Fatiah menghela nafas panjang, meski tidak suka akan organisasi berkedok ekskul ini, Fatiah tetap mengutamakan apa yang sudah diwajibkan untuknya. Ingat, Fatiah kan murid sami’na wa atho'na, mana mau dia membolos dan mendapat hukuman lagi—seperti hari jumat kemarin ketika Fatiah keluar kelas untuk melaksanakan salat goib di masjid, Fatiah dihukum bu Sri menulis cerpen sebanyak tiga judul yang harus terbit di majalah sekolah satu pekan ini. Beruntung dua cerpen stok lama milik Fatiah masih ada, jadi Fatiah hanya perlu menguras otak untuk satu cerpen saja.
“Ih, Iah, aku mau pulang ah. Aku belum punya stok hafalan nih,” keluh Billa dengan wajah yang sudah ditekuk sejak tadi.
“Eh, tapikan di absen, entar gimana kalo pulang, absen kita bisa kosong.”
“Inikan cuman ekskul, yang artinya cuman extra sekolah aja, kok malah jadi kek sekolah sih. Aku mah gak mau, ah, mau pulang, biarin deh kosong absennya.” Billa berdecak sebal. “Kamu mau pulang atau tetap di sini? “
“Hem, aku pulang entar aja setelah eksluk. Gak papa, kan? “
“Iya, gak papa. Kalo kamu bolos juga, entar kita gak tahu informasi. Jadi kamu tetap di sini aja. Biarkan aku aja yang pulang, aku ikhlas kok,” sahut Billa terkekeh. Gadis itu lantas menyambar tas punggungnya segera bangkit. “See you, assalamualaikum,” katanya melambaikan tangan sembari melangkah pergi.
Fatiah mengangguk. “Waalaikumsalam, hati-hati di jalan.” Yang dibalas Billa dengan cengiran lebar Billa, sebelum menghilang dari pandangan Fatiah.
“Selagi nunggu, enaknya buat cerpen aja, biar pas pulang sekolah, udah gak perlu buat lagi,” gumam Fatiah, berbalik, membuka tas mencari buku dan pulpen.
Terlalu asik dengan karangannya, Fatiah sampai-sampai tidak sadar sudah ada siswi yang mengisi bangku di sebelahnya, bahkan Fatiah juga tidak sadar bahwa kelas yang tadinya hanya ada beberapa murid kini sudah penuh. Semua bangku pun sudah di tempati murid yang kadang harus duduk bertiga karena tidak kebagian bangku.
“Selamat siang anak-anak,” sapa Bu Sri yang disambut jwaban siswa bersama-sama. “Jadi hari ini kita akan buat kelompok untuk cerdas cermat. Di sini ada 40 orang berarti bakal ada 20 kelompok. Satu kelompok ada dua orang,” kata bu Sri.
“Bu Sri bakal kuncang namanya, biar adil. Yang namanya di sebutkan, langsung buat kumpul dalam satu kelompok ya,” tambah bu Sri yang mendapat anggukan dari semua murid.
“Fatiah.” Fatiah refleks bangkit karena namanya dipanggil. “Kamu kelompok satu, sekelompok sama...” Bu Sri mengambil nama yang ada di dalam kotak kuncangan. “Haikal.”
“Haikal?” Nama yang jelas tidak asing bagi Fatiah. Nama yang akhir-akhir ini selalu ia temui. Fatiah mengangguk-ngangguk pelan, tepat setelah melihat Haikal berjalan ke arahnya. “Satu kelompok,” sapa Fatiah.
“Iya, satu kelompok,” Haikal balas tersenyum. Setelah itu keduanya fokus mendengarkan bu Sri yang sibuk membagi kelompok.
“Nah udah ada dua puluh kelompok sekarang,” kata Bu Sri. “Dari kelompok satu sampai sepuluh, itu regu pertama. Sebelas sampai dua puluh, itu regu kedua. Buat regu kedua kalian boleh pulang sekarang. Tapi regu pertama gak boleh pulang!” kata Bu Sri yang langsung dijawab sorak bahagia anak-anak kelompok sebelas sampai dua puluh. Sedangkan kelompok satu sampai sepuluh mendengus iri.
“Karena ibu mau menyeleski regu satu dulu. Jadi akan ada perlombaan cerdas cermat bahasa Indonesia. Cuman akan ada dua kelompok yang maju. Jadi setiap regu akan ada satu perwakilan. Jadi kalian bakal seleksi dadakan sekarang. Sistemnya cerdas cermat.”
“Lomba dadakan? “gumam Haikal untuk dirinya sendiri, tapi entah bagaimana sampai di telinga Fatiah yang membuat gadis itu refleks mengangguk kecil, membenarkan perkataan Haikal. Mata Haikal refleks mengikuti pergerakan Haikal. Fatiah berjalan kembali ke bangkunya, Haikal menyusul setelahnya. Semua kelompok sudah duduk rapi di bangku mereka.
“Belum belajar nih. Gimana mau lolos?” resah Haikal.
“Sama. Aku juga. Seadanya aja lah. Kalo gak lolos, gak masalah juga.” Fatiah tersenyum. “Malah lebih enak kalo gak lolos, mungkin gak perlu ekskul tiap pulang sekolah,” sambung gadis itu, lalu tersenyum kecil, membayangkan kekalahannya yang makin melebarkan senyum di wajahnya.
Haikal ikut tersenyum. “Bener juga ya. Gak masalah kalo kalah. Baru kali ini orang ikut seleksi tapi pengen kalah. Kayaknya kita doang yang gini. Coba liat yang lain, udah pada sibuk baca buku,” kata Haikal, mengedarkan pandangnya, yang langsung Fatiah ikuti.
“Biasanya yang gak belajar yang nilainya besar,” kata Fatiah lalu terkekeh. Mengubah posisi tasnya yang semula berada di belakang, menjadi di pangkuannya, lalu mengeluarkan buku bertuliskan buku bahasa Indonesia yang kebetulan ada jadwal di hari ini.
“Buka buku aja, biar keliatan sibuk,” jelasnya sebelum raut bingung Haikal yang seperti mengatakan ‘tadi katanya gak mau belajar'.
“Oh,” mulut Haikal membulat kecil, refleks mengaruk tengkuk lehernya. “Tapi aku gak bawa buku bahasa Indonesia.”
“Emang gak bawa buku lain? “
“Bawa. Buku matematika, fisik, biologi.”
“Baca aja diantar yang itu. Biar keliatan sibuk,” kata Fatiah menekan kalimat terakhirnya, diiringi tawa kecil. “Atau mau baca buku bahasa Indonesia? Baca aja.” Fatiah langsung menyerahkan bukunya pada Haikal, tanpa peduli Haikal mau atau tidak.
“Aku mau lanjutin buat cerpen aja,” gumam Fatiah, meraih pulpen yang sempat ia letakan kembali ke tasnya.
Cerpen? Singkatan itu kini terasa seperti tulisan horor bagi Haikal. Setiap ingat akan kaya itu, ingatan Haikal langsung mengajaknya melihat semua kilas balik, kisah sedih itu terjadi. Bagian paling penting dalam hidup Haikal, tapi juga paling menyakitkan baginya. Entah akan sampai kapan cerpen menjelma menjadi momok menakutkan untuknya.
“Kenapa malah bengong? Bacaannya gak menarik ya? Kamu suka baca buku atau baca komik? “tanya Fatiah beruntun tanpa sadar membuat Haikal gelagapan menjawabnya satu-satu.
“Lebih suka komik.”
“Pasti karena ada gambarnya.”
Haikal mengangguk, membenarkan.
“Kalo baca nov, cepat bosen gak? “
“Tergantung sih, kalo ceritanya seru, gak bosen.”
“Suka baca cerpen juga? “
Haika langsung menggeleng pelan, menahan gejolak yang tiba-tiba tidak nyaman di hatinya, hanya karena hal kata cerpen. “Memangnya kenapa kamu tanya itu? “
“Ehm, gak sih tanya aja, kepo,” kata Fatiah lalu tersenyum canggung.
“Kamu lagi nulis cerpen?” Menyadari pertanyaannya tadi terasa tidak ramah, Haikal mencoba membuka topik baru agar rasa canggung yang tiba-tiba menyapa, segera hilang.
Fatiah mengangguk semangat. “Ini sebenarnya hukuman sih, gara-gara kemarin pas jumat gak izin bu Sri dulu mau keluar.”
“Oh,” Haikal mengangguk, ingat akan kejadian itu. Setelahnya keduanya sama-sama hening. Haikal akhirnya terpaku membaca buku bahasa Indonesia meski tidak mengerti untuk apa yang dia baca, sedangkan Fatiah terlihat nampak lincah menggerakan pulpennya meski terkadang gadis itu terlihat mengetuk-ngetuk kecil pulpennya pertanda sedang stuck.
“Waktu belajarnya udah selesai.” Suara bu Sri mengintrupsi ruangannya sempat hening setelah bu Sri meninggalkan kelas.
“Gimana udah siap kalah?” ucap Fatiah, lalu lagi-lagi tersenyum, membayangkan kekalahnya sendiri.
“Optimis dulu dong. Siapa tahu kita memang,” sahut Haikal diplomtis.
“Eh, iya juga ya, masa langsung nyerah sih,” kata Fatiah lalu tersenyum. “Biar pun ingin kalah, kita harus mengawali segalanya dengan bissmilah.”
“Yap.”
“Pimpin doa gih,” kata Haikal, memerintah.
“Kok aku? Kan kamu cowok.” Fatiah bengong.
“Emang doa gak boleh di pimpin cewek? Kan boleh-boleh aja.” Haikal menoleh bingung. “Bahasa Arab aku jelek tahu.”
Fatiah terkekeh. Bukan karena menertawakan pengakuan Haikal, tapi karena kata ‘aku’ yang selalu tidak cocok saat Haikal menggunakannya. Fatiah sebenarnya sadar, jika Haikal tidak terbiasa menggunakan kata aku-kamu dari awal mereka berbicara dan sebenarnya Fatiah juga tidak keberatan jika Haikal memilih kosa kata gue-lo. Fatiah tidak akan merasa tidak nyaman, karena dia sudah terbiasa dengan kata ganti orang. Fatiah hanya tidak terbiasa saat dia yang harus menggunakan kata, ‘gue-lo.’
“Gak usah dipaksain kalo gak nyaman,” kata Fatiah setelah tawa pelannya reda.
Ha? Haikal bingung.
“Kata orang, orang Jakarta agak risih pake aku-kamu. Kamu juga gak?” tanya Fatiah lagi.
Haikal refleks mengaruk tengkuk kepalanya. “Sedikit sih.”
“Gak papa tahu, kalo mau pake gue-lo.”
“Emang kamu bukan orang Jakarta ya? “kini Haikal balik bertanya.
“Udah dari kecil sih di sini. Cuman papa sama mama, kan, orang jawa campuran sumatera gitu. Jadi terbiasa pake aku-kamu di rumah.”
“Oh gitu,” Haikal bergumam pelan. “Ini gak jadi mau baca doa? “
Fatiah kembali terkekeh. “Doa sendiri-sendiri aja.” Fatiah menundukkan kepalanya. “Berdoa di mulai,” intrupsinya setelah lima detik Fatiah kembali mengangkat kepalanya. “Selesai.”
Haikal mengangkat kepalanya, menyapu wajahnya sekilas dan bergumam pelan, yang samar-samar terdengar kata Aamiin. Keduanya melangkah mengikuti arahan bu Sri yang dari tadi berdiri di depan kelas. Sebagai kelompok satu, mereka menempati podium pertama.
“Sudah siap semua?” tanya bu Sri antusias Yang dijawab tak kalah antusias oleh semua kelompok— tentunya hanya kelompok satu yang tidak menjawab seantusis itu. Fatiah dan Haikal malah terkekeh pelan, padahal tidak ada yang lucu di sana.
“Siapa jadi juara?” tambah bu Sri lagi, yang makin membakar gelora semangat mereka. Kelas jadi ribut karena suara mereka yang saling sahut-menyahut mengatakan siap. Namun kali ini bu Sri tidak berang dengan suara berisik semacam ini, bu Sri malah tersenyum lebar. Sangat senang, setelah tes ombak.
“Kalo gitu, kita akan mulai lombanya.” Ruang seketika kembali senyap, terpancar senyum-senyum tidak sabar dari para kelompok, ada juga beberapa yang nampak cemas dan gugup.
“Tata tertibnya kayak biasa ya. Pas soal ditanyakan, siapa yang munculnya lebih cepat, dia yang berhak jawab pertama. Yang bisa jawab bakal dapat nilai sepuluh, tapi kalo salah jawab dapat minus lima.”
“Minus lima? “seketika semua berbisik. Jika tadi hanya terasa euforia yang mendominasi, kini mulai terasa ketegangan. Lagi-lagi hanya Fatiah dan Haikal yang nampak tidak tersentuh emosi dan euforia yang ada. Mereka tetap santai, senang dan tanpa beban.
“Bu boleh tanya ?” seorang siswi mengangkat tangannya, bu Sri mengangguk, memperbolehkan.
“Apa ada hukuman kalo banyak dapat minus? “
Bu Sri tersenyum simpul membuat Fatiah tanpa sadar melirik ke arah Haikal.
“Kabar buruk gak sih?” Haikal berdecit pelan, memandangi bu Sri yang masih mempertahankan senyum simpulnya itu.
“Asli sih ini,” Fatiah mengangguk pelan-pelan.
“Jadi buat yang gagal jadi perwakilan regu, bakal di gabung sama ekskul biologi dan fisik. Hanya itu aja,” kata bu Sri tenang. Tentunya tidak setenang wajah Haikal dan Fatiah yang langsung berubah, mengernyit ngeri.
“Itu artinya makin sering dong ekskul. Secara satu aja, sepekan dua kali. Apalagi tiga pelajaran. Bisa satu pekan penuh,” gumam Haikal, tepat sama dengan yang Fatiah pikirkan.
“Ini bahaya,” sambung Fatiah dengan nada penuh tekanan. “Ya Allah, gak jadi deh doa biar kalah.”
“Kamu lucu banget. Doa pake acara di tarik segala, emang arisan.” Haikal terkekeh pelan.
Fatiah meringgis, tersenyum malu. “ Ya pokoknya kita harus semangat menang.”
“Semangat!” ucap keduanya bersamaan, optimis menang. Tapi sepertinya doa pertama tidak lagi bisa ditarik. Doa pertama dikabulkan. Mereka kalah dengan dua puluh minus—kelompok yang paling banyak mendulang angka minus, dibabak pertama.
“Gimana nih ?” Fatiah melirik angka yang ada di meja setiap kelompok— minus yang terlihat hanya mentok di angka lima atau sepuluh.
“Masih ada babak kedua,” kata Haikal tenang. “Pilihan ganda kan?”
Fatiah mengangguk pelan.
“Kita tinggal atur strategi aja.”
“Caranya? “ Haikal sedikit mencondongkan tubuhnya, tidak terlalu dekat, atau terlalu jauh, untuk membisikan sesuatu pada Fatiah. Fatiah tersenyum, mereka akan menang sekarang.
***