XLIII

3427 Words
“Bang, Lo yakin mau masuk ke dalam?” Haikal memandangi abangnya itu, meski terlihat bak pria tegar tanpa air mata. Haikal tetap merasakan guratan kesedihan yang melanda hati abangnya itu.. “Udahlah kita pulang aja, Bang, gak usah dipaksain. Abang gak datang juga mereka gak sadar.” Fauzan menatap sengit Haikal. “Gue biasa aja sih, kenapa kamu yang repot.” “Baik aja, tapi muka sedih gitu,” cerca Haikal. Fauzan spontan langsung meraih kaca spion, untuk memastikan wajahnya sekali lagi. “Gak ada apa-apa, muka gue biasa aja,” kata Fauzan setelahnya, melempar tatapan tajam pada Haikal. “Udah buruan turun dari mobil.” “Udahlah Bang, siapa sih yang mau abang bohongin? Hati abang sendiri?” sarkas Haikal membuat Fauzan melepaskan gagang pintu mobil yang sudah hendak dia buka. “Abang patah hati, kan? Pertanyaan bodoh sih ini. Mana ada orang yang ngelamar dan di tolak gak patah hati,” ujar Haikal. “Sok dewasa lo, Dek,” cercah Fauzan. “Emang Lo bisa baca hati gue?” Haikal menoleh sebal pada abangnya itu, dia hanya berusaha untuk melindungi abangnya dari rasa sakit yang lebih besar. Melihat wanita yang didambakan duduk di pelaminan bersama, malah memilih duduk dengan pria lain. Apa itu tidak sakit? Haikal yang tidak pernah merasakan jatuh cinta pun merasa miris untuk sekedar membayangkannya saja. “Kan dari awal abang udah bilang. Abang akan mencoba, kalo di tolak ya udah. Gue akan terima dengan lapang d**a. Toh, kalo dia lebih milih pria lain, itu mutlak hak dia. Abang datang ke sini bukan buat nunjukin ke dia kalo abang fine-fine aja setelah dia nolak abang. “Abang datang ke sini, karena abang mau menunaikan janji abang, abang udah janji bakal menghormati keputusan dia. Dan datang ke sini sama aja abang menghormati keputusan dia.” “Tapi apa itu gak berlebihan, Bang? Dengan abang terima dia bolak abang aja udah cukup kok. Gak perlu segala datang ke undangan.” “Gak enak. Dari banyak undangan, dia nyamperin buat kasih undangan ke abang.” “Toh apa salahnya datang? Siapa tahu di sini ketemu jodoh.” Fauzan menarik seluas senyum di wajahnya. Sok tegar, batin Haikal mencibir. Setebal apa pun senyum yang ingin abangnya itu tampilkan, raut sedih dari sad boy yang patah hati jelas tidak bisa ditutupi. Tapi kali ini Haikal memilih untuk menghormati keinginan abangnya itu. Haikal akan berpura-pura buta akan kesedihan abangnya itu. “Buruan keluar, keburu tuh acara bubar.” “Maunya loh itu mah, Bang,” Cicit Haikal terkekeh, berjalan cepat mengimbangi langkah abangnya yang sekarang sudah berada di bagian meja tamu. Fauzan memberikan kado yang sudah tiga hari lalu ia siapkan dengan ditemani air mata yang dia tahan agar tidak jatuh saat proses pembungkusan kado. “Bang, gak isi nama tamu undangan? “ Fauzan berpikir sejenak sebelum, meraih pulpen. “Lengkap amat, Bang. Pake segala bin Lo tulis,” sebel Haikal. “Nanggung,” sahut Fauzan santai. Haikal cekikikan. “Gak jelas banget deh. Patah hati sih patah hati, tapi jangan gaje.” “Bang kalo Lo gak sanggup lambaikan tangan ya, jangan tiba-tiba pingsan.” Tanpa aba-aba, Fauzan langsung menjitak kepala Haikal. Haikal mengadu kesakitan, namun hal itu rupanya malah berhasil mengundang tawa sesungguhnya di wajah Fauzan. “Nah kalo senyum itu gitu Bang, jangan senyum kayak orang lagi nahan pup,” ledek Haikal yang masih sibuk mengusap keningnya. “Dek, gue haus tahu, ambilin gue es cream vanilla kek ke sana, dari pada Lo bacot aja.” “Ingat ya rasa vanilla, jangan yang lain.” “Ye udah jitak kepala gue, sekarang minta ambil es cream segala lagi.” Haikal mendengus tapi sebagai adik yang berbakti menghibur sang abang yang sedang patah hati, Haikal dengan ringan kaki melangkah ke stand es cream. Di tengah perjalanan, Haikal melihat beragam jajanan tradisional yang menggugah seleranya, jadilah sebelum sampai ke stand es cream, Haikal mampir ke stand mengambil beberapa makanan ringan seperti serambi, klepon, putu mayang dan kue cucur. Haikal pikir dia akan selesai dengan satu piring makanan tradisional itu, rupanya saat sampai di stand es cream, Haikal juga tergoda untuk mengambil satu cup es cream cokelat untuk dirinya dan tentunya es cream cadillac untuk sad boy kita—abang Fauzan yang sekarang tengah duduk di kursi tengah seorang diri, sesekali ia menatap ke arah panggung pelaminan dengan sorot mata nestapa yang tidak bisa disembunyikan. “Sungguh kasihan sad boy kita,” gumam Haikal menggeleng miris, mengamati abangnya sampai tidak sadar satu-satunya es cream vanilla yang sudah hendak ia ambil di atas meja telah raib di tangan orang lain. “Eh, itu es cream gue—“ Haikal tercengang polos. Sudah tidak ada guna juga memaksa mengambil es cream itu. “Bang, maaf, es cream vanillanya masih ada lagi gak, Bang?" tanya Haikal penuh harap pada pria penjaga stand es cream. Pria bertumbuh kecil itu, berpikir sejenak sebelum menggeleng, memupuskan harapan Haikal. “Yah, benaran Bang gak ada satu cup pun? “ “Kayaknya ada deh mas, di meja itu ujung itu. Tapi udah tinggal dikit terakhir saya liat, coba mas ke sana, siapa tahu masih ada.” Buru-buru Haikal berjalan cepat ke meja kecil yang letaknya paling ujung, dengan membawa sepiring jajanan ringan dan satu cup es cream. Haikal sangat kerepotan dengan bawanya itu, tapi Haikal tidak peduli. Mode tidak peduli Haikal pada penilaian orang lain sedang di nonaktif-kan. “Alhamdulillah ada juga tuh es cream.” Tinggal sejengkal lagi kaki Haikal sampai ke meja itu, lagi-lagi tangan seseorang sudah meraih cup incaran Haikal. “Eh, tunggu itu punya gue—“ henti Haikal spontan, tanpa peduli siapa pemilik tangan itu. Dibenak Haika hanya tidak ingin, perjuangannya mencari es cream gagal. “Haikal? “ Suara itu menyadarkan Haikal dari fokus utamanya—cup es cream, kini beralih pada tangan yang memegang cup itu. Fatiah tersenyum ramah, menyapa. Haikal tercekak. Merasa malu, tidak enak hati, sampai-sampai lupa balas tersenyum. Tiba-tiba seseorang menghampiri Fatiah, membisikan sesuatu, membuat wajah Fatiah pias sesaat, sebelum akhirnya Fatiah kembali mengarahkan pandangan wajahnya pada Haikal. “Kamu tadi mau ngambil es cream ini, kan?” tanyanya tanpa nada mengejek. Haikal mengangguk kaku. Sudah kepalang malu, pikir Haikal. Sekalian saja to the point. “Ini buat kamu aja,” kata Fatiah buru-buru memberi cup itu pada Haikal, kemudian dia berjalan cepat mengikuti gadis yang tadi membisikan sesuatu pada Fatiah. Fatiah sudah menghilang sebelum Haikal sempat mengatakan sepatah kata pun. Pasalnya Haikal dilanda kebingungan, harus mengucap terima kasih atau maaf. “Ya udahlah....” Haikal memutar tubuhnya, membiarkan overthinking-nya berlalu seiring langkahnya. Jika harus menunggu overthinking-nya selesai, keburu es cream vanilla ini cair. “Bang, ini es cream—“ Belum sempat merampungkan kalimatnya, Haikal menyadari kalo ternyata Fauzan nampak tertegun, ada seseorang yang berdiri di sebelah mengatakan sebuah kalimat, “Zan, Lo kan udah biasa jadi MC, plis bantu gue,” kata pria berseragam batik. “Zan, plis banget, nih MC-nya tiba-tiba ada kendala. Acara bentar lagi dimulai. Lo cover sesi pertama aja sebelum MC nya datang. Cuman sekitar lima belas menit, jadi mc di atas pelaminan, nyapa para undangan dan mempelai.” Fauzan masih tertegun. Haikal tahu alasan terbesar kenapa Fauzan tidak langsung menjawab ya, bukan lantaran dia takut menjadi MC, tapi lantaran Fauzan takut tidak sanggup menahan rasa sedihnya. “Bang, gimana kalo gue aja yang jadi MC-nya, boleh, Bang? “ Haikal mengintrupsi percakapan kedua pemuda itu. “Dan Lo....?“ Pria itu mengalihkan pandangnya pada Haikal dengan alis terangkat, bertanya. “Dia adik gue. Namanya Haikal.” “Oh adik Lo.” Pria itu kini tersenyum pada Haikal. Haikal dengan sopan membalas senyumnya. “Bang, ini es creamnya.” Haikal menyerahkan es cream vanilla yang mulai mencair pada Fauzan yang nampak tidak lagi tertarik untuk menyendokan es cream manis itu di mulutnya yang keluh. “Bang, biar gue aja yang jadi MC ya? Insyallah gue bisa kok, Bang.” Haikal kembali menawarkan diri. “Serius nih?” Pria itu tersenyum lebar, masalahnya akan segera teratasi. Haikal mengangguk yakin. “Alhamdulillah kalo gitu, terima kasih ya,” katanya. “Gue tunggu di belakang ya, sebelum naik panggung Lo bakal ganti jas dulu. Terus tenang aja, Lo gak sendirian ada partnernya juga, barang kali lima menit kalian bisa bicara dulu sebelum acara mulai.” Haikal kembali mengangguk. “Tapi Bang, gue udah telanjur ambil makanan ini. Gue makan dulu ya, lima meniran. Entar gue susul Lo ke belakang.” “Sipp-sipp, makan aja dulu. Acaranya masih agak lama, jadi santa aja. Kalo gitu gue ke belakang dulu ya...” “Iya, Bang.” Haikal refleks menghempas tubuhnya di kursi setelah pria itu pergi. “Gue kaget Lo ajuin diri. Lo yakin mau jadi MC? ” pertanyaan Fauzan langsung menohok ketenangan yang Haikal perlihatkan sendari tadi. Haikal menghela nafas panjang. “Mau gimana lagi, Bang. Sebagai adik yang baik, mana tega liat abangnya Entar nangis di atas panggung.” Fauzan tercekak, tapi berusaha tetap terlihat baik-baik saja. “Ngaco Lo!” “Jujur aja kali, Bang. Gak usah sok tegar,” cibir Haikal sembari mengunyah kelepon yang terasa manis, seharusnya Haikal bisa duduk santai menikmati aneka rasa makanan ringan, tapi setelah menawarkan diri menjadi MC, semua rasa manis di kelepon pun tidak mampu mengusir gugup di benak Haikal. “Udahlah, biar abang aja yang jadi MC. Lagian, udah tahu gak bisa sok-sokan ngajuin diri,” kata Fauzan bergerak bangkit dari kursinya. “Lagian, udah tahu gak bisa sok-sokan ngajuin diri,” ulang Haikal dengan nada mencibir. “Siapa yang gak bisa? Abang atau gue? Udahlah Bang, gak usah sok sekuat batu karang.” Haikal ikut bangkit. “Gue cuman gugup kalo naik ke atas panggung pelaminan, lah kalo Lo apa?” Fauzan terdiam. Perkataan Haikal tidak sepenuhnya salah, tapi tidak juga sepenuhnya benar. Fauzan memang sedih, tapi tidak sesedih yang ada di benak Haikal. “Oke fine, kalo Lo mau nantang diri Lo sendiri. Pokoknya sebagai abang, gue udah berusaha bantu Lo ya, jangan protes kalo ada apa-apa.” “Doain tuh yang baik kek. Ini pertama kali gue jadi MC,” gerutu Haikal. Fauzan refleks menepuk bahu Haikal, menenangkan. “Iya, gue doain semoga Lo berhasil menantang diri Lo sendiri. Makasih Lo udah berusaha bantu gue.” “Iya, sama-sama, Bang,” kata Haikal. “Tapi gak usah segala melow, ini bukan acara realita show. Simpan air matamu kisanak, entar pas udah ijab qobul,” goda Haikal, cepat-cepat kabur sebelum Fauzan menghadiahkan dirinya jitakan aduhai. “Dasar adik kurang ajar,” umpat Fauzan yang samar-samar terdengar di telinga Haikal yang sudah berjarak dari abangnya itu. Membayangkan wajah kesal abangnya, membuat Haikal tanpa sadar terus tertawa kecil bahkan ketika sampai di belakang panggung. “Kal, ini jasnya, buruan Lo pake ya, bentar lagi acar mulai,” kata pria yang Haikal temui di meja tadi. “Iya, Bang.” Setelah selesai dengan setelan jas , Haikal diberi kertas susunan acara. “Nah, itu orang yang bakal jadi partner Lo. Kalian bisa saling sapa dulu biar gak canggung pas di panggung.” Haikal mengangguk setuju. Baru selangkah bergerak, orang yang Haikal tuju, sudah berbalik. “Haikal,” katanya lagi. Haikal mengerjap, ternyata partnernya, tidak lain Fatiah. “Kamu jadi MC juga?” tanya Fatiah, setelah keduanya sudah berada di sebelahan. “Partner MC?” Haikal memandangi sekilas dirinya yang menggunakan jas dan tidak lupa catatan di tangannya yang sama dengan yang Fatiah pegang. “Sama?” Fatiah mengangguk pelan. “Sama,” katanya. “Dan aku sebenarnya gak pernah jadi MC, ini pengalaman pertama. So...” “Gu—“ Haikal berdeham pelan, hampir keceplosan bilang gue. “Sama. Aku juga.” “Pertama jadi MC?” tanya Fatiah dengan nada setengah kaget, nyaris tidak percaya. “Iya, ya, gimana, ceritanya panjang kenapa aku bisa terdampar di sini.” Fatiah terkekeh, teringat kisahnya sendiri kenapa bisa berada di sini. Yap, karena Rani. Rani yang tengah patah hati, secara mengejutkan, tiba-tiba diminta menjadi MC dadakan menggantikan MC yang tengah dalam kendala. Rani yang tidak kuat sekedar menatap pelaminan saja, diminta naik ke atas pelaminan. Mana bisa. Tapi gadis berdarah sunda itu, menyangkalnya. Rani ingin terlihat baik-baik saja. Tawaran menjadi MC ajang yang baik untuk menunjukan bahwa dia sudah move on, tapi yang terjadi malah sebaliknya. Baru latihan naik panggung dua menit, Rani tiba-tiba pingsan. Saat Fatiah tanya alasannya kenapa pingsan, Rani mengatakan yang sejujurnya, bahwa saat melihat seseorang yang dulu sangat ia harapkan berdampingan dengan wanita lain, terasa seperti ada godam yang memenuhi hatinya terasa sesak dan berujung dia pingsan. Sungguh miris. Fatiah yang tidak tega setelah mengetahui alasan asli kenapa Rani pingsan, akhirnya memberanikan diri untuk menggantikan Rani sebagai MC. Dan di sinilah Fatiah terdampar sekarang. “Bentar lagi mulai nih, udah siap?” tanya Haikal, menyadarkan Fatiah dari lamunannya. “Wallahualam,” kata Fatiah spontan. Haikal terkekeh. “Siap gak siap, harus siap. Jadi siap, siapin aja, kan.” “Yap, bener banget. Yang penting gak usah gugup,” timpal Haikal. “Cara ngilangi gugupnya? “ Haikal berdeham pelan. “Ada dua cara, mau cara kuno atau cara kontemporer? Mau pilih yang mana? “ “Dua-duanya boleh?” “Hem, boleh sih. Kalo cara kuno, biar gak gugup anggap semua orang itu gak ada. Jadi kayak ngomong sama ruangan kosong aja, ini sedikit ampuh biar mengatasi gugup,” kata Haikal. “Cara kontemporernya, angkat kepala kita, liat ssemua orang dari seluruh penjuru ruangan. Liat mereka semua gak perlu takut, dengan memperhatikan situasi semua orang, kita jadi punya gambaran tentang situasi di sini, dan ini lumayan ampuh buat mengusir gugup.” “Tips yang bagus. Boleh dipake dua-duanya?” “Yap boleh,” kata Haikal. Haikal melirik arloji yang melilit di pergelangan tangan kirinya. “Tapi aku gak tahu itu ampuh atau gak, karena sejujurnya aku tetap gugup meski sudah punya tips itu.” “Gugup dikali gugup sama dengan percaya diri,” sahut Fatiah. Haikal menoleh bingung, teori apa itu? Menyadari kebingungan Haikal, Fatiah tersenyum kecil. “Iya, itu sama kayak teori matematika. Min bertemu min, jadi positif. Iya, kan?” Oh ya...Haikal manggut-manggut, teori yang setidaknya mampu menghiburnya dalam kegugupan ini. “Intinya kita tetap santai aja,” tambah Fatiah yang langsung Haikal jawab dengan anggukan mantap. Bissmilah... Keduanya melangkah naik ke atas pelaminan bersamaan, saling percaya bahwa mereka akan bisa mengatasi semua ini. Dan mereka berhasil. Teoru gugup dikali gugup sama dengan percaya diri, itu benar-benar berhasil. Acara berjalan sangat lancar, keduanya saling melengkapi satu sama lain sebagai partner yang baik, yang awalnya hanya menjadi MC sementara selagi menunggu MC asli datang, alhasil keduanya menjadi MC sampai acara selesai. Kemistri keduanya teras segr di panggung, membuat semua tamu undangan terbuai dan langsung suka pada mereka. “Makasih banget ya Haikal, Lo udah mau nolong gue,” kata Tio—Haikal baru mengetahui nama pria yang meminta abangnya menjadi MC dari nametag yang tergantung di lehernya. “Iya, sama-sama, Bang.” “Oh iya, ini buat kalian.” Tio memberikan dua buah amplop pada Haikal, Haikal tidak terlalu naif untuk berpura-pura tidak tahu isi di dalam amplop itu. “Udah gak perlu sungkan. Ini memang hak Lo. Dan Oh iya, sekalian ya gue minta tolong titip amplop buat partner Lo tadi, soalnya gue lagi buru-buru banget,” tambah Tio sebelum melangkah pergi meninggalkan Haikal. “Dek,” panggil Fauzan. “Eh, Bang.” Haikal tersenyum, memainkan alasnya naik turun. “Gimana gue tadi, Bang?” “Bagus pake banget.” Haikal terkekeh, geli sendiri mendengar pujian dari seseorang yang lebih suka mengkritik. “Udah selesai, kan? Pulang sekarang?” tanya Fauzan. “Kenapa, Bang?” tanya Haikal, jahil. “Udah gak kuat? Mau pingsan dulu, kan?” Fauzan menatap sengit Haikal. Haikal terkekeh. “Bentar Bang, gue mau kasih amplop ini dulu ke partner tadi.” “Partner ?” Fauzan mengulangi perkataan Haikal sembari mengulas senyum, senyum yang menggambarkan diakan mulai menggoda Haikal dengan kata-kata itu. “Beda ya, yang udah punya partner... “ Tuhkan benar. “Udah ah bang, gue mau cari tuh orang dulu.” Haikal memutar bola matanya, melangkah cepat meninggalkan Fauzan. “Cie...gak nyangka deh, ternyata Lo udah besar. Udah punya partner,” pekik Fauzan yang sukses membuat Haikal malu. Dasar abang gak ada akhlak, batin Haikal, makin mempercepat langkahnya mencari Fatiah, setelah berputar-putar mencari akhirnya Haikal menemui Fatiah duduk di dekat meja stand es cream. “Hai...” sapa Fatiah, menyadari kehadiran Haikal. “Ternyata kamu di sini,” kata Haikal. “Dari tadi di cariin, soalnya ada titipan ini buat kamu.” Haikal menyodorkan amplop di hadapan Fatiah. Fatiah terdiam sejenak, sebelum tersenyum kecil. “Minum sambil menyelam,” kata Haikal, sembari menggerakkan amplop berwarna putih itu. “Ini punya kamu.” Fatiah tersenyum, meraih amplop tersebut. “Alhamdulillah, buat bayar.. “ “Kacamata,” sahut Haikal, menyambung kalimat Fatiah. Fatiah tercekak kaget, karena Haikal bisa menebak pikirannya dengan benar. Setelahnya Fatiah baru bisa berbaur ikut tertawa bersama Haikal. Keduanya tertawa lepas, satu beban di pundak mereka akhirnya bisa segera hilang. “Jadi, masih tetap ngajar?” tanya Fatiah tiba-tiba. Haikal terdiam sesaat, dia juga tidak memikirkan langkah yang ingin dia lakukan setelah mendapat uang dan melunaskan kacamata kak Bagus. Lanjut mengajar atau berhenti begitu saja. “Hem....” Haikal tanpa sadar, menimbang-nimbang amplop yang ada di tangannya pertanda dia sedang bingung tentang pilihannya sendiri. Tujuan awal mengajar ngaji memang hanya untuk mendapat uang, tapi apa pantas dia keluar begitu saja setelah mendapat uang? Haika tidak tega hati, anak-anak itu selalu bersemangat untuk belajar mengaji. Haikal tidak akan sanggup untuk berpaling dari semangat mereka dan keluar begitu saja. Mungkin ini juga cara Allah untuk membuat Haikal menjalani tapak ini. Musibah kemarin mengantarkan Haikal pada hal yang bisa membuatnya menjadi manusia seutuhnya, manusia yang berguna bagi manusia lain. So .. “Tetap,” jawab Haikal. “Dan kamu? “ Fatiah tersenyum. “Sama. Ini sebenarnya cita-cita aku udah lama banget. Dan baru terwujud setelah musibah kacamata itu. Sebelumnya emang tertarik buat ngajar tapi selalu ragu, alhasil gak jadi-jadi. Dan setelah musibah kemarin, baru yakin buat ambil langkah besar ini.” “Bagus kalo gitu. Semoga kita bisa jadi rekan mengajar yang baik kayak tadi.” Fatiah mengangguk pelan. “Ya, in syaa Allah.” “Dek.” Mendengar suara itu, rasanya oksigen di sekitar Haikal mendadak lenyap. Haikal seperti ikan yang kekurangan air, hawa buruk terasa memenuhi benak Haikal. Duh bang Fauzan, bisa habis ini dibikin malu, batin Haikal sudah mewanti-wanti. Haikal melirik Fatiah, yang menoleh terpanggil oleh suara Fauzan. Gawat ini! Haikal meringgis. “Kakak kamu ya?” tanya Fatiah, memperhatikan Fauzan yang berjalan ke arah mereka. Haikal makin panik, setelah melihat senyum jahil muncul di wajah abangnya itu. “Eh, itu, aku, dulu—“ “Dek, abang cariin dari tadi ternyata di sini,” Fauzan melempar senyum ramah pada Fatiah. Fatiah balas tersenyum sopan. “Bang, mau pulang, kan ? Ayo pulang sekarang,” ajak Haikal cepat. Hawa jahil abangnya itu makin terasa jelas, terlebih saat Fauzan mulai memainkan alasnya naik turun, menggoda Haikal. Bang plis, jangan macem-macem! Batin Haikal mencibir. Dan itu menjadi hal paling lucu bagi Fauzan. “Dek, Udah ketemu partner ?” bisik Fauzan. “Bang...” Haikal melotot kesal. “Santai dong, Dek. Tadi kamu bilang partner, kok sekarang malu,” bisik Fauzan sembari mengerlip matanya, menggoda Haikal. Haikal keki. “Fatiah, udah semua, kan? Pulang yuk.” Suara seorang gadis mengintrupsi percakapan Haikal dan Fauzan. Terlihat Fatiah yang sedang berbicara dengan seorang gadis menggunakan gamis cream dengan jilbab yang hampir senada namun lebih soft. “Tapi mbak udah enak, kan badannya?” “Iya udah, Iah. Yuk pulang. Keburu sore entar susah nyari angkot, pasti pada penuh semua.” “Eh, iya, mbak. Bentar aku pamit sama temanku dulu,” kata Fatiah, sebelum tiba-tiba menoleh ke arah Haikal dan Fauzan. “Kal, aku pulang duluan ya.” “Fauzan? “ kata Rani terang nampak ragu, begitu melihat Fauzan berdiri di sebelah Haikal. Fauzan tersenyum, mengenali siapa Rani, meski tidak sampai ingat namanya dengan jelas. Fauzan mengenali Rani karena Rani sahabat dari dia nama yang sering Fauzan sebut dalam doanya, yang kini sudah memilih tangan orang lain untuk melangkah bersama, memilih bahu orang lain untuk bersandar, memilih hati orang lain sebagai tempat untuk pulang. Yap. Fauzan mengenal gadis berperawakan kecil dengan senyum ramahnya itu. “Mau pulang, sekarang?” tanya Fauzan. “Iya, mau pulang, takut ke malaman,” sahut Rani. “Kalo gak keberatan, biar kita antar aja. Kebetulan kita juga mau pulang,” tambah Fauzan. “Eh, gak ngerepotin nih? “ “Gak kok, satu arah juga.” Rani menoleh pada Fatiah, alisnya terangkat, menanyakan pendapat Fatiah. “Makasih sebelumnya, Bang. Gak usah repot-repot, kita naik angkot aja,” sahut Fatiah setelah terdiam beberapa saat. “Gak repot kok. Lagian jam segini emang susah cari angkot, rata-rata Udah pada penuh,” tawar Fauzan lagi. Rani menggigit bawah bibirnya, nampak tidak enak menolak lagi, begitu pun Fatiah yang bingung harus menjawab apa. “Iah, gak masalah, kan, kita nebeng aja?” cicit Rani pelan. Fatiah menimbang sesaat, memikirkan sepertinya tawaran itu tidaklah buruk. Mereka berempat di dalam mobil. Haikal di depan bersama Fauzan. Rani dan dirinya duduk di jok belakang. “Iya, mbak.” Rani tersenyum, menerima ajakan Fauzan. Sepanjang perjalanan mereka tidak banyak saling interaksi, hanya ada beberapa pertanyaan yang mengudara antara Fauzan dan Rani mengenai letak asrama, sistem asrama di mahad atau tentang mahad utama dan selebihnya tidak ada percakapan apa pun. Mereka sibuk dengan fokusnya masing-masing. Fauzan sibuk menyetir, fokus pada jalan yang mulai macet, Haikal fokus mengistirahatkan tubuhnya yang kelelahan, terlelap di bangku depan sebelah Fauzan. Fatiah fokus menikmati sembari pemandangan jalan yang hendak berganti corak dari redup sepeninggal matahari, menjadi terang lampu. Sedangkan Rani, dia tidak melakukan apa pun dan hanya duduk menunduk di posisinya, tapi sesekali gadis berdarah sunda itu mengangkat kepalanya malu-malu, mencuri pandang ke arah Fauzan yang tepat berada di depannya. Ada yang sudah move on nih... batin Fatiah, saat tanpa sengaja menangkap basah Rani yang tengah tersenyum kecil setelah melirik kecil ke arah Fauzan, dari pantulan kaca depan mobil. “Mbak, mau di bantuin taaruf gak?” cicit Fatiah pelan. “Aku bantu deh...” kekehnya yang sukses membuat Rani bersemu merah dan membuang pandangan ke luar jendela. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD