Harga Diri

1321 Words
"Ckk." Aku berdecak kesal, ada apa lagi Bu Leha ini? Sudah tahu aku mau kerja masih saja menahanku. "Ya, Bu. Ada apa?" tanyaku kesal. "Nggak, saya cuma mau ngingetin, awas lupa ngasih kadonya yang mahal, ya." Aku memutar bola mataku malas. Kukira dia mau apa menahan kepergianku. Ternyata hanya bilang begitu. "Astaga, Bu. Aku kira mau bilang apa? Iya, nanti aku kasih kado yang mahal. Tenang aja," ucapku sambil menjalankan motor. Bukan aku tidak sopan pada orang yang lebih tua, hanya saja kalau terus ngeladenin dia nggak akan kelar-kelar urusan. "Saya tunggu janji mu, Al." Bu Leha berteriak. Aku hanya mengacungkan jempol ku saja, tanda menyetujuinya. Kupacu si kitty dengan agak ngebut, takutnya akan kesiangan. Sesampainya direstoran aku dikejutkan dengan adanya Pak Willy, si bos jahil di pintu masuk utama. Dia tersenyum lebar menyambut kedatangan ku, dengan wajah tanpa dosa dia menggandeng tangan ku untuk menuju keruangannya. Sebagian karyawan menatap heran kearah kami. Mungkin dipikiran mereka, kenapa si bos bisa memperlakukan aku seperti itu? Jujur aku pun sama herannya kok dia berani, mana ditempat umum lagi. "Pak ini ada apa, ya? Kok, saya di bawa keruangannya, Bapak?" dengan sedikit lirih kulontarkan pertanyaan. Dia bergeming, terus saja menuntun aku untuk ikut dengannya. "Maaf Pak, ada apa ya saya di bawa kesini?" ku ulangi pertanyaan yang sama. Dia menghentikan langkah kaki, kepala dia telengkan menatap kearah ku. "Jangan cerewet Al. Nanti kamu juga akan tahu," katanya. Meski terlihat agak kesal tapi dia masih tetap tersenyum manis. "Ya, udah saya nurut aja kemauan bos," ucapku bete. "Anak pintar," ujarnya sembari mengacak rambut ku. "Jangan takut Al, saya nggak akan nyakitin kamu kok. Tenang aja, ok." Kelakarnya lagi. "Bukannya gitu, Pak, saya nggak enak sama yang lain. Bapak maen gandeng aja tangan saya," jawab ku sedikit sewot. "Tidak apa-apa itung-itung latihan, kalau kamu keberatan digandeng dipeluk mau?" dia berkata semakin ngawur, tak lupa mengedipkan sebelah matanya. Aku semakin kikuk di buatnya. "Maksudnya—? Latihan apaan? enak saja main peluk- peluk, yang ada nanti saya bakal diolok-olok sama karyawan yang lain," jawabku ketus. Dia tertawa lebar seolah omongan ku lucu, padahal aku ingin sekali menggetok kepalanya biar normal. Sampai di ruangannya, aku digiring untuk duduk disofa sebelahnya. "Sebenarnya ada apa sih, Pak? Saya nggak enak nih sama karyawan yang lain, nanti disangkanya kita ada apa-apa lagi," ujar ku karena merasa udah tidak nyaman berada satu ruangan dengan bos, apalagi kalau Bu Rani sampai tahu aku bersama si bos, sudah pasti aku di omelin terus. Dia kan, naksir berat sama si bos. "Memangnya kamu keberatan kalau kita ada apa -apanya?" tanya dia begitu enteng, sedang aku malah keder ditanya begitu. Dasar si bos kalau ngomong nggak pernah difilter. Bikin anak buahnya salting aja. "Soal acara yang akan kita adakan itu kamu udah nemuin belum tempat yang bagus?" tanyanya melanjutkan obrolan. "Bapak ada-ada aja bukan gitu, takut ada yang cemburu aja, Pak." Jawabku. "Oh soal tempat itu, bagaimana kalau kita ke Lembang Bandung aja, tempatnya asik Pak cocok untuk karyawan melepas penat," ujar ku lagi. "Ya, sudah saya ikut kata kamu aja. cemburu—? Siapa yang cemburu? Atau kamunya udah punya pasangan lagi? hingga takut pasangan kamu akan marah?" tanyanya dengan raut kecewa. "Bukan saya, Pak, tapi pasangannya Bapak," ujar ku. "Tidak akan. Saya belum punya pasangan, makanya saya ngajak kamu, Al. Nanti kamu ke Bandungnya bareng sama saya, tidak usah naik bus karyawan. Saya akan jemput kamu kerumah, sekalian saya izin sama orang tua kamu." "Apa—? Nggak salah, Pak? Apa kata dunia kalau saya satu mobil dengan, Bapak. Wah, wah, wah. Bisa-bisa Bu Rani mencak-mencak sama saya, Pak. Tidak boleh Pak, itu tidak boleh terjadi," ungkapku penuh drama. "Apaan kamu tuh, apa hubungannya saya sama, Rani? udah nggak usah drama, atau jangan-jangan itu akal-akalan kamu aja, dengan mengatas namakan Rani kamu nolak ajakan saya," ujar dia sedikit sewot. "Iya, maaf. Bukan maksud saya begitu, tapi itu murni kehawatiran saya kalau kita berduaan dalam satu mobil." Dengan takut-takut aku menjawab.Ternyata nyaliku ciut juga melihat perubahaan mimik wajah si bos. "Yang mau berduaan satu mobil itu siapa?" kata dia sembari menyentil jidatnya aku. "Kamu tuh sukanya mengambil kesimpulan sendiri, maksud saya kita barengan sama Rani. Dia kan manajer disini, jadi kalau saya butuh sesuatu itu gampang, paham?!" ucapnya tegas. "Iya, Pak. Mana saya tahu, lagian Bapak bilangnya belakangan sih. Coba bilang dari awal saya nggak akan protes," seraya terkekeh aku menimpali. "Ah, kamu itu. Ya, udah itu aja pokonya besok berangkatnya bareng saya, tidak ada penolakan!" tegasnya. "Ya udah saya nurut apa kata bapak deh, daripada saya di pecat. hehehe," candaku di akhiri kehkehan. "Ya, begitu bagus, coba dari tadi nurut nggak akan ada perdebatan," dia berkata sambil tersenyum, menjengkelkan sekali punya bos ini. "Sekarang kamu boleh lanjutkan pekerjaan lagi. Kerja yang bener ya, kalau mau bonus," ujarnya. "Oke, siap Pak. Saya akan bekerja dengan sungguh-sungguh biar dapet bonus gede," kata ku penuh semangat. "Baiklah Pak, saya mohon izin balik keruangan lagi. Permisi," setelah berkata demikian aku berlalu keluar ruangan si bos. Aku melenggang berjalan dengan santainya menuju ruanganku. Jam menunjukan pukul dua belas siang, suasana direstoran sudah ramai dengan orang -orang yang akan makan siang. Karyawan pun sibuk dengan tugasnya masing-masing, begitu juga dengan aku yang notabene seorang kasir, pasti sangat sibuk sekali apalagi dijam makan siang begini. Sore menjelang seperti biasa, aku siap-siap untuk pulang dan orang yang menggantikannya pun sudah ada. Aku pamit pada Ridwan rekan kerjaku untuk pulang duluan. Ridwan pun mempersilakan aku pulang. Namun sebelum keluar dari area restoran, si bos telah mencegat kembali aku diparkiran. "Al, mau barengan pulangnya sama saya ? kebetulan saya mau lewat perumahaan kamu," dia menawarkan tumpangan, padahal dia tahu kan kalau aku tuh bawa motor sendiri. Masa iya si Kitty ditinggal begitu aja, kalau dia kenapa-napa gimana coba. Hadeuh nih bos kerjaannya gerecokin aku terus bikin tensi ku naik aja. Dengan pura-pura baru mengetahui kehadirannya, aku bicara padanya. "Eh, Bapak. Maaf Pak, terima kasih tawarannya saya masih punya urusan lain." "Urusan apa Al, padahal saya sengaja loh nungguin kamu biar bisa bareng," ucapnya penuh kecewa. " Maaf Pak urusan pribadi, lain kali aja lagian saya bawa motor masa iya harus ditinggal," jawab ku lagi. "Ya udah, kalau kamu tidak mau saya juga gak akan maksa." Pak Willy berlalu memasuki mobilnya tanpa berkata sepatah kata pun. Mobilpun melaju dengan kencang, menembus jalanan di sore itu. Meninggalkan aku yang hanya bisa geleng-geleng kepala, melihat mobil si bos yang semakin tak terlihat karena berbaur dengan yang lain. * * * Motor yang ku kendarai telah memasuki area perumahanku. Tanpa sengaja di gang tersebut aku melihat tukang bakso yang biasa mangkal. Aku tersenyum lantas mendekati abangnya. Setelah memarkirkan motornya aku pun memesannya. "Bang baksonya satu jangan terlalu pedas, ya!" pesanku. "Yang pedas satu, Bang," kata seseorang dibelakang ku. Aku menoleh ternyata orang itu, ngapain dia juga ada disini. perasaan tadi tidak ada. "Bang punya ku yang super pedas aja, biar mantap," kata ku nggak mau kalah. Dia menatap heran ke arah ku. "Tidak salah, Al? Pedes banget, nanti sakit perut lho," dia berucap sembari menyunggingkan senyum seolah mengejek ku. "Ngggak aku kuat kok," ujar ku sambil meringis. Ku kira tadi dia mau meledek ku, ternyata memang itu pesanan dia. Hadeuh gimana ini mana melihat kuah baksonya merah banget lagi. "Kenapa hanya dilihatin aja? ayo, makan atau mau kamu tuker dengan punya saya? Kalau saya pasti kuat kok, " dia memberi tawaran untuk menukar baksonya, tapi demi sebuah harga diri aku menolak penawarannya itu. Kami pun makan dengan diam, sebenarnya aku udah tidak kuat untuk meneruskan makan bakso tersebut, tapi aku gengsi untuk tidak meneruskannya. Akhirnya dengan air mata dan ingus pada keluar, aku sanggup menghabiskannya dengan bibir jontor pula. Sungguh tersiksa sekali hanya demi sebuah harga diri. Tanpa berkata dia berlalu ke Abangnya untuk membayar bakso kami. Ya dia juga membayarkan punya ku juga. Untuk menolak aku bingung sebab orangnya telah berlalu keluar. Akhirnya aku pun pulang dengan menahan rasa panas di perutku. Rupanya cabai itu mulai bereaksi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD