Bab. 9

1915 Words
Semangkuk besar mie instan rebus bercampur telor sudah hampir tandas oleh Ilham dan Fazhura. Karena biasanya mereka berdua sangat jarang sekali mengkonsumsi mie instan, jadi kali ini keduanya nampak lahap dan menikmati sekali. Apalagi jika jauh dari keluarga serta orangtua begini, sudah pasti nanti yang akan jadi makanan andalan tak lain ya mie instan, jika tidak sempat membeli nasi. "Habis Ammi." Fazhura meletakkan sendoknya saat mie sudah habis hanya menyisakan kuah. Ilham belum berhenti, dicecapnya pinggiran mangkuk sampai isinya tandas tak bersisa. Fazhura hanya mengamati sambil mengernyit, "Ammi ini laper apa doyan sih?" imbuhnya mengomentari polah amminya. "Doyan. Kapan lagi bisa bebas makan mie, kalau di rumah, kan pasti direcoki sama ummi." serga Ilham beralibi. Fazhura bergeming, meski kurang sependapat tapi yang dikatakan Ilham memang benar. Kalau di rumah pasti sering tak ijinkan oleh ummah-nya untuk makan mie instan. Yang kurang baik buat kesehatanlah, yang katanya kebanyakan micinlah. Fazha sampai heran sendiri, kenapa jika ada kelakuan anak jaman now yang alay atau kurang pintar sedikit saja, pasti yang di kambing hitamkan si micin. Padahal micin tak tau apa-apa. Halah! Sial benar nasibmu micin. Dibutuhkan banyak orang, tapi juga penuh dengan hujatan. Ibarat cinta, habis manis sepah dibuang. Sakit vroh! "Ngantuk Zha. Bikinin Ammi kopi dong." Netra Fazhura menangkap uapan lebar dari mulut Ilham. "Yabuset Ammi, habis makan mie mau minum kopi. Lagian di sini mana ada kopinya? Kan belum belanja Ammi." bantah Fazha. Memang iya, apartemen ini kan baru akan dihuni oleh Ilham. Segala kebutuhan serta bahan dapur belum tersedia. "Ada Zha, tadi Ammi lihat di laci dapur, kayaknya punya mbak yang biasanya beresin apartemen ini." Ilham teringat kalau tadi sempat mengamati stoples kaca berisi bubuk kopi dan juga gula terletak berjejer di sana. "Mau yang manis apa pahit kopinya Ammi?" tanya Fazhura memberi pilihan. Sebab selain jail, Ilham itu tingkat cerewetnya naudzubillah. Nanti dibikinkan yang manis, kayanya kurang pahit, dikasih yang agak pahit, katanya kurang manis. Kan galau hati Fazha. Kalau sesekali dikasih garam saja gimana ya? "Jangan terlalu manis Fazha, yang penting setia," sahut Ilham jail. Fazhura mendelik mendengar jawaban amminya. Ilham itu kapan bisa serius, selalu saja jail dan penuh candaan. Tak menjawab Fazha bergerak kembali ke belakang, membuat pesanan Ilham yang masih tergelak . Lihat saja, setelah ini Fazha akan balas dendam, paling tidak Ilham harus membelikan beberapa keperluan gadis itu yang belum tersedia. Ekor mata Ilham mengikuti langkah Fazha. Otaknya tiba-tiba membayangkan jika saat ini seperti punya istri saja rasanya ketika Fazha dengan senang hati menuruti apa yang dia inginkan, dan membuatkan apa yang dia butuhkan. Tetapi hanya sebatas kebutuhan badania saja ya, tidak untuk lahiriah. Yaiyalah, kalau kebutuhan lahir batin itu urusan nanti sama yang halal saja. Diam-diam Ilham mengulum senyum, membayangkan akan seperti apa kalau seandainya Tuhan benar-benar menjadikan Fazha separuh tulang rusuknya yang hilang, layaknya candaan yang sering ia lontarkan selama ini. Ilham menggelengkan kepalanya sendiri, lalu memukul pelan pelipisnya. Gendeng kowe Ham! Mikirmu aneh-aneh wae. Batin Ilham mengumpat sendiri. Rabbi, bukankah setiap yang hidup di dunia ini diciptakan berpasang-pasangan, terus jodohku di mana? Apa mungkin masih transit di hati yang lain kali ya? Cerca lelaki itu sendiri, bertanya dalam otaknya. Naruto aja punya jodoh trus nikah, masa gue kalah. Truk aja gandengan, trus gue kapan? Eluhnya lagi. Salah besar ternyata kata Dilan kalau rindu itu berat. Yang berat itu menanti hilal jodoh Vroh! Mau disalurkan ke mana rindunya kalau belum ada perwujudan dia si penggengam hati. Fazhura datang dengan secangkir kopi dalam tatakan. Meletakkan di meja, tepat di depan Ilham. Aroma harum dari semerbak kepulan asap kopi yang masih panas memenuhi segenap ruang. Gadis itu lalu mengambil tempat duduk di seberang Ilham. "Makasih Fazha." "Nggak gratis lho Ammi. Janji Ammi yang kemarin belum dipenuhi lho ya. Terus yang sekarang sebagai gantinya nanti beliin Fazha keperluan buat kuliah." tagih Fazha. "Yabusett. Inget aja sama i-phone, kirain udah lupa. Matre amat sih kau ini Nak." "Ammi, kan yang ngajarin, katanya kesempatan itu harus dimanfaatkan sebaik mungkin." Ilham meraih cangkir berisi kopi, menuangkan pada tatakan sampai memenuhi tepiannya, mendiamkan sejenak agar berkurang panasnya lalu menenggaknya habis. Netranya sesekali melirik jam--yang mengarah ke pukul satu siang. Baru sadar jika dia dan Fazhura belum menunaikan dzuhur. Ilham bangkit hendak mengambil wudhu, "Salat dulu Za, udah jam satu lebih," serunya pada Fazha. Fazhura menggeleng pelan, "Ammi aja, Fazha lagi halangan," sahut Fazha menolak ajakan Amminya. Baru kemarin Fazha kedatangan tamu bulanannya, sebab itu sejak tadi dia santai saja. Ilham yang mendengar jawaban Fazha langsung melengang akan mengambil wudhu serta menunaikan shalat. Sepeninggal Ilham, Fazha memilih merebahkan tubuhnya sejenak di sofa. Televisi ia nyalakan, sengaja agar tidak terlalu sepi. Sejenak angan Fazha berkelebat tentang nasihat ummi serta abinya sebelum kembali ke Surabaya. Mereka berpesan kalau Fazha tidak boleh dekat-dekat dengan lelaki yang bukan mahramnya, termasuk juga pada Ilham. Sedikit rasa tak nyaman serta bersalah menelusup relung hati Fazha. Apalagi jika membayangkan tentang reaksi abi Ghaly dan ummi Illyana, serta buya Fariz dan ummah Lila. Pasti mereka akan mencecar Fazha maupun Ilham dengan dalil serta hadits-hadits shahih tentang larangan ikhtilat pada yang bukan mahram. Tiga puluh menit berlalu, Ilham kembali usai menunaikan kewajibannya. Tidak ada sepatah-kata pun yang keluar dari bibir lelaki itu. Ilham memilih menghempaskan tubuhnya, duduk di seberang Fazha yang tengah asyik bermain game dalam ponsel pintarnya. Fazha menoleh, mendapati Ilham yang seperti sedang merenungkan sesuatu. "Ammi mikirin apa sih? Sekarang ini suka banget ngelamun sendiri. Awas kesambet lho." Fazha tidak betah jika hanya duduk diam-diaman. Bukan tidak tahu apa yang dipikirkan amminya. Tanpa bertanya sebenarnya Fazhura bisa menebak, apalagi yang dipikirkan Ilham kalau bukan tentang jodoh yang tak kunjung datang. "Fazhura, menurutmu rumah tangga itu apa?" Ilham bertanya spontan. Dia sendiri juga heran, kenapa menanyakan tentang hal seperti itu pada Fazhura yang jelas-jelas masih piyik istilahnya, belum paham apa-apa tentang rumah tangga. Mulut Ilham hanya gatal saja, ingin tahu pendapat Fazha. Fazhura menoleh Ilham, matanya membola serta tercetak kernyitan dalam keningnya. "Hah? Napa nanya ke Fazha, ya mana kutempe, kan Fazha belum ngalamin, tanya aja ke ummi Illyana sama abi Ghaly yang berpengalaman." "Bukan gitu dodol, maksud Ammi, kalau misalnya Fazha tiba-tiba ketemu jodoh trus diajakin nikah gimana? Ribet nggak menurut Fazha?" "Rumah tangga emang ribet Ammi, kalau yang sederhana namanya rumah makan." Fazhura tergelak oleh jawabannya sendiri. Hari gene mau yang manis-manis doang? Mana ada Vroh. Permen saja ada asin sama pedes, rame rasanya, apalagi hidup. Terlebih yang berumah tangga. Lagipula aneh sekali amminya itu. Kenapa bertanya hal yang mustahil bagi Fazha. Menikah, lalu menjalani rumah tangga di usia yang terbilang masih sangat muda? Yakali, terbersit dalam otak Fazha tidak pernah. "Emang kenapa sih Ammi? Bahasannya tentang rumah tangga melulu. Kayak nggak ada topik lain gitu." "Menurut Fazha, mendingan Alexa apa Ashila?" lagi. Ilham merasa menanyakan sesuatu yang tidak penting. Ashila atau Alexa? Memikirkan tentang mereka saja tidak pernah dalam benak Ilham. Yabuset. Dua nama itu lagi yang disebut amminya. Fazhura langsung bergeming, enggan menjawab. Bukan apa-apa, tapi dua nama itu menurut Fazhura sangat tidak cocok jika menjadi pilihan Ilham. Apalagi tadi setelah Fazhura mendengar Ilham bercerita kalau Shila baru saja bercerai dari suaminya. Sudah pernah ditolak, ditinggal nikah, eh masa sekarang mau dibalikin lagi? Kurang piknik itu namanya Ham! Lain Shila, lain pula Alexa. Sama halnya, Fazhura kurang suka dengan salah satu rekan kerja amminya itu. Kemarin Ilham sempat menumpahkan keluh kesahnya pada Fazha, kalau Alexa begitu agresif sekali pada Ilham. Dari tutur cerita saja Fazha sudah antipati alias eneg duluan. Tapi Zha! Jangan menilai orang hanya dari cerita, siapa tahu memang jodohnya ammi-mu. Halah! Nggak ada jodoh-jodohan. Belum apa-apa saja sudah menolak saat Ilham mencoba memberi syarat agar Lexa mau menutup aurat sepenuhnya. Karena sudah tahu kalau Lexa akan menolak mentah-mentah syarat dari ya, makanya Ilham malah menantangnya saat itu, dan tebakannya tepat tentang Alexa. Cewe kekinian, dandanan serta penampilan serba wah, mana mau disuruh meninggalkan semua kebiasaan yang menurut mereka itu adalah sebuah 'harga diri'. Terkadang Ilham sendiri heran dengan orang-orang jaman now. Yang pakai jilbab lebar nan menjuntai panjang, dikata kearab-araban, tetapi yang memakai pakaian mini bahan, kebarat-kebaratan dianggap wajar dan biasa. Padahal Allah berfirman Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka (HR Abu Dawud, hasan) Larangan atas sifat tasyabbuh bil kuffar (menyerupai orang kafir) sudah sangat jelas Allah tekankan. Kan belum dapet hidayah. Ini yang terkadang menjadi tolok ukur peringai seseorang. Hei! Hidayah itu dicari, dikejar, bukan cuma menunggu sambil berpangku tangan. Kan hidayah itu milik Allah, dan akan diberikan juga pada orang yang Allah kehendaki. Iya betul. Tapi hidayah tanpa iktiar juga, ibarat menyeberangi lautan tanpa berenang. "Tidak tau Ammi! Memangnya Ammi serius mau balikan lagi sama tante Shila?" sekian detik bergeming Fazha akhirnya menjawab tanya Ilham. "Siapa juga yang mau balikan Zha. Ammi kan cuma nanya seandainya." "Ya terserah Ammi sih, mau milih tante Shila atau Alexa. Ammi yang punya perasaan kok." "Kalau milih kamu gimana Zha?" Ilham setengah berlari saat Fazha sudah ancang-ancang dengan bantal sofa siap melayang di tangannya. Fazha tidak peduli. Dia hanya tidak ingin kalau amminya salah langkah lagi dalam memilih pasangan. Kadang ada yang pura-pura baik awalnya, tapi nyatanya malah nyakitin di akhir. Biasanya yang macam begitu, penampilannya rohani, tapi kelakuan roh halus. *** Siang sudah tidak terlalu terik saat akan Ilham mengantar Fazhura kembali ke kos-nya. Keduanya berjalan hendak melangkah keluar pintu apartemen. "Fazhura..." sebuah panggilan mereaksi keduanya. Fazha dan Ilham menoleh bersamaan. "Sedang apa di sini sayang?" suara lain melempar tanya. "Tan..te Rissa, sama Oom Satya kok," Fazha berucap dengan gelagapan, antara kaget dan takut. "Sat, ketemu di sini kita." Ilham yang sudah mengenal lama dengan Satya ikut menimpali. Beberapa tahun tak pernah bersua, dan baru kali ini Ilham kembali menjumpai Satya serta Rissa. "Iya Ham, kebetulan di sebelah sana itu apartemen gue, berhubung masa sewanya sudah hampir habis, dan penyewanya nggak mau nerusin, makanya kita ke sini buat ngurusin semuanya." Satya menjelaskan perihal bagaimana mereka bisa bertemu di tempat ini. "Fazha bukannya ngekost sendiri, kan? Kalian nggak tinggal satu atap kan, Mas Ilham?" Rissa--istri Satya ikut bertanya heran. "Yabuset Ris. Ya kagak lah. Iya bener, Fazha ngekos sendiri kok, ini gue mau nganterin dia balik ke kostannya. Yakali tinggal seatap, bisa dinikahin kalau sampe ketauan sama abi." "Iya Oom, Tante. Ini Fazha mau balik kok, tadi cuma mampir sebentar ke sini." timpal Fazha dengan wajah memerah karena cemas. "Yasudah, buruan anterin Ham. Nggak baik, bukan mahram berduaan terus." "Iye, ini juga mau balik. Kayak apaan aja gue. Yakali ponakan sendiri diembat." "Fazha pamit ya Tan, Om. Assalamualaikum.." Ilham dan Fazha meneruskan langkah dalam geming masing-masing. Hati Fazha berkecamuk, cemas dan takut kalau-kalau nanti Satya atau Rissa akan mengadukan pada abi-umminya. Ilham berdecak. Sepertinya semua orang ikutan rempong akan statusnya kini. Memang kenapa kalau sampai saat ini belum juga bertemu jodoh? Sampai-sampai semua mengkhawatirkan kalau dirinya akan lemah iman lalu kebablasan, berbuat yang aneh-aneh. Ilham tidak akan sepicik itu. Menghela napas panjang dan dalam, Ilham mencerca dalam batin. Gambar di kaleng Kong Guan saja nggak ada bapaknya, nggak ada tuh yang ributin. Napa semua pada rempong ama hidup gue sih.? Hidup ini cuma panggung sandiwara Vro! Coba aja tilik, itu s**u cap nona, tapi pas dibeli kagak dapet nona-nya. Ini mah impian para zomblowers macam Ilham. Lha trus itu, nganu, iklan s**u yang merknya gambar beruang tapi isinya tetap s**u sapi, lalu ilklannya malah make naga. Alamak, apa nggak pusyiang pala cogan. ***************???************* Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD