12. Tegakkan Badanmu

2139 Words
Juli 2046 Markas Bawah Tanah Titanium di Antartic “Satu… Dua… Freddy akan mendatangimu. Tiga, empat, jangan lupa kunci pintumu. Lima, enam, ambil salibmu. Tujuh, delapan, jangan tidur lagi…” Leo terlompat bangun dari kasurnya. Peluh membasahi dahi hingga ke dadanya. Mimpi yang barusaja menyentaknya terbangun, mengingatkannya akan tujuan utamanya saat ini. “Ranting dan batu mungkin mematahkan tulangku, tapi tidak akan ada yang mampu membunuhku,” bisiknya pelan mengulang salah satu lirik yang diucapkan Freddy Krueger di dalam film. Leo mengelap keringat di permukaan wajahnya yang terasa kasar sambil melirik ke arah jam di dinding. Masih pukul 5 pagi. Masih ada 4 jam lebih hingga jam tenggang waktu yang diberikannya kepada Presiden Ronald. Merasa tidak bisa tidur lagi, Leo mengangkat tubuhnya duduk di sisi tempat tidur. Kakinya menapak ke lantai kamarnya yang terasa dingin. Tangannya memijit dahinya yang berparut, berusaha menghilangkan sisa-sisa mimpi buruknya. Mungkin sedikit olah raga akan menghilangkan kegelisahannya, pikirnya. Ia mengganti celana tidurnya dengan celana training, dan meraih sepatu larinya. “S.O.U.L, putar lagu untuk lari!” perintah Leo ke komputer yang mengendalikan markasnya. “Baik, Leo,” jawab mesin itu dengan suara robotnya. Suara musik dengan tempo cepat langsung terdengar melalui speaker di kamar Leo. Pria itu melangkah naik ke alat treadmill. Dinding hologram langsung memancar di sekeliling pria itu memancarkan pemandangan penuh pepohonan yang rindang. Membuatnya merasakan sedang berlarian di dalam hutan di siang hari, walaupun sebetulnya sedang berada di kamarnya di bawah tanah Antartika. Sekitar 1 jam, ia berada diatas alat itu, menguras keringatnya, sebelum kemudian dengan badan masih penuh peluh, masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Jam menunjukkan pukul 7 ketika ia akhirnya selesai berbenah. Mengenakan jas berwarna biru tua dan celana senada dengan wajah tertutup topeng, Leo melangkah keluar menuju ke ruang kendali S.O.U.L. untuk mengecek hasil scan yang di jalankannya semalaman. Mencari jejak Mara sejak menghilang. Matanya memicing, menatap layar yang ada di tengah ruang kendali dan kebingungan dengan hasil yang di munculkan. Menurut S.O.U.L, Mara tidak terdeteksi sama sekali sejak gadis itu menghilang tahun 2030. Bagaimana mungkin seseorang bisa menghilang tanpa terdeteksi selama itu dan mendadak muncul kembali ke permukaan bumi?, pikir Leo. Tidak menemukan jawaban atas pertanyaannya, Leo memutuskan untuk mengecek kembali keadaan Mara. Pria itu berjalan keluar dari  ruang kendali S.O.U.L menuju ke ruang pemeriksaan markasnya. Begitu Leo masuk ke dalam ruangan berbau steril itu, Logan rupanya sudah ada di dalam. Kakaknya itu sedang duduk di samping ranjang Mara yang masih terlelap. Leo menoleh ke kirinya dan menemukan dokter yang bertugas, Ben, sedang duduk di mejanya mengerjakan sesuatu di dalam tabletnya. “Ben,” panggil Leo. “Bagaimana hasil tes?” Ben mendongak dan membenahi kacamatanya yang melorot. “Aku sudah menyerahkannya pada kakak mu,” jawab Ben menunjuk ke arah Logan. Leo berjalan menghampiri Logan dan mengulangi pertanyaan nya, “Apa kata Doktor Iyako, Lo?” Logan mengusap wajahnya yang terlihat lelah. Sepertinya pria itu tidak tidur semalaman. “Seperti yang di duga, Mara memiliki campuran berbagai macam DNA. Lebih banyak daripada yang ditemukan di mutan lain. Doktor Iyako sedang meneliti bagaimana ia tidak mengalami mutasi seperti yang lain… uhm… berubah bentuk menjadi monster maksudku. Tapi tidak bisa dipungkiri ia adalah seorang Mutan,” jawab Logan. “Sudah kuduga,” sahut Leo. “Merekalah yang pasti melepaskannya.” “Mereka? Siapa?” tanya Logan. “Siapa lagi? Orang-orang sama dengan yang membuat mutan yang lain. Pemerintah.” Logan menggelengkan kepalanya berusaha untuk menolak teori Leo, bahwa orang-orang yang sama dengan yang menciptakan mutan, juga melakukan eksperimen yang sama pada Mara. “Tapi mengapa? Mengapa ia melepaskannya setelah sekian lama? Dan mengapa ia terlihat berbeda dengan yang lain? Mutan yang kita tangkap selama ini tidak ada yang berwujud normal seperti Mara.” Leo mengedikkan bahunya, “Aku tidak tahu mengapa Mara berbeda. Mungkin mereka sudah lebih mengalami kemajuan dalam risetnya? Mungkin Mara spesial? Entahlah. Tapi aku mungkin tahu mengapa mereka melepaskan Mara. Kurasa… Mara diperintahkan untuk menyusup ke dalam markas kita dan—” “Tidak mungkin,” sela Logan cepat. “Ben sudah memeriksa Mara, ia tidak memiliki alat pelacak sama sekali dalam tubuhnya.” “Mungkin Ben kurang teliti memeriksa—” “Hei!” seru Ben tidak terima dibilang kurang teliti. “Atau  mungkin tujuannya bukan untuk melacak…. Bagaimana kalau Mara diperintahkan untuk membunuh kita?” lanjut Leo. Ucapan Leo membungkam Logan. “Kau tahu aku benar,” lanjut Leo. “S.O.U.L tidak menemukan adanya Mara dimana-mana selama ini. Hanya satu kemungkinannya. Ia disimpan oleh pemerintah di tempat tersembunyi yang hingga kini pun kita tidak tahu dimana. Tempat mereka melakukan percobaan yang melahirkan mutan-mutan itu. Lokasi yang sepertinya tidak jauh dari rumah kita di San Jose. Seperti yang kukatakan, mutan no 1 dan Mara, berbeda dengan yang lain. Sesuatu… entah apa, mungkin kecelakaan yang tidak disengaja, melepaskan mutan 2 hingga 7. Kita menangkap mereka tersebar di seluruh penjuru dunia. Tapi Mara…dan manusia gelembung , muncul di San Jose. Kita tidak bisa membiarkan Mara bebas, Lo. Kau perlu mengurungnya seperti yang lain.” “Tidak!” geram Logan. “Aku yang akan bertanggung jawab terhadap Mara. Tidak akan kubiarkan kau mengurungnya seperti seorang monster.” “Logan! Kau akan membahayakan semua yang sudah kita rencanakan selama ini demi wanita ini?” seru Leo. “Ia adalah mutan level 5, Logan. Mutan level 3 membunuh kedua orang tua kita dan setengah penduduk San Jose. Apa menurutmu yang akan dilakukan mutan level 5 jika sampai ia berniat untuk menghancurkan markas kita?” “Sialan, Leo!” Logan melompat berdiri dari kursinya. “Ini bukan perundingan. Tidak ada yang menyentuh Mara!” Leo menarik nafas dalam-dalam, tidak percaya akan kekerasan kepala kakaknya dalam hal Mara. Bagaimana mungkin pria itu lebih mementingkan orang asing daripada saudara sedarah dagingnya sendiri. Tentu saja, orang itu adalah Mara. Gadis yang sebenarnya penting bukan hanya bagi Logan, tapi juga bagi Leo. Tapi siapa yang bisa memastikan bahwa ia masih gadis yang sama dengan yang diingatnya setelah apa yang pemerintah lakukan padanya? “Sekali lagi kau memilih Mara daripada diriku. Baiklah jika itu maumu. Lakukan semaumu. Aku ada janji dengan takdir,” balas Leo sambil membalikkan badannya. “Kau hendak menghubungi Ronald?” tanya Logan menghentikan langkah kaki Leo. Pria itu membalikkan badannya menatap lurus kearah kakaknya. “Seseorang harus melakukannya. Sudah lama kita membiarkan pemerintah melanggar aturan untuk menutup-nutupi kesalahan mereka sendiri. Sekarang saatnya, kita melakukan hal yang sama. Tapi untuk mengungkap kebenaran.” Sepanjang lorong Leo menggumam senandung yang kini sudah menjadi sebuah mantra baginya. “Satu… Dua… Freddy akan mendatangimu,” geram nya pelan. *** September 2028 San Francisco, California “Hei!” seruan Logan terdengar menggema di lorong kelas yang sudah mulai sepi mengingat sekarang adalah jam istirahat dan kebanyakan siswa sudah berada di kantin.  Ketiga anak yang sedang mengejek Leo menoleh serentak ke belakang. “Berhenti mengganggu adikku!” Sepupu Logan dan Leo, Nick tertawa melihat kenekatan Logan. “Ohh lihat! Kakak dari Freddy. Bagaimana kalau kita panggil dia Jason X?” seru bocah dengan rambut kepirangan itu. Kedua temannya ikuta tertawa mendengar julukan yang diberikan oleh Nick kepada Logan. “Cocok sekali, satunya monster berwajah cacat, sementara satu lagi monster bongsor bertopeng. Eh tunggu, tapi ia tidak bertopeng,” timpal si tongos Aiden. “Ia seharusnya memakai topeng. Tidakkah kau lihat wajahnya?” balas Nick walaupun tidak ada yang salah pada wajah Logan. Bocah 9 tahun itu memiliki tubuh yang jangkung untuk anak seusianya. Berkulit agak gelap, rambutnya yang gelap terlihat acak-acakan, tapi justru menambah ketampanan bocah itu. “Leo, kemarilah,” seru Logan memanggil adiknya yang berdiri di kelilingi Nick dan gengnya. Leo baru saja hendak melewati Nick ketika mendadak sepupunya itu mendorong tubuh Leo sekeras-kerasnya hingga terjatuh. Tidak terima adiknya diperlakukan kasar, Logan langsung berlari menerjang Nick dan balas mendorong. Nick yang tidak siap menerima dorongan dari Logan terjembab ke belakang. Kepalanya menabrak salah satu locker yang berjejer di sisi dinding. “Awww,” jerit Nick keras. Melihat temannya diserang, Luke dan Aiden mulai menyerang Logan. Keduanya maju bersamaan dengan tangan terkepal. Logan menghindar dari pukulan Luke, dan menubruk Aiden di bagian dadanya dengan menggunakan bahu. Aiden, terdorong oleh tabrakan Logan, ikut terhempas ke samping dan menabrak sisi Locker. Luke, sadar pukulannya melesat, membalikkan badan dan mulai melakukan penyerangan ulang. Dimana Logan sudah bersiap dengan tangan terkepal. DUAG! Kepalan tangan bocah itu menabrak telak ke hidung Luke yang runcing. “Ahh! Aww!” sontak Luke sambil memegangi hidungnya yang mulai mimisan. Kini tidak ada yang menghalanginya lagi, Logan menarik tangan Leo dan menyeretnya pergi. “Kau tidak apa-apa?” tanya Logan. Leo hanya terdiam tidak menjawab. Tangannya masih terkepal sementara bisa dirasanya wajahnya yang memanas menahan tangis. “Jangan terlalu dipikirkan, Leo. Orang akan selalu mengincar mereka yang berbeda dari dirinya sendiri. Itu adalah hukum alam. Sudah terjadi sejak dulu dan tidak akan berhenti selama manusia masih hidup di dunia ini,” lanjut Logan berusaha menghibur adiknya. Leo hanya terdiam, sementara kakaknya terus menariknya ke antrian anak-anak yang hendak mengambil makan siang. Sambil menggenggam baki makanan, Logan berjalan menuju salah satu meja di sudut ruangan diikuti oleh Leo. “Setidaknya makan siang hari ini cukup lumayan. Kau ingin mengambil nugget ku?” tanya Logan ke arah adiknya. Leo mengangguk. “Nih! Sekarang makanlah,” sahut Logan sambil meraih kotak s**u diatas bakinya dan menusukkan sedotan ke atasnya. Keduanya menghabiskan makan siang di kantin tanpa ada peristiwa yang berarti, hingga mereka harus kembali ke kelas masing-masing. “Lo…,” panggil Leo sebelum masuk kembali ke kelas. “Bisakah kau menjemputku didepan kelas pulang nanti?” Logan mengangguk, “Tentu saja. Aku akan tunggu di depan, okey?” Jawaban kakaknya membuat Leo merasa sedikit tenang. Bocah itu berlari masuk ke dalam kelas yang dimana ia menghabiskan sisa hari itu dengan mengikuti pelajaran yang sebetulnya sudah dipahaminya. Begitu bel pulang berbunyi, sesuai dengan janji, Logan sudah menanti di depan kelas. “Bagaimana sisa harimu?” tanya Logan ketika Leo muncul dari dalam kelas. “Baik. Pelajarannya tidak jauh berbeda dengan sekolah lama,” jawab Leo. “Beruntung kau dikaruniai otak yang cerdas. Jadi kau tidak terlalu keteteran sepertiku. Mungkin nanti ada beberapa pelajaran yang perlu kutanyakan kepadamu.” Logan merangkulkan tangannya ke bahu adiknya dan berjalan beriringan. Beberapa anak berlari melewatinya melesat keluar dari lorong sekolah. Nick, Luke, dan Aiden ada diantara mereka. Leo menghela nafas lega melihat ketiganya tidak lagi mengamatinya dengan pandangan penuh kebencian seperti yang mereka lakukan sepanjang hari. “Mereka mengganggumu lagi?” tanya Logan. Leo menggeleng. “Bagus. Katakan padaku bila mereka melakukan sesuatu padamu.” Keduanya sedang berjalan menuju halte bus sekolah ketika tiba-tiba sebuah tangan menarik kerah kaos yang di pakai Logan dan mendorong bocah itu hingga terjatuh. “Jadi kau beraninya melawan anak yang lebih kecil hah?!” Suara Matt, sepupunya yang sudah SMP terdengar menggema di halaman sekolah yang sudah agak sepi. Adik Matt, Nick, dan kedua teman Nick, Luke dan Aiden berdiri mengelilingi Logan dengan wajah tertawa-tawa. “Apa dirimu lupa bahwa kau hanyalah anak pungut di keluarga kami? Berani-beraninya memukuli adikku?” lanjut Matt sambil mulai melemaskan kedua telapak tangannya layaknya orang yang hendak ikut pertandingan karate. Belum sempat Logan bangkit, Matt sudah berlutut di sebelahnya. Satu tangannya meraih kerah kaos Logan sementara satu tangan lainnya terangkat keatas. DUAG! DUAG! Dua kali ia melayangkan pukulannya ke wajah Logan. Satu mendarat tepat di mata kanannya, dan satu lagi mendarat di pipinya. Baru saja Matt hendak mengayunkan pukulan berikutnya, Leo langsung menyambar lengan pemuda itu dan memeganginya dengan erat. “Lepaskan, Kakak ku!” jeritnya berusaha menghalangi Matt untuk meneruskan serangannya pada Logan. “Minggir!” seru Matt mengibaskan lengannya agar terlepas dari genggaman tangan Leo. Nick dan Luke ikut menarik tubuh Leo agar menjauh. Ditambah Aiden, ketiganya melampiaskan kekesalan yang sudah di tahan sejak Logan menghajar mereka kepada Leo, sementara Matt masih terus melayangkan pukulan demi pukulan ke wajah kakaknya. “Hei! Bus sudah mau jalan! Ayo lekas, nanti kita ketinggalan!” teriak Matt membuyarkan Nick, Luke dan Aiden yang masih menendangi Leo yang kini sudah menggulung tubuhnya menjadi bola. “Huh!” tendang Nick sekali lagi sebelum kemudian berlari mengejar kakak dan teman-temannya naik ke atas bus. Logan merayap menghampiri adiknya yang masih bergulung diatas beton. Seluruh wajahnya terasa remuk oleh pukulan dari Matt, tapi ia mengkhawatirkan keadaan adiknya lebih daripada dirinya sendiri. “Leo! Leo!” panggilnya. “Kau tidak apa-apa?” Tangan Logan meraih pundak adiknya dan menariknya agar menghadap ke arahnya. Dengan mata yang perih karena kemasukan darah dari pelipisnya yang sobek, Logan bisa melihat beberapa lebam di lengan Leo. Logan menegakkan tubuhnya dan mulai menarik tubuh Leo agar berdiri. “Ok. Kau tidak apa-apa. Berdirilah. Kau tidak apa-apa, Leo. Hanya memar. Tidak akan membunuhmu. Ayo, tegakkan badanmu.” ===== Note: Jangan lupa tap love dicerita ini ya Follow author D.F.E Ig: dragonflyeternal fb: Deef e
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD