Siapa laki-laki asng itu?

2143 Words
"Amera... Kenapa sedari tadi kamu hanya diam?" tanya Bella, duduk di samping Amera. Ke dua mata dengan soflen coklat itu menatap ke arahnya. Mengamati detail setiap lekuk wajah Amera yang sedari tadi lesu, dia hanya diam membisu. Tanpa sepatah kata keluar dari bibirnya. Tak ada jawaban dari Amera. Bella menghela napasnya. Mencoba untuk tetap sabar. "Aku akan tetap sabar!" gumam Bella mengusap dadànya. "Amera.. Kamu sudah 1 jam diam sepeti payung? Apa.kamu gak capek? Otot kamu tidak kram, kan? Atau mungkin. Kepala kamu kejedot apa kemarin, sampai membuat kamu Linglung?" "Bella.." panggil Amera tanpa menatap ke arah Bella. "Eh.. Ternyata kamu masih sadar juga." Bella tersenyum tipis. Menggerakkan tubuhnya, menghadap ke arah Bella. Kaki kiri terangkat di atas ranjangnya. "Ada apa?" tanyanya. "Apa sebenarnya yang aku lakukan? Apa sekarang aku harus cari anak laki-laki dari pak tua belagu itu. Emm... Tapi, dia siapa? Kenapa dia memberi tahu jika anaknya yang membunuh kakakku. Harusnya dia melindungi anaknya, tapi.... Kenapa ini sebaliknya." Amera mencoba berpikir, menatap ke arah Bella. "Emm... Iya, juga, sih. Sedikit aneh. Apa dia sedang menjebak kamu? Tapi apa urusan dia denganmu? Kamu tidak kenal dengannya. Tapi, dia mencarimu." ucap Bella mengerutkan bibirnya, sembari memutar otaknya untuk berpikir keras tentang kejadian aneh itu. "Sepertinya memang aku harus hati-hati. Ini bukan masalah sepele. Aku tidak mungkin terjebak ke dalam perangkapnya." ucap Amera. Menghela napasnya. "Tapi, jika memang benar anaknya yang membunuh kakak kamu gimana? Siapa tahu juga dia memberi tahu kebenaran darimu." Kata Bella, membuat Amera menatap ke arahnya. Meruncingkan ujung matanya. "Iya... Tapi..." "Brakkkk!" Suara gebrakan pintu sontak membuat mereka bangkit dari duduknya. Maaf! Telah menganggu waktu kalian. Sekarang boss menugaskan kalian untuk pergi ke suatu tempat. Segeralah datang ke ruangannya." suara tegas dan lantang ajudan boss di depannya. Amera dan Bella berdiri tegap. "Siap!" ucap mereka kompak. "Lapor, Amera akan segera ke ruangannya. Mohon tunggu 10 menit." "Baiklah!" Ajudan itu membalikkan badannya pergi. Tanpa banyak basa-basi lagi. "Shiitt.... Apa dia gak ada otak?" geram Bella, menghela napasnya lega. "Aku hampir jantungan tahu, gak. Kalau seperti ini terus. Lama-lama aku mati jantungan di sini." Amera hanya diam, dia tersenyum tipis. Membalikkan caranya. Membereskan barang-barang yang akan di bawahnya. Beberapa senjata di saku celananya. Dan, beberapa senjata candangan di balik bajunya. "Amera.. Kenapa kamu tidak marahi dia saja. Lagian kita itu lebih tinggi derajatnya dengannya." gerutu Bella. Dia masih belum terima di hati jantungan oleh ajudan itu. Tak henti, wanita itu melirik tajam ke arah pintu. Tangan kanan mengusap dadànya. Amera hanya menggelengkan kepalanya. Dia mulai merapikan rambutnya, mengikat sayu rambutnya di atas. Dan segera membawa tas kecil. Lalu melangkahkan kakinya pergi. "Eh... Amera, kamu mau kemana?" tanya Bella, mengangkat tangannya mencoba mencegah Amera. Tetapi Amera sudah dua langkah di depannya. "Apa kamu tidak dengar suara lantang ajudan kesayangan kamu itu. Dia bilang kita harus menghadap ke pada bossnya. Jadi kita harus segera pergi, Bella sayang." ucap Amera dengan nada rendah sedikit jengkel. "Ahah... Kamu Ra, selalu saja membela dia. Tahu, lah. Kesal aku." gerutu Bella. Menguntupkan bibirnya beberapa senti. Dia menghentakkan kakinya seperti anak kecil yang sedang meminta sesuatu. Lalu segera bersiap. "Aku tunggu kamu di luar!" ucap Amera. Tanpa menunggu jawaban 'Iya' dari Bella. Amera berjalan keluar. Ia menyandarkan punggungnya di balik dinding. Kaki kiri di tengkuk ke belakang. Amera mulai memasang airphone-nya. Mendengarkan beberapa musik pop, rock. Sembari mengangguk anggukan kepalanya. Menikmati alunan musik yang me-refrest otaknya. "Apa yang kamu katakan?" "Pembunuhan, aku tidak akan tinggal diam." Suara laki-laki yang kebetulan lewat tepat di depan kamarnya. Membuat Amera tertarik, dia mulai teringat tentang kakaknya. Amera melepaskan airphonenya. Dan mulai mengangkat kepalanya, menatap setiap langkah beberapa ajudan dengan setelah jas dan kaca mata hitam. Berdiri tegap di belakang laki-laki tampan yang melangkah di depannya. Setelah jas lengkap. Amera terus menatap ke arahnya, sampai ujung kanan dan kiri. Membuat laki-laki itu curiga. Ke dua mata mereka saling tertuju. Hingga sampai di ujung lorong kamarnya. Laki-laki itu sudah menghilang dari pandangan matanya. Siapa dia? Kenapa dia bahas pembunuhan? Amera terdiam, teringat ucapan laki-laki paruh baya kemarin. Dia masih terngiang-ngiang dengan nama anaknya. Siapa anaknya? Dan, di mana dia sekarang? Apa aku pernah bertemu dengannya. Pertanyaan itu muncul bertubi-tubi di kepalanya. "Heh..." Bella menepuk pundak Amera, membuat Amera terjingkat dari tepatnya berdiri. "Apaa-apaan, sih. Bell. Sekarang kamu mulai balas dendam padaku." "Udah, udah. Ayo pergi! Sebelum boss marah." ucap Bella, mendorong bahu Amera, tepental ke dpan. Hampir jatuh, Amera mampu mengimbangi tumbuhnya agar tak jatuh. Dan mulai berjalan, beriringan, satu hentakan kaki yang sekarang. Mereka mulai melangkah, dengan gaya cool cas mereka. Rambut di ikat ke atas. Jaket bomber yang tebal, menutupi tubuh seksinya. sampai di depan kantor boss, Amera terdiam. Dia mulai menggerakkan telinganya. Memasang pendengaran tajamnya. Saat mendengar pembicaraan di dalam. Amera, membalikkan caranya, menyandarkan badannya, di dinding. Sembari mengintip dari balik kaca. "Ada apa?" tanya Bella bingung. "Sssttt..." "Gimana? Apa kamu sudah menemukan siapa pembunuhnya?" Bella yang bingung, dengan tingkah Amera. Dia hanya menggelengkan kepalanya. Mencoba melangkah, dengan cepat Amera menarik tangan Bella berdiri tepat di belakangnya. "Jangan masuk dulu!" ucap Amera. "Memangnya kenapa?" Bella mengintip dari balik kaca yang tertutup korden. "Aku curiga dengan laki-laki itu." ucap Amera was-was. "Soal pembunuhan pacar anda. Saya, sangat berduka cita. Dan saya akan membantu anda menyelesaikan masalahnya." "Pacar?" Dia bilang pacarnya meninggal." suara keras Bella, di balas dnegan pelototan tajam oleh Amera. "Ssstt... Diamlah! Aku tahu, dengarkan dulu." Bella gemetar, dia mulai teringat tetang salah tembak beberapa bulan lalu. Dia panik gimana jika kasus itu dia selidiki. Dan mereka terlibat, maka akan jadi boomerang bagi Amera dan Bella. Tidak hanya kehilangan pekerjaan satu-satunya. Dia juga bisa di penjara karena itu. Suara hentakan kaki berjalan keluar. Tubuh Amera tersentak. Dia meraih tangan Bella, dan berdiri tepat di depan pintu. Ke dua kalinya, laki-laki tampan itu menatap ke arahnya. Kali ini dia berdiri tepat di depannya. Dengan ke dua mata mengatai setiap lekuk tubuhnya. Dari ujung kaki sampai kepalanya. Bella yang masih takut, ia menarik-narik lengan jaket Amera. "Amera... Ayo masuk!" ucap Bella, mendorong tubuh Amera masuk. Pandangan mata Bella masih tertuju pada laki-laki di belakangnya. "Sudah, jangan lihat dia. Cepat masuk!" Bella semakin mendorong sedikit keras tubuh Amera. "Boss, apa yang kita lakukan dengannya?" tanya salah satu ajudan pada laki-laki di depannya. "Aku merasa tak asing dengan wajah itu!." jawab laki-laki itu. Dia menghela napasnya. Dan segera beranjak pergi. Tanpa pikir panjang dan tak perdulikan apa yang wanita itu lakukan. ** "Maaf, Boss. Saya terlambat!" ucap Amera menundukkan kepalanya. "Tidak masalah! Sekarang kalian duduklah!" pinta sang boss. Bella segera kenarik tangan Amera duduk di kursi srbalahan dengannya. "Apa ada tugas baru?" tanya Amera terys terang. "Iya, kamu cepat pergi ke pusat kota. Aku harap jangan sebarkan rumor pada anggota lain jika kamu di sana." "Terus saya gimana boss?" saut Bella. "Kamu tunggu, ada tugas penting untuk kamu." jawab sang Boss. Bella hanya diam mengerutkan bibirnya kesal. "Memangnya tugas apa?" timpal Amera. "Kamu bisa pergi untuk menyelidiki kematian seseorang. Aku akan kirim datangnya di email kamu, jika sudah rekam dalam memory otak kamu. Dan segera hapus." jelas sang boss. Amera mengerutkan keningnya. "Kemarian seseorang, apa ini kesempatan dia untuk keluar dari rumah kecil ini. Dan bisa hidup bebas di kota? Apa aku bisa hidup tenang dan mencari pembunuh kakakku juga?" Amera terdiam, bergumam dalam hatinya. Raut wajah panik itu seketika mulai tersenyum, mengangkat kepalanya menatap sang boss. "Baiklah kapan aku berangkat?" tanya Amera antusias. Bella menoleh cepat, melebarkan ke dua matanya. "Ara... Apa-apaan kamu, apa kamu mau pergi sendiri tanpa aku. Aku juga mau ikut denganmu. Rayulah sang boss. Biar dia juga ijinkan aku pergi." ucap Bella merengek. "Tidak!" tegas sang boss. "Ayolah, aku janji tidak akan bikin masalah. Aku tidak mau pisah dengan Amera." Bella memasang wajah sedihnya. Mengerutkan bibirnya senyum beberapa senti. Amera tersenyum samar. "Baiklah!" gumam Amera. Dia kembali menatap Sang boss. "Boss, biarkan dia bersama denganku. Mungkin dia bisa bantu aku nantinya. Saya juga butuh teman untuk merencanakan misi. Jika saya sendiri. Mungkin akan lebih lambat selesai." ucap Amera mencoba bernegoisasi. Jemari tangan Amera menyentuh punggung tangan bella di bahunya. Mencoba untuk menyakinkan dia agar yakin akan di terima. Helaan napas kasar boss mereka terdengar sampai di telinganya. Bella dan Amera tersentak dari duduknya. Menarik punggungnya sedikit duduk ke depan. "Baiklah, jangan sia-siakan pekerjaan kalian. Cepat lakukan. Dan saya hanya memberi waktu kamu dua bulan." "Dua bulan? Tumben lama?" ceplos Bella. "Iya, memang lama. Karena tugas kamu tidak hanya satu. Ada beberapa tugas juga yang akan saya kirimkan. Karena kalian dua anggota. Jadi diperbanyak lagi tugasnya." "Apa?" Bella memelotot ke arah boss. sedangkan Amera hanya diam, pandangan matanya masih terlihat kosong. Seakan pikirannya masih melayang jauh memikirkan kakaknya. "Baiklah, saya terima!" ucap Amera. Menarik tangan Bella untuk segera pergi dari sana. "Ara... Tapi, kita tidak bisa seperti jni. Kenapa kita di beri tugas banyak?" tanya Bella, masih terlihat kesal. Ke dua matanya menatap tajam ke arah boss. "kita hanya bawahan. Sudah, jangan protes. Lagian jika kamu mau mengurangi beban kerja kamu. Jadilah boss. Kamu tidak capek pergi sana kemarin. Tinggal duduk, dan menanggung beban semua karyawannya." geram Amera, ke dua kaku mereka mulai melangkah keluar dari ruangan bossnya. Tanpa banyak bicara lagi. Bahkan, mereka lupa. Belum bertanya kapan mereka akan mulai kerja. Amera yang sudah terlanjur keluar. Dua hanya bisa terus berjalan menarik tangan Bella kembali ke kamarnya. Tetapi, Bella tetap saja menggerutu tidak jelas. dia bahkan tidak berhenti ngoceh dari tadi. Membuat telinganya terasa sangat panas. "Udah, hangan ngoceh terus, Bella. srkarang siapkan baju kamu. Aku sudah bantu kamu agar pergi denganku. Jadi sekarang cepatlah bersiap. Sewaktu-waktu boss akan meminta kita untuk pergi." jelas Amera, dia tidak perdulikan Bella yang duduk menatap bingung ke arahnya. Amera sibuk membereskan beberapa baju yang dia bawa. Menyiapkan beberapa senjata dan peluru di dalam koper. "Ara... Memangnya kamu tahu, kita berangkat kapan?" tanya Bella santainya. ."Enggak, tapi setidaknya kita sudha bersiap Bella. Udah, sekarang kamu bersiapa sana dulu. Kau mau keluar cari cemilan." ucap Amera, dja mulai beranjak dari kamarnya. Dan segera pergi keninggalkan Bella tanpa menunggu jawaban dari Bella "Eh.. Aku di tinggal gitu aja?" gumam Bella kesal. ** Di luar, suasana malam sangat mencengkam. Dinginnya malam ini kenbaug tubuh Ara merasa mengingil. Salju mulai turun, Ara yang kupa tidak menbawa penutup kepalanya. Dia tidak perduli dan terus menembus dinginnya malam, yang mulai masuk ke dalam sum-sum tulangnya. Membekukan organ darahnya perlahan. "ini parah dingin banget!" gumam Amera. Mengusap ke dua telapak tangannya berkali-kali. Lalu menempelkan pada pipinya. "Kenapa kamu jalan sendiri malam-malam?" antara berat seorang kaki-laki menghentikan langkah Amera. Tanpa sadar, sebuah payung hitam sudah menutupi atas kepalanya. "Siapa kamu?" tanya Amera. "Siapa aku itu tidak penting. Sekarang, pakailah ini." laki-laki itu memberikan payung untuknya. Dia melangkahkan kakinya pergi tanpa banyak bicara lagi. dengan langkah ringan, ke dua tangan di dalam saku jaket. Namun, ia tak lupa memakai airphone di telinganya. "Siapa dia? Kenapa dia tiba-tiba datang memberikan payung? Apa dia pria dalam drama?" gerutu Amera bingung. Ke dua mata Amera masih menatap punggung laki-laki itu yang sudah semakin jauh darinya. "Ah... Entahlah!" Amera tak mau banyak bicara lagi. Dia segera pergi ke supermarket terdekat. Memberi beberapa minuman hangat dan cemilan untuknya dan Bella. "Anak itu pasti kedinginan" gumam Amera. Mengingat Bella. **__** Selesai berbelanja, Amera kembali ke kamarnya. Dia merasa ada seseorang yang dari tadi terus mengikutinya. Merasa sangat aneh, Amera menoleh cepat. Tak ada siapapun di belakangnya. m "Siapa di belakang, keluarlah. Jangan mencoba mengangguku." teriak Amera. Menatap was-was. Ke dua mata coklat itu berkeliling mengamati sekitarnya. "Sungguh pengamatan yang luar bisa." suara seorang alki-laki sedikit tegas, dan keras. "Siapa lagi kamu?" tanya Amera jutek. "Aku hanya ingin memberikan ini padamu. Kamu bisa mendapatkan info siapa pembunuh yang sebenarnya. Jangan sampai terl3watkan. Ini kesempatan kamu untuk bisa bertemu dengannya." seorang laki-laki berhasil hitam, dengan kaca mata hitam sekujur tubuhnya berbalut pakaian rapi. Satu hati ini, aku bertemu dengan laki-laki sama. apa dia ajudan laki-laki tampan tadi? Atau dia ada hubungannya dengan laki-laki tadi di luar. "Ambilah, jika kamu ingin tahu kebenaran." Amera segera meraih satu kartu bertuliskan sebuah alamat. Amera membacanya sejenak. mencoba mengingat di mana alamat itu berada. "Ini bukanya club malam?" tanya Amera bingung. "Memangnya kebenaran apa yang akan aku dapatkan jika aku datang ke sana?" tanya Amera semakin bingung. "Bukanya beberapa hari lalu kamu bertemu dengan seseorang. Apa kamu lupa?" jelas laki-laki itu. Dia tersenyum samar. Membalikkan badannya pergi meninggalkan Amera yang masih diam membisu. Memikirkan siapa yang di temuinya. "Ara..." teriak Bella berlari menghampiri Ara. "Ini apa?" tanya Bella, meraih kartu itu. "Ini, kan. Di club malam yang bisa kita nongkrong, kan. Apanyangbterjadi." tanya Bella penasaran. Amera segera menyadarkan dirinya dari lamunanya. Meraih kartu itu, memastikan ke dalam saku jaketnya. "Gak ada apa-ap. Udah sekarang kamu bawa barang belanjaan aku ini." Amera memberikan satu kantong plastik penuh belanjaannya dalam dekapan tubuh Bella. Sedangkan dia pergi lebih dulu. "Ara... Cerita padaku." teriak Bella. "Tidak, penting. Bella. Udah, deh jangan ikut campur urusan orang. Lagian ini gak penting."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD