“Fatiah ...”
Fatiah menghentikan langkah gontainya menuju gerbang sekolah. Haikal berlari-lari kecil menyusul Fatiah.
“Ada apa? “tanya Fatiah to the point, begitu Haikal sudah berada di jarak yang lumayan dekat untuk mendengar suaranya. Haikal tidak langsung menjawab, ia merapihkan nafasnya terlebih dahulu.
“Hem, apa ada informasi baru? “tanya Fatiah lagi, mengingat hari semakin sore dan dia harus segera pulang ke asrama .
“Tunggu bentar.” Haikal malah mengambil ponsel dari sakunya dan mengetik. Tidak lama ponsel Fatiah yang berdering, pertanda ada pesan masuk. Fatih segera mengeceknya.
“Alamat apa ini?” Dahi Fatiah berkerut begitu melihat deretan pesan dari Haikal
“Iya itu alamat, alamat seminar buat jadi konten creator,” jawab Haikal polos, tanpa menyadari perubahan ekspresi Fatiah. “Aku udah daftarin kamu, jadi jangan lupa datang ya.”
“Tapi ini kan bayar ? Dan aku—“
“Udah gak usah dipikirin soal itu.”
“Kamu udah bayari atas nama aku? “
Haikal refleks menggaruk tengkuk kepalanya. “Gak masalah, kan? Tadi soalnya sekalian punya aku,” kata Haikal lalu tersenyum canggung. “Seminarnya sabtu, besok sore.... Hem, datang, kan? “
**
Fatiah menghempaskan tubuhnya di kasur, Fatiah lupa kalo kasurnya tidak senormal kasur biasanya yang notabennya empuk dan begitu tubuh jatuh akan langsung tenggelam dalam lembutnya busa. Berbeda dari kasur Fatiah, tubuh gadis itu malah membel, tertolak kecil dari kasur. Gadis itu kini malah meringgis karena tubuhnya malah menegang terkena kerasnya kasur. Tangannya menahan pinggang seolah jika tidak ia lakukan pinggangnya akan menghilang.
“Iah, ponsel kamu dari tadi kedap-kedip tuh,” kata Lail menoleh sekejap ke arah ponsel Fatiah yang tergeletak di atas kasur tepat di sebelah kepala Fatiah, sebelum kembali fokus pada ponselnya.
Fatiah mendesah pelan, bukannya meraih ponselnya gadis itu malah mengeser ponselnya makin menjauh. “Lail emang ini jam berapa?” tanya Fatiah pada Lail yang menjawab ya tapi masih belum bisa mengalihkan pandangnya dari ponsel.
“Lail...” panggil Fatiah lagi.
“Eh, iya, apa? “ tanya Lail gelagapan.
“Jam? “
“Oh, kan kamu bisa liat di ponsel, sekalian tuh cek ponsel kamu dari tadi kedap-kedip muluk.” Lail kembali melempar tatapannya pada ponsel Fatiah.
“Emang dari kapan? Dari pas aku cuci baju ?”
“Iya, tahu. Emang ada apa sih? Ponsel kamu hari ini jadi anak tiri, kan? Perasaan dari tadi pagi dianggurin aja.”
Fatiah mendesah pelan. “Gak ada apa-apa sih, cuman malas aja.”
“Malas doang... ?”
Fatiah mengangguk lambat. Lail memperhatikan, anggukan Fatiah tidak terkesan yakin. “Masih soal i********: kamu bukan?” terkah Lail yang langsung merubah sorot mata Fatiah, namun hanya sekejab sebelum Fatiah kembali menggeleng yang kali ini penuh keyakinan.
“Terus karena apa? “
“Ehm, itu—“ Fatiah melempar pandangannya keluar pintu kamar, dari arah luat terdengar suara riuh gemercik air yang mengenai seng. “Hujan,” gumam Fatiah berhasil mengidentifikasi air yang kini jatuh berlomba membasahi tanah.
“Eh, jemuran kamu udah diangkat? “
“Udah kok.” Fatiah masih terpaku menatap hujan dari pintu kamar yang setengah terbuka.
“Bentar lagi mbak Rani, Billa sama Lingsi pasti lari nih balik ke kamar, gak jadi beli cilok.”
“Emang? “Fatiah menoleh tiba-tiba dengan ekspresi kaget yang membuat Lial bingung, perasaan dia tidak mengatakan hal aneh untuk mendapat respon seperti ini. Bukannya lumrah ya, orang gak jadi pergi karena hujan.
“Iya, mereka tadi mau pada beli cilok ke depan,” kata Lail.
“Kalo hujan, gak jadi pergi... “ kata Fatiah malah bersemangat.
“Emang kau mau pergi ke mana?”
“Eh? “ Fatiah tersenyum. “Gak kok gak jadi pergi. Kan hujan,” katanya lalu tersenyum dalam. Lantas buru-buru meraih ponselnya, dua menit gadis itu sibuk mengetik sesuatu di layar pipih, lalu menghela nafas lega, menyimpan kembali ponselnya di atas kasur.
“Ngetik apa, bahagia banget ?” tanya Lail yang baru Fatiah sadari sendari tadi mengamati ekspresinya.
“Ah itu, biasa ngetik gak jadi pergi seminar.”
“Emang mau seminar ke mana? Seminar gratis? “alis Lail terangkat, menyelidik wajah Fatiah yang nampak berpikir keras.
“Bayar sih.” Fatiah berdeham, lalu tersenyum kecut.
“Ih, sayang tahu Iah, main batalin aja. Kenapa gak naik go-car aja? “
“Hem, gak deh. Gak papa lah gak usah datang.”
“Emang berapa sih bayarnya?” Fatiah mengangkat bahunya.
“Teman yang bayarin.”
“Teman kamu?” tanya Lail,, Fatiah mengangguk sekilas. “Terus, apa dia gak kecewa kalo kamu gak datang? “
“Hem, tapi tadi aku udah wa kok kalo gak bisa datang.”
“Ya, tetap aja, entar dia kecewa loh.”
Mendengar perkataan Lail entah kenapa mengubah wajah cerah bersinar Fatiah, menjadi mendung seperti langit di luar. Fatiah jadi kepikiran apa yang Lail pikirkan. Dia kecewa gak ya?
Fatiah refleks mengambil ponselnya, membuka kolom pesan kontak Haikal. Tidak ada balasan dari pria itu, hanya lambang dua centang biru yang berarti sudah di baca. Makin-makin Fatiah kepikiran karena hal itu.
“Beneran gak jadi seminar, Iah? “tanya Lail lagi.
Kali ini Fatiah berpikir keras sebelum menjawab ya atau tidak. “Gimana ya, Lail...Hem...”
“Uhhh, untung gak basah banget,” tiba-tiba suara Rani dari luar menghentikan percakapan Lail dan Fatiah. Keduanya menoleh ke arah pintu, kompak menunggu si pemilik suara tampil di ambang pintu.
“Iya, ih, alhamdulillah, gak basah banget,” timpal Lingsi.
“Kak, jadi tah beli ciloknya?” tanya Lail begitu melihat Rani dan Lingsi masuk, dengan wajah semi basah.
“Jadi dong,” sahut Rani antusias sembari menunjukan plastik putih yang dia tenteng.
“Eh, Kak, Billa mana?” Lingsi celinguan mencari sosok Billa di luar pintu.
“Tadi kan di belakang kamu.”
“Iya, tadi di belakang, terus pas sampe pagar kan tiba-tiba hujan, terus kita langsung lari, kan? Dia juga lari kok.”
“Lah, terus dia ke mana? “
“Palingan bentar lagi datang,” sahut Lail.
“Iya, tadi pas aku noleh sekilas, kayaknya ada orang di depan pagar, mungkin orang itu nanya Billa, makanya jadi belum sampe dia.”
“Siapa tah?”
“Gak tahu, cowok kalo gak salah.”
“Ojol? “
“Bukan kayaknya. Orang nanya mungkin.”
“Iya, mungkin aja,” kata Rani yang sekarang sudah duduk santai di lantai sembari menikmati ciloknya yang masih hangat, setelah selesai melepas roknya yang sedikit basah diujung.
Lingsi ikut bergabung. “Tolong punya aku, kak.....”
“Lail, Iah, ayo makan cilok.” Rani menawarkan.
“Mau coba dong, Mbak.” Lail ikut bergabung.
“Iah, kamu gak mau?” Rani melirik Fatiah. Fatiah masih saja sibuk mematikan lalu menghidupkan ponselnya, tanpa tujuan yang jelas.
“Iah...”
“Nah ini, Billa. Kok lama sih? “ tanya Rani, mengalihkan perhatiannya pada Billa, tapi Billa malah menatap Fatiah.
“Iah,” panggil Billa lagi. “Itu, ada teman kamu di luar.”
“Teman?” Satu dahi Fatiah naik ke atas.
“Iya, teman kamu, Haikal.” Billa sengaja menekan kata terakhirnya.
“Haikal? “ Fatiah spontan bangkit.
“Iya, dia nyariin kamu,” tambah Billa.
**