7. Mara Stevensson

1993 Words
Juli 2046 San Jose, California “S.O.U.L, mode kamuflase!” perintah Leo kepada komputernya ketika mereka mulai memasuki area penerbangan milik Amerika Serikat. “Siap, Leo. Mode kamuflase,” jawab suara robot milik S.O.U.L. Dari dalam pesawat tidak ada perubahan yang terasa, tapi bagi orang yang sedang menatap pesawat mereka dari luar. Pesawat yang tadinya terlihat jelas dengan mata telanjang, seketika menghilang dari pandangan dan tampak tembus pandang. Menggunakan ratusan kamera kecil yang terpasang di badan pesawat dan algoritma komputer rumit yang terus menerus membaca lingkungan di sekeliling pesawat, S.O.U.L akan mampu menebak perkiraan gambar yang hilang karena tertutup badan pesawat dan memunculkannya ke layar LED beresolusi tinggi yang melapisi sekeliling permukaan pesawat. Bukan hanya itu, pesawat milik Leo juga dilapisi oleh polimer spesial yang mampu menyerap signal, sehingga ia bisa menyelinap keluar dan masuk Amerika tanpa terdeteksi oleh radar.  Tahu mereka sebentar lagi akan mendarat, Logan dan ke empat tentara bayaran mereka mulai mempersiapkan diri. Sebagai bekas tentara seperti ke empat rekannya, Logan sangat paham akan kemungkinan sesuatu berjalan tidak sesuai rencana. Jika Leo adalah kepala dari keduanya, maka Logan adalah otot nya. Leo mungkin memang cerdas, tapi ia terkadang sangat naif. Dan sudah menjadi tugas Logan untuk melindungi adiknya. Pria yang bertubuh kekar itu menyelipkan beberapa pistol bertenaga plasma, granat, bahkan pisau laser,  dan menyembunyikannya di balik jaket bombernya. Tidak berhenti di situ, Logan juga memasukkan lebih banyak senjata ke dalam tas punggung yang akan dibawanya. Lebih banyak lebih bagus, pikirnya. Mengingat yang akan di hadapinya adalah mutan level 5, sementara mutan level 3 saja sudah cukup merepotkan. “Bryce!” panggil Logan kearah rekannya. “Giliranmu membawa Canon Plasma hari ini!” “Apa?!!” protes Bryce yang langsung menghentikan persiapannya sendiri. “Bukankah aku yang terakhir membawanya? Sekarang giliran Jordan,” tunjuk pria itu ke arah Jordan yang sedang mengancingkan jaketnya. “Tidak, aku membawanya ketika kita berada di Hongkong, ingat? Sekarang giliranmu!” balas Jordan. Bryce menggerutu sambil berjalan menuju sisi pesawat tempat mereka menyimpan Canon Plasma. Ada alasan mengapa ia keberatan membawa benda itu. Selain berat, Canon Plasma ciptakan Leo dan timnya itu juga berukuran cukup besar. Namun, jika ada mutan berlevel 5 yang berkeliaran, tidak diragukan mereka akan membutuhkan senjata itu. Menggunakan gas dan listrik yang dirubah menjadi medan magnet, Canon Plasma ciptaan Leo memiliki daya tembak 10x lipat dari senapan plasma biasa. Bryce mengangkat benda seukuran senapan M-16 itu dari tempat pengisian daya listriknya dan memasukkannya ke dalam tas pinggangnya. Pria itu membungkus ujung senjata yang menyembul dari dalam tasnya dengan kaos kumal miliknya sebelum kemudian menutup resleting tas. “Tidak bisakah adikmu membuat benda ini sedikit lebih ringan?” gerutu Bryce sambil berusaha menaikkan tas itu ke punggungnya. “Bisa saja,” sahut Leo yang mendadak sudah berdiri dibelakang Bryce dan mengangetkan pria itu. “Jika kita mempunyai lebih banyak waktu. Tapi untuk sekarang, benda ini cukup untuk memastikan diri kita terlindungi dari apapun yang menunggu diluar sana.” Leo membagi-bagikan kotak putih kecil kepada masing-masing orang yang langsung membukanya. Sebuah benda bulat pipih sebesar koin satu penny berwarna putih tertanam di dalam kotak. “Aku sudah memodifikasi Q-RA agar tidak bisa di retas. Keamanan dalam firewall benda keluaran Neocyber ini memang memalukan tapi setelah aku membenahinya, setidaknya kini kita bisa menggunakannya untuk berkomunikasi tanpa perlu membuka mulut,” ucap Leo mengomentari keamanan alat telepati yang kini dipakai hampir oleh semua tentara di Amerika untuk berkomunikasi itu. Bryce, Patt, Jordan dan Grant langsung menempelkan benda putih itu ke balik telinga mereka, sementara Logan menarik Leo dan menariknya ke samping. “Kau yakin tidak sebaiknya menunggu di pesawat kali ini?” tanya Logan pelan. “Apa?! Tidak! Aku ikut!” teriak Leo memprotes. “Leo, jika kau lupa belum enam jam yang lalu kau mengancam presiden negara ini. Dirimu sudah pasti akan di tembak mati di tempat, bila mereka menemukanmu di tanah Amerika. Ditambah, topeng mu itu… bukanlah sesuatu yang bisa disembunyikan.” Leo mengerutkan kening di balik topengnya. Ia tahu bahwa Logan benar. Wajahnya bukalah hal yang bisa di sembunyikan. Baik bertopeng ataupun tidak ia akan terlalu menarik perhatian dimanapun ia berada. Tapi ia tidak ingin berada di dalam pesawat. “Aku bisa memakai jaket berkerudung, masker, dan kacamata hitam. Tidak akan ada yang curiga,” ucap Leo memberi solusi. Logan mendengus mendengar jawaban adiknya yang sebenarnya sudah bisa ditebaknya. “Baiklah. Tapi jangan jauh-jauh dari Patt. Ia bertugas menjagamu.” Leo mendecak mendengar ucapan kakak nya, “Aku mungkin tidak pandai bertarung, tapi aku juga bukan anak kecil yang butuh pengasuh, Lo.” “Aku tahu itu. Tapi jika terjadi sesuatu, seluruh kerja keras kita selama ini akan sia-sia. Aku tidak mungkin bisa melakukan ini tanpa dirimu.” Alasan dari Logan membuat Leo mendengus. “Cih! Baiklah! Aku akan dibelakang bersama Patt.” “Bagus!” timpal Logan bersamaan dengan munculnya suara dari S.O.U.L di speaker. “Kita sudah tiba di tujuan, Leo. Mempersiapkan untuk melakukan pendaratan.” “Pakai baju pelindung di balik jaketmu, Leo. Kita tidak tahu apa yang akan kita hadapi,” perintah Logan meraih satu baju pelindung berbentuk kaos berlengan panjang dari lemari penyimpanan dan melemparkannya ke arah adiknya. Ia kemudian menyematkan alat telepati ke belakang telinga dan memerintahkan ke empat rekannya untuk bersiap, langsung dari benaknya tanpa perlu bersuara. ‘Ingat! Sasaran utama kita adalah mutan yang sejak tadi tidak bergerak dan masih ada di lokasi semula.’ Logan menyalakan lagi tablet milik Leo yang memperlihatkan peta kota San Jose dan menunjuk ke satu titik di dalam nya. Sejak kematian kedua orang tua mereka, rumah itu disita kembali oleh pihak universitas tempat Ken Dalton bekerja dan tampaknya tidak lagi berpenghuni. ‘Disini, rumah lama kami. Dan di sini juga mutan itu berada. Semua siap?’ tanya Logan yang dijawab oleh suara dari benak masing-masing pria. ‘Ya,’ terdengar pikiran Bryce dalam kepala Logan. Disusul oleh suara Patt, ‘Tunjukkan jalannya, Boss!’ ‘Siap,’ jawab Grant. ‘Ok,’ timpal Jordan terakhir. Logan mematikan tablet dan bergerak menuju ke pintu keluar. Perbedaan tekanan udara mulai terasa begitu pesawat mulai mendaki turun. Leo mengarahkan pesawat untuk turun di sebuah tepian sungai, tak jauh dari rumah lama keluarga mereka. Begitu pesawat mendarat, melalui kamera pesawat, Leo memastikan terlebih dahulu bahwa tidak ada seorang pun yang melihat ke arah mereka sebelum pintu pesawat terbuka. Bagus, pikir Leo. Sepertinya lokasi yang dipilihnya tepat karena pinggiran sungai terlihat sepi. Hanya suara kumbang tongeret yang berderik yang terdengar di sekeliling mereka. Dengan sekali tekan, pintu pesawat mendesis terbuka. Ke enam pria itu bergerak keluar tanpa suara. Logan memimpin di depan diikuti oleh Bryce, Jordan dan Grant. Leo mengikuti di belakang bersama Patt. Menyusuri sungai kecil, jalan setapak yang mereka lalui berakhir menyatu dengan jalan beraspal yang tetutup semak-semak. Logan menyembulkan kepalanya melalui semak-semak sambil menolah ke kanan dan kiri mengamati keadaan. Kosong. Beruntung bagi mereka, tidak ada siapa pun yang terlihat. ‘Maju!’ perintah Logan kpada orang-orang yang ada dibelakangnya. Perjalanan menyusuri jalanan beraspal berlanjut beberapa blok tanpa gangguan. Satu blok lagi dan mereka akan tiba di rumah lama Leo dan Logan. Seorang pelari berpapasan dengan rombongan pada belokan terakhir, yang untungnya sepertinya tidak menaruh kecurigaan kepada enam pria yang berjalan beriring-iringan dengan kepala menunduk tertutup topi baseball atau kerudung. Setelah melewati belokan, rumah yang dituju akhirnya muncul dalam pandangan Logan. Walau terlihat tidak terawat, tapi rumah itu masih terlihat kokoh berdiri. Ilalang dan tanaman liar menutupi separuh bangunan membuat pintu depan tidak terlihat dengan jelas dari luar pagar kayu berwarna coklat kehitaman yang setengah ambruk. ‘Leo dan Patt, kalian tunggulah diluar,’ perintah Logan kepada kedua pria. “Apa?! Mengapa?” protes Leo setengah berteriak tanpa menggunakan Q-RA. “Turuti ucapanku, Leo!” hardik Logan dengan suara tegas. Hal yang jarang dilakukan pria itu kecuali ketika ia tidak ingin dibantah. Bahkan Leo tidak berani menentang ketika kakak nya mengeluarkan nada suaranya yang final. Leo menggerutu dalam hati tapi ia menurut yang walaupun tidak diucapkannya dengan kata-kata tapi mampu didengar semua orang yang memakai alat telepati. ‘Dasar Logan sialan! Mentang-mentang lahir dua tahun lebih dulu merasa menjadi bos! Seenaknya memerintah semua orang. Sok tampan, sok perkasa, sok kuat, padahal jelas-jelas diriku jauh lebih cerdas dan lebih pintar darimu. Lihat saja siapa yang nanti kau panggil ketika ada kerusakan senjata….’ Dan seterusnya… dan seterusnya… yang berusaha untuk diacuhkan oleh semua orang. Sementara Leo menunggu di depan pagar bersama Patt sambil mengomel, Logan meneruskan langkah kakinya diikuti Bryce, Jordan dan Grant. Ketiganya berjalan beriringan dengan waspada menuju ke arah pintu depan. Logan memperhatikan arah tujuan mereka, membiarkan Bryce memposisikan dirinya mengawasi bagian kanan. Sudah sering bertugas bersama menjadikan ke empatnya sangat paham akan kebiasaan dan formasi masing-masing. Bahkan tanpa perintah, Jordan langsung merapatkan punggungnya kearah temannya dan menjaga sisi kiri mereka. Grant berjalan mundur mengawasi jika muncul serangan dari belakang. Tangan Logan menyingkap rerumputan yang menjulang setinggi dadanya sambil terus mendekati sasaran. Pintu depan rumah nya. Begitu berdiri di hadapan pintu kayu yang sudah terlihat rapuh dan keropos itu, Logan menjulurkan tangan ke pegangannya dan mendorongnya terbuka. KREK!!! Pintu kayu itu terdorong terbuka dengan mudahnya. Masih berdiri di depan, Logan menyipitkan matanya berusaha untuk memeriksa situasi di dalam rumah yang terlihat gelap. Setelah memastikan tidak ada pergerakan atau suara dari dalam rumah, Logan mulai melangkah masuk. Selangkah… Dua langkah… Ia kini berada di ruang tengah rumah lamanya. Dindingnya yang mengelupas membawa kenangan tersendiri dalam diri pria itu. Kenangan dirinya dan Leo berlarian kejar-kejaran sambil menabrak foto-foto yang sudah tidak terpajang lagi di dinding itu. Hanya lubang-lubang kecil bekas paku yang tersisa, menjadi bukti tanda-tanda pernah adanya kehidupan di dalam rumah itu. Logan meneruskan langkahnya. Melewati ruang tengah, ia kini berdiri di dapur. Sebuah meja kayu masih tergeletak di tengah ruangan, meja yang sama dengan yang sering dipakai keluarga nya berkumpul untuk menyantap makan malam. Logan bisa merasakan halusnya kayu meja itu bahkan tanpa menyapukan tangannya keatasnya. Atau membayangkan bagaimana aroma dapur itu seharusnya tercium. Yang sangat berbeda dengan aroma lembab yang menyelimuti udara di dalam rumah sekarang. ‘Kalian berdua cek lantai atas, aku dan Jordan akan mengecek lantai bawah,’ perintah Logan. Mereka mulai berpencar menjadi dua grup. Bryce dan Grant naik ke lantai dua memeriksa dua kamar yang ada diatas, sementara Logan dan Jordan tetap berada di bawah, menjelajah dapur dan kebun belakang. ‘Logan!’ seru Bryce melalui telepati. “Naiklah ke lantai dua. Kau perlu melihat ini.” Logan melirik ke arah Jordan yang berdiri tak jauh darinya dan jelas-jelas juga menerima seruan Bryce yang memintanya untuk naik keatas. Keduanya bergegas naik  ke lantai 2 menuju kamar pertama yang berada di dekat tangga. Kamar miliknya dan Leo ketika kecil. Bryce masuk ke dalam kamar itu, dimana Grant berdiri di sisi ranjang usang sambil mengacungkan senapan ke arah kasur. Logan mengikuti arah tunjukan senjata Grant, dan ikut terbelalak ketika menemukan apa yang terbaring diatasnya. Seorang wanita. Rambutnya yang pendek berwarna hitam legam menutupi wajahnya yang terbaring miring. Hal pertama yang di sadari oleh Logan adalah pakaian wanita itu, sebuah jumpsuit berwarna abu-abu. Jumpsuit yang sama dengan yang sering di ceritakan oleh Leo dipakai oleh teroris yang membakar restoran dan membunuh kedua orang tuanya. ‘Dari mana ia datang?’ tanya Logan sambil berjalan mendekat. ‘Entahlah ia sudah ada diatas ranjang seperti ini ketika kami menemukannya,’ sahut Grant sambil menggoyangkan ujung pistolnya ke arah wanita yang sepertinya tertidur atau pingsan itu. Logan bisa melihat gerakan tubuhnya yang naik dan turun teratur, membuktikan setidaknya wanita itu masih dalam keadaan hidup. Ia menjulurkan tangannya, menyibak rambut yang menutupi wajah wanita itu, sebelum kemudian terkesiap. ‘Tidak mungkin,’ seru Logan tertahan. Bahkan setelah sekian tahun, dirinya tidak bisa melupakan wajah itu. Wajah gadis yang tumbuh besar bersama dirinya dan Leo. Gadis yang membantu keduanya melewati masa-masa kelam setelah kematian kedua orang tuanya. “Mara? Mara Stevensson?” serunya tanpa sadar. ===== Note: Potongan puzzlenya makin banyak ya. Kita kumpulkan dulu satu-satu sebelum di susun. Udah bingung belum yang baca?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD