Dijodohkan?

1108 Words
Duh, ini orang kenapa reaksinya seperti, itu? Nggak sadar apa kalau ini udah zaman modern, mau-mau aja di jodoh-jodohin emang zaman Siti nurbaya apa? Awas aja kalau udah pada pulang aku akan menolak keras sama Ibu dan Bapak. Enak saja nggak bilang- bilang mau ngejodohin anak. Kenapa juga tuh laki percaya diri sekali? Dia pikir aku akan setuju dengan perjodohan ini! Tidak Rhoma! tiiidak– akan! Biarlah Ratu julid membuli ku habis-habisan, karena belum bisa membawa cowok ganteng yang bawa pajero dalam waktu dekat ini. Yang penting aku nggak mau di jodohkan. Apa kata dunia seoarang Alia menikah lagi karena hasil perjodohan. Meski aku seorang janda tapi soal pasangan mau hasil sendiri. Setelah mereka pada pulang aku sudah siap-siap dengan berbagai penolakan. Memang dari tadi aku nggak begitu nyimak obrolan mereka, aku hanya bergelut dengan pikiran ku sendiri. Jadi aku tak paham tentang apa saja yang mereka bahas. Tamunya telah pulang, aku langsung saja melancarkan aksiku untuk penolakan. "Pa, Bu Alia nggak mau di jodohin," dengan sedikit memelas aku langsung melayangkan protesan. Kami masih ada di tempat yang sama belum ada yang berpindah. Hidung dan mata ku terasa perih rasanya ingin menangis sejadi-jadi nya. Gila aja masa iya, di zaman seperti ini masih aja aku dijodohkan. Kaya yang nggak laku aja, padahal nyatanya aku belum siap aja tuk berumah tangga lagi. Terlihat kening Bapak mengkerut, tanda seseorang tak paham akan omongan lawan bicaranya. "Maksud kamu apa, Alia?" "Alia nggak mau di jodohkan Pak, Alia bisa kok cari pasangan sendiri." Perhatian ku tertuju pada Ibu yang dari tadi hanya diam menyimak. "Bu, Alia nggak mau di jodohkan," tolak ku lagi kali ini dengan suara lebih bergetar. "Pa, Bapak mau jodohin Alia sama siapa? kok, Bapak nggak pernah bilang sama Ibu?" tanya Ibu dengan nada cukup tinggi. Cepat ku alihkan pandangan mata ku yang sudah bercucuran air mata pada Bapak. "Loh, Bapak kira Ibu yang mau menjodohkan, Alia." Ibu terlihat bingung cepat dia bertanya lagi. "Memangnya siapa yang mau jodohin kamu? Dan kamu mau dijodohin sama siapa?" Aku jadi ikutan bingung, air mata yang sejak tadi mengalir di kedua pipi ku langsung ku usap dengan ujung baju. "Bukannya Bapak sama Ibu mau jodohkan Alia sama cowok tadi?" tanya ku kikuk. Bapak sama Ibu hanya saling pandang, lalu tertawa secara bersamaan. Melihat mereka malah asik tertawa aku jadi kesal sendiri. "Pak, Bu kok, malah pada ketawa sih," Protes ku. "Tadi itu Aldo sama kedua orang tuanya hanya silaturahmi saja, karena Bapak sama bapaknya Aldo udah lama nggak ketemu. Bukan untuk jodohin kamu. Ngaco aja kamu tuh," ujar Bapak dengan senyum di kulum. Kali ini pipi ku yang memanas dan udah pasti memerah. Sial, malu sekali aku. Cepat aku berlari ke kamar. Meninggalkan kedua orang tua ku yang lagi-lagi menertawakan kekonyolanku. Gara-gara tantangan dari Ratu julid aku jadi kena sial, memalukan aku meributkan perjodohan yang tak pernah ada. Meski sama orang tua ku sendiri tapi tetep aja aku malu, udah kepedean hingga mencak-mencak nyatanya hanya praduga aku sendiri aja. Dikamar aku menghentak-hentak kaki, kujatuhkan badan di kasur. Setelah kejadian tadi rasanya enggan ngapa-ngapain, aku terus berpikir gimana caranya supaya bisa mendapatkan jodoh yang baik, kaya, dan juga ganteng. "Ayo dong otak berpikir," sembari mengetuk-ngetukkan jari ke kening aku terus bicara sendiri. * * * Pagi pun tiba, ku awali dengan dengusan. Kesal saja rasanya, meskipun Bapak sama Ibu tak lagi membahas soal protesan ku tentang perjodohan tadi malam. Namun, masih saja mereka senyum- senyum tipis, seakan memberi isyarat bahwa mereka sedang menertawakan kelakuan ku tadi malam. "Al, kenapa tuh muka di tekuk mulu? padahal hari ini cuaca cerah lho, dan juga udah tanggal muda pasti kamu udah gajian kan?" tanya Bapak sembari terus senyum-senyum. "Nggak apa-apa kok, Pak. Alia hanya lagi kesel aja," jawab ku ngasal biar nggak panjang lebar Bapak bertanya. "Oh, Bapak kira ada apa? Jarang-jarang lho anak Bapak sikapnya kaya gitu. Biasanya kan selalu ceria," katanya lagi. "Kak Alia, padahal kakak yang kemarin itu baik lho. Dia ngasih coklat ke Ade, iya kan, Pak?" si bocil malah ikutan nimrung pembicaraan. "Baik apaan orang dia itu nyebelin," jawab ku enteng. "Husss–! Kalau bicara itu jaga, nggak baik lho, Al. Nak Aldo emang orangnya baik kok," ujar Ibu menimpali. Aku jadi tambah bete di keroyok seperti itu, bibir yang sedari awal sudah dimonyongin tambah monyong aja beberapa senti. "Lagian kamu itu kenapa kayanya nggak suka banget sama, Nak Aldo? Apa dia pernah buat salah sama kamu?" tanya Bapak ingin memastikan. Sebenarnya aku juga bingung kenapa aku kalau ketemu dia bawaannya keki mulu, padahal dia nggak pernah buat salah. Aku tak menjawab pertanyaan Bapak sebab aku juga nggak tahu jawabannya. Jadi aku hanya diam mematung. Ditengah suasana tegang begini, akhirnya ada dewi penyelamat. Dengan lembutnya wanita yang melahirkan ku itu mengajak kami untuk sarapan. Tentunya disambut baik oleh ku karena aku pikir akan lolos dari pertanyaannya Bapak tadi. * * * Seperti biasa aku berangkat kerja dengan mengendarai si Kitty, melewati rumah Bu Leha aku udah siap-siap untuk tancap gas, kalau-kalau Ratu julid itu mau ngajak ribut lagi.Terlihat Bu Leha tengah berdiri di dekat halaman rumahnya. Aku udah siap dengan segala kemungkinan, motor ku jalankan dengan sedikit kencang agar aku bisa cepat melewati Ratu julid yang tengah berdiri itu. Bu Leha berjalan mendekat, dengan sedikit berteriak dia menyuruh ku untuk menghentikan motor. Walau dengan ogah-ogahan tapi aku tetep menghentikan laju motor. Tampak napas Bu Leha naik turun karena setengah berlari menghampiriku. "Nah gitu kalau di suruh berhenti sama orang tua itu harus nurut," ucapnya. "Emangnya ada apa ya, Bu? Ibu menghentikan saya?" tanya ku sedikit sewot karena merasa terganggu perjalanan ke tempat kerja terjeda. "Nggak kenapa-napa, saya cuma mau bilang terima kasih aja kemarin udah nolongin Mira. Ternyata kamu baik juga," dengan santainya dia menjawab, padahal aku udah siap-siap ngumpulin kata-kata untuk nyerang balik. Aku pun nyengir ternyata aku udah berpikiran jelek aja sama ibu-ibu satu ini. Ku pikir Bu Leha mencegat perjalanan aku itu mau ngajak ribut lagi, ternyata dia mau ngucapin terima kasih. "Oh yang kemarin itu Bu, nggak masalah lagian dengan tetangga itu kita harus berbuat baik 'kan?" jawab ku sedikit menyindir. Bu Leha manggut-manggut mungkin kepikir olehnya. "Ya bener itu Al, nanti kalau Mira menikah kamu pasti akan ngasih kado yang mahal 'kan? kan, kata kamu harus berbuat baik?" dia bertanya balik. "Oh, tenang aja Bu, nanti saya kasih kado yang mahal," kata ku, lagi-lagi meladeni dia. "Janji ya Al. Bohong dosa lho," dengan begitu sumringah dia membalas omongan ku. "Iya, saya pamit Bu takut kesiangan," kata ku lagi mengakhiri obrolan di pagi hari dengan sang ratu julid.Aku pun meneruskan perjalanan yang sempat terjeda tadi, tak lupa sebelum pergi menyalami dulu Bu Leha. "Tunggu dulu, Al!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD