Ponsel Fatiah berdering nyaring. Fatiah mengerjap, terpental dari mimpinya karena suara benda pipih di sampingnya.
“Assalamualaikum...” ucap Fatiah parau, mata gadis itu melirik jam yang tergantung di dinding yang berada jauh di depannya. Pukul dua belas malam. Siapa nih malam-malam gini telepon. Fatiah berdecak, bagaimana bisa dia sangat ceroboh tidak mengecek terlebih dulu siapa yang menelepon. Fatiah hendak membalik ponselnya, tapi pergerakannya terhenti setelah mendengar jawaban salam dari seberang sana.
“Kak...” suara Fatiah tercekak.
“Memang buah tidak akan pernah jatuh jauh dari pohonnya,” sahut suara wanita dari seberapa sana, bersemangat, mengabaikan suara Fatiah yang tidak terdengar seperti biasanya.
Fatiah kembali melirik jam di dinding, mendadak rasa kantuknya menghilang. “Apa ada hal penting—” Fatiah berdeham pelan. “Kak? “
“Ah iya, sangking bersemangatnya jadi lupa mau ngucapin congratulations...”
“Congrats?” Fatiah membeo. “Memangnya ada apa? “tanya Fatiah lagi, seingatnya tidak ada hal istimewa yang dia lakukan sepanjang hari, ah, iya, kecuali tentang seleksi lomba itu mungkin itu yang dimaksud.
Fatiah mengangguk-ngangguk setelah membenarkan analisisnya. Hanya satu hal yang masih menganjal di benaknya, apa berita itu sevira itu, sampai-sampai semua orang tahu.
“Ah, itu, iya, makasih.. Kak,” kata Fatiah refleks menggaruk tengkuk kepalanya, mencoba tidak terdengar aneh saat menyebut kata kak.
“Kamu hebat deh.”
Hebat? Itu hanya lomba kecil.
“Gak sehebat, kakak,” sahut Fatiah entah kenapa malah terdengar datar, membuat gadis di seberang sana terdiam sejenak.
“Emang apa yang hebat dari kakak? Kamu bisa memilih apa yang kamu mau, dan juga bisa seperti ini.”
Seperti ini? Maksudnya?
“Kakak juga bisa milih kok, cuman kakak aja gak mau milih.” Lagi perkataan Fatiah, membuat gadis di seberang sana terdiam panjang. Fatiah menunggu keterdiaman itu, sampai suara kembali menyapanya, setelah dua kali menghela nafas panjang.
“Kamu kok bilangnya gitu, Dek? “ katanya pelan.
“Hem, maaf, Kak.” Fatiah menunduk, refleks memainkan jari-jemarinya.
“Kamu masih marah ya, karena kakak, mama dan papa gak datang pas eyang—“
Ah, luka itu lagi!
“Gak kak, udah lewat juga.” Fatiah berusaha sebaik mungkin menahan suaranya yang mulai goyah.
“Kakak, mama, sama papa gak bisa datang, ya, karena kamu tahu kan, akhir bulan-bulan ini tuh penuh banget, kita jadi—“
“Sangat sibuk!” sambung Fatiah, tajam. “Kakak pernah mikir gak sih, gimana perasaan eyang ? Selama sakit gak pernah dikunjungi, boro-boro dirawat. Dan bahkan pas meninggal aja gak bisa datang karena sibuk! Sebenarnya kalian itu dihidupi manusia atau uang sih?” sarkas Fatiah, yang tidak mampu lagi membendung rasa kecewanya yang sudah lama menggunduk besar.
Hening. Fatiah tidak mendengar sahutan apa pun dari seberang sana. Fatiah mengatur nafasnya yang mulai berantakan karena emosi yang memuncak. Di seberang sana samar-samar, Fatiah mendengar suara tangis pelan. Fatiah mendesah panjang, kenapa baru sekarang kakaknya ini menangis?!
“Dek, udah dulu ya, hem, udah malam. Mama bisa marah kalo tahu kakak begadang,” ucapnya tidak semulus tadi, terdengar agak terbata-bata, sembari mengatur nafas yang terengah-engah.
“Iya,” jawab Fatiah singkat.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Kak, salam ke mama sama papa. Maaf,” kata Fatiah, pelan, didetik-detik sebelum mematikan panggilan telepon secara sepihak.
Fatiah mendesah pelan, kembali menjatuhkan dirinya di kasur. Pikirannya tidak setenang tadi untuk bisa kembali tidur. Entah kenapa kepalanya berdenyut nyeri, pikirannya juga melayang-layang tidak tentu arah.
Ya Rabb, kemarahan itu lagi.... desahnya pelan, Fatiah menutup rapat-rapat matanya, mulutnya bergerak kecil, seiring gerakan tangannya yang bergerak naik-turun seumpama orang yang tengah menghitung. Dalam keadaan seperti hanya dzikir dan mengingat Allah lah yang bis membuat jiwa Fatiah kembali tenang. Tidak terasa, gadis pun akhirnya tertidur pulas, di akhir malamnya. Sampai suara subuh mengantarkan ruhnya kembali ke jasad.
“Ya Allah, bablas gak salat tahajud. Padahal tadi malam udah kebangun,” gumam Fatiah, “Tahu-tahu udah subuh aja.” Fatiah langsung mengubah posisinya menjadi duduk, ketika suara azan makin jelas menyapa indra pendengarnya.
“Eh di grup akhwat ada apa sih? Kok rame banget dari tadi malam? “ tanya Lail yang baru saja mengantup mulutnya setelah menguap lebar dari tidurnya, sembari memperhatikan Billa yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan wajah basah. Gadis itu meraih ponselnya.
“Gak tahu, belum cek. Ponsel aku lowbet, makanya baru di cas ” sahut Billa, yang kini beranjak mengambil mukena.
“Udah bangun dari tadi emang Bil?” tanya Fatiah yang mulai beranjak bangkit dari kasurnya.
“Iya udah dari jam tiga tadi.”
“Oh.” Fatiah mengangguk-ngangguk kecil. Fatiah sudah berjalan ke kamar mandi. Satu langkah lagi, Fatiah masuk, Lail mendengus kaget menatap ponselnya, di tambah mata membulat telur dengan mulut setengah terbuka, mengurungkan niat Fatiah melanjutkan langkahnya dan malah berbalik mendekati Lail.
“Kenapa wehh? “serga Rani yang baru saja terbangun.
“Itu loh, ternyata di grup akhwat rame dari semalam karena...” Lail mengantung kalimatnya dan malah menatap Fatiah.
“Karena apa?” tanya Billa yang sudah sangat penasaran.
Rani yang sudah pulih sadar, langsung membuka ponselnya. Berbeda dari Lail, Rani malah tersenyum sumringah. “Jadi gimana rasanya jadi selebgram sekarang?” Rani menatap Fatiah. Dahi Fatiah mengernyit, tanpa sadar menunjukkan dirinya sendiri.
“Selebgram siapa? Aku, Mbak? “tanya Fatiah, masih belum paham.
“”Udah lima ratus ribu aja.” Lail berdecak kagum. “Dalam semalam loh ini.”
“Apa sih Lail? “ Billa mendekatkan dirinya pada Lail begitu pun Fatiah.
Fatiah memicingkan matanya begitu melihat layar ponsel Lail yang menampilkan tangkapan layar dari sebuah akun i********:. Terasa sangat familiar bagi Fatiah. Mulai dari foto profil kucing abu-abu, deskripsi singkat, sorotan, dan wall yang dipenuhi gambar kucing dan keras kosong.
“Ini kayak akun... “ Fatiah mengerjap, memandangi Lail dan Billa bergantian. Hanya satu yang tidak mirip seperti akunnya, followers yang mencapai lima ratus ribu orang.
“Akun kamu,” sahut Billa, Fatiah ternganga.
“Gak mungkin followers nya sebanyak itu. Seingat aku cuman ada lima puluh orang, itu pun mentok dari tahun lalu.” Fatiah menggeleng-geleng, lalu terkekeh. “Kebetulan sama aja kali,” katanya sekarang sembari mengibas rambutnya yang ternyata lupa ia kuncir.
“Ih, itu akun kamu tahu, Iah.” Billa bersikeras. “Tuh liat, nama akunnya aja Fatiahss...”
“Nama Fatiah banyak kali, Bil.” Fatiah tersenyum simpul.
“Ya aku tahu, tapi aku gak ingat ada follow selebgram yang namanya Fatiahss. Cuman Lo doang yang namanya Fatiahss di pertemanan IG aku,” timpal Billa.
Fatiah mengedip matanya, masih tetap ngeyel menyangkal pernyataan Fatiah, meski sebenarnya hati Fatiah diam-diam juga curiga kalo itu memang akunnya.
“Dari pada kita kepo, mending kamu buka ponsel kamu terus login i********:. Kita liat, ini kamu atau bukan,” usul Lail yang disambut anggukan setuju Billa dan Rani.
Fatiah menimbang dan akhirnya mengangguk setuju.
**
Derap langkah kaki terdengar mengesek rerumputan, pelakunya tidak lain seorang yang kini tengah berjalan gontai menembus gelapnya malam. Haikal berjalan tidak tentu arah dan berakhir duduk di salah satu kursi taman. Matanya memandang ke atas langit, mencari barang kali ada bintang-bintang yang bisa ia lihat.
“Tidak ada,” pria itu mendesah kecewa. Langit malam ini sangat gelap, bintang pun sepertinya tidur lebih awal. Benar, seharusnya dia melihat ramalan cuaca sebelum memilih datang ke sini.
“Es cream ...”
Seperti suara.....Maniak matanya mengedar mencari pemilik suara. Ah, di situ rupanya, terlihat gadis menggunakan jilbab putih, selaras kemeja putih dan rok navy yang ia kenakan. Duduk di salah satu kursi gantung sendirian, yang berada di depannya dengan jarak tiga kursi. Gadis itu tengah tersenyum hingga matanya terlihat seperti garis, entah dengan siapa. Di tangan kanannya terdapat satu cone es cream.
“Ngapain dia?” tanpa sadar Haikal bergumam. Anehnya sorot intensif matanya sama sekali tidak cukup untuk mengundang gadis itu tahu bahwa ada sepasang maniak mata melihat ke arahnya.
“Hay...” sapa Haikal tersenyum begitu mengira maniak mata gadis itu akhirnya menemukan dirinya, duduk di ujung sini. Tapi dugaannya salah. Tatapan gadis itu memang terarah padanya, tapi tidak melihatnya.
Haikal refleks lambai-lambaikan tangannya, berharap maniak mata gadis itu menangkap keberadaannya. Tapi sudah dua menit, dia menggerakkan tangannya mulai dari lambaian pelan, sedang sampai kuat tidak juga membuat maniak mata gadis itu beralih kearahnya. Pria itu mendengus, kelelahan dan memilih kembali duduk.
Kening Haikal berkerut, bagaimana bisa gadis itu tidak melihatnya, padahal tidak ada penghalang sama sekali antara mereka, sebagaimana dia bisa melihat gadis itu dengan sangat mudah. Mereka hanya berjarak itu saja.
Tiba-tiba ada angin kencang berhembus. Haikal langsung cepat merapatkan jaketnya, untung dia memakai jaket, tapi jaket apa ini? Dia tidak ingat punya jaket berwarna biru dongker. Selain itu, kapan ia menggunakan jaket balon seperti ini ? Bukannya tadi dia hanya memakai kaos berwarna putih ?
“Ha! “Pria itu memutar bola matanya, “Ini pasti lagi mimpi. Pantas aja tiba-tiba ada di taman, terus dari tadi random banget, masa iya orang yang bisa liat gak bisa liat gue yang sebesar gaban gini,” desahnya lalu tersenyum miring, kembali melempar pandangan pada gadis itu, yang kini mengeratkan kedua tangannya di depan d**a, dengan tubuh sedikit membuku.
“Dia kedinginan tapi masih lanjut aja makan es cream, aneh,” cibir Haikal, beranjak, mendekati gadis itu. Haikal tidak terlalu suka jaket ini, jadi lebih baik dia berikan saja pada gadis itu.
“Eh, ini pake jaket ini biar gak kedinginan.” Haikal melepas jaket dan menyodorkannya pada gadis itu. Gadis itu tidak lantas mendongka, sekedar penasaran siapa orang di hadapannya, dia masih setia menunduk sembari memakan es creamnya. Tapi tiba-tiba satu tangannya menyodorkan satu cone es cream pada Haikal. Sejak kapan gadis itu bawa dua es cream? Perasaan tadi cuman satu.
“Buat aku? “tanya Haikal bingung, lantaran tidak ada keterangan apa pun. Es cream itu pun masih mengantung ditangan gadis itu.
Gadis itu tidak menjawab, hanya terlihat anggukan kecil.
Haikal menerimanya. Sebenarnya Haikal tidak suka es cream apalagi di suasana dingin seperti ini, tapi ia tidak sampai hati untuk menolak.
“Ah, iya, makasih.”
Haikal lalu mengedarkan pandangnya mencari kursi terdekat untuk ia singgahi sejenak, menghabiskan es cream di tangannya yang sudah mulai mencair.
Mimpi apaan sih ini, aneh banget!
“Enak?!” Haikal tergugah, kaget ternyata lidahnya menyabut dengan baik es cream pemberian gadis itu, gadis itu..? Kok gue lupa siapa namanya. Haikal mendongka, menoleh ke arah kursi gantung, gadis itu sudah tidak lagi di posisi duduknya, ia berdiri membelakangi Haikal. Haikal spontan bangkit, tapi tiba-tiba, hacim... Haikal terperanjat, sejak kapan ia flu?
Cepat-cepat Haikal menghapus ingus yang keluar dari hidungnya, perhatiannya teralihkan dan lupa akan gadis itu. Begitu Haikal selesai dengan urusannya, gadis itu sudah berjalan jauh darinya.
“Hey, tunggu dulu!” teriak Haikal.
Gadis itu tidak menoleh atau pun menghentikan langkah, dia hanya sedikit memelankan langkahnya.
“Nama kamu siapa? Kamu yang sering datang ke mimpi saya kan?”
Langkah gadis itu terhenti.
“Nama kamu?“ ulang Haikal lagi.
Gadis itu menunduk, perlahan kepalanya bergerak, menoleh dengan gerakan lambat. Haikal menajamkan matanya, kali ini ia harus ingat siapa gadis itu. Hampir sepenuhnya gadis itu menoleh, tiba-tiba hacim... Haikal terpental dan terbangun dari tidurnya.
“Apaan sih, kok mimpi aneh lagi,” kesal Haikal, begitu dirinya sepenuhnya sadar dari mimpinya, tapi kepalanya pusing Haikal jadi tidak bisa langsung berdiri dan itu sukses menambah kedongkolan hati Haikal. Tapi sepertinya bukan hanya karena itu Haikal dongkol. Dia masih kesal, kenapa terbangun sebelum melihat wajah gadis itu.
Haikal memijit-mijit keningnya, kalo diingat-ingat mimpinya seperti rantai bersambung yang berjalan dengan random. Kemarin di lab sekolah sekarang di taman. Entah selanjutnya di mana lagi.
“Tapi gadis itu jadikan pake jaket balonnya, kan?”
**
“Hay, boleh duduk di sini? “ Haikal memilih berdiri selagi menunggu anggukan kecil dari Fatiah yang baru menyadari kehadiran Haikal.
“Eh, iya, duduk aja, kita kan satu tim,” kata Fatiah ramah.
“Ehm, iya juga ya.” Haikal tersenyum canggung, menarik bangku yang berjarak dari bangku Fatiah.
“Hem, masih marah soal kemarin? “ tanya Fatiah, tiba-tiba menoleh, setelah membiarkan dua menit berlalu tanpa obrolan.
“Eh? “ Haikal spontan ikut menoleh, tapi mata mereka tidak saling bertemu karena Fatiah lebih cepat langsung mengalihkan pandangannya saat menyadari pergerakan kepala Haikal tiba-tiba.
“Gak marah kok. Itu juga bukan salah kamu,” kata Haikal, lalu tersenyum.
“Iya sih, tapi kayaknya semalam kamu kesel banget.”
Haikal teringat kembali kejadian semalam yang tidak lain karena ulah Dzawin dan Dzawan. “Bukan karena vidio itu sih, tapi karena satu hal lain.”
Fatiah mengangguk-ngangguk kepalanya dengan gerakan mulut membentuk kalimat o.“Terus...”” katanya. “Udah liat i********:? “
“Hem, oh iya.” Alis Haikal terangkat, lalu Haikal diam setelahnya menghasilkan banyak jeda.
Fatiah meremas baku tangannya, tanpa sadar kepalanya menunduk dalam. Dia merasa tidak enak hati pada Haikal, pria di sampingnya mungkin risih dengan notif yang tiba-tiba memenuhi ponselnya, sama seperti dirinya. “Dan untuk itu juga, aku min—“
“Keren banget kan....” seru pelan Haikal, lalu kembali bersenyum. “Ini bisa jadi privilege buat kita gak sih? “ Haikal mentap ke depan dengan pandangan menerawang jauh.
Eh? Privillege? Fatiah mendongakkan kepalanya, tidak percaya dengan reaksi bahagia Haikal. Bukankah, Haikal pernah bilang bahwa dia benci menjadi sorotan dan sekarang dia menjadi sorotan lebih dari ratusan ribu orang.
Fatiah menoleh kecil ke samping, memastikan respon Haikal sekali lagi, senyum yang menyungging di kedua sudut bibir pria itu mustahil menandakan kesedihan. Haikal senang?
Fatiah mengerjap-ngerjap, perasaan aneh tiba-tiba menyelimuti hatinya. Siapa orang yang bahagia mendapatkan deretan angka banyak di daftar pengikut, semua orang tentu suka, karena pada dasarnya manusia memiliki sifat narasitik, ya, meski ada yang seujung kuku gajah. Mungkin hanya orang aneh yang tidak menyukai semua itu.
“Jadi kamu suka apa? “ tanya Haikal tiba-tiba.
“Ha? “Fatiah tersadar dari lamunannya. Otaknya butuh proses untuk menjawab pertanyaan Haikal. Tapi Haikal sudah terlebih dahulu mengajukan tanya lagi.
“Suka nulis cerita, kan? “
Fatiah langsung mengangguk.
“Tuh, kamu bisa promosiin cerita kamu di sana. Itu fungsinya punya banyak pengikut, iya, kan?” kata Haikal bersemangat.
Lagi, Fatiah hanya mengangguk cepat.
“Udah kepikiran mau buat konten kayak apa? “
Kali ini gerakan kepala Fatiah berubah, menjadi kanan-kiri.
“Hem, gimana kalo penggalan adegan singkat yang seru, di tambah sentuhan sedikit musik.”
“Hem, iya.” Fatiah mengelus punggung tangannya yang sedikit terhalang juntaian jilbab putih yang ia kenakan.
“Mau aku bantuin buat konten? “
Fatiah tertegun.
“Gak perlu sungkan, sebenarnya aku juga mau belajar jadi konten creator. Ada tasnya, mau ikut gak? “
“Boleh tanya sesuatu? ”Fatiah berhenti sejenak. “Kamu bahagia jadi selebgram? Hem, maksudnya, bukannya kamu pernah bilang soal, gak mau menjadi sorotan, terus kenapa sekarang—“
Haikal nampak serius mendengar pertanyaan Fatiah, setelah menemukan inti pertanyaan Fatiah, Haikal refleks menganggut-manggut seolah mengatakan bahwa jawaban sudah ada di kepalanya. Fatiah langsung menghentikan kalimatnya.
“Ah, itu...” Haikal tersenyum, lalu meringgis kecil. “Alasannya simpel aja sih, siapa orang aneh yang gak suka punya followers? Toh punya followers gak dosa, kan?”
Fatiah tersenyum kecut. Aneh... ?
Yah....orang aneh itu ada di samping kamu, Kal. Namanya Fatiah.
**