Jemput Si Kitty

1124 Words
Pagi menjelang aku telah bersiap untuk berangkat kerja. Ya, aku bekerja di salah satu restoran yang cukup terkenal di kota ku, sebagai seorang kasir. Sudah cukup lama aku bekerja di sana, dari sebelum menikah dengan almarhum Mas Afnan. Dulu kami selalu melakukan pertemuan di restoran tersebut, almarhum Mas Afnan kerap kali mengunjungi aku jika sedang bekerja. Pak Willy bos aku itu teman baiknya juga. Jika membahas tentang almarhum suamiku, rasanya hati ini sakit sekali, aku teringat kembali disaat kami masih bersama dulu. Meski umur pernikahan kami hanya satu minggu, karena dia meninggal akibat kecelakaan mobil. Almarhum orangnya baik banget juga sangat penyayang, meski kadang tingkah aku masih seperti anak kecil, tapi dia selalu sabar menanggapinya. Mengingat semua itu, tak terasa air mata meleleh di pipi, tapi cepat ku usap kasar dengan tangan. Tok, tok, tok. Terdengar pintu kamar di ketuk dari luar, hingga mengalihkan atensiku dari lamunan tentang almarhum Mas Afnan. Tak berselang suara Ibu memanggil. "Al, kamu udah siap belum udah siang nih kok belum keluar? Ayo, cepet sarapan dulu nanti kerjanya kesiangan. Lagian kamu harus bawa dulu motornya di bengkel 'kan?" dengan cepat ku jawab pertanyaan wanita yang telah melahirkan ku itu. "Iya Bu, Alia udah siap kok, sebentar Alia bawa tas dulu biar langsung berangkat kalau udah beres sarapannya." "Iya Nak, Ibu tunggu di meja makan," tanpa menyahut lagi cepat aku keluar kamar, karena selain takut Ibu sama Bapak nunggu lama aku pun takut kesiangan kerja mana harus jemput si Kitty di bengkel. Semalem aku udah chatan dengan Mang Asep, pemilik bengkel kalau pagi ini si Kitty udah bisa aku jemput. Dimeja makan kami makan dengan diam, sudah menjadi peraturan Bapak jika sedang makan tidak boleh ngobrol. Ya, Bapak adalah seorang pendidik, tepatnya kepala sekolah di salah satu SLTA Negri di kota ku. Beliau selalu mengajarkan etika -etika yang baik dalam kehidupan, termasuk pada adik ku satu-satu nya yang baru berusia tujuh tahun. Beliau selalu mengajarkan kedisiplinan, ku kira dulu aku akan menjadi anak tunggal. Eh ternyata nongol lagi si bocah menggemaskan itu. Jadinya perbedaan usia kami cukup jauh. Sehabis sarapan aku bersiap-siap untuk berangkat kerja, Bapak sama adik ku sudah berangkat duluan, dengan mengendarai mobil sejuta umat milik Bapak yaitu mobil avanza si kesayangan Bapak. Setelah berpamitan pada Ibu, aku pun berangkat meninggalkan Ibu dirumah dengan segala aktivitasnya. Sebelum berangkat kerja aku berniat untuk jemput si Kitty, tapi di tengah perjalanan menuju bengkel tak sengaja aku berpapasan dengan Ratu julid. Kata hati ku berbicara ini bakal ada lagi kata- kata indah yang akan membuat kuping ku panas. Haduh gimana nih males deh aku ketemu Ratu julid, kenapa sih pake ketemu segala? mau ngehindar udah kepalang keliatan sama dia. Aku bicara dalam hatiku. Dengan sangat lantang Ratu julid berseru. Menyadarkan aku dari berbagai pikiran yang berkecamuk. "Mana cowok ganteng yang bawa pajero itu?Kok masih jalan kaki, nggak dijemput, ya?" Kalau tak ada rintangan menyebalkan seperti Ratu julid yang menghadang jalan ku ini, mungkin aku tak akan kesal karena harus jalan kaki. Ini semua gara-gara si Kitty duh pake ada acara ngambek segala. Aku melihat kearahnya sepertinya dia habis belanja di warung Bu Rt, sebab banyak banget tentengan di tangannya itu. Sengaja tak ku jawab pertanyaannya, aku malah balik bertanya. "Mana cincin emas dari calon menantunya, yang katanya PNS itu?" Bu Leha melotot. "Itu cincin emasnya asli kok! ada di rumah. Kenapa panas, ya?" Bu Leha menyeringai sambil menatap ke arah ku. Dalam otak ku berbicara sayang sekali kalau melewatkan momen ini, itung-itung menyalurkan kekesalan saja karena harus jalan kaki jemput si kitty dan membuat Ratu julid skakmat. "Perasaan aku enggak tanya itu emas asli atau bukan deh, Bu." Aku berpura-pura mengerutkan kening dan seolah-olah sedang berpikir keras. "Tapi kalau dilihat- lihat lebih jelas kayanya nggak asing gitu deh," lanjut ku. Dia tampak makin geram menatap ku nyalang, seolah-olah ingin memangsa aku sekarang juga. Dia bicara kembali sembari melotot. "Aneh kamu tuh, itu poto asli tahu! Bukan hasil ngambil dari mbah google," ujarnya. "Perasaan aku nggak pernah bilang Ibu ngambil poto dari Mbah google. Beneran atau itu cuma perasaannya Ibu doang?" seraya tersenyum aku balik bertanya. "Ngasal aja kamu kalau ngomong tuh, cepetan sana kerja awas aja kalau ngomong yang tidak-tidak sama orang-orang!" ancamnya sembari melotot. Aku mendekati Bu Leha, cepat ku sodorkan tangan untuk bersalaman karena bagaimana pun juga dia itu orang tua yang harus dihormati. Dengan sedikit berbisik aku berkata. "Ohh, tenang aja Bu, rahasia ditangan saya aman. Simpan aja cincinnya baik-baik Bu, nanti di curi orang. Takutnya kena hak cipta nanti. hehehe," setelah mengatakan kalimat itu aku pergi. "Liat aja nanti! calon menantu PNS ku bawa lamborghini ke sini!" ujarnya dari belakangku setengah berteriak. Tanpa menoleh lagi aku terus berlalu. * * Sampai di bengkel lekas ku bawa si Kitty, karena hari semakin siang takutnya telat masuk kerja. Bisa-bisa di omelin Bu Rani sang manajer cerewet rasa majikan. Setelah beberapa saat akhirnya aku sampai di restoran tempat aku kerja. Buru- buru si Kitty ku parkirkan di tempat biasanya, gegas aku masuk. "Huft–! Untung aku datangnya tepat waktu, telat dikit aja pasti kena omel lagi." Batin ku berkata. Teman-teman ku yang lain telah pada datang karena di tempat kerjaku selalu diterapkan kedisiplinan. Tidak boleh terlambat kecuali ada alasan yang kuat. Setelah berbasa-basi sedikit aku masuk keruang kerjaku. Tak lama berselang terdengar pintu di ketuk, aku yang tengah konsentrasi menatap layar komputer, langsung menghentikan aktivitas dan membuat atensi ku langsung teralihkan. "Siapa yang mengetuk pintu, ya?" Aku bergumam sendiri. "Siapa–? silahkan masuk!" Cklek. Handle pintu di dorong dari luar, kepala seorang pria berlesung pipit menyembul dari balik pintu. Dia tersenyum dan mendekati ku. "Maaf Al, saya ganggu tidak? ada yang mau saya sampaikan," dengan sedikit heran aku melihat kearahnya. "Pak Willy—ada apa, ya? Tidak, tidak ganggu kok, memangnya Bapak mau menyampaikan apa?" bukannya menjawab, Pak Willy malah terus mandangin aku, hingga membuat aku salah tingkah. Ku coba mengalihkan rasa gugup dengan bertanya sekali lagi padanya. "Pak, Bapak— ada apa?" lagi-lagi dia hanya diam. Namun tak lama dia pun berkata. "Sebenarnya aku mau mengadakan acara untuk karyawan disini, kira-kira menurut kamu tempat yang cocok dan bagus dimana ya, Al?" tanya begitu serius. Sejenak aku mengingat- ngingat tempat yang lagi hits. "Oh iya Pak, aku kan suka berselancar di dunia maya, di Bandung ada banyak tempat yang bagus kalau Bapak mau, bisa googling kok di internet." Aku memberi usul. "Oh, ya? Makasih Al infonya. Bisa di coba, tuh." "Baik Pak sama-sama," setelahnya Pak Willy pun keluar tapi sebelumnya. Brak! Meja kerja ku di gebrak olehnya, hingga membuat aku terlonjak saking kagetnya. Tapi dia malah cengengesan dan bertanya. "Kenapa Al kaget, ya? maaf aku sengaja biar kamu nggak ngantuk," ucapnya tanpa dosa. Dengan sedikit geram aku berteriak. "Bapak—! Dasar ya, pagi- pagi udah ngisengin orang."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD