Bab 2

1036 Words
Dua hari berlalu. Dion masih terus mengenang kepergian Adela. Dia belum bisa terima jika kekasihnya sudah pergi meninggalkannya untuk selamanya. Dan hari ini, ia akan kembali lagi ke Sydney untuk mencari tahu siapa dalang sebenarnya. Tapi entah kenapa hatinya sangat berat. Hari demi hari di habiskan oleh dion dengan beberapa botol minuman. Di dalam bayangannya dia selalu bertemu dengan Adela. Di setiap katanya tak sadar di situ hadir sosok Adela yang selalu berada di sampingnya. Seakan dia merasakan kedekatan tubuh Adela di sisinya. Sudah dua hari, Dion merasa benar-benar jatuh sejatuh jatuhnya. Hatinya benar-benar terluka. Hanya karena kematian seseorang membuat dirinya hancur seakan dirinya tak punya lagi semangat untuk hidup kembali. Dua hari juga Dion tak mau makan. Dia hanya mengurung dirinya di dalam kamar. Tanpa ada yang berani satu pengawalpun yang mengusiknya. Jika ada yang masuk dia tidak akan segan-segan melukainya. *** Tuan Delmon. Dia adalah ketua mafia yang berkuasa di negaranya. Tak ada yang berani menandinginya. Tetapi, bukanya tak ada musuh yang berani melawannya. Dia duduk di tempat kerjanya. Dengan kaki menyilang menghadap para pengawalnya yang berdiri dengan tangan di depan tertunduk seakan ingin menyampaikan sesuatu. "Apa yang kalian ingin bicarakan?" tanya tuan Delmon, tangannya memegang sebatang rokok, lalau menghisapnya, mengaluarkan asap dari bibir dan hidungnya begitu banyak. "Maaf, tuan! Apa anda tidak mau menemui Tuan Dion. Dia sudah dua hati tidak keluar dari kamarnya." "Biarkan saja dia?" ucap Delmon begitu santainya. Dia menghisap rokoknya kembali. Seakan tak perduli lagi dengan keadaan anaknya. "Tapi, tuan. Dia belum makan sama sekali dari kemarin." "Terus kamu lihat dia masih hidup gak?" tanya Delmon, menarik ke dua alisnya. Tatapannya sangat mengerikan. Seketika sisi ruangan itu tertunduk takut padanya. "Dia masih hidup tuan," "Kalau dia masih hidup kenapa kalian hang bingung. Biarkan saja dia. Hatinya sekarang sedang terluka. Biarkan sampai dia merasa puas dengan kesendiriannya." Delmon membuang putung rokok ke sembarang arah. Menginjakkan dengan kaki yang di balut sepatu hitam mengkilat. "Baik, tuan!" jawab salah satu pengawal. "Tugas kalian hanya mengawasi dia. Jangan ikut campur kehidupan dia. Dia bukanlah orang yang lemah. Aku yakin, besok dia akan keluar dengan sendirinya. Meski hatinya asih sangat terpukul atas kepergian calon istrinya itu." jelas Delmon, tatapannya membuat semua orang bertanya-tanya. Entah dia sayang atau tdak dengan anaknya. tetapi tatapan itu, seakan menyimpan kebencian terhadap calon istrinya. Semua pengawal segera pergi. Mereka menjaga tuan muda yang biasa ia jaga di depan kamarnya. Karena tak boleh mengusirnya sama sekali. Mereka hanya menjaga dari luar, dan sesekali mengintip di balik celah kunci kamarnya. *** Pov Amera. Di balik kamar sederhana. Dengan dua kamar tidur di dalamnya. Kamar yang terlibat sedikit berantakan tak beraturan itu. Bahkan seperti kapal pecah. Banyak barang-barang di lantai. Bahkan senjata mereka seakan di letakkan ke sembarang tempat tanpa di sembunyikan atau pun. Ya, Amera tinggal di sebuah asrama agen intelijen IWO. Agen intelijen yang paling berbahaya dan di takuti oleh kelompotan mafia. Mereka bergerak secara diam-diam, bahkan tanpa di sadari mereka menyamar sebagai anggota mafia untuk menyelidiki apa yang akan terjadi berikutnya. Jika punya informasi, teman yang lainya melakukan tugasnya untuk mengamankan pertempuran itu. Bella sedang duduk santai menikmati mie instan yang baru saja ia buat. Sembari melihat Amera yang dari tadi jalan mondar-mandir di depannya. "Amera, diamlah. Aku pusing melihat kamu jalan kesana kemari." decek kesal Bella. Tangannya seakan anik turun mengikuti nada suaranya. "Bella... Aku gak bisa diam? Sebelum aku menemukan ide.." "Ide apa?" tanya Bella, sembari mengunyah mie instan. "Bella, apa yang harus kau lakukan. Kamu tahu semenjak kejadian kemarin. Aku benar-benar menyesal sekarang.. Aku bingung apa yang harus aku lakukan?" ucap Amera panjang lebar dengan tangan bergerak mengikuti dia berbicara. "Kamu tahu, itu semua juga gara-gara kamu. Kalau kamu gak terpeleset kemarin. Semua gak akan terjadi." umpat kesal Amera. Ia yang sudah capek jalan, seketika ia duduk tepat di lantai samping Bella, meraih mie instan di tangan Bella. Memakannya sangat lahap tanpa perdulikan Bella. Yang dari tadi hanya bisa menelan ludahnya melihat mie yang baru saja dia buat ludes di makan Amera. "Amera...." teriak Bella menggema keseluruh penjuru ruangan. "Apa, sih bella. Kamu bukanya kasih saran yang baik buatku. Tapi malah teriak-teriak gak jelas." "Kamu itu gak jelas!" "Apa lagi yang gak jelas?" tanya Amera. "Kamu makan mie milikku," geram Bella, menatap tajam ke arah Amera. Amera menatap ke meja, seketika dua meringis memandang Bella meraih tangannya. "Bella... Maaf.. ya, aku tadi terlalu panik. Jadi Gak bisa konsentrasi." ucap Amera beralasan. "Taulah, kamu selalu saja begitu." decak kesla Bella. "Baiklah, jangan ngambek lagi ya. Aku akan buatkan kamu mie instan yang baru lagi." "Gak mau, karena kamu telah makan semuanya. ganti dengan spageti." pekik Bella kesal, ke dua tangannya bersendekap, memalingkan wajahnya acuh. Ke dua mata Amera melebar seketika saat mendengar apa permintaan Bella. "Kamu gak mau?" tanya Bella memastikan."Ya, sudah kalau kamu gak mau, aku marah." lanjut Bella. Dia sengaja ngerjain Amera. Lagian salah sendiri dua hari dia tidak pernah keluar kamar sama sekali. Setiap beli makan selalu saja Bella jadi sasaran. Amera meriah tangan Bella. Menggoyang-goyangkan tangan ramping berkulit kenal dan terlihat sedikit pucat. "Bella! Bella! Iya, iya, aku akan carikan makanan untuk kamu. Gak hanya spageti. Aku akan bawa banyak macam makanan." ucap Amera, sembari memikirkan apa uangnya cukup untuk beli makanan nanti. Bella terjingkat seketika, ke dua matanya menatap Amera. "Kamu yakin? Gak bohong, kan?" tanya Bella memastikan. "Emangnya tampang aku pembohong?" "Wah.. Makasih banget! Aku sayang banget sama kamu Amera." Bella memeluk erat tubuh Amera. "Kamu tahu saja kalau aku gak punya uang. Kamu memang teman paling baik." Amera merasa geli dengan pelukan Bella, dia mencoba melepaskan pelukan Bella. "Bella, lepaskan. Aku masih normal. Jadi jangan terlalu sering memelukku. Aku takutnya kamu jatuh cinta." ucap Amera bergidik geli. "Hello.. Ara.. aku masih normal juga. Aku masih bisa melihat laki-laki tampan. Jadi gak mungkin aku suka dengan kamu." pekik Bella, menggelengkan kepalanya. Bergidik geli juga saat membayangkan jika dia suka dengan Amera. "Ih.. Jijik!!" "Kalau jijik jangan di bayangkan Bella, sudah sekarang ikut aku keluar." ucap Amera beranjak berdiri. Ia meraih jeket lepis di atas kursinya. "Kamu ajak aku?" tanya Bella. "Iya, cepat sekarang pergi. Aku gak punya banyak waktu lagi." Amera bergegas pergi meninggalkan keluar dari kamar kecil miliknya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD