6. Api

2158 Words
Juni 2028 San Jose, California, USA Hal terakhir yang diingat Leo sebelum kesadarannya hilang  adalah wajah ibunya. Air mata wanita itu mengalir diam dipermukaan pipinya sebelum kemudian menetes ke atas lantai, membentuk bulatan kristal bening yang memantul jingga terkena kobaran api yang makin membesar. Tanpa mampu bergerak dan hanya bisa  menatap wajah ibunya, baru kali ini Leo sadar betapa cantiknya Barbara. Matanya yang lebar dan bermanik coklat, dihiasi bulu mata lentik dan alis tebal yang natural. Make up nya yang tipis-tipis terlihat sangat kontras dengan bibirnya yang terpoles merah. Beberapa kerutan hadir di dahi wanita itu. Mungkin karena seringnya mengomeli dirinya dan Logan, pikir Leo saat itu. Ingin Leo berteriak, betapa ia menyayangi wanita itu, dan betapa menyesalnya ia tidak pernah menunjukkan nya. Ingin ia memeluk wanita itu, menyampaikan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bahwa ayah mereka pasti akan menemukan cara untuk menyelamatkan mereka semua. Sayangnya, kepulan asap hitam yang semakin pekat, mulai membuat kepala Leo pusing dan melayang. Beberapa kali Leo merasa kesadarannnya timbul tenggelam, sebelum kemudian menghilang selamanya. *** Logan sedang bersiap hendak tidur ketika mendadak ibu Charlie membuka pintu kamar anaknya dan melongok masuk. “Logan…?” panggil wanita berambut pendek itu dengan suara pelan. “Kau sudah tidur?” Logan yang sudah berbaring menegakkan tubuhnya dan duduk. “Belum, Tante.” “Bagaimana dengan Charlie? Apakah dia sudah tidur?” Logan melirik ke arah temannya yang terbaring di sebelahnya. Matanya terpejam dan mulutnya sudah setengah terbuka. “Sudah, Tante,” jawab Logan. Janice yang masih berdiri di dekat pintu kemudian melambaikan tangannya. “Kemarilah kalau begitu. Ada sesuatu yang perlu kusampaikan.” Logan menurut. Perlahan, bocah itu merosot turun dari ranjang dan berjalan menghampiri Janice, yang kemudian menggandengnya ke ruang tengah. Ayah Charlie, pria bertubuh jangkung dan kurus sedang berdiri di depan televisi sambil menggenggam ponsel di tangannya yang di tempelkannya pada bibirnya. Matanya menatap terus ke arah layar televisi seolah tersihir atau terhipnotis berita yang ada di dalamnya. Janice mendudukkan Logan diatas sofa ruang tengah dan memanggil suaminya. “Shtt! Fred!” “Hah?” Pria itu menoleh, terlihat kaget melihat Logan yang sudah duduk di sofa. Buru-buru ia menyambar remote tv dan mematikan nya. “Oh, aku tidak mendengarmu kalian,” lanjutnya. Pria itu  mendekati Logan dan melanjutkan ucapannya, “Uhmm Logan…. Sesuatu terjadi di tengah kota. Orang tua kalian pergi makan malam di daerah situ bukan?” Logan mengangguk, masih tidak paham mengapa kedua orang tua temannya berkelakuan tidak biasa. Keduanya terlihat kikuk dan berhati-hati memilih kata-kata. Janice kini menempatkan dirinya duduk di sebelah Logan. Tangannya merangkul pundak bocah itu. “Logan,” panggilnya. “Ada kebakaran besar di reataurant tempat kedua orang tua kalian berada. Menurut berita di televisi, tidak ada satupun orang yang selamat. Bukan hanya di restaurant itu, tapi seluruh tengah Kota terbakar hebat. Pemadam kebakaran sekarang sedang dikerahkan untuk mengatasi api yang masih belum juga padam…… maaf……” Suara Janice keluar dan masuk dalam kesadaran Logan. Otaknya yang masih berumur 9 tahun kala itu tidak mampu menangkap keseluruhan berita yang di sampaikan oleh wanita itu. “Tunggu… apa maksudmu, Tante? Kebakaran? Di restaurant yang didatangi Mom dan Dad? Dan… dan Leo?” tanya Logan memotong Janice yang masih berupaya menghiburnya. Janice menghentikan ucapannya. Ia menatap ke arah mata Logan. “Benar, Logan.” “Dan tidak ada yang selamat?” lanjut Logan dengan dahi berkerut. “Benar…,” sahut Janice. “Tapi… tapi…. Daddy… Mom… Leo… Mereka ada di mana? Bisakah kau menghubungi ayahku?” “Kami sudah mencoba,” timpal Fred sambil menggeleng. “Tapi tidak ada jawaban.” Logan mengerutkan keningnya, masih tidak paham apa arti semua ini. “Tapi tenanglah, Logan,” ucap Fred berusaha menenangkan bocah itu. “Aku akan terus mengikuti berita dan mencari tahu. Aku sudah mencoba menghubungi kantor polisi dan memberi informasiku kepada mereka. Secepatnya ada kabar, mereka akan menghubungiku. Untuk sementara mereka mengatakan untuk menunggu di rumah dekat telepon.” Janice mengangguk menyetujui ucapan suaminya. “Benar, dan itu lah yang akan kita lakukan. Kau bebas tinggal di sini sampai semua jelas, Logan. Jadi jangan khawatir.” Logan hanya mengangguk. “Nah, sekarang kau kembalila tidur. Aku akan bangunkan lagi jika sudah ada berita baru, ok?” lanjut Janice. Kembali Logan mengangguk. Tidak ada yang bisa dilakukannya sekarang kecuali berjalan kembali ke kamar dan mencoba untuk tidur. Tidak mampu memejamkan matanya barang semenitpun, Logan kembali turun dari ranjangnya. Tangannya meraih ke dalam tas punggungnya dan mengeluarkan ponsel miliknya yang hanya boleh digunakannya untuk keadaan emergency. Bocah itu mencari nomor telepon ayahnya dan menekan tombol bulat berwarna hijau. Tut…Tut…Tut... Tut tut tut. Terdengar tiga kali nada sambung disusul bunyi saluran berdenyut mati, seolah seseorang mematikan sambungan dengan tiba-tiba Aneh, pikir Logan. Ia mencoba memencet nomor ayahnya sekali lagi. Tut... Tut…. Tut tut tut. Kali ini dua kali sambungan masuk sebelum kemudian terputus. Logan menekan nomor ibunya, yang malah tidak tersambung sama sekali. Benar-benar aneh, pikirnya waktu itu. Logan mulai menggunakan browser internet untuk mencari berita tentang kebakaran di tengah kota San Jose, dan hal yang di bacanya bukannya memberi jawaban tapi malah membuat nya semakin ketakutan. ‘Seorang teroris membakar habis restoran ternama yang sudah berdiri puluhan tahun!’ Tulis salah satu artikel yang di temukannya. ‘Tidak ada yang selamat selain seorang anak kecil dalam kebakaran malam tadi.’ Tulis yang lain. ‘Teroris yang bekerja sendirian meneror kota San Jose malam ini.’ ‘Seluruh Downtown San Jose hangus terbakar.’ ‘Ratusan orang tewas dalam penyerangan teroris malam ini.’ Semakin Logan menggeserkan jemarinya turun berita yang dibacanya semakin membuatnya resah. Tidak mungkin. Ayah, Ibu, dan Leo pasti baik-baik saja. Mungkin mereka sudah ada di rumah dan sedang menonton televisi juga seperti kedua orang tua Charlie. Logan mencari nomor telepon rumahnya dan menekan tombol hijau. Membiarkannya berdering hingga mati sendiri sebelum mencoba nya lagi… dan lagi… dan lagi… Ketika Janice dan Fred mencari nya keesokan harinya, Logan masih terduduk di dekat tas punggungnya. Tangannya yang kurus memeluk lututnya sendiri sementara wajahnya yang sayu terangkat menatap kedua orang tua temannya. Begitu melihat mata mereka, Logan langsung paham. Bahwa kehidupan lamanya sudah berakhir. Dan kejadian malam kemarin, hanyalah salah satu pion domino yang disusun untuk jatuh mendorong pion-pion berikutnya dalam kehidupan Logan.   Janice dan Fred menghantar Logan ke rumah sakit tempat jasad kedua orang tuanya di simpan. Pihak rumah sakit bahkan tidak mengijinkan Logan untuk melihat jasad Barbara dan Ken mengingat kondisi keduanya yang mengenaskan. Leo, berhasil di selamatkan dari dalam restoran. Satu-satunya orang yang masih hidup dari semua pengunjung dan karyawan yang berada di dalam restauran malam itu. Sebuah keajaiban, kata orang-orang. Yang Logan tidak yakin benar. Tidak, bukan keajaiban yang menyokong kehidupan adiknya, melainkan penolakan dari Leo untuk berhenti berjuang.  Kemauan keras adiknya untuk menyerah, adalah satu-satunya yang masih menyebabkan jantung kecilnya bekerja. Memompa darah ke seluruh tubuhnya, meskipun seluruh permukaan wajah dan kepalanya mengalami luka bakar yang mengancam nyawanya. Petugas pemadam kebakaran dan medis berspekulasi bahwa tubuh Barbara yang menindih di atas badan Leo, adalah yang menjadi alasan mengapa Leo masih hidup dan hanya menderita luka bakar di bagian wajahnya. Tapi selebihnya, mereka menganggap selamat nya Leo adalah karena hal yang di luar kendali hukum alam. Leo masih berada di ruang operasi ketika Logan diantarkan ke rumah sakit. Pihak kepolisian menanyai macam-macam pertanyaan kepadanya. Hal-hal yang tidak dipahaminya saat itu, seperti di mana laptop milik ayahnya, atau bila ayahnya menyimpan berkas di rumah. Yang tentu saja tidak di sadari oleh Logan waktu itu sebagai sesuatu yang tidak wajar. Ia masih terlalu kecil dan terlalu terkejut untuk menyadari bahwa apa yang ditanyakan para polisi saat itu adalah hal yang janggal untuk ditanyakan kepada anak yang baru saja kehilangan kedua orang tuanya. Logan menolak ajakan Janice dan Fred untuk pulang. Ia tidak mau meninggalkan Leo sendirian di ruang operasi, yang menurut dokter bisa memakan waktu se harian. Selain berusaha mencegah infeksi yang mungkin muncul dari luka bakar, dokter juga berusaha untuk menstabilkan kondisi Leo. Bocah itu terlalu banyak menghisap asap karbon monoksida yang sebetulnya lebih membahayakan dari pada luka bakar di wajahnya. Hal yang dijelaskan oleh salah satu dokter yang menemui Logan. Dokter Stevensson  berumur tidak jauh berbeda dari Ken Dalton. Tegap berkacamata dan memiliki wajah yang menenangkan. Ia menghampiri Logan yang duduk di depan ruang operasi dan duduk di sebelah anak itu. “Kau adalah kakak Leo?” tanyanya. Logan mengangguk sambil terus menunduk menatap sepatunya sendiri. Seluruh dunianya terasa sedang menghimpitnya, tapi ia masih harus bersikap kuat, paling tidak demi adiknya. “Siapa namamu, Nak?” tanya Stevensson. “Logan, Tuan,” jawab Logan. “Logan. Hm… Baiklah. Aku akan berusaha menjelaskan apa yang terjadi Leo, ok? Namaku Dokter Stevenson. Aku adalah dokter bedah yang merawat adikmu.” Logan mengangguk. “Bagaimana keadaan Leo?” tanyanya dengan suara kecil masih sambil menunduk. “Ia sedang dalam keadaan kritis, Logan. Jadi aku memerlukanmu untuk menjadi anak yang berani dan kuat sementara Leo berjuang okay?” Logan mengangguk. “Anak pandai,” puji Dokter Stevenson sebelum kemudian menoleh ke arah Janice yang duduk di sebelah Logan. “Apakah mereka memiliki keluarga lain? Aku membutuhkan beberapa persetujuan dari orang dewasa untuk melakukan tindakan bagi Leo.” “Uhm… Kudengar pihak kepolisian sudah menghubungi paman dan bibi mereka untuk kemari,” balas Janice. “Oh… baiklah. Sementara ini tidak ada tanda-tanda bahwa Leo mengalami infeksi di luka bakarnya, dan itu adalah hal yang bagus. Tapi kebanyakan dari korban yang terperangkap di ruangan yang terbakar, meninggal bukan karena api, tap karena asap yang dihirup. Jika sampai pada kemungkinan terburuk dan kita perlu mencabut mesin yang menopang kehidupan Leo, saya membutuhkan ijin dari pihak keluarga yang bertanggung jawab atas Leo.” “Tidak!” Mendadak Logan berseru. “Aku tidak akan mengijinkan  siapapun mencabut mesin Leo.” Dokter Stevenson menoleh kembali ke arah Logan sebelum melanjutkan, “Well…Logan…, aku juga tidak akan membiarkan hal itu sampai terjadi. Aku akan berusaha sebisa mungkin menyelamatkan nyawa adikmu. Aku berjanji, okay?” Logan terdiam tidak menyahut ucapan pria itu, hingga Stevensson beralih kembali ke Janice. “Untuk sementara ini, kalian bisa pulang jika mau. Akan kukabari jika ada perubahan pada Leo.” Janice mengangguk menyetujui usul Dokter Stevenson. “Kau dengan ucapan Dokter, Lo? Bagaimana kalau kita pulang dan menunggu di—” “Tidak!” seru Logan memotong ucapan Janice. Melihat wajah Janice yang kaget oleh tolakannya, Logan buru-buru menundukkan kepalanya lagi. Ia merasa tidak enak sudah membentak Janice yang banyak membantunya. “Maafkan aku, Tante. Terima kasih sudah menemaniku. Tapi aku akan menunggu di sini, jika Tante tidak keberatan.” “Kau ingin aku meninggalkanmu sendiri di sini?” Logan mengangguk. “Aku akan baik-baik saja, Tante.” Janice menimbang keputusannya untuk meninggalkan Logan. Wanita itu merasa khawatir, tapi ia juga butuh untuk pulang dan mengurus keluarganya sendiri. Sudah sejak pagi ia berada di rumah sakit bersama Logan, sementara anak dan suaminya sendiri ada  di rumah. “Baiklah….” Janice akhirnya memutuskan. “Kau sudah menyimpan nomor ponsel ku kan? Hubungi jika ada perlu okay, Logan?” Bocah itu mengangguk. Janice membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa lembar uang kertas dari dompetnya kemudian menyodorkannya pada Logan. “Gunakan ini untuk membeli makanan atau minuman. Kuharap paman dan bibi mu lekas datang.” Logan menerima sodoran uang dari Janice sambil berterima kasih dan memasukan lembaran uang itu ke dalam saku celananya. “Okay… ,” gumam Janice mengelus kepala bocah itu sebelum kemudian berpamitan kepada Dokter Stevenson dan berlalu pergi. Kini tinggal berdua, Dokter stevenson menatap bocah yang kembali duduk sambil menundukkan kepalanya itu. “Katakan padaku, berapa umurmu Logan?” Logan mengangkat kepalanya menatap sang dokter. “Sembilan, Dokter,” jawabnya lirih. “Hm… kau seumuran dengan putriku. Katakan apakah kau bersekolah di San Jose Elementary School?” Logan mengangguk. “Kelas berapa sekarang kau duduk, Logan?” “Kelas 4, Dokter.” “Oh… benar- benar sebuah kebetulan,” seru Stevensson. “Katakan, apakah kau mengenal Mara? Mara Stevenson?” Logan terdiam beberapa saat sebelum kemudian mengangguk. “Ah! Kau sekelas dengan Mara rupanya. Dunia memang sempit. Atau mungkin San Jose memang sempit. Ayolah, sementara menunggu paman dan bibimu datang, bagaimana kalau aku membelikanmu makan malam? Kantin rumah sakit ini memang tidak memiliki banyak pilihan, tapi setidaknya makanan mereka cukup enak. Kau pasti lapar bukan?” Logan mengangguk. “Ayo kalau begitu,” seru Dokter Stevenson sambil berdiri. “Mara pasti kaget aku merawat adik dari teman sekelasnya. Benar-benar sebuah kebetulan.” Logan melirik kearah pintu operasi sebelum kemudian berdiri dan mengejar Dokter Stevenson yang sudah berjalan beberapa langkah di depannya. Kebetulan? Kata Stevensson. Jika saja Leo dewasa mendengar ucapan pria itu tentang Mara. Sudah pasti Leo akan berceramah mengenai arti kata kebetulan. ===== Note: Follow akun innovel ku Visual biasanya aku post ke story sosmed fb: deef e ig: dragonflyeternal mari di follow
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD