“Fatiah kamu mau bantu mbak kan? Tolong bantuin mbak buat taarufan sama Fauzan, dengan begitu berita ini akan bisa segera lenyap kalo mbak nikah.”
Fatiah refleks memijat keningnya yang entah kapan terasa sakit, ditambah lagi permintaan Rani yang makin sukses membuat kepala Fatiah juga ikut berdenyut. “Gimana coba caranya? Kemarin aja aku pergi gitu aja dari seminar, gak sopan banget. Haikal mungkin marah sama aku.”
Kepala Fatiah rasanya mau meledak karena terus memikirkan semua ini, seharian dia tidak bisa fokus pada apa pun, termasuk saat jam pelajaran. Fatiah terus terusik permintaan Rani yang sulit, namun tidak mampu ia tolak. Sifat tidak enakkannya sekali lagi membuatnya sulit sendiri.
“Duh, gimana coba mau minta tolong ke Haikal? “gumam Fatiah, entah sudah berapa kali dia melafazkan kalimat itu berulang-ulang bak matra. Langkahnya maju mundur berjalan ke kelas Haikal yang berada tepat di sebelah kelasnya.
“Gimana kalo dia marah karena kejadian kemarin?”
“Terus dia ngusir aku dari kelasnya?”
“Terus dia kata-katain aku?”
“Terus... terus... “ Fatiah langsung membalik langkahnya. Berjalan cepat kembali ke kelasnya. Tidak jadi ke kelas Haikal. Memikirkan semua kemungkinan buruk langsung menciutkan mental Fatiah seketika.
.
.
“Fatiah...”
Fatiah menghentikan langkahnya, memiliki kebiasaan menunduk saat berjalan membuat Fatiah tidak menyadari tengah melewati teras kelas Haikal. Terlihat Haikal melempar senyum ramah padanya.
“Eh, iya, kenapa? “Fatiah mengerjap sekali masih mengatur keterkejutannya.
“Hem.” Haikal tanpa sadar menggaruk tengkuk lehernya.
“Oh iya, gimana, hem, tangan kamu? Masih sakit?” tanya Fatiah.
“Ah, itu, alhamdulillah gak lagi. Langsung kering dikasih salep sama ayah.”
“Oh, hem, bagus.” Fatiah berdeham pelan. Selanjutnya bicara apa? Fatiah berpikir keras, agar dia bisa berbasa-basi sejenak dan menyampaikan permintaan mbak Rani pada Haikal.
“Mau langsung pulang ya? “
“Ha, iya, eh, gak.” Duh, gimana sih otak sama mulut kok gak sinkron.
“Hem, sebenarnya aku mau ada minta tolong sama kamu.”
“Sama! “ Fatiah keceplosan. Apaan sih otak! Bisa-bisanya bikin aku malu gini.
“Eh, sama? Ya udah kamu duluan, mau minta bantu apa? InsyaAllah kalo bisa, pasti aku bantu.”
“Eh, gak, kamu aja duluan.”
“Gak papa kamu aja duluan.”
“Kamu aja.”
“Aku gak enak, dimana-mana kan ladies first.”
“Kalo gitu jangan anggap aku ladies. Jadi kamu bisa duluan.”
Haikal spontan tertawa. “Bisa gitu ya.”
“Iya. Jadi kamu mau minta bantuan apa? “
Tawa Haikal langsung terhenti. Haikal berdeham pelan sebelum membuka mulutnya. “Hem, kamu punya banyak teman cewek kan?“ Fatiah merespon dengan anggukan pelan. Haikal kembali melanjutkan kalimatnya.” Nah jadi gini ceritanya, kamu udah pernah ketemu bang Fauzan kan. Abang aku yang satu itu lagi galau berat. Makanya aku pengen bantuin dia buat move on. Di asrama kau ada biro taaruf gitu gak sih? “
“Jadi, intinya kamu mau cariin jodoh buat abang kamu?” Fatiah menarik kesimpulan. “Sama kalo gitu.” Fatiah keceplosan lagi, kali ini kalimatnya malah membuat kening Haikal berkerut.
“Eh, tapi yang udah legal buat nikah. Cewek sekitar usia 18 ke atas. Abang gak mau pacaran tapi nikah.” Haikal meringgis begitu Fatiah memasang wajah polos, bingung maksud perkataan Haikal.
“Eh, jangan salah sangka. Maksud aku sama itu bukan, sama aku,” kata Fatiah, setelah mencerna baik-baik kalimat Haikal. “Maksudnya itu, niat kita yang sama. Kamu udah pernah ketemu mbak Rani, kan? Yang waktu itu... “
Haikal mengingat-ingat sekilas, perlahan-lahan memorinya memberi jawaban. “Oh iya, yang di nikahan itu, kan? Teman satu kampusnya bang Fauzan.”
Fatiah mengangguk-ngangguk semangat. “Beliau juga lagi patah hati, makanya minta dicariin jodoh.”
“Pas banget kalo gitu.”
“Jadi....besok kamu kasih aja CV bang Fauzan ke ustadz Taufik, beliau pimpinan asrama. Beliau juga udah biasa menjembati proses taaruf sesuai syariat.”
“Oke. Besok aku kasih CV bang Fauzan,” kata Haikal bersemangat. “Makasih ya.”
Fatiah ikut tersenyum. Hal yang sendari tadi mengganggu kepalanya akhirnya terselesaikan.
“Mau pulang sekarang? “
“Gak mau nunggu Billa dulu. Dia lagi ada piket kelas.”
“Kalo gitu, aku pulang duluan, ya,” pamit Haikal.
“YESSSS!” Fatiah berjingkra-jingkra senang, tentunya setelah memastikan Haikal sudah menghilang di balik tembok. “Uhh lega banget ya Allah. Semoga mbak Rani gak sedih lagi.”
“Eh, maaf, ganggu ya? “
Fatiah spontan menghentikan gerakan kakinya. Matanya membulat sempurna, Haikal berdiri di depannya. Duh kenapa nih orang balik lagi sih? Dia liat gak ya aku jingkrak kayak cacing kepanasan? Gak kan? Gak liat, kan? Plis author jangan di buat liat. Mau ditaruh mana muka aing....
**
“Gimana keadaan Lail? “ tanya Fatiah begitu Lingsi masuk ke kamar dengan wajah sedih.
“Ah itu, ternyata punggung keras banget kepentok dinding makanya dia langsung izin balik ke rumah.”
“Gak bawa baju dulu? Dia pulang sendiri atau d jemput? “
“Di jemput abangnya.”
Billa dari depan ikut nimbrung. “Oh beneran tadi yang di depan pagar itu Lail. Aku pikir siapa di boceng naik motor. Dia kepentok tembok pas kapan? “
“Barusan aja pas di aula. Jadi tadi mau ngerjain tugas kelompok di sana, mau buat power point, terus dia mau dudukkan, dia lupa kalo di atas itu ada yang kayak cegokan dinding gitu. Dia langsung aja hempasi badan ke dinding. Makanya langsung kena tulang.”
“Ya Allah, terus dia izin berapa lama pulang? “ tanya Fatiah.
“Gak tahu juga kapan, dia bilang tadi tuh sakit banget, sampai mau nangis. Jarang banget kan Lail nangis. Terus ustadzah juga nyuruh buat rontgen tulang gitu, jaga-jaga takut ada tulang yang kenapa-napa.” Lingsi kini beralih ke lemarinya, mengambil buku dan pulpen. “Sekarang aku harus buat surat sakit buat Lail besok,” katanya.
“Rumah Lail jauh gak dari sini? Bisa kali kita besuk.”
“Gak terlalu jauh, gak dekat juga,” jawab Lingsi. “Aku pernah diajak ke rumahnya.”
“Ide bagus tuh,” sahut Billa. “Sekalian kita refrensi juga.”
“Mau kapan?” tanya Lingsi.
“Besok sore kamu pulang cepat gak? Besok aku sama Billa gak ada ekskul, jadi pulang sekolah bisa istirahat bentar terus ke rumah Lail.”
“Hem, besok, gak ada deh kayaknya.”
“Oke jadi besok sore ya,” kata Fatiah, yang dijawab anggukan kompak Billa dan Lingsi.
“Mbak Rani gak ikut?” tanya Lingsi. “Mbak Rani kenapa belum pulang kuliah jam segini? Biasanya udah pulang.”
“Ada urusan mungkin.”
“Mbak Rani mah, pasti mau ajak kalo di ajak pergi mah. Biar gak galau terus,” sahut Billa. “Dan buat masalah perizinan, nanti biar aku aja yang izin ke ustadzah sekalian setoran entar malam.”
.
.
“Iya, Pak, berhenti di ujung jalan itu,” kata Lingsi yang sekarang bertugas sebagai penunjuk arah kepada pak supir. Karena tidak tahu rute angkot mana yang melewati rumah Lail, mereka memilih berangkat menggunakan go-car, ongkosnya tidak terlalu mahal karena mendapat potongan harga, meski harganya masih terbilang tidak seramah tarif angkot.
Supir berusia sekitar empat puluh tahun itu mengangguk mengerti, melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Di arah belakang, Billa, Fatiah dan Rani tengah mengumpulkan uang patungan untuk membayar ongkos.
“Di sini, Neng?”
“Iya, Pak. Makasih ya, Pak.” Lingsi memberikan lembaran uang hasil patungan mereka berempat. Lalu mereka turun dan berjalan beriringan mengikuti langkah Lingsi.
“Eh, kita gak beli buah tangan gitu mau besuk orang sakit?” saran Rani.
“Enaknya beli apa, Mbak ?”
“Apa aja, Iah. Yang penting mah ada bawaan gitu,” satire Rani.
Fatiah menghela nafas, sifat nyebelinya balik lagi nih. “Iya maksudnya apa gitu mbak, buah atau roti. Enaknya yang mana? “
“Buah aja lah,” sahut Rani cepat. “Jeruk tuh enak,” timpalnya.
Setelah selesai membeli buah tangan untuk Lail yang mereka beli di depan g**g Lail. Tepat hendak mengetuk pintu rumah Lail yang tertutup, sebuah pesan masuk di ponsel Lingsi.
“Eh, ternyata Lail lagi gak ada di rumah. Dia lagi di rumah sakit, buat periksa tulang, katanya barusan,” ujar Lingsi. Pergerakan tangan Fatiah yang sejengkal lagi mengenai pintu, mendadak terhenti.
“Terus gimana? “tanya Rani.
“Tapi katanya ada ibunya di rumah,” tambah Lingsi.
“Ya udah, kita tunggu aja Lailnya pulang aja. Udah nanggung di sini, masa pulang gitu aja,” Billa maju menggantikan posis Fatiah yang batal mengetuk pintu.
“Iya, lagian kata Lail dia juga bentar lagi pulang. Kalo gak macet, lima belas menit sampai,” setuju Lingsi.
Setelah pintu diketuk, munculah wanita paru baya dari dalam rumah, wajahnya sangat mirip dengan Lail, bermata sipit dan berkulit putih pucat. Wanita itu tersenyum ramah membuka lebar pintu rumahnya.
“Ayo silahkan masuk. Tante ke belakang dulu bentar ya buat ambilin minuman sama camilan.” Wanita paru baya itu beranjak.
“Gak perlu repot-repot te,” sahut Rani tidak kalah lembut.
“Ah gak repot kok, cuman camilan biasa aja,” katanya lembut. “Kalian pertama main ke sini, jadi harus cobain kue buatan tante,” kata wanita paru baya itu sebelum benar-benar menghilang di balik gorden merah yang menjadi pembatas antara ruang tamu dan ruang dapur.
Rumah Lail bisa dibilang tidak terlalu besar tapi juga tidak terlalu kecil, dekorasi rumahnya layaknya rumah sederhana di Indonesia, homely, di teras depan ada tiga pohon besar yang rimbun, pohon rambutan, mangga dan pohon jambu. Fatiah rasanya gatal ingin mejeng di atas pohon, makan buah langsung dari pohonnya. Fatiah lupa kalo ia sedang memakai rok, tidak semudah itu untuk manjat.
“Ngiler bet ya liat buah-buahnya.” Billa menyenggol pelan lengan Fatiah, yang sedari tadi memandangi pohon mangga dari jendela.
“Enak nih kalo ngerjuk,” gumam Billa, yang tentu sangat Fatiah setujui. Dua puluh menit mereka menunggu Lail dengan berbincang-bincang hangat bersama ibu Lail. Ibu Lail sangat pandai mencari topik pembicaraan, mulai dari menceritakan kondisi terkini Lail, resep membuat kue anti gagal, resep sayur capcai favorite Lail dan obrolan berakhir saat bu Lail mendengar suara deru mobil memasuki perkarangan rumahnya.
“Eh, mobil siapa itu?” Kepala wanita paru baya itu melonggo keluar, diikuti Rani, Lingsi dan Billa yang ikut penasaran menanti si pemilik keluar. Berbeda dengan Fatiah yang tiba-tiba mendapat panggilan alam yang mengharuskannya ke kamar mandi.
Setelah selesai menunaikan hajatnya, Fatiah kembali ke ruang tamu, tapi tidak dia temukan siapa pun di sana.
Dari arah dapur terdengar suara langkah, rupanya itu Billa yang sedang mengambil ulekkan batu.
“Bill, mau ke mana?” tanya Fatiah bingung.
“Mau ke teras. Yuk ke teres.”
“Mau ngapain? “
“Mau ngerujak dadakan. Buruan yuk.” Billa menarik tangan Fatiah, baru dua langkah Billa kembali berhenti, teringat sesuatu. “Astagfirullah lupa!” katanya.
“Iah, ambilin piring dulu dong. Aku mau nganterin ulekkan ini dulu. Entar langsung aja ke halaman belakang. Oke.”
Fatiah mengangguk. “Ya, kami duluan aja.”
“Buru ya, Iah.”
“Sip! Butuh berapa piring? “
“Hem, dua aja keknya.” Billa pergi duluan. Fatiah ke dapur mengambil piring.
“Kayaknya tadi Billa gak bawa pisau deh, gimana mau motong buah kalo gak pake pisau?” Fatiah tertarik untuk mengambil pisau yang kebetulan berada di dekat rak piring. “Bawa aja deh, pasti butuh,” gumamnya pelan.
Fatiah berbalik, terlalu asik sendiri hingga tidak sadar kalo ada orang lain di sana selain dia. Orang itu berjalan mendekati Fatiah dengan senyum miring. Hap...dua tangan kekar tiba-tiba melingkar di pinggang Fatiah. Fatiah terlonjak kaget, refleks langsung mendorong keras tubuh yang seenaknya hendak memeluknya.
“Jangan macam-macam ya! “Fatiah menodongkan pisau pada di pelaku yang kini meringgis mengelus dengkulnya yang mungkin nyeri karena menghantam keramik.
“Sifat premannya belum hilang ternyata...mana di dorong kenceng banget lagi.”
Suara itu... Fatiah tertegun, kenapa suara itu terdengar tidak asing di telinganya. “Kamu...”
“Iya, ini aku!” si pelaku mengangkat kepalanya, menatap mata Fatiah yang nyaris seperti mau copot. “Tuh mata biasa aja, mana pisau ditodong gini.”
“N-ngapain kamu di sini? “ Fatiah mendadak gagu.
Pria itu bangkit, menyejajarkan matanya dengan mata Fatiah. “Mungkin takdir ketemu kamu,” jawabnya dengan senyum lima jari.
Fatiah mengerjap, sekali, dua kali, tiga kali, masih saja belum mampu menyiarkan kekagetannya akan manusia yang ada di hadapannya ini.
“Kamu beneran di sini ?” tangan Fatiah refleks menyentuh pipi pria itu, memastikan ini bukan hayalan. “Beneran!” Fatiah langsung mundur lima langkah.
Pria itu terkekeh. “Emang kamu pikir aku bohongan. Orang aku emang ada di sini, kok.”
“T-tapi, kenapa bisa!? “
“Mau cerita versi panjang atau pendek ?” Pria itu menahan tawanya, saat melihat wajah nestapa Fatiah.
“Versi apa aja,” sahut Fatiah cepat. Kepala gadis itu kini celingak-celinguk memantau ke arah pintu dengan gerakkan mata bergerak gelisah.
“Oke, versi panjang,” putusnya. “Jadi ceritanya gini, hari ini aku mau ke minimarket, karena hari lumayan panas, jadi aku gak bisa bawa bebek dan mau bawa banana aja—“
Fatiah memutar bola matanya, manusia dihadapannya memang tidak pernah sembuh dari penyakit anehnya. Bebek yang dimaksud pria itu bukan bebek asli tapi motor besar yang entahlah di sebut apa. Dan banana yang dia maksud mobil kuning mentereng miliknya.
“Pas aku ke garasi ternyata banana gak ada. Dia lagi nyalon di tempat servis. Jadi karena banana lagi sibuk, aku terpaksa buat mengalihkan tugas banana ke mobil lain. Cuman kamu jangan bilang ya sama banana soal ini, soalnya dia itu rada cemburuan gitu, enggak posesif sih, cuman suka ngambek kalo—“
“Oke stop, versi pendeknya aja,” serobot Fatiah, cepat, tidak ingin repot-repot mendengar kisah cinta anak manusia ini dengan mobilnya.
“Oh, oke... versi pendeknya.” Pria itu berpikir sejenak. “Jadi ceritanya, aku ke sini karena nganterin mereka.”
“Nganterin Lail? “
“Oh, teman kamu itu namanya Lail ya...” Pria itu malah manggut-manggut, sama sekali tidak menjawab kebingungan Fatiah.
“Iya. Buruan jawab! “
“Terus dia butuh bantuan, karena ban motor ayahnya pecah makanya aku yang anter.” Belum sempat Fatiah mencerna perkataan pria itu, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki mendekat ke arah mereka. Fatiah langsung panik dan tanpa sadar menarik lengan pria itu untuk bersembunyi di balik rak piring.
“Eh, kita kenapa—“
Fatiah mendelik, seolah berkata, awas aja kalo bersuara habis kamu.
Pria itu mengerti dan membiarkan saja Fatiah dengan misinya, memantau orang yang datang dan keduanya keluar setelah mereka pergi.
“Kamu banyak banget hutang penjelasan sama aku...” kata pria itu, menatap sekilas lengannya yang entah sejak kapan sudah merah karena genggaman tangan Fatiah.
Fatiah refleks melepas tangannya. “Eh, hem, maaf...”
“Is okey. Tapi kamu harus jelasin semuanya,” kata pria itu, tatapan yang biasanya penuh smillir eyes mendadak sangat dalam. “Kenapa hubungan kita ini seolah aib di mata kamu, sampai kamu takut banget kalo ada teman kamu yang tahu...”
“Hem, bukan gitu, tapi...”
“Tapi apa? Kamu harus jelasin semuanya, saya tidak paham apa pun.”
“Saya? “ Fatiah refleks menggigit bibir bawahnya. “Kenapa tiba-tiba pakai kata saya?”
“Ya, karena kita gak saling kenal.”
“Bukan gitu, maksudnya.” Fatiah memelas. “Please jangan marah... Nanti aku bakal ceritai semuanya kok.”
“Kapan? “
Fatiah tertegun.
“Kalo emang kita dua orang yang saling kenal, dua orang yang sangat dekat, bilang sama mereka semua tentang hubungan kita.”
Seketika kerongkongan Fatiah terasa kering kerontang. Fatiah menelan ludahnya dengan susah payah, membayangkan semua yang selama ini ia tutupi akan langsung terbuka dengan satu fakta ini.
“Kamu takut?” Pria itu menatap Fatiah dalam. “Sebenarnya apa sih yang kamu sembunyikan, Iah? “
**