Bab. 10

1666 Words
Siang sudah tak terlalu terik saat Ilham mengantar Fazhura kembali ke kos-nya. Mengendarai mobil inventaris kantor yang baru diantar ke apartemennya siang ini. Ilham mendengkus. Bolehkah dia merasa kesal, tiap kali tatapan orang mengarah curiga saat dia berada di dekat Fazhura. Maling kali, dicurigain mulu! Nanti lama-lama gue maling beneran. Hatinya... Gerutu Ilham membatin. Dia merasa tidak kekurangan iman hingga sampai berani berbuat macam-macam. Satu macam aja gagal terus, mana ada yang macam-macam. Apalagi jauh dari lubuk hati Ilham sangat menjaga dan menyayangi Fazhura. Apa iya, cuma gara-gara statusnya yang masih lajang di usia yang tak lagi mudah, menciptakan prasangka buruk di mata orang lain. Mau ngatain gue jomlo abadi!? Jomlo karatan! Nggak mempan. Udah kenyang ama yang begituan, yang kemarin aja belum ketelen! Umpat Ilham membatin. Fazhura lain lagi. Gadis itu masih tetap dalam geming. Pikirannya sibuk menerawang akan reaksi tante Marissa dan om Satya saat tak sengaja tahu akan keberadaanya di apartemen Ilham. Fazhura takut dan cemas kalau-kalau nanti mereka akan mengadu pada abi-umminya, atau yang lebih parah, langsung pada ummah dan buya. Padahal para orangtua selama ini cukup membatasi dan melarang keduanya berkhalwat, atau hanya berduaan saja. Fazhura takut akan dijauhkan dari amminya. Iya. Diam-diam dia terusik cemas. Netra Ilham melirik sekilas pada Fazha, kemudian pandangannya kembali lurus ke depan. Dalam benaknya merapal angan yang sama dengan Fazha. Dia cemas. Ada gurat khawatir meliputi wajahnya. Ummi Lila masih bisa diberi pengertian. Tapi abi Fariz, beliau sangat tegas dalam hal mendidik anak. Entah, apa jadinya nanti kalau sampai abinya tahu Ilham dan Fazha berduaan di apartemen. Ilham enggan memikirkan hal itu. Tiga puluh menit dalam keheningan. Mobil Ilham memasuki pelataran tempat kost Fazhura. Memarkir sejenak lalu turun disusul Fazha. "Ammi langsung balik, ya." pamit Ilham. Fazhura agak terheran. Pasalnya baru kali ini Ilham tak acuh dan tak banyak omong seperti biasanya yang cerewet. "Ammi nggak mau masuk dulu?" Tawaran Fazha dibalas gelengen lemah oleh Ilham. "Nggak usah ya. Ammi masih banyak yang harus diurus. Besok siang jam istirahat kantor, Ammi mampir ke sini." "Ammi, kan baru nyampe, masa besok udah masuk kerja aja!" protes Fazha. "Iya Fazha, Ammi besok udah mulai masuk kantor yang baru. Udah masuk sana, kamu istirahat ya. Ammi pamit, assalamualaikum..." "Wa'alaikumussalam, hati-hati Ammi." Ilham mengangguk lalu melengang masuk kembali dalam mobil. *** Sebelum kembali ke apartemen, Ilham menyempatkan untuk mampir ke supermarket terdekat. Membeli beberapa barang yang diperlukan, juga perlengkapan mandi dan dapur. Usai tuntas berbelanja Ilham memilih langsung pulang. "Masya Allah, ketemu lagi kita, Mas..." Rungu Ilham mendapati suara tak asing. Ah iya, suara itu mneyambanginya beberapa jam yang lalu. "Ashila... Sedang apa di sini?" Ilham seketika memaku langkah. Bagaimanapun tak enak jika ada yang menyapa tapi dia tak acuh. "Ini Mas, lagi nyari barang buat keperluan kantor, besok aku mulai masuk kerja," jawab Shila. Perempuan itu menunjukkan tentengan tas kresek berisi peralatan kerjanya pada Ilham, "Allah baik banget ya Mas. Kita kembali ketemu di sini. Mas Ilham sendiri ngapain di sini?" Lagi jogging! Udah tau lagi belanja, make nanya lagi! Sahut Ilham tapi dalam hati. "Ini, lagi nyari keperluan juga buat kantor sama di apartemen," sahut Ilham seperlunya. "Udah mau balik ya, Mas?" "Iya Shila, silakan kamu lanjutkan belanjanya." "Shila juga sudah selesai Mas, iniau balik ke kontrakan." Ilham jadi serba salah. Ingin tak acuh, tapi juga tidak enak kalau tak menawari Shila pulang bersama dengan mobilnya. Perempuan itu juga masih memaku langkah. Seolah menunggu tawaran pulang bareng Ilham. "Barengan saja Shila, kamu tinggal di mana?" tawar Ilham basa-basi. Senyum terbit dari wajah Ashila, "Nggak jauh dari sini kok Mas, apa nggak ngerepotin kamu, Mas?" Ilham yakin kalau pertanyaan Ashila pasti hanya sekadar basa-basi juga. Kalaupun merasa tak enak dan merepotkan, kenapa tidak dari tadi saja dia enyah lebih dulu, bukannya memaku langkah tepat di depan Ilham. Ilham menggeleng pelan. Meski ada sedikit rasa tak nyaman, tapi tetap berusaha untuk bersikap sewajarnya. "Mas Ilham tinggal sama siapa?" tanya Shila. Saat ini mereka dalam perjalan pulang, dan Ilham lebih dulu akan mengantar Ashila. "Sendiri saja Shila." "Aku sempat nggak percaya lho, ternyata Mas Ilham masih betah sendiri dan belum menikah." Pertanyaan Ashila memunculkan gurat serta kernyitan di dahi Ilham. Tidak tahukah perempuan itu kalau Ilham sangat sensitif dengan pembahasan nikah, apalagi rumah tangga. Ah! Atau jangan-jangan dia berpikir kalau Ilham sampai saat ini belum menikah karena tak bisa move on darinya. Salah besar jika Ashila beranggapan seperti itu. "Memangnya kenapa Shila? Saya nyaman dengan status saya saat ini, fokus dulu saja ke karir, sebelum nanti Allah datangkan jodoh untuk saya." Ilham sangat sengaja mengganti kata panggilan yang biasanya 'aku' menjadi 'saya' agar terlihat formal. Dan Ashila bisa tahu kalau Ilham menganggapnya tak lebih dari sekadar teman. Ashila membeliak mendengar panggilan Ilham. Kaget, mungkin. "Mas, kenapa formal sekali manggilnya? Kita jadi kaku begini ngobrolnya?" protes Shila. Ilham tertawa sekilas. Memang itu yang dia mau. Tidak akan berusaha akrab layaknya dulu. Mantan ya mantan! Nggak usah ngarep balikan! Cericit Ilham dalam otaknya. Jahat sekali memang. Tetapi jika tidak dibatasi nanti yang ada malah Shila mengharap hal lebih. Ilham bisa membaca dari sorot mata perempuan itu. Ada binar aneh yang ia tampilkan saat berbicara pada Ilham. "Silakan turun Shila, sudah sampai. Maaf ya, saya sedang buru-buru, ada laporan yang harus saya kerjakan setelah ini." Tidak terasa mobil yang dikendarai Ilham sampai di depan sebuah rumah berpagar hitam. Rumah kontrakan tepat Ashila tinggal. "Iya Mas, terima kasih ya sudah repot-repot mengantar. Lain kali boleh, kan kalau Shila mau main ke tempat Mas Ilham?" pertanyaan yang ingin Ilham jawab dengan ; 'Tidak boleh!' tapi tak terucap. Hanya mengangguk sekilas sebagai jawaban. Usai mengantar Shila, Ilham melajukan mobil ke apartemen. Hari yang cukup melelahkan, dan Ilham ingin secepatnya sampai lalu beranjak tidur. *** Jam mengarah ke pukul lima lebih seperempat saat Ilham terbangun lalu, beranjak melenggang ke kamar mandi. Membasuh muka serta mengambil wudhu, kemudian mengangkat takbir salat subuh. Semalam Ilham baru terlelap sekitar pukul satu malam, gara-gara Fazhura yang menelpon serta merengek minta ditemani ngobrol karena tidak bisa tidur. Homesick. Rasanya aneh dan belum terbiasa sendiri, menjadikan Fazha sulit untuk cepat tidur. Hampir beberapa jam menemani cuapan Fazha, dan kini Ilham harus terlambat bangun subuh. Usai subuh, Ilham beranjak ke pantry, sekadar menyeduh secangkir kopi serta mengoles selai pada setangkup roti yang semalam dia beli. Tersenyum miring, lelaki itu malah kepikiran dengan Fazhura. Sedang apa, dan sarapan apa pagi ini. Sebab, biasanya saat masih di rumah orangtuanya. Dia dan Fazhura jarang sekali sarapan dengan roti. Ummi Lila selalu menyiapkan hidangan pagi nasi lengkap dengan sayur dan lauknya. Ekor mata Ilham melirik sekilas pada arloji yang melingkari tangannya. Jarum jam mengarah ke pukul tujuh lebih beberapa menit. Ingin sejenak menelpon Fazha, tetapi urung Ilham lakukan. Dia tidak ingin menggangu fokus Fazha yang hari mulai masuk kuliah. *** Menganyun langkah cepat, Ilham memasuki kantor firma arsitek yang baru. Tidak begitu gugup, meski baru pertama bergabung. Kantor kali ini lebih besar dari yang di Surabaya. Netra Ilham memonitor setiap jengkal ruang yang ia lewati, mencari ruang HRD lebih dulu guna menyerahkan data diri, baru kemudian menuju kubikel barunya. Senyum semringah dari para karyawati bagian FO atau Firm Operation, mengiringi langkah Ilham. "Mas Vroh..." Panggilan menelusup rungu Ilham. Ilham tak acuh. Menganggap kalau panggilan tersebut bukanlah untuknya dia. Mas-mas yang lagi jalan di sana kan, bukan cuma dia. Jadi Ilham tak mau cepat ambil kesimpulan. Meskipun suaranya sangat tidak asing bagi lelaki itu. Dari logatnya, Ilham seperti sudah kenal lama. "Yabuset! Mas Vro sombong amat. Baru juga sehari di Jekardah, udah lupa aja sama gue." tepukan disertai interupsi kata, sontak memaku langkah Ilham. Matanya membulat seketika saat raga Ilham memutar ke arah orang tersebut. "Hallo Mas Vro, soulmate gue," sambung orang tersebut sambil kedua matanya mengerjap genit. "Alemong. Napa bisa nyasar di sini Lo!" kaget Ilham saat menguliti sosok tersebut. "Kan kita soulmate Ham, makanya gue bisa ada di sini." "Najong Bar! Kemarin udah sujud syukur ga ada lo yang ngintilin, eh, malah CLBK lagi di sini." Ilham sengaja berdecak saat netranya mengamati Akbar yang nyengir. Melangkah beriringan, Akbar bercerita kalau pak Anwar, boss mereka sengaja mengirim Akbar menyusul Ilham. Sebab mereka berdua adalah tim yang biasa diandalkan. Tidak bisa kalau dipisah. "Ham, karyawati di sini cakep-cakep ya. Alamat betah ini." Omongan Akbar dianggap angin lalu oleh Ilham. Tidak peduli, atau mungkin karena baru saja bergabung di sini, makanya Ilham belum terlalu acuh. "Kali aja nanti ada satu yang nyantol jadi jodoh lo, Ammi Ilham." imbuh Akbar, kali ini dia menirukan gaya bicara Fazhura saat memanggil Ilham. Ilham malah langsung terfokus pada panggilan 'Ammi' seketika angannya terbang pada Fazha. Sedang apa kiranya dia. Belum mengecek telepon genggamnya sama sekali, apa ada pesan yang masuk dari Fazha.. *** Fazhura berjalan menyusuri koridor kampus. Berangkat sepagi mungkin, kemudian mencari fakultas tempatnya akan menuntut ilmu. Hari pertama masih sebatas pengenalan kampus dan fakultas. Belum ada pelajaran atau mata kuliah. Fazha fokus menyatroni seantro sudut kampus. Meski belum mendapat teman yang akrab, tapi Fazhura sangat antusias. Apalagi rata-rata mahasiswi di sini sebagain besar berasal dari luar daerah. Fazha merasa tak sendiri. Banyak teman-teman dengan hal yang sama, seperti Fazhura rasakan. Pukul satu siang Fazhura memilih kembali ke kost. Setelah sejenak mengisi perut di kantin kampus, gadis itu baru teringat kalau belum mengabari Ilham sama sekali hari ini. Mengetik pesan sejenak untuk ia kirimkan pada Ilham. Fazhura; Assalamualaikum Ammi, kok nggak ada pesan masuk dari Ammi hari ini. Masa Fazha duluan yang ngirim. Fazha dilupain deh! Ammi lagi sibuk ya? Bisa jemput Fazha di kampus nggak? Fazha masih bingung jalannya kalau pulang sendiri. Fazha mendesah, sudah lebih lima belas menit, tapi belum ada balasan juga dari Amminya. Gadis itu masih setia duduk di kantin, menunggu balasan pesan Ilham. Sudut bibir Fazhura melengkung saat rungunya mendengar bunyi notifikasi dari aplikasi chat di hapenya. Ammi Ilham; Wa'alaikumussalam, iya maaf Zha. Tadi masih meeting sebentar. Ammi free, tunggu di situ jangan kemana-mana, habis ini Ammi jemput, sekalian kita ke mall, cari pesanan Fazha waktu itu. *************???*************** Bersambung...... Kasih kritik dan saran dong?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD