PART 7
Sehabis pulang kuliah, Arabelle ikut Natalia ke rumahnya untuk sekedar bercerita sambil meminum teh hangat, lalu melakukan beberapa hal yang membuat hati Arabelle membaik. Sejak kemarin malam hatinya gelisah seperti ada banyak hal yang mengganggu pikiran tetapi tidak satupun yang mampu dia temukan masalahnya.
Natalia mengajak Arabelle duduk di beranda kamarnya, menikmati secangkir teh hangat ditemani berbagai macam musik dari penyanyi terkenal luar maupun dalam negeri. Arabelle dan Natalia sama-sama menatap langit yang sudah mulai turun hujan.
Arabelle menyeruput tehnya, kemudian menaruhnya di atas meja bundar yang berada di tengah-tengah antara tempat duduknya dan tempat duduk Natalia. “Lo ingat, Na, kalau hujan turun gue teringat banyak hal. Dari yang menyenangkan sampai memilukan, semua sudah pernah gue rasakan ketika langit sedang menangis seperti ini.”
Natalia menoleh ke kanannya, di mana Arabelle duduk—beberapa saat saja sebelum akhirnya kembali menatap rintik demi rintik air hujan yang jatuh membasahi bumi yang indah tak kalah indah dari langit. “Ada banyak hal yang terjadi dalam hidup kita, ya, Ra, sampai hati dan tubuh kita kebal oleh semuanya. Mendapat sebuah rasa sakit, maupun bahagia kita udah gak kaget lagi.”
“Heem. Dulu, saat gue kecil sampai tahun kemarin hampir setiap tahun saat gue ulang tahun hujan pasti datang, tapi tetap saja papa dan mama selalu merayakannya dengan berbagai macam rencana agar gadis kesayangannya ini bahagia. Dan, ya ... itu berhasil. Gue selalu bahagia, hujanlah saksi bisu tawa gue, papa, dan mama lepas di udara.” Arabelle mengusap air mata yang tiba-tiba mengalir melalui sudut matanya. “Tapi ... hujan pula yang membuat gue mengalami kesedihan yang teramat, Na. Papa dan Mama pergi hujan juga turun, seperti tahu bahwa hari itu hati gue sedang menangis kencang. Hujan yang turun dari langit tak mampu mengalahkan hujan yang turun dari hati gue. Saking gak mau liat Papa dan Mama bersedih di sana, saat kehilangan kemarin ... air mata yang menetes melalui sudut mata gue bisa terhitung oleh jar tangan.”
Natalia yang mendengarnya pun merasakan betapa sedihnya hati Arabelle, dia juga mengeluarkan air mata. Dia tahu Arabelle sejak dulu, mereka telah berteman baik dari lama.
“Gue selalu berusaha kuat di hadapan orang lain, tapi tidak di hadapan hujan seperti ini.”
Natalia mengangguk, dia mengusap bahu Arabelle. “Melihat semua kesedihan orang lain, termasuk elu, gue selalu merasa bersyukur karena masih memiliki Bunda gue.” Bibir bergetar Natalia berusaha menyunggingkan senyum, meski air mata tak berhenti menetes. “Ayah udah ninggalin gue dan mama bahkan sebelum gue pernah memeluknya, Ra. Gue gak pernah melihat gimana Ayah tertawa, marah, atau sedih secara langsung. Yang gue tahu, Ayah selalu tersenyum lebar ... dari banyaknya foto ayah yang gue punya, dia gak pernah menampakkan wajah marah maupun sedihnya.”
Arabelle kembali mengusap air matanya, begitupun dengan Natalia. Mereka berdua adalah gadis yang kuat, ada banyak asam garam yang mereka makan sejak usia dini.
“Padahal kalau dilihat dan dirasa, kita sama-sama seperti gak ada orangtua. Bunda selalu sibuk dengan berbagaimacam pekerjaannya, lupa kalau gue juga perlu dia. Gue perlu seorang ibu, seorang teman untuk curhat dalam hal apapun, gue perlu pelukan dia saat gue sedih, sarapan bersama dan makan malam pun jarang banget, Ra. Bunda selalu keluar kota, keluar negeri. Gue selalu melakukan apapun yang gue mau sendirian. Gue merasa begitu kesepian.”
Arabelle bangkit dari kursi, menggeleng tegas tidak ingin Natalia melanjutkan ucapannya lagi. Begitu mengedihkan, dan Arabelle tidak ingin Natalianya bersedih lebih dalam. “Engga, Na, lo gak sendirian. Masih ada gue dan Rival yang selalu siap menjadi teman curhat lo. Kita gak bakal biarin lo menanggung masalah sendirian, kita semua sayang sama lo.”
Natalia menangis sambil memeluk Arabelle erat, sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. “Makasih, Ra, makasih lo udah selalu ada buat gue.”
Keduanya sama-sama saling menguatkan untuk lebih baik ke depannya. Tidak hanya hari ini kesedihan akan datang, tapi banyak hari lain lagi. Tentu saja mereka diharuskan kebal untuk melewati segala kerikil yang ada.
Ketika mulai lega, Arabelle teringat akan satu hal lagi. “Saat gue nikah sama Elvano dua bulan lalu, hujan juga turun kan, ya, Na?” Arabelle tertawa kecil untuk menutupi kesedihannya yang teramat. Natalia mengangguk, dia baru sadar akan hal itu.
“Iya, ya, Ra. Gue baru nyadar. Btw, lo kenapa tadi malam tiba-tiba minta gue jemput? Gimana reaksi Elvano lo pergi sama gue tadi pagi?”
Arabelle memberengut kesal. Teringat kejadian tadi pagi, saat Elvano mengabaikannya. “Gak bereaksi apapun, jangankan menegur natap gue aja ogah dia! Gue gak sarapan, dia gak marah. Gue pergi ke kampus tanpa orang-orangan sawahnya, gak apa-apa. Au ah! Dia marah sama gue gara-gara kejadian tadi malam.”
Satu alis Natalia terangkat, iris matanya sudah bersih oleh air mata, meski masih meninggalkan jejak tangis. “Kok, bisa? Lo gak ada habis-habis, ya, berantem mulu berdua. Jauh nanti baru kangen-kangenan.”
“Cih! Mata lo kangen! Gak sudi kangen sama orang paling resek sedunia.”
“Kenapa sih, berantem apa lagi?”
Arabelle menggigit bibir bawahnya. Masa dia harus mengatakan jika Elvano tadi malam menciumnya? Malulah!
“G-gak, gak pa-pa.” Dengan cepat Arabelle menggelengkan kepalannya, membuat Natalia mencurigai satu hal.
“Lo dah anu-anu ya masa dia?” Natalia menatap Arabelle sambil memicingkan mata—penuh selidik.
“KAGAK! Sembarangan aja lo, ya, kalau ngomong! Enggak, lah!”
Natalia mendengkus. “Gak udah nge-gas juga elah!”
“Gue ... dia, dia nyium gue masa?!” Arabelle menundukkan kepalanya. “Gue kesel. Gue bilang sama kalau dia pengen haknya, jangan sama gue, sama wanita lain aja. Gue belum siap dan gak tahu siapnya kapan. Gue takut!”
Tangan kanan Natalia mendarat di bahu Arabelle, keras. Gadis itu memukul keras, hingga sang empunya meringis sakit. “Bodoh! Kok lo sampai nyuruh begitu? Lo sama aja ngerendahin dia sebagai seorang lelaki, astaga! Kalau beneran dia sama wanita lain gimana, rela lo? Anjir, bayangin aja sana ... suami lo ena-ena sama orang lain. Lo dapat bekasan orang. Iyuh!”
Mata Arabelle melebar sempurna, meringis dalam hati. Benar juga yang Natalia katakan. “Tapi, tapikan gue gak siap. Dia nyium gue aja rakus banget, gila! Kalau aja gue gak sadar cepat, argh ...! Bisa-bisa gue mati berdiri sekarang.”
“LEBAY! Lagian coba aja sih, gak ada salahnya. Jujur nih gue, sumpah ... seorang Elvano, Ra, badannya aja tinggi, kekar, wajahnya tampan, tangannya penuh urat-urat. Oh, astaga! Pasti hebat dia di ranjang. Lo rugi kalau orang lain yang lebih dulu nyicipin dia.”
Mendengar kalimat panjang lebar Natalia hampir saja membuat Arabelle menyemburkan teh yang baru saja diseruputnya. Terlalu frontal!
“Kalimat lo difilter sedikit, bisa?! Lo pikir enak tinggal baring diri di ranjang? Hih, gue gak seram sendiri anjir!”
Natalia tertawa lepas sambil memegangi perutnya. Mimik wajah Arabelle benar-benar lucu sekali. Kelihatan sedikit memucat ketika dia membicarakan soal hubungan ranjangnya dengan Elvano. Oh, si polos Arabelle benar-benar menggemaskan sekali, pantas Elvano terpikat padanya. Arabelle cantik, sikap keras kepala dan tak tahu aturannya itulah yang Natalia yakini berhasil memuat Elvano tak bisa menolak pesonanya.
****
Usai bercerita, Arabelle menghabiskan waktu sorenya di ruang karoke bersama Natalia. Bernyanyi sambil berteriak dan tertawa, memplong akan isi hati mereka. Saat sedang duduk, mengambil jeda sebelum lagu berikutnya tiba-tiba pintu terbuka, menampilkan seorang asisten rumah tangga Natalia—mbok Ijah.
“Ada apa, Mbok Ijah?” tanya Natalia.
“Itu, Neng, ada tamu di luar.”
Natalia menaikkan sebelah alisnya. “Siapa?”
Mbok Ijah menggeleng. “Tidak tahu, Neng. Ada tiga orang, yang ngomong sama Mbok tadi memakai jas abu-abu, sedangkan dua orang di belakangnya menggunakan jas hitam. Seperti ini ... para mafia di film-film, Neng.”
Arabelle melebarkan matanya sempurna. “Elvano, Na, Elvano!” Lantas segera beranjak dari tempat duduknya, melangkah lebar keluar dari ruang karoke menuju teras rumah Natalia.
Benar saja, di sana ada Elvano, Remon, dan Tiger yang sedang berdiri tegap dengan kedua tangan Elvano dimasukkan ke dalam saku celananya.
“Kemasi semua barang, Nona Ara, kita akan pulang sekarang.” Bukan, itu bukan suara Elvano melainkan Remon. Elvano hanya menatap tajam dirinya, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Menyebalkan!
“Tidak! Aku tidak akan pulang. Aku menginap di sini.”
Elvano masih diam, hanya rahangnya yang terlihat semakin mengeras.
“Tidak bisa, Nona. Nona Ara harus pulang bersama kita. Di sini tidak aman untuk keselamatan, Nona.”
Arabelle melipat kedua tangan di depan d**a. “Persetan dengan bahay—”
Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Elvano mengangkat tubuh Arabelle seperti mengangkut karung beras. Natalia menganga tanpa sadar, membuatnya tak bisa membantu apapun meski teriakan permintaan tolong dari Arabelle terdengar jelas di telinga.
“Saya minta tolong barang-barang Nona Ara yang tertinggal,” pinta Remon kepada Natalia. Gadis yang dimintai tersebut mengangguk dan secepat kilat beranjak untuk mengemasi barang-barang Arabelle di kamarnya.
Di tempat lain, Arabelle tengah melayangkan pukulan demi pukulan pada bagian tubuh Elvano yang bisa dia jangkau. “Nyebelin!”
Elvano hanya diam, tidak melakukan perlawanan atau membalas ucapannya. Arabelle semakin jengkel saja kepadanya.
Tidak lama setelah itu Remon mengetuk pintu mobil yang Elvano tumpangi, memberikan barang Arabelle. Setelah itu Dodi melajukan mobilnya lebih dulu yang kemudian disusul oleh mobil yang hitam yang Tiger kendarai, ada Remon yang berada di sisi kirinya.
****
Elvano kembali menggendong Arabelle, membawa gadis itu ke dalam kamarnya. Elvano mendudukkan Arabelle di sebuah kursi—gadis kerapa itu sedari tadi terus mengumpatinya tanpa henti.
Elvano menatap tajam Arabelle yang masih menunjukkan wajah kesalnya.
“Aku mau ke kamarku!” Sebelum berhasil beranjak, Elvano sigap menghentikannya. Menyuruh paksa Arabelle untuk tetap pada posisi duduknya. “Mau apa lagi? Menciumku? Tak segan aku akan menambah luka di sudut bibirmu!” ancamnya tidak main-main. Emosi sudah berada di ubun-ubunnya.
“Diam!” Hanya satu kata, tetapi penuh penekanan.
“Sudah kubilangkan ... aku gak bisa memberikan hakmu sekarang, aku ... a-aku takut sekali!” Bibir Arabelle bergetar, akan menangis sekarang juga. Tangan dan kakinya juga ikut bergetar, mengeluarkan keringat dingin. Elvano membawa Arabelle ke dalam kamarnya, untuk apa kalau bukan untuk meminta haknya sekarang juga kan?
Elvano menarik gemas ujung hidung Arabelle, membuat gadis bingung. “Siapa yang akan melakukannya sekarang? Sebegitu brengseknya kah saya di mana kamu?”
Arabelle menggelengkan kepalanya, bukan seperti itu maksudnya.
“Dengarkan saya, saya tidak akan memaksakan kamu. Saya, saya akan menunggu kamu sampai siap nanti.”
Pukulan mendarat di bahu Elvano yang sedang melipat kaki di hadapannya. “Tidak bisakah kita tidak melakukannya? Aku benar-benar takut.”
Elvano tertawa, konyol. “Tentu tidak bisa. Kita pasti akan melakukannya.”
Arabelle kembali menangis, tidak peduli dianggap lemah atau apapun itu oleh Elvano. “kamu jahat memang! Aku benci kamu!”
Elvano menghembuskan napas, berdiri dari posisinya. “Bersihkan dirimu.”
Dengan cepar Arabelle menggeleng.
“Tidak akan terjadi apapun pada kita malam ini, mandilah. Sebentar lagi kita makan malam.” Arabelle akan beranjak menuju pintu keluar, Elvano kembali menahannya. “Siapa yang mengizinkanmu keluar?”
Arabelle bingung. “Kalau tidak boleh keluar, buat apa kamu menyuruhku mandi sekarang?”
“Maksud saya kamu mandinya di kamar mandi saya, bukan di kamar mandi lain.”
“TIDAK! Aku mempunyai kamar mandi sendiri di kamarku!” Arabelle menatap Elvano was-was, takut jika singa yang nampak jinak ini menerkamnya.
“Mulai sekarang kamar ini menjadi kamar kita.”
“Jangan mimpi. Aku tidak mau tidur sekamar apalagi satu ranjang denganmu!”
“Saya tidak senang ditolak, Ara, kamu senang sekali menolakku. Jadilah penurut sebentar saja.” Elvano melepaskan jas, meletakkan di keranjang kotor. “Mama tahu kita tidur beda kamar, dan dia memarahi saya.”
“L-lagian kan mama gak setiap hari di sini. Begini saja, kita akan tidur di kamar jika Mama ke sini.”
Tidak ada sahutan, Elvano sibuk melepaskan sepatunya.
“Apa kamu mendengarkanku, El? Nampak diabaikan, Arabelle berdecak sebal. Pria itu memang selalu membuatnya marah.
“Saya menolaknya. Barang-barangmu juga sudah dipindahkan ke sini, lihat saja dalam ruang pakaian sana, lebih banyak punyamu dari pada punya saya.”
Kekagetan tidak dapat Arabelle tutupi, dia menganga. Kemudian menelepon Mimi menyuruhnya segera ke kamar Elvano.
“Diam di sana manusia menyebalkan!” perintah Arabelle pada Elvano yang akan melangkah ke arahnya. Elvano tidak mendengarkan, dia malah duduk berhadapan dengannya. “Kamu, ya, benar-benar!”
“Jangan terlalu banyak mengomel, saya cium lagi kamu.” Elvano tersenyum miring, menyandarkan punggung pada tempat duduknya. Kaki kanannya terangkat, ke atas lutut kaki kiri.
Refleks Arabelle menutup bibirnya, bersamaan dengan pintu kamar yang dibuka. Mimi datang, menyelamatkannya. “Mimi! Benarkah semua barangku dipindahkan ke sini?”
Mimi menggeleng. “Hanya sebagian saja, Nona.”
“Siapa yang menguruhmu memindahkannya? Kamu tahu, aku tidak suka barang-barangku disentuh orang lain apalagi sampai dipindah-pindah!”
Mimi melirik Elvano, takut melihat kemarahan Arabelle. Elvano hanya diam, membuatnya juga ikut sebal. “Tuan El yang memerintahkan saya dan mbak yang lain, Nona Ara.”
“Pergilah ke dapur, Mimi. Siapkan makan malam, sehabis mandi saya dan Ara akan ke meja makan.”
Belum sempat Arabelle mencegah, Mimi terlebih dahulu balik kanan melangkah cepat meninggalkan kamar Elvano.
“Cepat mandi, tunggu apa lagi?” tanya Elvano sinis. Dia pusing sekali hari ini, dan Arabelle selalu menambah beban pikirannya—setiap hari.
Arabelle bergeming dengan wajah cemberut masam.
“Saya hitung sampai tiga, jika kamu tidak mau mandi juga ... saya akan seret kamu ke kamar mandi, saya yang turun tangan memandikanmu!” katanya tegas tak terbantah. Pria itu menunjukkan wajah keseriusan, keberanian Arabelle menciut seketika. Dengan menghentakkan kaki, Arabelle melangkah menuju kamar mandi dengan kesal.
“Kamu selalu mengancamku! Resek!”
Elvano memijat pelipisnya, sungguh Arabelle benar-benar pembangkang sekali. Kalau tidak dengan ancaman, keras kepalanya semakin menjadi.
****
Baru satu sendok yang masuk ke dalam mulutnya, Remon membisikkan sesuatu kepada Elvano—cukup lama dan serius, semua tidak lepas dari penglihatan Arabelle. Setelah itu Elvano bangkit, melangkah lebar menuju ruang kerja diikuti Remon.
“Apa yang sedang terjadi?” tanya Arabelle pada Tiger. Pria berbadan besar itu menggeleng, antara tidak tahu atau tidak ingin memberitahunya. Lihatkan, semua orang yang ada di rumah ini mengesalkan.
“Mimi ....” Arabelle memanggilnya dengan sedikit berteriak. “Apa yang sedang terjadi, kenapa Elvano menyudahi makan malamnya dan bergegas ke ruang kerja?” tanyanya ketika Mimi menghampiri.
Mimi mengernyit bingung. “Tidak tahu, Nona. Tugas saya di sini membantu keperluan Nona Ara, memasak, dan bersih-bersih. Kalau urusan Tuan Elvano saya tidak tahu apa-apa.”
“Aku memerintahkanmu untuk mencari tahunya. Elvano, Remon dan Tiger berkumpul di ruang kerja. Kuping apa yang mereka obrolkan.”
Mata mimi melebar, mana berani dia menguping seperti mana yang diperintahkan oleh majikan kecilnya.
“Kenapa diam, Mimi? Kamu tidak mau?”
“Bukan seperti itu, Nona Ara, hanya saja ... tidak sopan kelihatannya jika saya menguping pembicaraan Tuan rumah. Saya bisa diberi hukuman.”
Lagi-lagi soal hukuman. Mimi sama sekali tidak bisa diandalkan. “Melihatmu tidak sama sekali bisa diandalkan, aku berpikir untuk mencari asisten pribadi yang lain saja!” ambeknya, kemudian melangkah meninggalkan meja makan menuju kamar pribadinya, namun sial pintu itu terkunci. Apa Elvano benar-benar menyuruhnya tidur bersama malam ini? Argh! Arabelle akan gila sekarang juga, tidak tahan dengan sikap kekanak-kanakan Elvano.
Dengan amat terpaksa, akhirnya Arabelle memasuki kamar Elvano merebahkan diri di salah satu sofa panjang di sana. Sesekali matanya melirik ke arah tempat tidur, membayangkan dirinya dan Elvano berbaring di sana. Dengan cepat gadis itu menyadarkan diri, mengalihkan pikirannya dengan menonton sebuah acara televisi.
Sebuah berita menayangkan tentang soerang pengusaha sukses terbaik tahun kemarin. Tunggu-tunggu, apa ini ... Elvano masuk dalam tiga besar pengusaha sukses terbaik? Percaya tidak percaya, Arabelle saat ini tengah mengusap-usap matanya takut salah lihat. Wajah Elvano nampak jelas sekali di layar segi empat tersebut sambil memegangi penghargaan kemudian menyampaikan beberapa patah kata untuk ucapan terimakasih dan rasa syukurnya kepada Tuhan. Itu penayangan acara tahun kemarin, sedangkan acara yang digelar tahun ini akan segera berlangsung kembali—tiga hari lagi, di Amerika.
Amerika? Apa tahun ini Elvano akan berangkat ke sana lagi untuk menghadiri acara ini?
Arabelle mengetahui sesuatu dari acara tersebut, segera dia beranjak menuju ruang kerja Elvano—dengan langkahan lebar dan cepat. “El ...?” panggil Arabelle dari luar ruangan kerja Elvano.
Remon yang keluar, “Ada apa, Nona Ara?”
“Aku ingin bertemu Elvano.”
“Tuan sedang melakukan pekerjaan. Ada yang ingin Nona sampaikan?”
Arabelle mengangguk. “Apa kalian akan pergi ke Amerika untuk menghadiri acara yang sedang berlangsung di beberapa acara stasiun televisi saat ini? Acara itu akan berlangsung tiga hari lagi, bukan?”
Remon terdiam. Arabelle menganggap pertanyaannya tadi benar, jawabannya ‘iya’. Senyumnya kemudian merekah. “Pergi saja! Lama-lama, ya, aku akan sangat senang.” Lantas pergi meninggalkan Remon dengan kebisuannya. Jika Elvano dan beberapa orangnya akan pergi, Arabelle akan bebas. Mau pergi ke manapun tidak masalah, tidak akan ada yang melarangnya.
Akhirnya ... kebebasan sebentar lagi datang kepadanya ...!