XLVIII

3362 Words
“Ma, mama, liat...” jari-jemari kecil berusaha menjangkau tingginya tangan wanita yang duduk elegan di atas sofa sembari memegang kokoh ponselnya, ponsel itu menyita semua perhatian wanita dengan jas merah mentereng, sesekali tawa kecil meluncur dari bibir yang dipoles lipstik berwarna setara jas dan celana yang ia gunakan, lagi-lagi berkat ponselnya. “Mama, liat... Liat.... Iah dapat nilai bagus.” Anak kecil itu akhirnya berhasil meraih satu jemari wanita itu, hingga ponsel yang ada di tangan wanita itu hampir terjatuh karena ulahnya. “Ma liat, kata bu guru ia pintar dalam mengarang, ia bisa jadi pe—“ “Kamu sudah pulang?” Gadis kecil itu mengangguk semangat. “Terus? “ alis wanita itu terangkat menatap Fatiah yang kini bergumam bingung. “Mama, udah bilang setiap pulang sekolah, jangan langsung jalan-jalan di rumah. Tapi langsung masuk kamar, ganti baju.” “Tapi Ma, ini, Fatiah mau nunjukin,” gadis kecil itu menampilkan dengan bangga kertas yang ada di tangannya. “Coba mama liat.” Fatiah dengan semangat langsung menyerahkannya, wanita itu nampak menodongkan ponselnya ke kertas, mengambil beberapa foto lalu memberikannya kembali pada Fatiah. “Sekarang kamu buruan ke kamar,” kata wanita itu, tanpa menoleh pada Fatiah yang menatapnya bingung. “Mama, tadi ngapain ?” Tanya Fatiah lugu. “Mama, ngucapin selamat buat kamu di sosmed,” kata wanita itu datar. Fatiah mengaruk keningnya bingung. Kenapa harus mengucapakan di sosial media sedangkan dirinya berdiri di sini menanti pelukan hangat mamanya. “Ma....” “Sstststst... mama ada panggilan telepon. Kamu balik ke kamar sana.” “Tapi Ma...” “Ststtsstts...” Wanita itu mengantukkan jari di mulut Fatiah,, sebelum mengangkat panggilan telepon. “Ah, iya, Jeng. Udah? Jeng udah liat postingan terbaru saya? Ah iya. Emang anak-anak pada pintar semua., Jeng.” Wanita itu menatap Fatiah, memberi kode untuk segera ke kamar. “Iya biasa aja, Jeng. Biar pun saya wanita karir, pendidikan anak harus tetap nomor satu, Jeng.” “Ha? Tips nya, ya gak muluk-muluk Jeng, setiap mereka pulang sekolah, pasti bakal saya peluk.” “Ah, Jeng, bisa aja. Kita ini kan hidup di era yang serba canggih, biar pun emak-emak kita harus tetap on sosial media dong. Yang terpenting anak dan suami tetap ke urus.” “AAARRGGHHH, MAMA TOLONG FATIAH! “ “Teh hangat ?” Fatiah mengerjap, menatap kaget ke arah Haikal . Seolah keberadaan Haikal yang duduk di kursi sampingnya merupakan pemandangan aneh. “Hem, gak suka teh hangat? “tanya Haikal bingung. “Kalo gak suka biar aku ambilin yang lain. Kopi mau? Fatiah kembali mengerjap, kesadarannya sepenuhnya pulih, lantas gadis itu menggeleng-geleng pelan. “Gak perlu repot-repot. Teh aja udah cukup,” kata Fatiah menghentikan pergerakan Haikal yang hendak bangkit. “Maaf ya, jemput gak bilang-bilang,” kata Haikal lalu tersenyum canggung. “Hem, gak papa,” sahut Fatiah, menempelkan tangannya di gelas plastik yang sedikit berhasil membuat tangannya hangat. “Soalnya ini seminar penting banget. Kalo kita mau jadi konten kreator ya, kita harus punya ilmunya,” tambah Haikal lagi, kali ini terdengar nada optimis pada suaranya. “Hem.” Fatiah lagi-lagi hanya bergumam pelan mengamati dalam teh hangat yang sekarang tinggal seperempat cangkir plastik. “Makanya, sayang banget kalo kita sampai kelewat seminar ini,” kali ini Haikal berbicara dengan sedikit berbisik, pasalnya acara seminar sudah di buka. Fatiah mengedarkan pandangnya, menatap semua orang yang ada di aula seminar, mereka nampak sangat bahagia dan begitu bersemangat untuk mengikuti seminar menjadi kreator. Tidak terkecuali Haikal, senyum pria itu mengembang terus menatap penuh binar ke arah panggung. “Segitu maunya kamu jadi ‘orang yang terkenal’” pertanyaan itu lolos dari mulut Fatiah, Haikal refleks menoleh, Fatiah buru-buru mengalihkan pandangnya sebelum kontak mata mereka bertemu. “Maksudnya, orang terkenal? “ tanya Haikal memastikan. “Hem, gak.” Fatiah langsung fokus kembali ke depan. “Kamu bawa buku sama pulpen?” tanya Haikal tiba-tiba. Fatiah menggeleng pelan. “Gak masalah. Aku bawa dua.” Haikal mengeluarkan buku dan pulpen yang sama seperti yang ia gunakan, dari dalam tas. “Kamu bawa semua ini buat apa? “ “Buat nyatet materi. Kata Imam Syafii, ilmu itu seperti buruan maka ikatlah ia dengan mencatat.” Haikal kembali fokus mendengar semua materi yang dipaparkan, berbeda dengan Fatiah yang nampak tidak fokus, sesekali ia membuang pandangan ke arah jendela yang berembun karena hujan. “Ada yang kamu gak ngerti ?” Haikal menatap sekilas kertas di tangan Fatiah, masih mulus seperti terakhir ia berikan. “Hem, gak.” Fatiah yang merasa tertangkap basah, tidak mencatat apa pun, refleks menarik kertasnya dari jangkauan mata Haikal. “Ini liat punya aku aja.” Haikal menyodorkan kertas miliknya pada Fatiah. “G—gak, gak perlu.” Fatiah menolak kertas itu. Haikal terus menyodorkannya, sampai-sampai tangan keduanya hampir bersentuhan. Fatiah refleks bangkit dan tanpa sadar menepis keras kertas yang Haikal pegang. Kegaduan itu tanpa sadar, membuat orang-orang di seminar melirik Haikal dan Fatiah. Merasa bersalah, Fatiah buru-buru menunduk ke bawa kursi untuk mengambil kertas milik Haikal, tanpa memperhatikan sekitarnya. Fatiah juga tidak ingat pada teh hangat yang ia letakan di kursi sebelah dengan keadaan berdiri yang tidak kokoh. Menyadari itu, Haikal buru-buru menepis cangkir plastik yang hampir mengenai kepala Fatiah yang berakibat malah tangan Haikal yang tersiram teh hangat. Haikal meringgis, mengebas-ngebaskan tangannya yang berpotensi melepuh. Mata Fatiah membulat, kaget, gerakannya jadi tidak menentu, kebingungan harus apa. Dan hanya ada satu yang terlintas di benak Fatiah, dengan cepat Fatiah merobek ujung jilbabnya untuk menggelap tangan Haikal. Setelahnya ada panitia seminar yang memberikan obat merah dan kapas. Dan tanpa keduanya sadar, ada salah satu penggemar mereka di sana dan merekam semua yang terjadi. “Makasih ya,” kata Haikal lalu tersenyum tulus. Fatiah menoleh seperti orang b**o, rasanya jiwanya masih tertahan pada adegan tadi. Haikal tersenyum kembali. “Udah, gak perlu cemas, cuman melepuh doang. Sekarang fokus aja ke seminarnya.” Fokus katanya? Fatiah mencibir kesal. Bagaimana bisa dia fokus padahal tangannya baru saja melepuh? Merasa gerah, Fatiah bangkit tiba-tiba. Haikal kaget dengan pergerakan Fatiah yang sekarang sudah berjalan cepat menuju pintu keluar. Haikal hanya terpaku memandangi kepergian Fatiah. ** ‘Kamu lagi gak enak badan ya?’ ‘Kamu udah pulang?’ Fatiah mendesah pelan, tidak berniat sama sekali untuk membalas pesan yang Haikal kirim tadi malam. Fatiah malah menyimpan ponselnya kembali di ujung kasur. “Fatiah jadikan hari ini mau nemenin aku ke mahad? “tanya Billa yang kini berdiri di depan ambang lemari bajunya, matanya melisik pada tumpukan baju, baju mana yang Kira-kira akan dia pakai. “Gamis aja deh,” gumam Billa yang akhirnya jatuh pada gamis hitam merah. “Mau pergi sekarang, kamu gak ada urusan kan hari ini? Soalnya kemungkinan bakal sampai sore. Ada banyak berkas yang kayaknya mesti dilengkapi,” tanya Billa lagi. Kali ini Fatiah mengangguk. “Aku mandi dulu deh.” Fatiah menyambar handuk abu-abu yang ia gantung. “Iya. Nanti kita naik go-car aja ya, naik angkot lama.” “Oke.” . . Sudah dua puluh lima menit Fatiah duduk di sofa menunggu Billa yang nampak masih sibuk di kursi pemberkasan. Setiap orang memang harus lengkap pemberkasan guna terdata dalam lembaga tahfidz. Ya, setelah berhasil menghafal 30 juz Al-Quran mereka semua akan mengikuti ujian tahfidz. Mengingat hal itu, Fatiah refleks menghela nafas panjang, entah akan berapa lama ia bisa menunaikan impiannya itu. Sampai sekarang dia bahkan belum bisa merampungkan dua juz secara mutqin. Berbeda dari Billa yang sekarang sudah lanjut di juz 15. Masyallah ... “Iah.” Billa berdiri di depan Fatiah. “Udah selesai, yuk pulang,” katanya, mengambil satu langkah duluan. Fatiah berdiri hendak mengikuti langkah Billa, tapi terhenti saat seorang wanita yang Fatiah ketahui sebagai admin pemberkasan memanggilnya. “Nak,” katanya, membuat Billa jadi ikut menoleh. “Tadi kamu bilang di asrama kalian ada orang yang dari Palembang, siapa nama orangnya? “ “Oh iya Bu.” Billa menoleh pada Fatiah. “Ini ora—“ “Gak ada, Bu,” jawab Fatiah cepat. Kening Billa langsung berlipat, matanya seolah melempar tanya, ‘lah kok?’ “Oh pantesan gak ada orang dari Palembang, ibu dari tadi cari berkasnya gak ketemu.” Wanita paru baya itu melenggang pergi setelah melempar senyum pamit. “Kita pulang dulu ya, takut susah nyari angkot kalo udah menjelang sore gini,” kata Fatiah menghentikan Billa yang sejak tadi sudah siap melempar segudang pertanyaan. “Ah, iya juga.” Tidak ada pilih bagi Billa selain membendung rasa penasaran ketimbang tidak bisa pulang ke asrama. Tubuhnya sudah lelah seharian di mahad mengurusi berkas yang ada, bayangan kasur yang empuk terlihat lebih menggoda baginya. Satu langkah lagi ke luar dari mahad, tanpa sengaja mereka bertemu sosok yang sangat familiar bagi Billa dan tentunya meski tidak terlalu familiar untuk Fatiah, Fatiah juga tahu siapa pria yang kini berdiri lima kaki di depan mereka. “Kita harus bicara dulu, Bil,” katanya pelan. Kepala Billa refleks mendongka kaget dengan kalimat yang pria itu ucapkan. “Gak ada yang perlu kita bicarakan lagi,” sahut Billa, tegas. “Kamu jangan egois gitu dong! Saat kamu sakit, kamu kesurupan terus, siapa yang nolongin kamu berobat? Siapa yang nganter kamu ke sana-sini buat berobat?! Saya!” “Dan saya gak pernah minta hal itu,” kata Billa menekan setiap kata yang dia ucapkan, sesekali dari ujung matanya Billa memperhatikan sekitar, merasa tidak nyaman karena beberapa orang mulai melirik ke arah mereka. Tangan Billa mengepal keras, merasa muak dengan pria yang dulu sangat dekat dengan hatinya hingga ia nekat melanggar aturan agama—pacaran. “Tapi saya cuman mau jelasin semuanya ke kamu. Saya gak mau kita berakhir sampai di sini. Kita sudah sampai di jenjang tunangan, dan keluarga kita juga sudah saling kenal.” “Ayo kita pergi dari sini,” kata Billa lalu Billa menarik tangan Fatiah. Fatiah mengikuti langkah lebar Billa, gerakannya sangat cepat, hampir-hampir membuat Fatiah tergopoh karena kesulitan mengimbangi langkah Billa, yang masih terus menarik tangan Fatiah sampai mereka di depan jalan. “Billa.” Sembari tergopoh-gopoh pria itu masih berusaha mengejar Billa, beruntung sebelum pria itu berhasil menyamai jarak mereka, angkot tiba dan membawa keduanya pria. Billa menghela nafas panjang, nampak sendari tadi tanpa sadar ia tidak bernafas dengan benar. Wajahnya terlihat lega, tapi tangannya yang masih erat memegang tangan Fatiah bergetar. “Bill, kamu gak pa-pa, kan?” tanya Fatiah, memastikan. Susut bibir Billa melengkung turun lalu gadis itu mengangguk kecil. Jelas itu bukan tanda baik-baik saja. “Mau curhat? Apa masih ada yang mengganjal ?” Kali ini Billa menoleh. Tatapannya nampak sedu. “Bodoh ya, udah tahu dia nyakitin hati, tapi kenapa hati masih terasa sakit aja.” “Is okey Bill. Gak perlu kesel sama hati kamu sendiri. Is okey.” “Apa ini teguran Allah buat aku ya, Iah? Allah titipkan rasa sesakit ini, karena aku yang selama ini lalai dalam hal mencintai? “ “Setiap peristiwa pasti ada hikmahnya, apa pun yang terjadi yang terpenting kita sebagai manusia, jangan pernah berputus dari rahmat dan ampunan Allah.” “Iah, kalo aku nangis di angkot kamu bakal malu gak? “ . . Malam ini seolah menjadi malam penuh air mata bagi anak kamar enam. Mereka semua larut dalam kesedihan dua anggota kamar—Billa dan Rani. Jika Billa karena persoalan cinta yang kandas, Rani pun sama namun lebih tragis karena dibumbui fitnah. “Ana emang suka sama dia, rapi setelah dia bilang waktu itu. Dan setelah ana tahu ternyata dia suka sama sahabat anak sendiri. Ana langsung mundur.” Bahu Rani bergetar, suara isak pilu mengiringi suaranya yang kian serak. “Dan surat itu, surat itu ana buat jauh-jauh dari semua ini terjadi. Surat itu juga sudah ana buang tapi gak tahu kenapa surat itu ada lagi dan di tempel di mading fakultas.” “Mbak yang sabar ya,” Fatiah sadar kata-katanya tidak akan bisa menyembuhkan luka Rani, tapi apalah daya dia tidak bisa melakukan apa pun untuk Rani. “Kak, apa mbak gak berusah jelasin semua ini ke sahabat kakak itu?” Lail bersuara. “Sudah aku jelasin. Tapi dia tutup mata, dia udah kepalang cemburu ditambah lagi surat itu sudah heboh satu fakultas. Semua orang natap ana sinis, seolah ana ini perusak rumah tangga sahabat sendiri.” Suara Rani terbata-bata. “Seharusnya dia gak kayak gitu. Bukannya sahabat kakak tahu kalo emang dulu kakak suka sama cowok itu? Tapi itu kan dulu, dan surat itu dulu, sebelum mereka resmi nikah,” kata Lingsi mengebu-gebu, kesal akan fakta sahabat sendiri berpaling dalam keadaan seperti ini. “Ana gak tahu lagi harus apa. Rasanya ana gak sanggup lagi balik ke kampus. Ana gak sanggup liat tatapan jijik mereka ke ana.” “Mbak, jangan ....” Fatiah langsung mendekap tubuh ringki Rani, yang kemudian diikuti Billa, Lingsi dan Lail, memberikan kekuatan pada Rani. “Jangan biarin orang yang coba jatuhin mbak, berhasil jatuh mbak. Jangan biarin orang itu berhasil, Mbak. Mbak harus bisa bangkit. Kita gak mau kehilangan mbak di sini.” Rani makin terisak. Lail yang biasanya paling suka melebeli dirinya tombol, kini juga ikut menangis. “Tapi ana gak kuat.” “Mbak kuat kok,” Suara Fatiah goyah. “Mbak pasti bisa lewati semua ini. Allah pasti kasih jalan keluar terbaik buat mbak. Sesungguhnya di balik kesulitan pasti ada kemudahan.” “Ya Allah, tolong hamba.... “ . . Haikal merengangkan tubuhnya di kasur, tidak melakukan aktivitas apa pun seharian, ternyata juga tidak baik untuk tubuh. Tubuhnya pegal dan sakit semua. Haikal jadi ogah untuk turun dari kamar, mencari makanan yang sekiranya bisa cocok menjadi penghuni perutnya. Tapi karena dorongan perut ditambah lagi asam lambungnya yang mulai menguap, Haikal terpaksa turun kamar. Di dapur Haikal mengambil lima apel, tiga kotak s**u cokelat, dan roti pandan satu bungkus beserta selai kacang favorite Haikal. Haikal sengaja mengambil lebih dari porsi perutnya guna menjadi bahan stok saat magernya kembali menyerang. “Ah iya lupa, kemarin kan gue mau pinjam komik bamg Fauzan.” Haikal kembali menarik langkahnya sebelum masuk ke kamar. “Ambil dulu deh, entar malas.” Pintu kamar Fauzan setengah terbuka, hingga Haikal dengan jelas bisa melihat abangnya itu tertidur pulas di kasurnya. “Langsung ambil aja deh liciknya. Kemarin kan gue udah minta izin juga,” kata Haikal, langsung masuk. Seharusnya proses pengambilan komik hanya terdiri dari masuk kamar, ambil buku komik yang di cari dan kembali ke kamar. Tapi tidak dengan Haikal, pria itu sibuk sendiri dengan makanan yang ada di tangannya, sampai-sampai suara bidangnya hampir membangunkan Fauzan, yang kini bergerak gelisah dalam tidurnya. “Abang kenapa dah, kayak gak nyaman tidur.” Haikal mendekati abangnya. Haikal kaget saat tangannya menempel di dahi Fauzan. “Panas banget dahinya,” kaget Haikal, menarik kembali tangannya, baru hendak beranjak pergi, sudut mata Haikal malah menangkap cairan bening yang jatuh dari sudut mata abangnya. “Nangis?” Haikal baru sadar bantal yang Fauzan kenakan setengah basah. “Ya Allah, segitunya sakit patah hati?” Haikal menatap abangnya sendu. “Jadi takut jatuh cinta,” tambah Haikal masih belum melepaskan pandangnya dari Fauzan yang makin gelisah dalam tidurnya dan detik berikutnya Fauzan mengerjap terbangun. “Lo ngapain berdiri di situ? “tanya Fauzan tanpa basa-basi. “Dah sadar bang? “Haikal malah balik bertanya. “Emang gue kenapa? Gue tadi tidur loh cuman.” Haikal kembali tersenyum penuh keanehan di mata Fauzan. “Bang, kalo sakit jangan diam-diam aja, Lo gak sendirian kok.” “Idih, Lo kenapa dah? Habis beken buku Khalin Gibran? “ kata Fauzan lalu tersenyum. “Badan Lo panas tahu, Bang.” “Emang dari dulu tubuh gue panas. Kalo dingin itu namanya mati.” “Loh mau cerita kek gue gak, Bang ? Menurut survei, kepribadian gue lumayan bagus buat jadi pendengar setia. “Cerita aja biar Lo, Bang, bisa lebih lega dan tidur nyaman.” “Apaan sih Lo,” Fauzan mendesah kesal. “Udah keluar sana dari kamar gue. Gue mau lanjut cerita.” Bukannya keluar sesuai perintah Fauzan, Haikal malah naik ke kasurnya dan duduk dengan posisi meditasi. “Jangan di tahan sendiri,” tambah Haikal lagi. “Buruan keluar dari kamar gue, ganggu aja, gue mau tidur.” Fauzan melayangkan bantal empuk yang tepat mengenai wajah Haikal, jika biasanya Haikal akan sangat dongkol dengan ulah abangnya ini, tapi hari ini Haikal malah termenung memandangi bantal itu lalu tak lama senyum kecil terbit. Fauzan jadi terheran-heran karenanya. “Lo lagi kenapa? Lagi senang banget guru Lo kasih nilai seratus satu kah? “ tanya Fauzan asal. Haikal menggeleng-geleng pelan, senyum di wajahnya makin mengembang. “Bang, obat ampuh patah hati, cuman ada dua cara.” Haikal berhenti sejenak untuk melihat respon Fauzan yang diam-diam tertarik dengan apa yang Haikal katanya dengan nada sangat serius “Pertama harus benar-bener ikhlas. Cara ini ampuh sih buat semua orang, tapi cuman sebagian yang benar-benar berhasil dan sebagiannya lain tetap pada perasaan patah hatinya.” “Dan cara kedua... “ Haikal kembali mengantung kalimatnya, Fauzan langsung berterik, gereget . “Buruan lanjutin! “ titah Fauzan. Haikal tersenyum simpul. “Cara kedua, buka hati buat yang lain.” . . “Sebuah teori mengatakan dua orang yang sama-sama terluka kalo disatuin bisa saling menyembuhkan.” Dzawin berlagak menjadi pakar percintaan. “Gue pernah nonton kisah kek gini di sinetron,” tambahnya agar Haikal yang tanpa tidak peduli dengan sarannya dan malah sibuk menyendok-nyendok nasi uduk tanpa berniat segera memasukannya ke mulut. “Dan Lo percaya?” Haikal melirik setelah lima menit berlalu. “So ya...” jawab Dzawin yakin. Haikal berdecak, mengganti posisi kepalanya ke kanan menghadap Dzawan yang nampak tidak ingin terlibat dalam teori murahan kembarannya itu. “Apa? “ satu alis Dzawan terangkan. “ Lo ngarep gue bilang apa?” katanya lagi sembari menyendok lontong sayur favoritnya sejak duduk di bangku SMA. “Kembaran Lo tuh, otaknya kayaknya ketinggalan di rumah.” “Emang,” sahut Dzawan santai. Dzawin malah cekikikan. Haikal dan Dzawin langsung saling pandang menerka jangan -jangan dia kesurupan dedemit. “Terima kasih pada dia manusia yang telah mentransfer pahala secara gratis. Mohon maaf ya, pahala yang udah di transfer karena ngatain gue, gak bisa di tarik kembali apa lagi repeat. I’m so...sorry guys... “ setelah pidato panjangnya, Dzawin kembali melanjutkan tawanya. “Gue curiga, kayaknya Lo punya misi masuk surga lewat jalur digibahin ya? Makanya Lo buat ulah muluk.” Tawa Dzawin makin menjadi sampai terdengar ngik-ngik. “Gimana ya caranya biar abang gue bisa move on ?” gumam Haikal, melepas sendok yang sejak tadi cuman ia gerak-gerakan, nafsu makanya makin turun karena sepagi ini harus berpikir keras demi abang tercinta. “Ya, cariin cewek lah.” Kata Dzawan enteng seolah nyari cewek seperti beli gorengan di kantin. “Gue tahu, ya tapi kemana, gue aja gak punya teman cewek. Dan teman gue cuman Lo berdua. Lo kan gak punya kakak cewek.” “Siapa bilang teman Lo cuman kita doang...” Dzawan menatap Haikal, selidik. “Lo lupa? “ “Lupa apa? “ “Sok lupa dia,” ledek Dzawin. “Kalian kek cewek aja sih, ngomong pake acara kode-kodean, to the point aja. Gue beneran gak tahu nih!” Haikal mendesah kesal campur pasrah. “Yang kemarin Lo jemput pas hujan-hujan. Lupa Lo kebangetan banget sih, baru juga kemarin lusa,” cibiri Dzawin seraya menyeruput es teh milik Haikal. “Oh iya ya...” Haikal bergumam pelan. “Tuh, diakan cewek, kali aja ada yang jomblo, bisa tuh Lo jodohin sama abang Lo.” “Eh, tapi.” Wajah Haikal yang semula mulai terang merasa sudah mendapat solusi mendadak kembali lesu karena teringat kejadian seminar, Fatiah pergi begitu saja dan pesannya yang tidak kunjung dibaca apa lagi di balas. “Kayaknya gue buat salah deh kemarin. Tiba-tiba dia marah gitu.” “Marah kenapa tuh? “ Haikal menarik paksa es teh miliknya yang dimonopoli Dzawin. “Gue juga gak tahu kenapa, tiba-tiba marah aja gitu.” “Ah, itu mah wajar. Cewek emang bisa tiba-tiba bad mood gitu,” kata Dzawan setelah memasukkan potongan lontong terakhirnya di mulut. “Emang Lo gak tahu, cewek suka bad mood kalo kedatangan bulan.” “Oh mungkin karena itu ya dia tiba-tiba marah.” Haikal bergumam pelan. “Nah coba Lo tegur, pasti udah gak marah lagi.” “Iya deh entar gue sapa.” . .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD