Tamu—?

1230 Words
Jam di dinding ruanganku menunjukan pukul 16. 00 wib, saatnya pulang. Aku di berikan keringanan sama Pak Willy jam kerjanya hanya sampai sore, selebihnya kerjaan ku ditangani sama Ridwan rekan kerjaku. Setelah berbasa- basi pada semua teman-teman gegas aku menuju parkiran untuk pulang. Selama perjalanan pulang kerja dengan mengendarai motor, aku memikirkan banyak hal terutama tentang cowok ganteng yang bawa pajero itu. Sebenarnya itu adalah hal konyol yang aku lontarkan, sekedar untuk menerima tantangan Bu Leha si Ratu julid. Namun, akhirnya malah jadi pusing sendiri. Memasuki kawasan area julid dimana aku tinggal, motor ku pacu dengan sedikit ngebut. Aku tidak ingin geng Ratu julid menggangu. "Hati-hati jalannya, Sayang!" Atensi ku teralihkan ke sisi kiri jalan. Dimana mata ku menangkap satu pasangan yang sedang berjalan kaki. Dari jarak beberap meter aku dapat menyimpulkan bahwa sang perempuan terlihat begitu lemas. Dia sangat kesulitan untuk berjalan bahkan saat si laki-laki mencoba untuk membantunya agar tetap bisa berjalan. "Mira—!" gumam ku sembari memelankan laju motor, dan akhirnya berhenti di dekat mereka. "Mira kenapa, Pak–?" tanyaku pada laki-laki yang bersama Mira. Dia menoleh, ternyat memang Mira dengan laki-laki yang katanya PNS itu yang mukanya biasa aja. "Kenapa kamu manggil saya, Bapak?" tanya laki- laki itu tanpa memperdulikan pertanyaan ku tadi. Aku berdecak, apa orang ini sedang melawak? Pacarnya sedang berjalan sempoyongan masih aja meributkan soal panggilan. Sepenting itu, kah? "Miranya kenapa, Om?" tanyaku lagi mengganti panggilan. "Kok malah semakin parah sih? panggil saya dengan sebutan Mas, dong!" pintanya. Otomatis aku terdiam setelah mendengar ucapannya. Sebenarnya dia ini kenapa? Masih kesulitan menopang tubuh Mira yang terlihat lemas, tapi malah meributkan masalah ingin di panggil apa. "Mira ini kenapa? Aku mengulang lagi pertanyaan. "Mabuk tadi abis naik angkot," jawabnya. Aku menggigit bibir. Rasanya ingin tertawa, tapi aku tahan karena masih menghargainya meski dia bersikap aneh. Seingat ku memang sejak sekolah dulu Mira nggak suka naik angkot, dia lebih suka naik ojeg. Setelah melihat keadaan mereka ditambah si calon mantu PNS nya Bu Leha yang sikapnya nggak jelas itu, rasanya aku ingin segera pergi apalagi mengingat ibunya Mira Bu Leha 'Siratu julid' yang selalu nyinyirin dan nantangin aku. Tapi Alia si ratu ramah dan baik hati ini tidak sejahat itu. "Kenapa nggak digendong aja? kasian Mira nya udah nggak kuat tuh," aku memberi solusi siapa tahu ide ku berguna. "Ya, nggak lah capek, tahu!" ujarnya tanpa beban. "Hadeuh...nih orang," gumam ku."terus kenapa nggak dibawa ke puskesmas terdekat aja?" Dia malah menatap ku datar, meski masih kesulitan menahan tubuh Mira. Apa mungkin si PNS itu nggak punya uang ya. Bisa jadi, tapi aku positive thinking aja. "Ya udah naikin ke motornya saya saja deh, Om, eh, Pak," karena aku bingung harus manggil dia apa, jadi panggilannya nggak konsisten gitu. "Saya bilang jangan panggil say—!" belum juga selesai si PNS itu ngomong, Mira sudah menginterupsinya. "Ngeributin apaan sih?" tanya Mira dengan suara pelan, tetapi dengan kepala menunduk dan rambut yang sedikit berantakan. Suaranya mengalihkan atensi ku dan si PNS yang tak ku tahu namanya itu. "Nggak kok, Sayang. Kita pulang sekarang ya, " katanya sok perhatian. Setelah ngomong begitu dia berusaha menaikan Mira ke motor ku. "Loh, loh, kok, jadi saya yang bawa motor?" protesku setelah dia ikut juga naik di belakang. " Saya nggak biasa bawa motor, biasanya bawa mobil. Udah nggak usah banyak protes, cepet jalan, " titahnya tak tahu malu. Duh kesabaran ku benar-benar di uji sekarang, sudah ditumpangi di sombongi pula. Mana si kitty terpaksa harus mengangkut cabe-cabean . Tapi nggak mengapa demi menolong orang yang lagi kesusahan lumayan pahalanya gede. Lagian rumahnya cukup jauh juga dari tempat itu. "Emang mobilnya di kemanain sih?" tanya ku setengah berteriak agar si PNS itu bisa mendengar. "Mobil saya ditinggal di steam " Steam? Kenapa nggak di steam di pertigaan saja kan ada yang dekat sini, malah di tempat jauh jadi pulangnya harus naik angkot . Hadeuh emang kocak orang-orang ini. Anehnya selangit. Dengan susah payah aku menjalankan motor dan akhirnya tiba di halaman rumah Bu Leha. Dengan berteriak ku panggil ibunya Mira itu. "Bu, Bu Leha, cepetan keluar!" Wanita dengan usia paruh baya itu nongol sambil ngomel-ngomel, dia tentunya mengenal akan suara ku ini meski di dalam rumah. "Kenapa sih Alia teriak-ter—? ya, ampun Mira, Sayang!" ucapnya histeris setelah melihat keadaan anaknya. Bu leha langsung mendekati Mira yang masih diatas motor, dengan sigap dia memegangi nya, sementara calon mantunya turun duluan. "Anak saya kenapa?" tanyanya begitu panik. "Dia mabuk karena naik angkot, mobil pacarnya masih di showroom kali Bu, belum dibeli," aku berkata sekenanya. "Enak aja dia punya mobil kok," ucapnya sambil mencebikan bibirnya. Sedang calon mantu PNS nya makin sombong aja karena merasa di bela. "Ayo, bantu Ibu bawa kedalam," perintahnya pada calon mantu kesayangannya itu. "Gak kuat, Bu," sambil meringis dia mengatakan itu. Sedang Bu Leha dia terlihat kesal. Dengan muka di tekuk Bu Leha melirik kepada ku, lantas dia berucap. "Udah kamu pulang aja, makasih ya, udah nganterin anak saya. Nanti-nanti jangan suka ikut campur urusan orang. Calon mantunya saya punya mobil kok. Ingat itu!" "Sama-sama , tapi yeh Bu kalau saya nggak ikut campur mungkin anak Ibu udah kecebur parit karena nggak kuat jalan. Calon suami saya juga punya mobil malahan sama showroom-showroomnya," ujar ku mengikuti perkataan Bu Leha barusan. Ya udah deh saya pamit," Kata ku sambil berlalu mengendarai si Kitty kembali menuju rumah. * * * Tiba di rumah aku langsung memarkirkan si Kitty di teras, dan langsung masuk kedalam rumah. "Ini rumah tumben sepi pada kemana ya?" beo ku. "Assalammualaikum—! ucap ku sambil terus berjalan.Terdengar suara Ibu menjawab dari dapur, gegas aku pun menemuinya dan berbasa- basi sebentar. Setelah dirasa cukup aku pun pamit untuk istirahat dan mandi. Setelah bersih-bersih badan selesai aku tiduran di kasur empuk ku ini, dengan kaki di atas kasur dan kepala di bawah hingga mau menyentuh lantai. Dengan posisi seperti itu ku harap muncul ide brilian. Karena aku ingat terus pada tantangan Bu Leha untuk bawa laki- laki yang bawa mobil. Sedang asik berpikir pintu kamar tiba-tiba di ketuk, ku persilakan masuk. Ternyata itu ibu, beliau melotot melihat tingkah putrinya yang random. Aku cengengesan melihat ekspresi ibu. "Bu, ada apa?" tanyaku. Ibu hanya geleng-geleng. "Al, itu ada tamu cepetan temui. Kamu itu ada-ada aja, apa nggak pusing tuh kepala?Tidur kok kaya gitu," tanyanya. Aku pun bangkit sambil meringis. "Tamu—, tamu siapa, Bu? iya, sih Bu pusing sedikit." "Udah temui aja dulu, lagian kamu tuh ada- ada aja." Dengan sedikit malas aku keluar kamar, tapi sebelum benar-benar keluar Ibu sudah menginterupsi lagi. "Al, nggak salah kamu masa pake baju kaya gitu? nemuin tamu kok, pake baju tidur. Ganti dan dandan sedikit biar cantik kaya Mira," rasanya aku ingin tertawa mengingat dandanan Mira yang suka menor. Namun, nggak ada salahnya juga sih, aku coba tipis-tipis aja. "Iya, Bu sebentar aku ganti dulu." Tak lama aku pun selesai dengan riasan sederhana, dan gegas menemui tamu yang dimaksud Ibu. Di ruang tamu terlihat pasangan paruh baya dan laki-laki yang kemarin bertamu sedang duduk. Kedua orang tua ku tersenyum menyambut kehadiran ku. Ku dekati ibu. "Ini Alia, anak pertama saya," kata ibu mengawali percakapan. "Wah cantik banget ya, Pah!" ujar wanita yang hampir seumuran dengan Ibu. Cocok kalau dijadiin menantu. Namanya aja hampir sama udah pasti serasi," lanjut dia disusul tawa para orang tua disini. Aku jadi kikuk, apalagi melihat reaksi laki-laki itu yang biasa saja hanya tersenyum mesem.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD