11. Freddy Krueger

2272 Words
September 2028 San Francisco, California Beberapa hari sesudah Halloween. Leo akhirnya dinyatakan sudah membaik. Ia sudah bisa menggerakkan hampir seluruh otot di wajah dan lehernya. Dokter Stevensson bahkan sudah melakukan cangkok rambut di kepala Leo yang kini membuat kepala bocah itu terlihat bagaikan tembok yang ditumbuhi lumut pendek. “Jangan khawatir Leo. Rambutmu akan tumbuh dan lebih terlihat alami dengan berjalannya waktu,” ucap Stevensson menjawab kekagetan Leo akan bentuk kepalanya. Tidak perlu lagi tinggal di rumah sakit, Randal dan Nancy akhirnya terpaksa menjemput keduanya untuk tinggal bersama dengan mereka di San francisco. Berjarak sekitar 45 menit dari San Jose, San Francisco adalah kota yang sering di sebut sebagai ‘Kota Favorit Semua Orang’ karena keindahannya dan keberagaman penduduknya. Terkenal dengan adanya Golden Gatenya yang berwarna merah, dan Alcatraz, menjadikan Kota San Francisco adalah salah satu kota dengan biaya hidup yang cukup tinggi. Menghadap ke arah Laut Pasifik dan teluk, pemandangan indah kota itu sering tertutup oleh kabut yang membuat suasa romantis bagi sebagian orang, dan menakutkan bagi yang lain. Tinggal di kota yang penuh dengan perbukitan, membuat jalanan di sepanjang kota San Francisco tidak datar dan berkelok naik turun. Rumah Randall dan Nancy terletak di salah satu jalanan berbukit itu, berjajar rapi dengan rumah-rumah lain yang terlihat mirip jika dilihat sekilas. Dengan membawa pakaian secukupnya dalam koper yang mereka gotong, kedua bersaudara melangkah masuk ke dalam rumah dua lantai milik paman dan bibinya untuk pertama kalinya di bulan September yang dingin. Leo mengekor di belakang Logan yang melangkah terlebih dahulu dengan wajah menunduk. Matanya menatap ke lantai kayu yang berderik setiap sepatunya menekan keatasnya. Dua orang anak yang berumur 9 dan 15 tahun sedang duduk di atas sofa dan bermain game di layar tv mereka. Kedua anak Randall dan Nancy itu bahkan tidak mengangkat kepalanya ketika Leo dan Logan tiba. “Ikuti aku,” perintah Nancy sambik berjalan masuk melewati ruang tengah dan ruang makan. Logan berjalan mengikuti bibinya sambil mengarahkan pandangan ke sekeliling rumah yang terlihat sumpek dan sempit oleh banyaknya barang di dalamnya. Kardus yang entah apa isinya bertumpuk menggunung di sisi rumah, membuat suasana di dalam nya menjadi pengap dan berbau lembab. Sebuah noda berwarna coklat terlihat di salah satu sudut rumah dengan tembok yang mengelupas catnya, yang sepertinya disebabkan oleh rembesan air hujan. Salah satu dari anak Randal dan Nancy menyadari kehadiran Leo dan Logan. Matt yang berumur 15 tahun, menyikut adiknya, Nick, sambil berbisik, “Hei lihat siapa itu. Dalton bersaudara. Anak-anak aneh.” Nick menoleh ke arah pandangan kakaknya dan terbelalak melihat wajah Leo yang penuh dengan bekas luka bakar yang berkerut. “Astaga! Lihat wajahnya, mengerikan sekali,” seru Nick agak keras. Leo yang kebetulan melewati ruang tengah mendengar ucapan Nick dan menghentikan langkahnya. Wajahnya menoleh ke arah kedua sepupunya itu. “Ih! Seram sekali, ia sedang menatapku. Wajahnya mengingatkanku pada Freddy Krueger yang ada di film yang kau tunjukkan padaku.” Matt tertawa keras mendengar ucapan adiknya yang membandingkan wajah Leo dengan wajah monster dari film horor. Leo masih saja memandangi kedua kakak beradik itu hingga Logan mendadak mendekat dan menarik lengannya agar mengikutinya. “Sudahlah. Jangan dengarkan omongan mereka,” bisik Logan kepada adiknya. Keduanya kemudian meneruskan langkahnya mengejar bibi mereka yang sudah membuka pintu di ujung dapur dan menghilang di baliknya. Pintu itu rupanya menyambung ke sebuah tangga yang turun ke basement. Nancy sudah menunggu di anak tangga paling bawah dengan tangan menyilang di depan d**a. “Lama sekali sih kalian. Lekas!” perintahnya membuat Logan mempercepat langkah kakinya. Begitu berdiri di lantai ruang bawah tanah, Logan menggerakkan bola matanya ke sekeliling ruangan yang penuh sesak oleh barang bekas dan kardus, lebih parah daripada dengan keadaan di lantai atas. Dua buah kasur berukuran 1x2 meter terbentang diatas lantai bersebelahan. “Ini ranjang kalian. Rumahku tidak seluas rumah lama kalian, jadi aku hanya memiliki ruangan ini untuk kalian pakai. Ada meja dan diujung sana untuk kalian pakai jika perlu belajar. Aku sudah mendaftarkan kalian ke sekolah yang sama dengan Matt mulai besok. Aku akan menyiapkan makan malam, naiklah pukul 7,” ucap Nancy. “Oh… Baiklah, Aunt Nancy. Terima kasih,” sahut Logan. Nancy mengangguk. “Huh setidaknya salah satu dari kalian masih paham aarti sopan santun,” celetuk wanita itu sambil melirik ke arah Leo.   Tidak sadar akan sindiran bibinya, Leo menatap kedua kasur yang disiapkan untuk mereka dengan dahi berkerut. “Bagaimana mungkin kita bisa tidur di tempat seperti ini?” protes Leo. “Ruangan ini gelap, sempit dan bau sekali.” Nancy mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan Leo. “Oh… Apakah rumahku terlalu jelek untuk seorang bocah Dalton?” sahut Nancy tersinggung. “Aku tidak bilang rumahmu jelek, tapi kamar ini tidak layak untuk menjadi sebuah kamar tidur,” lanjut Leo tidak sadar bahwa ucapannya memancing kemarahan Nancy. “Oyah? Apakah kau lebih memilih panti asuhan? Tahukan kalian, belum tentu panti asuhan bersedia menerima dua saudara bersamaan? Bisa-bisa mereka malah memisahkan kalian berdua di rumah yang berbeda. Itukah yang kalian mau?” Logan yang lebih pandai membaca situasi bisa melihat jika ini  bukan waktunya bagi mereka untuk pilih-pilih. Ia pun berusaha mencairkan suasana dengan meminta maaf. “Tentu saja tidak, Aunt Nancy. Maafkan kami. Kamar ini lebih dari cukup untuk kami berdua.” “Kukira juga demikian,” cibir Nancy sebelum kemudian membalikkan badannya dan menghilang ke atas tangga. Kini tinggal berdua, Leo menoleh menatap Logan dengan tangan masih mencengkeram kopernya. “Kau berharap kita tinggal di sini? Lihat ruangan ini, Lo. Lihat cara wanita itu memperlakukan kita….” “Shhh, diamlah!” bentak Logan. “Kita tidak punya pilihan. Mau tidak mau kita terpaksa tinggal di sini.” “Tapi aku ingin pulang, Lo…” balas Leo mulai merengek. “Pulang kemana? Kita tidak bisa lagi pulang. Mulai sekarang, ini lah rumah kita.” “Tidak! Aku ingin Mommy dan Daddy. Aku ingin pulang ke rumah kita sendiri.” Leo melemparkan kopernya ke dinding sementara air mata mulai mengalir keluar. Ia menatap benda kotak itu menabrak salah satu kardus dan terbuka, menghamburkan isi bajunya kemana-mana. Logan menarik nafas dan mendekati Leo. Ia merengkuh bahu adiknya, menariknya ke dalam pelukan. “Selama kita bersama, kita akan selalu berada di rumah. Dimanapun kita berada. Okay?” Leo tidak menjawab. Ia merindukan rumahnya, kamarnya, kasurnya, tumpukan buku-bukunya di rumah, kebunnya, tanamannya, ibunya, ayahnya. Semua hal yang sudah tidak ada lagi di dunia nya yang kecil. Tapi di dalam hati kecilnya, Leo tahu, bahwa ia bersyukur ia masih memiliki kakaknya. Dan selama Logan dan dirinya bersama, mereka akan baik-baik saja. Hari pertama tidur di rumah baru, kedua Dalton bersaudara menghabiskan waktu mereka untuk merencanakan hari pertama sekolah mereka besok. Suhu udara malam bulan September yang dingin, ditambah tidak adanya pemanas di ruangan mereka, membuat keduanya tidak bisa tidur nyenyak. Pukul 6:30 pagi, suara gedoran di pintu basement membangunkan keduanya. “Bangun! Sudah jam berapa ini!” teriak Nancy dari atas. Logan langsung melompat bangun. Ia menoleh ke arah Leo yang baru saja membuka matanya dan menggoyangkan tubuhnya. “Bangun Leo! Jangan sampai kita terlambat di hari pertama sekolah!” Leo mengerang sebelum kemudian perlahan bangkit dari kasurnya sambil menguap. Mata nya terasa masih berat, tapi sudah terlalu lama tidak bisa masuk sekolah, Leo sebenarnya cukup bersemangat untuk kembali melanjutkan pelajarannya. Karena kamar keduanya terletak di basement, tidak ada kamar mandi di bawah. Logan dan Leo perlu naik ke lantai atas untuk memakai mandi. Baru saja kedua bocah itu hendak masuk ke dalam kamar mandi, suara jeritan bibi mereka terdengar melengking dari ruang makan. “Bus sekolah akan tiba 10 menit lagi, dan kalian baru hendak mandi? Kalau sampai kalian terlambat, aku tidak akan menghantar kalian ya!” Logan menoleh ke arah adiknya, “Sudahlah kebih baik kita tidak usah mandi. Daripada terlambat di hari pertama.” Leo mengangguk, dan keduanya kembali berlari ke bawah. Selesai mengganti pakaian dan menyiapkan buku-buku ke dalam tasnya, Logan dan Leo kembali naik ke atas, tepat dengan suara bus yang menderu mendekat. Tidak memiliki waktu untuk sarapan, keduanya langsung berlari keluar mengikuti kedua sepupu mereka, Matt yang sudah duduk di bangku SMP dan Nick yang seumuran dengan Leo, dan masuk ke dalam bus. Suasana bus yang tadinya riuh mendadak sunyi begitu Leo menapakkan kaki di dalamnya. Semua mata memandang ke arah wajah bocah itu, termasuk supir bus. “Kau anak baru? Aku belum pernah melihatmu naik di bus ini,” ucap pria berambut botak yang duduk di belakang kemudi. “Mereka anak pungut ibuku,” sahut Matt sambil tertawa mengejek. “Ya… anak pungut berwajah monster...,” timpal Nick melirik balik ke arah kakaknya. Senyuman lebar menghiasi wajah kedua bocah itu. Beberapa anak di dalam bus ikut tertawa mendengar ucapan Nick, sementara beberapa terlihat berbisik-bisik sambil melirik ke arah Leo. “Sudahlah, abaikan Leo,” bisik Logan sambil menarik lengan adiknya menuju kursi yang kosong. Sadar akan perhatian seisi bus, Leo menundukkan wajahnya sepanjang perjalanan ke sekolah. Selama ini, belum pernah ada orang yang mengejeknya secara terang-terangan seperti sekarang. Walaupun begitu, bukan berarti Leo tidak sadar. Ia tahu wajahnya menakutkan. Bahkan jika boleh berterus terang, ia sendiri mungkin akan melakukan hal yang sama jika melihat seseorang yang memiliki wajah sepertinya. Bus bergerak lambat menghampiri beberapa bus stop sebelum akhirnya tiba di sekolah baru mereka. Usai menyelesaikan pendaftaran di ruang administrasi, Logan menarik Leo ke samping lorong kelas yang sudah sepi. Anak itu meletakkan kedua tangan ke bahu adiknya. “Leo, dengar! Kelasmu ada di sana, sementara kelasku ada di lorong lain. Aku akan mencarimu di kantin nanti waktu istirahat siang, okay? Sementara ini tundukkan wajahmu, dan jangan menarik perhatian. Tidak ada gunanya bersikap sok pintar, walaupun aku yakin tidak ada satupun murid di sekolah ini yang lebih pintar darimu. Yang penting, berusahalah membaur,” ucap Logan menasehati adiknya. Leo mengangguk. “Bagus. Masuklah,” lanjut Logan menganggukkan kepalanya ke arah pintu kelas. Leo melangkah pelan menuju ke kelasnya. Ia menoleh sekali lagi ke arah Logan yang memberinya sebuah senyuman tipis. Sambil menarik nafas, Leo mendorong pintu kelas. Sama seperti ketika di bus, sontak seluruh mata kembali terarah kepadanya. Leo menundukkan wajahnya dan berjalan menghampiri pria yang berdiri di depan kelas, gurunya, dan menyerahkan lembaran kertas yang di dapatnya dari ruang administrasi. “Oh…!” Pria bertubuh tambun itu membenahi kaca matanya sambil membaca kertas yang barusan di serahkan oleh Leo kepadanya. “Kita sepertinya mendapat murid baru. Kelas, kenalkan ini Leo Dalton.” Pria itu kemudian mengalihkan pandangannya dari kertas ke arah Leo, “Leo, namaku Mr Johnson. Selamat datang ke kelasku. Apakah ada yang ingin kau sampaikan pada teman-teman barumu?” Leo menggeleng. “Hm… baiklah tidak apa-apa. Kita sudah mulai pelajaran, jadi duduklah di kursi mana saja yang kosong,” tunjuk Mr Johnson ke arah ruangan. Leo menatap ke sekeliling kelasnya. Ada dua kursi yang masih kosong. Satu di sebelah sepupunya, Nick, di bagian belakang kelas. Sementara satu lagi di bagian depan kelas. Leo akhirnya memutuskan untuk mengambil kursi yang ada di depan. Pelajaran dimulai tanpa banyak kesulitan bagi Leo. Hampir semua mata pelajaran yang diajarkan hari itu ia sudah memahaminya. Beberapa kali ia berniat untuk menjawab pertanyaan dari gurunya, tapi di tahannya keinginannya untuk menonjolkan diri, mengingat saran Logan untuk tidak terlihat menonjol dan membaur. Ketika bunyi bel istirahat akhirnya terdengar, Leo bergegas berdiri. Belum sempat ia keluar dari kelas, Nick dan kedua temannya menghampirinya. “Benarkah kau tinggal di rumah Nick?” tanya salah satu teman Nick, yang di ingat Leo sebagai anak paling jangkung di kelas. Leo yang kaget karena mendadak dihampiri, terdiam tidak menjawab. “Apakah kau bisu?” tanya bocah itu lagi. “Mungkin bibirnya lengket dan menyatu menjadi satu,” seru yang lain, lebih pendek dengan dua gigi kelinci menyembul dari mulutnya. Ketiganya tertawa mendengar celetukan si gigi tongos, membuat Leo mulai kesal. “Aku tidak bisu,” serunya. “Woa… monster ini bisa berbicara…,” seru si jangkung. “Sudah kubilang bukan bahwa aku memiliki monster di basementku,” cengir Nick kearah kedua temannya. “Kudengar dokter harus mengambil kulit pahanya dan menempelkannya ke wajahnya agar tidak terlalu hancur.” “Menjijikkan sekali…. Aku lebih baik mati daripada harus hidup seperti ini,” tambah si jangkung sambil mengamati wajah Leo dengan hidung berkerut seakan sedang mencium sesuatu yang tidak sedap. Leo yang sudah mulai jengah, berusaha menyelinap diantara badan Nick dan si jangkung. “Hei mau kemana, Monster? Kita belum berkenalan,” seru si Jangkung sambil mendorong tubuh Leo kembali ke belakang. “Aku Luke, ini Aiden. Siapa namamu?” “Leo,” balas Leo. “Hm… Leo tidak cocok untukmu. Kami akan memanggilmu Freddy. Karena wajahmu mengingatkanku pada Freddy Krueger. Jika kau tidak tahu, coba cari di internet. Wajahnya sama persis dengan wajahmu,” balas si jangkung Luke sambil meringis.   Leo mengepalkan tangannya. Tentu saja ia tahu siapa Freddy Krueger. Sosok monster di film A Nightmare on Elm Street yang terkenal dengan wajahnya yang rusak. Merasa sudah tidak tahan atas godaan ketiganya, Leo kembali menyelinap diantara tubuh Luke dan berlalu keluar dari kelas. Sayangnya ketiganya rupanya masih belum puas mengganggu Leo, karena kini Luke, Aiden dan Nick mulai mengikuti Leo dari belakang sambil mengkumandangkan lagu yang sering diucapkan anak-anak di dalam film A Nightmare on Elm Street sebelum sang monster muncul. “Satu… Dua… Freddy akan mendatangimu. Tiga, empat, jangan lupa kunci pintumu. Lima, enam, ambil salibmu. Tujuh, delapan, jangan tidur lagi…” Leo mempercepat jalannya. Tapi semakin cepat ia melangkah, ketiga anak yang mengikutinya juga semakin mempercepat kumandang ucapan mereka. “Satu… Dua… Freddy akan mendatangimu. Tiga, empat, jangan lupa kunci pintumu. Lima, enam, ambil salibmu. Tujuh, delapan, jangan tidur lagi…”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD