham yang tidak bisa diganggu gugat soal calon isteri semua pernah ia ceritakan pada Akbar. Menemukan pasangan, menikah, lalu mengarungi bahtera rumah tangga, siapa yang tak ingin, tak terkecuali bagi Ilham.
Apalagi jika merunut tentang perintah Allah tentang pernikahan yang terdapat dalam surah Ar-Ruum:
Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram bersamanya, dan dijadikanNya diantara kamu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian terdapat tanda-tanda (kekuasananNya) bagi kaum yang berfikir.(QS. Ar-Ruum:30).
Rumah tangga itu ibadah terlama, menjalaninya seumur hidup, sepanjang masa, makanya Ilham tidak bisa gegabah memilih pasangan hidup, harus satu untuk selamanya.
"Ham, ponakan lo yang imut itu siapa namanya?" Akbar tiba-tiba menyeletuk tentang Fazhura. Ilham mereaksi pertanyaan temannya itu. Matanya langsung menelisik pandang pada Akbar.
"Fazha, kenapa emangnya Bar?" Selidik Ilham.
"Cantik Ham, imut lagi. Boleh dong nitip salam buat Fazha." Seloroh Akbar dengan cengirannya.
"Nggak ada salam-salaman ya!! Apalagi dari buaya darat kayak lo, Bar. Fazhura itu kesayangan gue, jadi lo gausah berniat macem-macem sama Fazha." Ilham membalas dengan banyak kata, saat Akbar berkata ingin menitip salam pada Fazha.
"Yaelah, segitunya lo Ham. Over protektif banget. Kayak sama bini aja." Celetuk Akbar.
Ilham tak menyahut. Entah kenapa dia selalu over protektif jika sudah menyangkut tentang Fazhura.
Fokus Ilham agak terganggu saat matahari mulai menggeser ke arah barat. Melirik sekilas jam tangannya, waktu menunjukkan pukul lima sore. Beberapa berkas masih belum selesai, terpaksa Ilham belum bisa beranjak dari kubikelnya, padahal kemarin sudah janji akan ikut serta mengantar Fazha ke bandara.
"Ambien lo Ham, gelisah mulu duduk dari tadi kagak tenang." Akbar bergumam saat ekor matanya tak sengaja menangkap gerik Ilham yang gelisah.
"Gue musti ke bandara sekarang Bar. tapi laporan belum kelar juga, gimana ya?"
"Ngapain ke bandara Ham?"
"Ba'da magrib nanti Fazha berangkat ke Jakarta, gue udah janji mau ikut nganter, tapi kerjaan malah masih numpuk."
"Yaudah, lo cabut aja. Biar gue yang nyelesein kerjaan lo."
Mata Ilham seketika berbinar cerah.
"Cius lo Bar? Mi apa...? Baek banget sih, takasih sun sini Bar." Ilham berkata seraya menirukan gaya serta lenggok perempuan. Akbar yang melihat, memasang ekspresi mau muntah mendengar nada bicara Ilham yang dibuat-buat.
"Zizi anet gaya lo Qaqa. Udah pergi sono sebelum gue berubah pikiran!"
Ilham sangat berterima kasih sekali Tuhan mengirimkan teman serta rekan kerja seperti Akbar. Meski sering berdebat dan saling mengumpat, tapi Akbar itu tulus dan baik hati. Seperti saat ini, Akbar mengambil alih kerjaan Ilham agar lelaki itu bisa secepatnya menyusul Fazha di bandara.
Memacu mobilnya agak cepat, Ilham langsung menuju ke bandara tanpa pulang ke rumah, pasti semua orang rumah sudah berangkat lebih dulu ke sana. Ilham merapal, semoga saja tidak telat dan bisa menemui Fazha sebelum berangkat.
***************************
Bersambung.....