E and A | 5

2925 Words
PART 5   Arabelle kembali mengubah posisi berbaringnya menjadi telentang—untuk kesekian kalinya, dia menatap langit-langit kamarnya—dalam diam. Tatapan matanya sulit dijelaskan, antara sedih, gelisah, dan bingung. Seorang lelaki bernama Aldo tengah memenuhi kepalanya, menjadi bahan pikirannnya sejak tadi. Bahkan, dia tidak bisa tidur hanya karena memikirkan lelaki yang masih menjadi penghuni tetap di hatinya itu. Bagaimana bisa Arabelle tidur dengan nyaman, sementara seseorang yang amat dicintainya sedang dikabarkan dengan perempuan lain. Bagaimana kalau kabar yang mulai tersebar tersebut benar? Apa Arabelle akan kehilangan Aldo untuk kedua kalinya, atau bahkan selamanya? “Argh!” kesal Arabelle sambil memukul bagian samping kasurnya—dengan kedua tangan yang sudah terkepal. Dia langsung bangkit dari kasur, mungkin mencari angin di halaman belakang akan membuatnya sedikit tenang. Sebelum benar-benar keluar kamar, gadis itu menyempatkan diri untuk melihat jarum jam yang sudah menunjuk ke angka satu lewat limabelas menit. “Huft ... baru kali ini gak bisa tidur sampe selarut ini,” gumamnya kemudian, sembari melangkah pelan menuruni satu persatu undakan tangga. Sesekali Arabelle melihat ke arah belakang, samping kiri, dan kanannya—sambil memicingkan mata. Siapa tahu ada yang melihatnya dan kemudian melaporkannya pada si harimau. Harimau? Siapa lagi kalau bukan Elvano. Arabelle sedikit berlari menuju pintu halaman belakang, dan membukanya dengan hati-hati agar tak menimbulkan bunyi. Sesampainya di halaman tersebut, Arabelle melebarkan tangannya, dengan menengadahkan kepalanya sambil menutup mata. Gadis itu menghirup udara segar, sampai membuatnya merasa sedikit lebih baik. Arabelle duduk di salah satu kursi yang ada di sana, kemudian menyandar pada kepala kursi tersebut. Dia kembali menengadahkan kepalanya, tetapi kali ini tidak dengan menutup mata. Arabelle ingin melihat indahnya bintang dan bulan di malam hari seperti ini—indah sekali. “Sedang apa kamu di sini?” Suara itu benar-benar mengagetkan dan membuyarkan lamunan indah Arabelle. Gadis itu mencoba tidak memperdulikannya, bergeming di tempat duduknya. “Kamu baru saja demam, belum sembuh total. Malah keluyuran di luar tengah malam begini!” Elvano melangkah, berdiri di hadapan Arabelle. “Aku hanya bosan di dalam kamar, dan gak bisa tidur. Aku mau cari angin segar.” “Gak baik untuk kesehatan, masuk sekarang!” Arabelle mengalihkan pandangannya dari langin, ke arah Elvano. Arabelle dapat melihat wajah tegas pria yang tengah berdiri di hadapannya tersebut. “Nanti. Aku masih pengen di sini.” “Tidak baik terlalu lama.” “Aku baru saja sampai, jangan menggangguku. Tidur sana!” Elvano menaikkan sebelah alisnya. Harusnya dia yang mengucapkan kalimat seperti itu. “Kamu yang harusnya tidur, beristirahat. Kondisi kamu belum benar-benar membaik.” Elvano mengulurkan tangannya di hadapan Arabelle, berniat mengajaknya masuk ke dalam. Elvano mengalah malam ini, dia tak ingin membuat gadis keras kepala itu kembali marah dan menimbulkan keributan di tengah malam seperti sekarang. Arabelle mengerutkan keningnya, merasa heran dengan sikap Elvano yang menurutnya begitu aneh dan seperti bukan seorang Elvano yang selama ini dia kenal. Sejak kapan pria tua bangka itu mau mengulurkan tangannya? “Ayo masuk,” ucap Elvano sekali lagi. Arabelle bergeming. “Sebentar lagi. Lima menit. Aku ingin menghirup angin sekali lagi.” “Baik, lima menit dari sekarang.” Elvano mengambil tempat di samping Arabelle, sesekali dia melirik ke arah gadis yang tengah menutup matanya tersebut. Apa yang sedang Arabelle pikirkan, hingga membuatnya tak bisa tidur sampai selarut ini? “Satu menit lagi.” Arabelle berdecak sebal. “Kamu memang selalu menyebalkan!” desisnya kemudian beranjak meninggalkan Elvano, tanpa menoleh kembali. Dia melangkah lebar menuju kamarnya, sebelum berhasil menaiki undakan tangannya, tangannya lebih dulu ditarik dari belakang membuatnya hampir saja terjungkal. “Apa yang kamu lakukan?” pekik gadis itu melihat Elvano yang tengah melingkarkan tangannya pada perut Arabelle. “Buatkan saya makanan. Saya lapar.” Arabelle terbelalak. Apa pria itu bercanda? “Sejak kapan aku bisa memasak? Kamu gak lagi kerasukan setan kan?” Detik selanjutnya Arabelle bergidik ngeri. Dia menatap Elvano dengan serius. Pria itu aneh dan berhasil membuatnya kebingungan. “Saya serius.” “Kalau begitu kenapa kamu tidak membangunkan Mimi atau Bibi yang lain saja untuk membuatkannya? Aku gak bisa masak!” Elvano tidak memberikan celah untuk Arabelle melepaskan diri dari rengkuhannya. “Untuk apa saya menikamu kalau selalu asisten rumah tangga yang menyiapkan segala keperluan saya?” “Siapa suruh kamu menikahiku?!” debat Arabelle tak mau salah dan disalahkan. “Buatkan apa saja. Telur dadar atau gorengkan saya ayam.” “Makanan sisa makan tadi malam masih ada. Makan itu saja.” “Sudah tidak enak. Saya ingin yang baru saja dimasak.” Arabelle mencibir geram. “Hidupmu terlalu banyak maunya! Menyebalkan.” “Masakin saya, atau saya paksa tidur sama saya?” Untuk kesekian kalinya, Arabelle melebarkan matanya. “Apa kamu bercanda? Jangan gila!” Elvano menyentil dahi gadis yang sedari tadi tak bisa diam tersebut. Jarak mereka sekarang benar-benar dekat sekali, bahkan bisa dibilang sudah menempel. “Memang. Saya bisa saja melakukan sesuatu yang tidak pernah kamu bayangkan sebelumnya. Mau saya buktikan?” tantang Elvano sambil menaik-turunkan alisnya. Dengan cepat Arabelle menggelengkan kepalanya. “Iya, aku masakin. Lepasin sekarang!” Elvano tersenyum lebar, dia melepaskan rengkuhannya. Kemudian menarik Arabelle menuju dapur. Gadis itu terdengar tengah menggerutu kesal. “Mau apa?” “Telur dadar saja.” Arabelle memajukan bibirnya. Baru kali ini dia dipaksa memasak seperti ini. Elvano benar-benar telah mengendalikan dirinya. Gadis itu mengeluarkan telur dari dalam lemari pendingin, dua biji. Kemudian mengambil bangkok kecil, beserta sendok. Elvano menopang dagunya memerhatikan setiap gerakan Arabelle. Siapa bilang gadis kecil itu tidak bisa memasak? Buktinya telur dadar sesuai permintaannya matang sesuai yang dia mau. “Ambilkan kecapnya juga.” “Benar-benar merepotkan saja!” Kembali melangkah untuk mengambilkan sebotol kecap. “Nih!” Memberikan secara kesal kecap itu pada Elvano. “Kamu makan sendiri saja, aku mau tidur. Sudah ngantuk.” Sebelum berhasil beranjak, Elvano lebih dulu mencegahnya. “Siapa bilang kamu boleh kembali ke kamar? Temani saya sampai selesai makan.” “Kamu bercanda? Aku sudah mengantuk.” “Selangkah saja kamu bergerak, akan saya beri hukuman. Lakukan saja kalau kamu memang ingin bersenang-senang bersama saya malam ini.” Wajah itu, benar-benar membuat Arabelle takut. Jujur sana, ketika mendengar ‘bersenang-senang bersama saya’ yang dimaksud Elvano itu berbagai pikiran negatif memenuhi ruang pada otaknya. Jiwa mesumnya kembali menguasai. Hey! Sadarlah, Ara! “m***m banget!” Elvano tertawa kecil. “Tahu saja kalau saya sedang m***m, jangan-jangan kamu juga berpikiran yang sama seperti saya?” Mata Arabelle melebar, kemudian tangannya terangkat untuk memukul lengan pria itu. “Jangan sembarangan kalau ngomong! Makin larut, otak pria tua kayak kamu gini, makin gak beres! Cepet habisin makananmu, aku sudah bosan melihat wajahmu.”                                                                                                     **** Elvano kembali menahan Arabelle ketika mereka tiba di lantai dua, tepatnya berada di depan kamar gadis itu. “Apa lagi?!” desisnya. “Tidur sama saya, yuk?” Mata Arabelle melebar sempurna. “Kamu bercanda? Ogah!” Sebelum Arabelle berhasil masuk ke dalam kamarnya, Elvano kembali mencekal pergelangan tangan, lantas menghimpit tubuh kecilnya. “M-mau apa kamu?” tanya Arabelle was-was, pria tua itu menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan oleh otak pintarnya. “Mau nyium kamu.” Cup! Sebelum sempat menolak dan melalukan perlawanan, Elvano lebih dulu mencium Arabelle tepat pada dua benda kenyalnya—bibir. Membuat gadis keras kepala itu bungkam dengan tubuh yang sudah menegang dan lidahnya kelu untuk mengeluarkan kata-kata pedasnya seperti biasa. Elvano menyentil pelan dahi Arabelle, menyadarkan gadis itu dari lamunannya. Tatapan yang tadinya kosong, kini kembali bernyawa. “A-apa yang kamu lakukan?!” tanyanya dengan d**a masih berdebar kencang. “Mengecup bibir kamu, memangnya apa lagi?” Elvano menjawab santai, seolah perbuatannya tadi tidak salah. “s**t! Kamu benar-benar ...!” “Apa yang salah? Kamu istri saya, mau yang lebih dari sekedar kecupan pun boleh-boleh saja.” Arabelle menggertakkan gigi, kemudian memejamkan matanya untuk meredam amarahnya. Dia tak ingin membuat keributan di tengah malam seperti ini. “Diam! Berhenti berbicara yang tidak benar. Kamu ... benar-benar mengesalkan!” Lantas meninggalkan Elvano dan mengunci pintu kamarnya dari dalam. Di dalam sana, dia terlihat tengah menyandarkan diri pada pintu itu, sambil menutup kedua matanya. Bagaimana bisa pria tua itu mengambil ciuman pertamanya? s**t! Bahkan dirinya terlihat seperti orang bodoh ketika menerima perlakuan mendadak tadi. “Mengesalkan!” teriak Arabelle ketika berhasil menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur dengan kasar—dalam posisi telungkup. Sekarang, dia menyesal telah keluar tengah malam, otak Elvano benar-benar tidak bisa dikondisikan pada jam horor seperti ini. Arabelle mengubah posisinya menjadi telentang, menghembuskan napasnya panjang. Jam sudah menunjukkan pukul dua lewat sepuluh. Sebentar lagi pagi tiba, tapi dia belum sempat menidurkan diri. Pikirannya kacau, membuat kepalanya pening saja. Sebelum benar-benar mengistirahatkan diri, Arabelle menyempatkan diri untuk mengecek ponselnya. Tidak ada satupun pesan dari lelaki yang amat dia cintai. Tatapannya berubah sendu, apa di hati lelaki itu sudah memiliki orang baru, yang akan menyingkirkan posisinya di sana? “Argh! Kesel, kesel, kesel ...!”                                                                                                 **** Ketukan Mimi pada pintu kamarnya, berhasil membangunkan Arabelle dari tidur dan mimpi indahnya. Dengan mata masih tertutup—mengantuk, gadis itu melangkah malas membuka kuncian pintu kamarnya. Arabelle yakin, mata bagian bawahnya pasti kelihatan menghitam sekarang. “Nona Ara, baru saja bangun?” tanya Mimi. “Iya. Kalau cuman mau ingetin sarapan, nanti aja deh. Aku masih mengantuk banget. Mungkin aku akan tidur sampai siang.” “Tapi, Non, Tuan El menyuruh untuk sarapan sekarang. Hm ... bukannya Nona Ara juga ada kelas pagi hari ini?” Mimi mengingatkan jadwal kuliah Arabelle. “Aku tidak masuk hari ini, lagi males. Bilang aja sama pria tua bangka mengesalkan itu, aku tidak ingin sarapan, masih mengantuk. Ini semua ulah dia juga yang membuatku tidak bisa tidur sampai waktu pagi tiba.” “Tapi, Nona ....” “El ... aku tidak ingin sarapan. Masih mengantuk ... tolong jangan mengaturkan untuk kali ini saja, pagi ini saja!” teriak Arabelle keras dari depan kamarnya. Teriakan itu memenuhi setiap sudut rumah megah itu. “Sekarang, pergilah! Jangan ada yang menggangguku hari ini.” Mau tidak mau, Mimi menurut dan segera meninggalkan kamar Arabelle menuju dapur. “Nona Ara ....” Elvano mengangguk mengerti. Kalau saja dia tidak ada pekerjaan penting pagi ini, sudah dipastikan gadis keras kepala itu tidak akan berhasil melewatkan sarapannya. “Biarkan saja. Nanti jam sepuluh kamu bangunkan dia kembali, bawakan makanan dan vitamin untuknya.” Mimi mengangguk mengerti. Elvano tidak menyelesaikan sarapannya, kemudian segera bangkit dari tempat duduknya. “Apa saja jadwal saya hari ini, selain rapat dengan agensi pagi ini?” tanyanya pada Remon disela langkahannya. “Setelah rapat, akan ada pertemuan dengan Pak Alexandre untuk membicarakan mengenai kerjasama minggu lalu. Kemudian akan ada perubahan kerja untuk proyek di bagian selatan ....” “Kosongkan jadwal saya setelah itu, saya ingin pulang lebih awal. Istri kecilku nampaknya kembali berulah hari ini.” Remon mengangguk paham, lantas membukakan pintu mobil dan mempersilakan Elvano masuk. “Kerahkan beberapa orang di rumah untuk menjaga Ara, agar tetap di rumah selama saya bekerja. Saya tidak ingin dia berada dalam bahaya.” Remon mengangguk. Setibanya di kantor, Remon menghubungi Dino untuk melakukan penjaga terhadap Arabelle, agar gadis itu tidak ke mana-mana selama tuannya bekerja. Setelah itu dia mengecek ruang rapat pagi ini, apakah sudah siap atau belum. “Rapat pagi ini sudah siap dimulai, Pak,” ucap salah satu karyawan. Remon mengangguk, dia kembali menuju ruangan Elvano untuk mengabari hal ini. Rapat mereka akan segera di mulai.                                                                                             **** Tepat jan sepuluh, tidak kurang dan tidak lebih Mimi kembali membangunkan Arabelle, membuat gadis itu kesal bukan kepalang. “Pergi! Kembali bangunkan aku jam 12 saja!” titahnya tanpa ingin dibantah. “Tapi, Nona ... Tuan El akan memarahi saya jika Nona Ara terlambat makan. Saya pasti kena hukuman kalau sampai Nona Ara sakit.” Mimi menunjukkan ekspresi memohon, agar tidak ada yang dirugikan salah seorang dari mereka. Mimi tidak mendapat hukuman, dan Arabelle tidak jatuh sakit. “Katakan pada El kalau aku sudah bangun dan makan.” Belum sempat Mimi berucap, ponsel dalam genggamannya berdering. Nama Tuan Elvano tertera jelas di layar ponselnya yang sedang menyala tersebut. “Aduh gawat, Nona! Tuan El menelpon saya, Tuan pasti menanyakan soal Nona. Sekarang bangun, ya, mandi ... setelah itu kita ke ruang makan.” Arabelle memberengut kesal, dia merebut secara paksa ponsel Mimi, mengangkat panggilan Elvano. “Berisik banget kamu! Dengarkan dengan baik, aku sudah makan!” Arabelle membumbui setiap kata dalam kalimatnya dengan tekanan tegas. “Kamu selalu saja berbohong. Bangun dan makan sekarang!!! Sebelum saya seret kamu ke ruang makan, mengerti Arabelle?” “Tidak! Aku tidak akan mendengarkanmu!” “Oke! Lihat saja apa yang akan terjadi selanjutnya ... mungkin setelah ini saya akan mengurungmu dalam kamar yang sama dengan saya. Apa ucapan saya masih kurang jelas dan gak mampu keras kepalamu sedikit melemah?” Tanpa babibu, Arabelle mematikan sambungan teleponnya secara sepihak. Dia melemparkan ponsel itu kepada Mimi. Untung saja Mimi sigap menangkap, kalau lambat atau melesat sedikit saja ponselnya akan hancur tanpa bentuk untuk kesekian kalinya. Arabella melangkah sambil menghentakkan kedua kaki menuju kamar mandi, meraih handuk yang tergantung. “Bersihkan tempat tidurku, segera. Selesai mandi, kamar ini sudah bersih dan rapih. Aku gak mau tahu!” Mimi mengangguk patuh. Nonanya seperti anak singa, dan Elvano adalah bapaknya singa. Benar-benar sebelah duabelas, sama-sama garang dan perintahnya tak terbantahkan. Siapa yang berani membantah, habis oleh keduanya. Mimi pernah membayangkan bagaimana keturunan Elvano dan Arabelle nanti. Apakah akan segarang ibu dan ayahnya? Atau malah selembuh nyonya—ibu Elvano? Sebelum Arabelle menyelesaikan ritual mandinya, pekerjaan Mimi lebih dulu beres. Dalam hati Mimi bersorak, melepas lega. Telat semenit saja, Arabelle pasti akan mengomelinya lagi. “Gorengkan aku ayam, terong, tempe, sama tahu tepung. Buatkan sambal juga!” “Bukankah Tuan El melarang Nona memakan makanan yang pedas terlalu sering?” Arabelle menatap Mimi dengan memicingkan mata. “Sebenarnya kamu itu pesuruhku atau pesuruh Elvano, sih? Jangan menuruti semua kemauannya, jika tidak sesuai dengan kemauanku. Apa kamu mendengar?” “Tapikan, Nona ... Tuan El yang menggaji saya.” “Cih! Terserah kamu saja! Sana bikinkan yang aku perintahkan tadi. Kamu menolaknya sekali lagi, aku akan mogok makan sampai malam. Biar kamu kena marah sama si tua bangka itu!” Mimi menggeleng cepat. Segera dia berlalu meninggalkan kamar Arabelle menuju dapur. Menyiapkan apa yang gadis itu mau. Mimi meminta bantuan sama asisten rumah tangga yang lain, agar pekerjaannya selesai dengan cepat. Ketika Arabelle turun nanti, makanan harus siap di atas meja. Gadis itu tinggal memakan makanannya saja. Ayam, terong, tempe, dan tahu goreng sedang ditiriskan, sementara Mimi sedang mengulek sambal. Arabelle berdehem ... menarik kursi meja makannya, duduk sembari menunggu makanannya siap. “Ini makannya, Nona.” “Kurangi nasinya sedikit, ini terlalu banyak. Aku tidak akan bisa menghabiskannya.” “Ini Tuan El yang perintahkan kepada saya, barusaja. Dua sendok nasi saja ini, Nona Ara.” Arabelle memelototkan matanya. “Dia tidak ada di sini, kurangi nasinya!” Terpaksa Mimi kembali menurut. Dia mengusangi porsi nasi dalam piring Arabelle, sedikit. “Ini, Nona. Hem ... makan sambalnya jangan terlalu banyak, ya, nanti sakit perut.” “Aku mau makan, sebaiknya kamu kembali ke dapur. Jangan memerintahkan apapun kepadaku sampai aku selesai makan nanti. Aku tidak ingin diganggu oleh apapun dan siapapun. Kamu mengerti?” Mimi mengangguk pasrah. “Baik, Nona Ara.” Arabelle memutar musik sebagai teman saat dia makan, tetapi baru setengah musik itu terputar seseorang dengan lancang mematikan dan merebut ponselnya secara paksa. Arabelle tersentak kaget, dan tersedak. “El?!” kaget Arabelle. Sejak kapan dia kembali? Bukankah setiap harinya pria itu sibuk, lantas mengapa sekarang dia berada di rumah secepat ini? “Ya, ini saya. Kaget?” “Kembalikan ponselku!” pintanya dengan merentangkan sebelah tangan. Sementara makanannya tinggal beberapa suap lagi. “Habiskan dulu makananmu, akan saya kembalikan ini.” “Aku sudah tidak bernapsu, kamu sih datang ke hadapanku!” Arabelle cemberut, menjauhkan piring yang berada di hadapannya. “Habiskan, atau saya akan menggunakan cara saya sendiri agar kamu mau menghabiskannya? Hari ini saya sudah banyak mengalah dengan kamu, jangan terlalu banyak menguras pikiran dan emosi saya.” Arabelle mengerucutkan bibirnya. “Kamu yang selalu mencari masalah denganku. Tidak bisakah kita jalan masing-masing saja? Aku dengan duniaku, dan kamu dengan duniamu yang membosankan itu. Aku tidak bisa, El, kalau harus mengikuti semua perintahmu. Aku merasa tidak bahagia, kamu terlalu menjeratku.” Elvano menghembuskan napas, sambil memijat pelipis begitu heran. “Kamu adalah tanggung jawab saya, wajar jika saya memperlakukannya sedemikian rupa. Kamu istri saya, akan ada banyak hal membahayakan keselamatan kamu jika tanpa pegawasan dari saya.” “Itulah yang aku benci dari kenyataan ini, aku adalah istrimu. Aku tidak suka duniamu, aku benci orang-orang kepercayaanmu, semua mengganggu ketenangan dan kebahagiaanku. Kalau tahu banyak bahaya yang akan datang padaku, kepada kamu mau menikahiku? Kamu sendiri yang membawaku ke dalam semua keselitanmu.” Arabelle mendesis sebal, dia benci dikekang ... sudah berapa kali dia katakan. “Karena orangtuamu mempercayakan semua yang ada padamu kepada saya. Terus berada di sisi saya, maka kamu akan bahagia.” “Tidak akan. Kamu mana tahu kebahagiaannya itu bagaimana, jangan terlalu mengaturku. Jaga aku sewajarnya, aku mampu menjaga diriku sendiri. Kamu pikir aku ini lemah?” Elvano menyunggingkan senyum. “Tidak. Kalau kamu lemah mana mungkin kamu bisa menolak apapun yang saya perintahkan, bukan? Kamu terlalu berani.” Arabelle mengangkat tangannya. “Aku sudah selesai makan. Izinkan aku kembali ke kamar, Tuan Elvano.” Elvano diam beberapa saat, kemudian mengangguk pelan. Arabelle segera bergegas beranjak sebelum kesempatan emas ini diambil kembali oleh Elvano. “Maukah kamu jalan-jalan sama saya sore ini? Ke taman ujung komplek?” ucap Elvano menghentikan langkahan Arabelle. Gadis itu menoleh ke belekang, diam beberapa saat, baru kemudian memberikan jawaban. “Lihat nanti, jika aku gak malas.”                                                                                                 ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD