"Ngemilikin kamu seutuhnya."
Ucapan Ilham mereaksi Fazhura. Gadis itu refleks menggeprak keras lengan amminya--yang malah terbahak atas sifat Fazhura. Ilham memang kalau bercanda selalu saja lebay. Bukan sekali dua kali lelaki itu mencandai Fazha dengan perkataan konyolnya. Sejak Fazha umur lima tahun, Ilham malah sering berucap kalau nanti biar Fazha saja yang jadi jodohnya. Sampai Fazhura remaja dan beranjak dewasa, candaan Ilham tak pernah berubah.
Lelaki itu masih belum berhenti terbahak, sedang Fazha menatapnya dengan bibir mengerucut.
"Ammi ini kebiasaan! Nanti di dengar sama malaikat, dikabulin lho. Omongan kan doa, Ammi."
"Ya biar saja Zha, jadi nanti Ammi nggak usah repot-repot nyari calon jodoh."
"Yabuset! Enak di Ammi, sengsara di Fazha dong itu namanya!" Fazhura mencak-mencak, dan Ilham menambah volum tawanya. Menjaili Fazhura layaknya kini menjadi hoby yang menyenangkan bagi Ilham.
Fokus keduanya baru teralih saat suara nada dering berbunyi nyaring dari ponsel pintar Ilham. Lelaki itu menyudahi tawa lalu bergegas merogoh saku celananya dan melihat siapa yang menelpon.
Ashila calling...
Ilham mengerutkan kening saat membaca nama yang tertera di layar smarphone-nya. Ternyata Shila yang menelponnya.
"Siapa Ammi?" celetuk Fazha penasaran. Gadis itu melongokkan kepalanya, melirik ke arah tangan Ilham yang memegang handphone.
Netra Ilham memindai matanya ke arah Fazha saat mendengar pertanyaan gadis itu.
"Shila...," sahut Ilham, dia ragu akan mengangkat atau tidak panggilan dari perempuan yang baru ditemui secara tak sengaja di lobby bandara siang ini.
Mata Fazha sedikit menyipit saat mendengar nama tang disebut amminya.
"Tante Shila..? Kok---" Fazha ikutan mengernyit, heran dan tanda tanya memasuki otaknya, dari mana Shila bisa tahu nomer Ilham. Setahu Fazha, amminya itu sudah lama tidak ada komunikasi dengan Shila, sejak keduanya batal menikah dulu.
"Tolong angkatin Zha." sela Ilham cepat.
"Ogah ih!" Fazha agak ketus menjawab permintaan Ilham. Entah, sebersit rasa tak suka menyeruak dalam d**a Fazha saat Ilham menyuruhnya mengangkat telpon Shila. Baginya Shila itu masa lalu Ilham, dan tidak layak untuk kembali lagi. Apalagi Fazha tahu kalau Shila bukan lagi perempuan single, dan telah memiliki suami.
"Fazha tolongin Ammi please," rengek Ilham.
Fazhura menyambar handphone dari tangan Ilham, tidak mengangkat telponnya, tapi gadis itu mematikan panggilan masuk dari Shila.
"Kok dimatiin Zha?"
"Bodo amat! Siapa suruh Ammi nyuruh Fazha yang ngangkat, tau gitu tadi Ammi terima aja telponnya tante Shila." cerocos Fazha, "Ammi...!! Ammi nggak lagi macem-macem kan?" bola mata Fazha menatap dalam dan lekat pada Ilham, pandangannya seolah dibuat tercengang oleh sesuatu.
"Apaan sih Zha? Lebay kamu ini, apanya yang macem-macem?"
"Jangan-jangan Ammi sama tante Shila CLBK ya? Cinta Lama Belum Kelar? Atau Ammi jadi PIL-nya tante Shila? Astaghfirullah...Ammi nggak boleh ih, dosa tauk! Iya deh, Fazha paham, kalau Ammi ini menyandang predikat zomblo hampir karatan, tapi nggak gitu juga Ammi!" Fazha terus saja mencerca dengan segala praduga dan sangkanya.
"Yabuset, mulutmu Fazha! Yakali Ammi jadi PIL atau selingkuhan, turun dong derajad Ammi. Ganteng masih maksimal begini dibilang selingkuhan, balikin mantan? Ora level Fazhura." sahutan Ilham tak kalah mendramatisir. Mana ada seperti itu. Membayangkan akan berjumpa lagi dengan Ashila saja tidak pernah terpikirkan olehnya.
Belum selesai penjelasan Ilham, handphone-nya kembali berdering, secepat kilat Fazhura melihat nama yang tertera pasa layar,
Alexa calling...
"Yabusett Ammi, tadi tante Shila, sekarang Alexa. Neh, angkat aja sendiri." Fazha meletakkan ponsel Ilham, tepat di depan amminya itu. Sememtara Ilham mengangkat bahunya, tanda tak paham kenapa dalam waktu bersamaan dua perempuan bisa menghunginya.
Fazhura berlalu, sesuai dengan niatan dirinya datang ke apartement Ilham adalah untuk membantu amminya membereskan setiap sudut ruang di sana. Fazha bergegas mengambil sapu serta alat pel, tanpa peduli dengan Ilham yang masih duduk di sofa. Lelaki itu sepertinya kembali disergap kebingungan, akan mengangkat atau mematikan saja handphone-nya.
Fazha meneliti setiap jengkal kamar utama yang sedang ia sapu. Tidak perlu perhatian ekstra untuk membereskan, karena ruang tersebut sudah cukup rapi dan bersih. Terlihat sekali jika selama ini Ilham rajin menjaga apartementnya meskipun jarang disinggahi.
Meninggalkan kamar, Fazha melangkah ke ruang dapur. Masih bersih seperti belum terjamah tangan. Wastafel yang mengilat, juga kaca-kaca di laci kitchen set yang nampak bersih.
Membuka lemari es, masih kosong, hanya ada beberapa minuman kaleng yang baru diletakkan Ilham tadi.
"Psst..," suara desisan dari sebelahnya mengalihkan kegiatan Fazha. Ilham sudah berdiri persis di sebelah kulkas, tempat Fazha berdiri kini.
"Apaan Ammi?"
"Rajin amat sih, jadi makin sayang Ammi," ucapan Ilham disertai cengiran lebarnya pada Fazha.
"Nggak usah modus Ammi. Bilang aja mau sesuatu." tebak Fazha.
"Tau aja, Ammi laper Zha, bikin makanan dong."
"Apaan Ammi! Orang nggak ada apa-apa di kulkas. Cuma ada mie instan tuh, sama telor dua biji. " sungut Fazha. Memang belum ada bahan makanan yang bisa dimasak. Mie instan serta telur yang Fazha temukan sepertinya milik orang yang bertugas membersihkan apartemen Ilham.
"Yaudah mie sama telor aja, yang penting kenyang Fazha."
"Kenapa nggak pesen aja sih Ammi?"
"Nggak. Ammi pengin makan masakan kamu."
Fazhura menurut, gadis itu menyalakan kompor kemudian mengisi saucer dengan air untuk merebus mie. Ilham menunggu di sofa sambil menyalakan televisi, lebih dari lima belas menit akhirnya Fazha datang dengan nampan berisi satu mangkuk jumbo mie rebus instan dicampur telor.
"Ini Ammi, dimakan mumpung masih panas." seloroh Fazha menyodorkan mangkuk mie.
"Makasih Fazha, sinian, makan bareng-bareng Zha."
Fazhura mengikuti isyarat Ilham. Gadis itu duduk di sebelah amminya. Menikmati semangkuk mie berdua, duduk berdekatan dengan jarak yang bisa dihitung dalam ukuran centi, jujur Fazhura merasa agak canggung tiba-tiba. Ini kali pertama dia berada dengan jarak yang sangat dekat dengan Ilham. Meskipun belasan tahun tinggal satu atap, tetapi di rumah semua membatasi untuk itu, apalagi pengawasan abi Fariz dan ummah Lila begitu ketat. Tidak akan membiarkan Fazhura dan Ilham berduaan meski hanya sebatas tiga meter jarak mereka. Tapi kali ini, ada sebersit rasa tak nyaman, atau lebih tepatnya rasa bersalah. Merasa telah mencederai kepercayaan abi-umminya, dan juga buya Fariz dan ummah Lila.
"Ammi.." Fazha memecah hening diantara sruputan mie dari mulut mereka masing-masing.
"Hmm..?"
"Kenapa sih, Ammi ini kan udah tua ya. Tapi makin ke sini malah makin banyak perempuan yang ngedeketin. Dulu aja, banyak yang nolak Ammi," pertanyaan yang sempat tertahan dari hati Fazha, akhirnya meluncur juga dari bibirnya. Bagi Fazhura, ini cukup aneh dan membingungkan dulu saja semua selalu menolak dan membandingkan Ilham dengan lelaki mapan lainnya. Tapi sekarang, mereka semua malah mendekat kembali, bahkan diantaranya ada yang frontal mengaku suka dengan Ilham. Ya emang sih, menikah itu kan ibadah. Tapi masa iya, ibadah harus tergesa-gesa? Nggak kusyuk dong nantinya. Sama halnya dengan Ilham saat ini. Meski banyak yang mendekat, meski menargetkan diri untuk segera bertemu jodoh dan menikah, tapi Ilham tak ingin buru-buru mengambil keputusan menyangkut masa depannya nanti.
"Mulutnya tolong di kondisikan Fazha. Biar tua begini pesona Ammi tak lekang oleh zaman." Ilham berkata dengan pede nya.
"Idih, narsis!!!"
"Kenapa emang, kalau Ammi tua?"
"Iya, Fazha heran aja. Makin tua Ammi kenapa malah banyak banget cewe yang mau dekat sama Ammi?"
"Dengerin ya Fazhura Althafunisa, lelaki itu ibarat sebuah kelapa, makin tua, makin berisi dan kental santan nya." perumpamaan Ilham membalas tanya Fazha.
Gadis itu memutar bola matanya, seakan tak paham dengan penjelasan Ilham, "Apa hubungannya coba? Ammi ini ngawur aja." protes Fazha.
"Ngawur apanya Zha. Udah bener keles. Lelaki itu waktu muda kalau banyak yang nolak, pasti alasannya karena belum mapan, belum punya penghasilan tetap, terus pas udah dewasa, karir mapan, pekerjaan tetap, penghasilan melimpah, tanpa dicari juga perempuan pada ngedekat sendiri. Sama, kan, kayak kelapa, lagi muda belum terlalu dibutuhin, eh, udah agak tua, malah diburu sama banyak ibu-ibu." Ilham menjelaskan disertai derai tawanya sendiri, saat menyandingkan perumpamaan antara laki-laki dan sebuah kelapa.
"Boong banget Ammi! Mana buktinya kalau lelaki dewasa dan mapan bisa cepet dapet jodoh, buktinya Ammi masih zomblo ampe sekarang." ledek Fazha. Gadis itu tertawa pelan.
"Semerdekanya kamu aja deh Zha, palingan nanti kamu yang Ammi nikahin kalau nggak ketemu juga sama jodoh." keisengan Ilham mulai mencuat. Pokoknya bagi laki-laki itu tidak ada hari yang lebih menyenangkan daripada saat berhasil menjalili Fazhura.
Bercanda bersama seperti ini sangat mampu mengurai sedikit beban Ilham tentang jodoh yang tak kunjung bersua. Jauh dalam hati, lelaki itu percaya, bahwa tdak ada soal tanpa sebuah jawaban, dan tidak ada ujian tanpa jalan keluar. Semua pasti ada cara untuk mengatasi masalah. Pegadaian saja bisa mengatasi masalah tanpa masalah, apalagi dengan Allah, pasti dengan muda akan mengabulkan doa setiap hamba yang bersungguh-sungguh meminta dari hati. Sebab Ilham percaya, tak akan tertukar perkara rejeki dan jodoh, cukupkan saja dulu dengan amal dan usaha, jika sudah waktunya pasti ia akan datang sendiri.
****************************
Bersambung.....
.