E and A | 4

2890 Words
PART 4   Elvano melirik jam mahal yang melingkar pada pergelangan tangannya, sudah setengah jam dia menunggu Arabelle agar bergabung dengannya untuk makan malam bersama, namun tak kunjung datang juga. Elvano memanggil Mimi dan menyuruhnya memanggil Arabelle di kamarnya. Tidak seberapa lama, Mimi kembali dengan memberitahukan bahwa kamar Arabelle dikunci dari dalam. Dia sudah mengetuk pintunya beberapa kali, namun tak mendapat jawaban apapun dari dalam sana. Mimi khawatir terjadi sesuatu pada gadis keras kepala tersebut—yang bisa saja melakukan apapun saat dia emosi. Elvano segera bangkit dari tempat duduknya, melangkah lebar menuju ruang kerja untuk mengambil kunci cadangan kamar Arabelle, kemudian segera melihat keadaan gadis itu di dalam kamarnya. Helaan napas panjang penuh kelegaan terdengar dari Elvano, begitupun dengan Mimi dan Remon yang berada di belakang Elvano. Arabelle sedang tertidur di atas tempat tidurnya. “Kalian bisa keluar,” ucap Elvano. Remon dan Mimi segera beranjak tanpa membantah. Elvano melangkah mendekati Arabelle yang tengah tertidur dengan posisi sembarangan di atas kasurnya. Belum lagi dress selututnya yang sudah terangkat bebas menampakkan paha mulusnya. s**t! Rupanya Arabelle tidak mengenakan dalaman panjang—hanya menggunakan celana dalam. Elvano mengangkat pelan tubuh Arabelle, membaringkan gadis itu dengan benar. Elvano dapat melihat seberapa bengkak mata Arabelle, menandakan bahwa gadis itu tak berhenti menangis kalau saja tidak ketiduran. Tangan besar Elvano terangkat untuk mengelus puncak kepala Arabelle, kemudian mendaratkan kecupan pada dahinya. “Saat tertidur seperti ini, wajahmu benar-benar seperti anak kecil. Lucu, polos, dan terlihat penuh dengan kelembutan,” komentar pria itu sambil memperhatikan wajah Arabelle. “Kenapa berbeda sekali saat mata itu terbuka? Saya tidak pernah melihat sorot lain dari matamu, kecuali sebuah kebencian. Apa kamu benar-benar membenci saya?” tanyanya pelan. Elvano tersenyum kecil. “Entah sejak kapan, saya benar-benar mengkhawatirkan kamu.” Tidak ada jawaban. Elvano berbicara seorang diri. Sebelum beranjak pergi meninggalkan kamar Arabelle, Elvano menyempatkan diri lagi untuk mendaratkan kecupannya pada kening gadis itu. Satu kali saja tak membuatnya puas. Kemudian menyelimuti Arabelle. “Selamat malam, Gadis kecil.”                                                                                                     **** Minggu pagi hari ini tak kalah cerah dari minggu kermarin. Sejak subuh, Elvano sudah bangun dan memilih berolahraga di halaman belakang untuk menyegarkan tubuh, hingga pukul setengah tujuh. “Apa Arabelle sudah bangun?” tanya Elvano pada Mimi yang sedang memasak di dapur. Mimi menggeleng. “Sepertinya belum, Tuan.” Elvano mengangguk, kemudian melanjutkan langkahannya menuju lantai atas. Dia mengetuk pintu kamar Arabelle beberapa kali, namun tidak ada sahutan apapun dari dalam sana. Tidak seperti biasanya, Arabelle selalu bangun pagi walaupun di hari libur seperti ini. Seperti semalam, Elvano kembali membuka pintu di hadapannya itu dengan kunci cadangan yang dia miliki. Satu alis Elvano terangkat ketika memasuki kamar itu. Arabelle masih tertidur dengan nyaman di atas tempat tidurnya. Dengan posisi miring sambil memeluk erat gulingnya—ah, kenapa kelihatan menggemaskan? Tangan kanan Elvano terangkat untuk menyentuk kening Arabelle, siapa tahu gadis kecilnya itu sedang tidak sehat—karena terlalu lama menangis? Dan ... benar saja, suhu tubuh Arabelle panas. Astaga! Dengan cepat Elvano melangkah menuju dapur untuk memanggil Mimi. “Siapkan air hangat untuk mengompres Arabelle, dia sedang sakit. Saya akan menelpon Mama untuk mengecek keadaannya!” “Ada apa, El?” tanya seseorang di seberang sana, ketika sambungan telepon terhubung. “Kenapa menelpon pagi-pagi seperti ini?” “Ara sakit, Ma. Bisa ke sini sekarang untuk memeriksa keadaannya?” ucap Elvano terdengar panik dan tergesa-gesa. “Tolong, ya, Ma, segera! Aku mengkhawatirkan dia, tubuhnya panas.” Kemudian mematikan sambungan telepon tersebut secara sepihak tanpa menunggu jawaban dari ibunya. Tidak lebih dari lima belas menit, ibu Elvano datang dengan langkah yang tergesa-gesa—menghampiri Elvano yang sedang menunggu di ruang tengah. “Ma ...?” Ibu Elvano mengangguk, dan segera melangkah menuju kamar Arabelle, untuk mengecek keadaan sang menantu kesangannya. “Sejak kapan dia panas seperti ini, El?” tanya ibunya. Elvano menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali, bingung harus menjawab apa. Mana dia tahu sejak kapan gadis itu demam? “Dan, kenapa matanya bisa bengkak sekali seperti ini, apa dia menangis sepanjang malam?” Elvano gelagapan. “A-aku—kemarin dia baik-baik saja.” Pria itu berucap santai. “Sebelum aku membakar boneka dan bunga miliknya,” sambungnya kemudian dalam hati. Ibu Elvano memicingkan matanya. “Kebiasaan buruk—suka berbohong—ayahmu tidak perlu kau ikuti!” tajamnya kesal. “Mulai besok ajak menantu kesayangan Mama ini tidur satu kamar denganmu! Kenapa masih ngotot tidur dengan kamar yang berbeda?!” “Tapi, Ma—” “Mama tidak perlu alasan apapun. Ini ada beberapa obat, salah satunya obat untuk penurun panas, dan penambah napsu makan. Apa kamu tidak memperhatikan jadwal makan istrimu? Tubuh Ara terlihat lebih kurus.” Kalau sudah begini, apakah Elvano memiliki pilihan lain? Ibunya tidak pernah senang jika omongannya dibantah, sekalipun orang itu suaminya sendiri. “Iya, Ma.” “Ya sudah, Mama pulang dulu. Masih banyak yang harus mama kerjaan pagi-pagi seperti ini.” Elvano mengangguk, kemudian mengantar ibunya hingga teras. “Buatkan bubur untuk Ara,” ucap Elvano pada asisten rumah tangga yang lebih tua. Dia kembali melangkah menuju kamar Arabelle. Di sana ada Mimi yang masih setia menemani istri kecilnya. “Gantikan pakaiannya, sepertinya tadi malam dia berkeringat banyak.” Mimi mengangguk, kemudian segera menyiapkan pakaian bersih untuk Arabelle. Sedangkan Elvano mengambil tempat duduk di sofa depan televisi yang ada di kamar Arabelle—dengan posisi membelakangi tempat tidur gadis itu. Usai menggantikan baju Arabelle, asisten Elvano datang dengan membawakan bubur yang dia minta tadi. “Apa Ara bangun?” tanyanya pada Mimi yang akan beranjak menuju dapur sambil membawa keranjang pakaian kotor milik Arabelle. “Belum, Tuan. Mungkin Nona Ara kelelahan karena menangis sepanjang malam.” Elvano mengangguk paham. “Panasnya sudah sedikit menurun, Tuan,” katanya kembali sebelum benar-benar beranjak dari ruangan itu. “Ya sudah, kamu bisa kembali bekerja. Saya akan membangunkannya untuk memakan bubur ini.” Mimi mengangguk, dan pergi meninggalkan kamar Arabelle. “Ara,” panggil Elvano pelan, sambil menyentuh pipi gadis itu. “Bibi sudah menyiapkan bubur, bangun sebentar habis itu minum obatmu agar segera sembuh.” Arabelle tidak menjawab, gadis itu hanya menggeliat pelan. Kepalanya benar-benar terasa pusing, membuat matanya berat untuk terbuka. “Bangun, sebentar saja.” Karena Elvano terus saja mengganggu Arabelle, gadis itu akhirnya mendesis sebal. “Apa yang akan kamu lakukan lagi? Menjauhlah dariku!” ucap Arabelle serah dan lemah. Dia berucap tanpa membuka kelopak matanya. “Jangan menyulut emosiku, aku sedang tidak benar-benar dalam keadaan baik.” “Siapa yang akan menyulut emosimu, saya hanya ingin kamu memakan buburmu.” Perlahan, kelopak mata Arabelle terbuka. Mata bengkaknya membuat mata gadis itu menyipit, bahkan sipit sekali. “Apa kamu tidak melihat keadaanku sekarang? Bawa kembali bubur itu ke dapur, aku sedang tidak ingin memakan apapun.” “Setidaknya makan beberapa sendok, kamu harus meminum obatmu.” “Kamu yang membuatku sakit seperti ini, kenapa sekarang malah sok-sokan mencemaskan keadaanku? Pergi, aku ingin tidur lagi!” “Kalau kamu tidak makan, bagaimana bisa meminum obat? Kalau tidak meminum obat, kamu akan sakit untuk beberapa hari ke depan.” Elvano menghela napasnya. “Apa saya harus memaksamu juga untuk hal yang satu ini?” Arabelle yang tadinya membuang muka, nampak terkejut. Dia menatap benci pada lelaki itu. Dengan perasaan jengkel, Arabelle berusaha bangun dari posisi berbaringnya, kemudian merebut paksa mangkok yang ada dalam genggaman Elvano. “Aku bisa memakannya sendiri, tidak perlu mencemaskan keadaanku!” Lantan menyendok penuh buburnya, dan memasukkan ke dalam mulut. Arabelle mual, dia sedang tidak bisa menelan makanan apapun sekarang. baru memakan dua sendok, Arabelle bangkit dan segera berlari menuju kamar mandi—mengeluarkan kembali isi perutnya. “Kamu baik-baik saja?” “Apa kamu buta?” Elvano mendesah kesal. Dalam keadaan sakit seperti ini pun, gadis itu tidak melunak sedikitpun. “Minumlah obat ini, kamu akan segera membaik setelahnya,” ucap Elvano pada Arabelle ketika mereka kembali ke tempat tidur. Arabelle tidak mendebat lagi, dia menrut saja untuk meminum obatnya. “Kamu istirahat saja.” Tidak ada sahutan, Arabelle mengabaikan Elvano dan segera membaringkan tubuhnya membelakangi pria itu. “Kalau ada perlu apa-apa panggil saya, atau Mimi.”                                                                                                 ****  Ketika jam makan siang, Elvano kembali mendatangi kamar Arabelle untuk melihat perkembangan keadaan gadis itu. Apakah panasnya sudah benar-benar menurun, atau bagaiaman. “Ara?” panggilnya. Tidak mendapat sahutan apapun. Tangan Elvano terangkat untuk memeriksa suhu badan Arabelle. Untunglah, panasnya sudah lumayan menurut, meski masih hangat. “Apa kepala kamu masih pusing?” tanya Elvano lagi. Arabelle hanya bergumam kecil untuk jawaban atas pertanyaannya. “Mau makan bubur lagi?” “Enggak.” “Terus mau makan apa?” Arabelle diam beberapa saat. Sejak kemarin dia hanya memakan bakso dan batagor di kantin kampus, dan tadi pagi hanya dua sendok bubur—itupun dia muntahkan sebagian. “Nasi pake ayam goreng sama kecap.” Elvano menaikkan sebelah alisnya. Dalam keadaan sakit seperti ini pun, makanan kesukaan gadis itu tetap nasi dengan ayam goreng ditambah kecap manis. “Oke, saya akan suruh Mimi membuatkannya dulu.” Elvano membuka layar ponselnya, dan menelepon Mimi yang saat ini kemungkinan sedang berada di dapur—tengah menyiapkan makan siang bersama asisten rumah tanganya yang lain. “Siapkan makan siang untuk Ara, ayam goreng sama kecap seperti biasanya.” “Sepuluh menit, makananmu selesaai.” Arabelle hanya mengangguk lemah, kemudian kembali mengambil posisi membelakangi Elvano. Gadis itu tengah memeluk gulingnya, dengan selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Seraya menunggu Mimi membuatkan makan siang untuk Arabelle, Elvano mengambil tempat di sofa dekat jendela sambil memainkan tablet miliknya. Meski hari libur seperti ini, pekerjaan pria itu tidak semuanya ikut berlibur pula. Ada beberapa pekerjaan penting yang harus dia urus dan selesaikan dengan cepat. “Tuan,” panggil Mimi mengalihkan pandangan Elvano dari layar pbenda persegi miliknya. “Ini makanan Nona Ara, saya taruh di atas sini,” ucapnya menaruh piring dan segelas air putih ke atas nakas Arabelle. Kemudian pergi kembali ke dapur. “Ara, makan siangmu sudah datang. Bangun, dan makanlah dulu.” “Sebentar lagi. Kepalaku benar-benar pusing.” “Mau saya yang menyuapi?” “Tidak perlu. Aku bisa memakannya sendiri nanti.” “Kalau nanti, ayam dan nasimu akan dingin. Tidak enak lagi.” Arabelle menghela napasnya. Kemudian bangun di bantu Elvano—duduk bersandar di kepala ranjang. Dengan malas, Arabelle menyendok makanannya, dan mengusah pelan. “Tidak enak!” ucap Arabelle berniat menyudahi makannya. “Dipaksa saja. Semua makanan memang terasa tidak enak jika sedang sakit, makan beberapa sendok lagi. Setelah itu minum obatmu, dan kembalilah beristirahat.” Arabelle memberengut kesal. “Aku sudah tidak sanggup memakannya. Kalau kamu terus memaksa, aku akan kembali memuntahkannya.” Elvano memutar bola matanya jengah. “Kau hanya memakan tiga sendok. Lihat ayammu, hanya sedikit yang termakan.” “Kalau saja tidak dalam keadaan yang seperti ini, sepuluh potong ayam pun aku sanggup menghabiskannya.” Tanpa persetujuan dari Elvano, Arabelle meletakkan kembali piringnya di atas nakas. Dia menyudahi makannya, tanpa bisa dicegah kembali. “Ya sudah ... minum obatmu.” Setelah meminum obatnya, Arabelle kembali berbaring. “Nyalakan AC, aku kepanasan.” “Tidak. Kalau panas, jangan tidur menggunakan selimut.” “Aku sedang tidak ingin berdebat, nyalakan saja AC-nya!” paksa Arabelle dengan menunjukkan siapa dirinya—keras kepala dan tak terbantahkan. Elvano kembali mengalah, dan menyalakan saja pendingin ruangannya. Gadis itu benar-benar membuatnya tak habis pikir. “Saya akan menemani kamu di sini. Tidurlah.” “Kembali saja ke kamarmu. Aku baik-baik saja.” Elvano tidak mendengarkannya. Dia kembali duduk di mana dia duduk sebelumnya, dan kembali berkutat dengan benda pipih miliknya. Hingga hari mejelang sore. “El ...?” panggil Arabelle dari tempat tidurnya. Elvano tengah tertidur di tempat duduknya. “El ...?” Elvano terkesiap, dan langsung terbangun dari tidurnya. “Aku mau makan mangga manis. Liurku benar-benar terasa pahit,” pinta gadis itu ketika Elvano mendekatinya. “Saya ambilkan ke dapur sebentar.” Hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja, pria itu sudah kembali ke kamar Arabelle dengan potongan mangga yang dia taruh dalam sebuah piring. “Apa kamu bisa menyuruh Nana ke sini? Aku butuh teman bercerita.” Elvano menikkan sebelah alisnya. “Apa kamu bercanda? Keadaanmu sedang sakit, nanti saja berceritanya.” “Aku bosan sendirian, tanpa teman bercerita.” “Ajak Mimi saja. Dia bisa mencari teman bercerita yang baik.” “Aku maunya Nana!” Elvano mendengkus. “Kenapa keras kepala sekali? Sakit saja masih saja membuatku marah,” cibir pria itu terdengar kesal. “Biar saja! Lagipula kamu yang membuatku sakit seperti ini. Tidak perlu banyak bicara, cepat suruh orang bertubuh besarmu itu untuk menjemput temanku di rumahnya.” Dengan perasaan geramnya, Elvano melangkah meninggalkan kamar Arabelle.                                                                                                     **** Marahnya Arabelle pada Elvano perlahan menguap ketika Natalia memasuki kamarnya. Sedari tadi sore dia meminta Elvano untuk menjemput Natalia, tetapi baru malam temannya itu sampai. “Kenapa wajah lo macam kayak gitu?” tanya Natalia ketika sudah mengambil tempat di sebelah Arabelle. Kedua gadis itu sama-sama duduk bersandar pada kepala ranjang. “Pria tua bangka itu baru jemput lo jam segini?” Natalia mengangguk. Arabelle mendengkus kesal. “Padahal gue udah nyuruh dia dari tadi sore, ngeselin gak tuh!” Natalia terkekeh mendengarnya. “Gitu aja pake marah. Santai kali. Gue tadi sore juga lagi gak ada di rumah, ada acara di rumah tante gue.” Arabelle mengangguk saja mengiyakannya. “Ngomong-ngomong, lo kok bisa sakit? Bukannya kemarin siang lo baik-baik aja?” tanya Natalia kemudian, dia memang terkejut dan heran mendengar kabar Arabelle yang katanya sedang jatuh sakit. “Siapa lagi penyebabnya kalau gak si tua bangka itu?! Dia bakar bunga dan boneka pemberian Kak Aldo kemarin. Kesel banget gue.” “Dan lo nangis sepanjang malam, sampai demam?” Arabelle menaikkan bahunya. “Gue gak sadar berapa lama gue nangis. Dan tiba-tiba aja gak sadarkan diri sampai pagi. Pas bangun, kepala gue sudah berat kayak ketiban batu besar.” Natalia menggelengkan kepalanya. “Lo emang beneran masih cinta banget sama Kak Aldo?” “Iyalah! Cinta pertama gue dia, Na!” “Apa sih kurangnya om El, padahal dia bisa memberi lo apapun yang lo mau. Bahkan menurut gue dia bakar bunga dan boneka lo, bisa dia ganti dengan harga yang lebih mahal dan berkali-kali lipat lebih banyak.” Arabelle mendesis. Kenapa sahabatnya itu seperti begitu mengagumi sosok suaminya? Kenapa semua orang seperti menyukai seorang Elvano, yang padahal sangat-sangat menyebalkan! “Berhenti membicarakanya. Gue gak mood denger nama dia!” decak dan desis Arabelle. “Ngomong-ngomong, Rival kok gak lo ajak sekalian ke sini?” “Lo gila? Mau ngajak Rival ke sini? Ya, gak bakal diizinin masuk sama om El lah, ngaco lo!” “Diizinin kalau gue yang maksa. Dia mana berani ngebantah gue.” Natalia memutar bola matanya jengah. Obrolan mereka terhenti beberapa saat ketika Mimi datang membawakan dua gelas jus dan beberapa macam buah untuk teman ngobrol. Mata Natalia berbinar melihat jeruk. “Enak banget, ya, Ra, idup lo! Gue kalau disuruh ngegantiin posisi lo, gak bakal nolak dan berpikir dua kali. Langsung mau gue!” “Terserah lo! Gue paham sama diri lo yang emang suka banget sama om-om kayak Elvano. Gak heran lagi gue.” Natalia tergelak. “Manis banget ni jeruk, beli di mana?” “Serius lo nanya ke gue? Ya mana gue tau, semua makanan yang ada di rumah ini, gue gak tau belinya di mana.” “Eskrim ada gak, Ra?” tanya Natalia kemudian. Gadis penyuka es krim itu tak bisa puasa memakan makanan yang satu itu dalam sehari. Arabelle mengangguk. “Tuh ambil sendiri dalam kulkas gue, ada beberapa kali kalo gak salah.” Natalia bangkit dari tempat tidur Arabelle, kemudian mengambil eskrim dari lemari pendingin yang tertempel di dinding kamar gadis itu. Lemari pendingin khusus untuk cemilan. “Menurut lo gue kurusan, Na?” tanya Arabelle sambil mengukur pergelangan tangannya. “Iya deh kayaknya, Ra, lebih kurus dari minggu lalu.” “Gara-gara om tua bangka itu gue jadi kurus kering begini. Apa-apa selalu dibatasi, dan buat gue merajuk dengan mengatakan mogok makan.” “Yang nyuruh lo mogok makan siapa? Lo aja yang bego banget, ih! Makanan banyak banget di sini, tapi lo malah kurusan. Salah siapa sekarang?” Arabelle mengangkat tangannya berniat ingin memukul Natalia, namun diurungknnya. “Sekali lagi lo nyalahin gue, angkat kaki dari sini.” Natalia menunjukkan peace. “Bercanda ah. Gitu aja marah. Ngomong-ngomong, wajah lo pucet amat. Udah minum obat lo?” Arabelle menggeleng. “Nanti sebelum tidur.” “Lo tau gak, kata Rival kemarin sore ... dia liat Kak Aldo jalan sama cewek.” Mata Arabelle membulat sempurna. “Bercanda ya lo? Orang kemarin sore gue masih jalan sama dia.” “Sore banget, hampir malam katanya. Dia ketemu di simpang empat, lagi beli es kelapa katanya. Gue sih mau gak percaya, tapi Rival ngomongnya serius banget. Lo tau kan dia suka sama lo, jadi dia gak mau aja lo sakit hati gara-gara Kak Aldo.” Arabelle terdiam, memikirkan perkatanyaan Natalia. “Gue sulit percaya.” Natalia mengangkat bahu. “Inget pesan gue, lo boleh sayang sama Kak Aldo, tapi logika tetap lo pakai, ya. Biar sakitnya gak terlalu dalam. Lo tahu sendiri kan nyobatin hati yang terluka lebih rumit daripada mecahin soal fisika.” “Sebenarnya gue gak mau bilang ini ke elu, tapi gue juga gak tega lo disakitin nantinya. Saran gue, berhati-hati aja. Kalau sayang, yang sekedarnya aja.” Natalia menyunggingkan senyumnya. “Gue sama Rival gak mungkin diam aja seandainya Kak Aldo berani nyakitin lo.” Arabelle terdiam. “Iya, Na. Thanks, ya.”                                                                                                        ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD