E and A | 6

2632 Words
PART 6   Elvano melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah menunjukkan pukul lima sore, tetapi Arabelle belum saja siap dengan segalanya. Mandi terlalu lama, mengenakan pakaian juga memerlukan waktu yang cukup panjang, sekarang apalagi? Memilih sepatu pun membuat Elvano kesal. “Pakai barang-barangmu seperlunya saja, tidak perlu berlebihan. Kita hanya akan pergi ke taman, tidak ke luar negeri. Ribet sekali!” Arabelle mengerucutkan bibirnya, dia hanya bingung memilih sepatu agar terlihat bagus dengan pakaian yang dia kenakan hari ini. “Menurutmu aku bagus memakai sepatu hitam, putih, atau pink?” tanyanya sambil memperlihatkan tiga sepatu yang berhasil menjadi kebingungannya tersebut. Elvano menaikkan sebelah alisnya, dia menjawab cepat sekenanya saja. “Hitam.” “Ish! Selera kamu rendah! Aku pakai yang putih sajalah, lebih cocok dengan pakaianku.” Elvano memijat pelipisnya. “Terserah kamu saja! Kalau akhirnya memilih sendiri, kenapa tadi harus menanyakannya kepada saya?” Pria itu menunjukkan wajah datar, dinginnya. “Cepat kenakan sepatu putihmu itu, membuang waktu sedikit lagi saja saya akan membatalkan jalan-jalannya. Kamu benar-benar membuatku jengah sebelum bersenang-senang.” Arabelle mencibir sambil mengenakan sepatu mahalnya. “Hidupmu tuh yang terlalu monoton, membosankan. Sekali-kali ikutlah ke dalam kehidupan sepertiku, menyenangkan sekali. Tidak banyak peraturan, kebebasan adalah nomor satu.” “Hidup seperti itu tidak memiliki tujuan yang terarah, tidak semua bisa dilakukan dengan bersenang-senang. Ada masanya kita serius, melangkah sesuai arahan untuk menuju sesuatu yang lebih baik.” Arabelle sudah selesai. “Tidak perlu banyak omong, ayo pergi! Katanya gak pengen buang-buang waktu.” Lantas melangkah lebih dulu meninggalkan Elvano. “Lain kali kalo mau jalan-jalan, pakailah pakaian santai. Aku seperti sedang jalan dengan bapak-bapak kantoran. Cih!” “Duduk dengan benar dan tutup mulutmu.” Elvano membukakan pintu mobil untuk Arabelle, menyuruh gadis itu agar duduk dengan tidak banyak omong. Telinga Elvano bosan sekali mendengar ocehannya. “Di sana nanti ada sepeda gak?” tanyanya, menoleh ke arah Elvano. Sungguh, mata dan cara Arabelle menatap adalah kesukaan Elvano sebenarnya. Mata gadis itu indah sekali, dengan warna cokelat pekat. “Kenapa memangnya?” “Aku mau naik sepedalah, jalan kakikan capek.” Elvano menoleh pada Arabelle. “Makanya banyak-banyak olahraga, jangan di atas kasur mulu. J lihat sekarang, jalan sebentar saja sudah kelelahan.” “Terserahku dong! Yang suka rebahan itu aku, kenapa kamu yang repot.” Tidak ada sahutan lagi, Elvano memilih tidak menjawab lagi kalau tidak ingin berdebat kembali. Arabelle selalu begini, senang sekali membuat perdebatan dengannya. Dan satu lagi, gadis itu juga selalu ingin benar ... Elvanolah yang biasanya mengalah. Sesampainya di taman, Arabelle berdecak kaum. “Jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah, kenapa harus pakai mobil? Kenapa kita gak pakai sepeda dari rumah aja? Kan lebih seru, sambil lihat pemandangan dan merasakan angin yang lagi berhembus kencang kayak gini.” Arabelle merentangkan kedua tangannya, menikmati angin dan segarnya dari warna-warni berbagai macam bunga. “Kenapa kamu tidak memberitahuku dari kemarin-kemarin kalau di ujung komplek sini ada taman seindah ini sih?” “Saya sibuk, banyak kerjaan.” Arabelle menolehkan kepala kepada Elvano yang kini juga tengah menikmati angin dan pemandangan. “Apa hubungannya dengan pekerjaanmu?” “Kalau saya banyak kerja, saya tidak bisa ikut berkeliling denganmu kan? Kalau tidak dengan saya, kamu jangan ke sini sendirian. Bahaya!” “Cih! Akukan bukan anak kecil yang bakal kesasar kalo jalan sendiri. Aku bahkan lebih cerdas dari yang kamu pikir. Aku bisa berantem, kurang apalagi buat menjaga diri? Bahkan melayangkan satu pukulan ke wajahmu ... aku sanggup.” Sambil tertawa kecil, tidak merasa bersalah sedikitpun atas apa yang dia ucapkan barusan. “Terserahmu saja. Aku jalan ke sebelah sana. Ada bunga matahari.” Mata Arabelle berbinar. “Benarkah? Banyak? Aku mau mengambil gambar selama di sini, kamu tidak hanya pintar dalam hal berbisnis kan? Masa mengambilkan gambarku gak jago!” “Saya bisa segala hal!” “Berhenti bersikap sok hebat!” cibir Arabelle. “Oh, tunggu! Apa jalan-jalan seperti ini kedua orang besarmu akan terus mengikuti kita? Sumpah aku gak suka banget dikawal-kawal begini!” “Tidak usah banyak komentar, Ara. Nikmati saja jalan-jalanmu sore ini. Bukankah kamu hanya ingin bersenang-senang?” Arabelle mamajukan bibirnya. “Ya sudah deh. Hem ... apakah kedua orangmu gak bisa ambilkan sepeda buat kita? Aku ingin naik sepeda sambil memetik bunga, menaruhnya semua bunga petikanku dikeranjang sepeda nanti.” Elvano berbalik, menyuruh salah seorang pengawalnya mengambilkan sepeda untuk mereka berdua. Arabelle langsung bersorak girang dalam hati. “El, ambilkan gambarku ya,” pinta Arabelle pada Elvano, gadis itu memberikan kameranya kepada pria itu, kemudian berlari kecil memasuki lahan bagian tanaman bunga matahari. Bergaya sesuka hatinya, Elvano mengabadikannya dengan baik. “Bagus gak? Di kamera posisiku sudah benar gak? Pencahayaannya dapet?” “Iya, iya, bawel!” Elvano menjawab sebal. Arabelle melangkah mendekati Elvano, melihat hasil bidikannya. Senyum gadis itu mengembang sempurna. “Bagus. Aku cantik, ya?” tanyanya tanpa sadar. Elvano hanya bergumam sekenanya, malah memuji Arabelle secara terang-terangan. Padahal jauh dalam hatinya, Elvano selalu memuji apapun yang ada dalam diri Arabelle. Semua kelihatannya pas, sempurna. “Karena hari ini aku senang, boleh deh kalau kamu ingin mengambil gambar bersamaku. Ha ... kapan lagi coba bisa baikan sama aku kan?” Arabelle menaik turunkan alisnya. Elvano hanya menatap datar. Arabelle kemudian memberikan kameranya kepada pengawal Elvano, meminta pria itu mengambilkan gambar untuk mereka berdua. “Ambil gambar yang bagus. Kalau jelek, ku hukum kamu nanti!” candanya sambil tertawa geli. Pengawal tersebut hanya menggelengkan kepala kecil, kemudian menganggukinya. Elvano terkesiap ketika Arabelle menggandeng dirinya, menyandarkan kepalanya pada lengan Elvano. Yap, terlihat seperti sepasang kekasih yang begitu romantis. Ada banyak gaya yang Arabelle lakukan, Elvano mulai jengah mengikutinya. “Ish! Kok kamu datar banget gini mukanya?” tanya Arabelle kesal ketika melihat hasil foto mereka. “Banyak yang gak bagus, kamu sih pelit senyum.” “Saya jarang sekali mengambil gambar, maklumi saja.” Tidak lama setelah itu, pengawal yang tadi disuruh Elvano datang dengan membawakan dua buah sepeda. Arabelle berdecak girang. “Ayo, El ke sebelah sana lagi. Aku akan memetik beberapa bunga untuk ku bawa pulang.” Kemudian mengayuh sepedanya lebih dulu, Elvano meneriaki untuk pelan-pelan saja. Takut gadis itu jatuh. Arabelle berhenti mengayuh sepedanya di lahan yang penuh dengan bunga mawar merah, putih, dan pink. “Oh, astaga! Cantik banget ... aku mau semua bunganya!” decalnya penuh kagum. Elvano segera mencegah Arabelle yang akan memetik bunga berduri tersebut. “Hati-hati, Ara, kamu tidak lihat batang mereka berduri, bisa melukai tanganmu.” Arabelle ingat sesuatu. Dia mengambil sesuatu dari dalam tasnya, sebuah gunting dan sarung tangan. “Tara ...! Aku membawa ini buat jaga-jaga.” Elvano menggaruk leher bagian belakangnya, Arabelle bahkan jauh lebih cerdas dan banyak akal dari dugaannya. Dia saja tidak kepikiran untuk membawa semua persediaan seperti itu ketika akan ke sini tadi. “Nih buat kamu. Pake biar gak luka kan kata kamu?” Arabelle memberikan sepasang sarung tangn kepada Elvano. “Aku bawa guntingnya cuman satu, jadi kita gantian saja memetiknya.” Kali ini Elvano hanya menurutinya saja. Tidak tega melenyapkan senyum indah gadis itu. Arabelle memetik masing-masing dua tangkai bunga mawar merah, putih, dan pink, segitupun dengan Elvano. Sore itu mereka habiskan dengan bersenang-senang hingga hampir gelap. Arabelle susah sekali diajak pulang, Elvano sampai bingung mencari alasan yang mampu membuat gadis itu menurutinya. Akhirnya sebuah ide muncul di kepala, Elvano menawari 5 buah eskrim untuk Arabelle dan gadis itu luluh juga. Mereka balik ke kediaman Elvano tidak menggunakan mobil, tetapi sepeda. Arabelle menolak keras, dia ingin mengayuh sepedanya hingga tiba di rumah. Elvano lagi-lagi menurutinya saja, jujur ... lelah juga mengayuh sepeda dengan keadaan postur tubuhnya yang tinggi, kakinya terlipat membuatnya cepat penat dalam setiap kayuhan yang dilakukan.                                                                                                     **** Ketika akan makan malam, Arabelle keluar kamar. Dia melangkah menuju ruang kerja Elvano untuk menagih janjinya tadi. “El ...?” panggil Arabelle, tidak ada sahutan apapun. Arabelle membuka sedikit pintunya, memasukkan sedikit kepalanya untuk melihat ke dalam, tidak ada Elvano di meja kerjanya sana. Arabelle memutuskan untuk menuju kamar Elvano. Dia ketuk pintunya beberapa kali, tapi tidak ada jawaban. Apa Arabelle juga harus membuka pintunya dan masuk ke dalam? Cukup lama berpikir, akhirnya dengan mengumpulkan keberaniannya Arabelle memasuki kamar Elvano. Oh, astaga! Kamar pria itu lebih rapih dan sederhana daripada kamarnya. Sama luas, tetapi justru lebih terasa nyaman. Asik mengamati barang-barang Elvano, Arabelle sampai tidak menyadari kehadiran Elvano yang sudah berdiri tak jauh dari tempatnya sekarang. Arabelle memekik keras sambil menutup permukaan wajahnya dengan kedua telapak tangan. “Kenapa kamu tidak mengenakan pakaian?” pekik Arabelle keras. Elvano hanya mengenakan handuk yang dia lilitkan di pinggang. Menampakkan dengan jelas tubuh bagian atasnya, membuat telapak tangan dan kaki Arabelle tiba-tiba berkeringat dingin. “Kamu yang masuk kamar saya tanpa permisi.” “Aku sudah memanggil-manggilmu berapa kali, tapi kamu tidak menyahutnya ... jadi aku masuk saja.” Elvano manggut-manggut, mengerti. Sebelum Arabelle beranjak meninggalkannya, Elvano lebih dulu menarik tangan gadis itu secara tiba-tiba hingga menambrak d**a bidangnya yang polos tanpa sehelai benangpun. Deg, deg! Arabelle memelototkan mata, tidak dapat bergerak lagi. Tubuhnya seketika mematung dengan d**a berdebar begitu kencang. “A-apa yang m-mau kamu l-lakukan, El?” tanyanya tergagap. “Menciummu!” Cup. Tanpa bisa melakukan penolakan, Elvano lebih dulu membungkam mulut Arabelle dengan mulutnya. Melahapnya dengan ganas, tanpa memberi ampun. Ketika Arabelle akan kehabisan napas, barulah ciuman itu terlepas. Arabelle terdiam dengan mencoba mengambil napas banyak-banyak. Yang barusaja terjadi benar-benar diluar dugaannya. Mau menangis dan memberontak pun sudah tidak bisa lagi, tubuhnya melemah dengan apa yang Elvano lakukan. Jari jempol Elvano mengusap pipi bagian bawah Arabelle, tatapan mereka saling bertemu beberapa saat. Elvano dapat mendengar jelas debaran keras d**a Arabelle, seirama dengan debarannya. “Saya menyukai rasa bibirmu. Manis.” Bugh! Satu bugeman mentah mendarat pada pipi Elvano, Arabelle refleks memukul pria itu dengan begitu kencang hingga Elvano tertoleh ke arah kirinya. “A-ah! El ... a-aku ... kamu, k-kamu b******k!” Lantas mendorong tubuh Elvano agar menjauh darinya, meninggalkan kamar itu dengan cepat. Elvano? Dia hanya bisa meringis sambil mengelus bekas pukulannya. Ternyata pukulan gadis kecilnya kencang juga, lumayan berasa sakitnya. Elvano tertawa kecil, tidak masalah menerima tamparan seperti ini. Dia benar-benar tidak bisa mengendalikan diri jika terus berdekatan dengan Arabelle. Gejolak dalam dirinya benar-benar meminta sesuatu yang lebih. Usai berpakaian santainya, Elvano melangkah menuju ruang makan. Remon nampak sedikit terkejut, ujung bibir Elvano luka. “Tidak masalah! Luka ini istri kecilku yang melakukannya.” Remon melebarkan matanya. Jika saja orang lain yang melakukannya pasti sudah habis di tangan Elvano. Siapa saja yang berani melukainya, tidak akan berumur lama. Elvano bukan tandingan yang seimbang. “Mimi panggil Arabelle di kamarnya ... makan malam bersama saya.” Mimi mengangguk, lantas beranjak menuju kamar Arabelle. Tidak lama kemudian, Mimi kembali dengan memberitahukan bahwa kamar Arabelle terkunci. “Siapkan makan malam untuknya, saya yang akan mengantarkannya. Dia sedang merajuk lagi kepada saya.” “Baik, Tuan.” Secepat kilat Mimi mengambilkan makanan untuk Arabelle, kemudian memberikannya kepada Elvano dalam sebuah nampan sudah berisi segelas air putih dan juga vitamin. Elvano menyuruh Remon mengambilkan kunci cadangan kamar Arabelle di ruang kerjanya. Tanpa mengetuk pintu kamar Arabelle, Elvano langsung membuka kunciannya dan masuk ke dalam. Dia melihat sang empu kamar tengah duduk di sofa menghadap ke jendela yang terbuka, memperlihatkan bintang dan bulan di atas langit sana. “Ara, kau harus memakan makan malammu.” Arabelle tidak menyahut sama sekali, menoleh pun tidak. Elvano menarik sebuah meja ke dekat Arabelle, menaruh makanannya di sana. “Makanlah.” “Tidak. Bawa kembali makanannya, aku sudah kenyang.” Elvano menghembuskan napasnya. “Jangan berbohong kepada saya, makanlah. Saya tahu kamu lapar.” “Pergilah! Aku tidak ingin melihat wajahmu!” “Gara-gara yang tadi? Apa yang salah? Saya suami kamu, bahkan mau yang lebih dari sekedar ciuman tadi pun tidak masalah—” Arabelle menatap marah pada Elvano. “Menurut kamu saja itu! Aku tahu kamu pria dewasa yang normal, pasti menginginkannya, tapi bisakah jangan denganku?” “Lalu? Saya harus melakukannya dengan wanita lain, begitu maksud kamu?” Elvano sedikit terkejut dengan penuturan Arabelle. “T-tidak ... tidak tahu!” “Saya baru mendengarnya, seorang istri malah menyuruh suaminya bermain dengan wanita lain.” Elvano tertawa sinis. “Baiklah.” Kemudian beranjak dari tempatnya tanpa megatakan sepatah katapun lagi. Arabelle terdiam di tempatnya, merasa bersalah dan takut. Dia belum siap melayani Elvano ... tapi mendengar pria itu mengatakan ‘baiklah’ ada perasaan aneh yang menjalar ke dalam hatinya. Kenapa harus risau, bagus kalau Elvano melakukannya dengan wanita lain kan? Kenapa dia harus mencemaskan sesuatu yang bahkan tidak penting. Biarkan Elvano melakukan apa yang dia mau, dengan itu Arabelle akan bebas melakukan apa yang dia mau. Arabelle masih memiliki Aldo yang akan selalu ada dan menyayanginya. Tidak perlu mencemaskan perasaan Elvano, tidak perlu ... banget. Arabelle mengubah posisi duduknya, kemudian memakan makanannya dengan segala pikiran yang berputar di kepala. Usai makan, Arabelle meminum vitaminnya seperti biasanya. Ayolah! Tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Hidupmu akan setelah malam ini berlalu. Jangan terlalu dipikirkan, buang-buang waktu berhargamu. Arabelle mengirimkan pesan kepada Mimi untuk mengambil kembali piring kotor bekas makananya. “Nona Ara marahan lagi, ya, sama Tuan El?” “Ya, dia memang menyebalkan.” “Pantas, Tuan El melewatkan makan malamnya setelah dari kamar Nona Ara.” Arabelle sedikit terkejut, namun tidak terlalu menunjukkannya. “Biar saja! Aku tidak terlalu peduli dengannya. Mau makan atau tidak, terserah dia saja. Aku sudah terlalu pusing memikirkan jalan hidupku, gak pengin nambah dengan memikirkan pria tua bangga menyebalkan itu.” Mimi hanya mengangguk paham. “Ya sudah, kalau begitu. Nona Ara sebelum tidur jangan lupa menggosok gigi ya.” “Hmm ....” Arabelle menutup pintu kamar, lantas menguncinya dari dalam. Dia melangkah lemas ke arah kamar mandi, menggosok gigi dan membasuh wajahnya berkali-kali. Arabelle juga menggosok bibirnya agar bekas bibir Elvano tadi hilang tanpa jejak sedikitpun. Pria itu sudah dua kali menciumnya, menyebalkan sekali! “Argh! Dasar pria tua bangka menyebalkan! Aku benci kamu! Benci!” teriak Arabelle pada cermin di hadapannya. “Kenapa harus pria kaku dengan hidup membosankan sepertimu yang menjadi suamiku? Aku suka kebebasan, jalan-jalan, hal-hal baru ... dan kamu tidak sama sekali menyukai apapun yang membuatku bahagia! Kenapa kita harus berjodoh kalau di dalamnya penuh tekanan dan kesedihan kayak gini?” “Kamu tidak pernah mengerti aku, yang kamu tahu hanya memaksa dan mengaturku sesuka hatimu. Aku manusia, aku punya aturan dan tujuan hidup sendiri. Aku benci dikekang, persetan dengan segala bahaya yang kamu ucapkan. Sungguh, aku sama sekali tidak peduli dengan semua itu. Jika orang lain akan membunuhku, bunuh saja. Mungkin dengan mati aku bisa lebih bahagia kan? Aku akan bertemu bertemu kedua orangtuaku!” Arabelle mengusap air mata yang tiba-tiba mengalir membasahi pipi. Dia begitu sedih dengan keadaan seperti ini. Bersama Elvano lebih banyak air mata yang keluar daripada tercipta tawa. Kenapa semua orang di rumah ini nampak menyebalkan? Semua mau-mau saja hidup di bawah kuasa seorang Elvano! Arabelle benci itu, dia tidak suka. Sekali lagi Arabelle membasuh wadahnya, lalu membaringkan wajahnya ke kasur. Menutup seluruh tubuhnya dengan selimut, menangis sejadi-jadinya di dalam sana. Tidak tahu apa yang membuat hatinya begitu sedih malam ini, yang Arabelle tahu inya hanya ingin menangis, melegakan hati dan pikirannya. Arabelle meraih ponselnya yang berada di atas nakas mengirimkan sebuah pesan kepada sahabatnya, Natalia. Meminta agar gadis itu menjemputnya besok, berangkat kuliah bersama. Semenjak orangtuanya tiada, Arabelle benar-benar merasa sendirian dengan segala kesedihannya. Hanya Natalia tempatnya berkeluh kesah, dan Elvano pun nampak mencari cara agar keduanya berjauhan. Tidakkah hal tersebut begitu jahat? Satu pesan masuk dari Natalia. Natalia: Gue takut sama suami lo, a***y! Gak pa-pa emangnya kalau gue jemput ke sana? Arabelle: Persetan dengan dia! Natalia: Berani bener lo sama dia! Dosa lho! Arabelle: Terserah! Bawa gue pergi jauh besok, gue gak pengin pulang ke sini lagi. Besok Arabelle akan menginap saja di rumah Natalia. Ingin bebas dari seorang Elvano sehari saja. Mungkin harinya akan terasa lebih menyenangkan.                                                                                                         ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD