“Iah...”
“Ya? “
“Pulang, kan? “
“So pasti,” jawab keduanya kompak.
Billa dan Fatiha spontan tertawa. Memang hal itu tidak lucu, tapi keduanya tertawa lantaran teringat istilah ‘sepu’—sekolah pulang. Julukan itu mereka dapatkan lantaran hobi mereka yang selalu datang awal waktu dan pulang on time.
Fatiha dan Billa sangat menghindari diri dari menghabiskan waktu di sekolah jika sudah pulang sekolah, tidak seperti anak-anak lain yang menjadikan sekolah seolah rumah kedua mereka. Mereka seharian di sekolah dan pulang sore. Jelas Fatiha dan Billa tidak bisa seperti itu karena adanya kegiatan di mahad, tapi meskipun seandainya mereka tidak ada di mahad, mereka tetap tidak mau berlama-lama di sekolah melakukan hal ‘unfaedah’ berlabelkan ekslu.
“Eh, Fatiha bukannya tadi ada pengumuman anggota PMR kumpul sepulang sekolah? Kamu gak kumpul? “
Dari sekian banyak ekstrakurikuler di sekolah, Fatiha hanya memilih Palang Merah Remaja (PMR). Alasannya karena Fatiha sangat ingin terjun dalam rana sosial kemanusiaan. Namun Fatiha harus menelan kekecewaan lantaran, ekskul itu ternyata tidak bisa selaras dengan tujuannya.
“Gak ah. Aku trauma kejadian kemarin. Nyebelin banget tahu. Aku udah rela-relain pulang sampai jam empat nungguin mereka yang katanya mau nyampain hal penting. Pas ngumpul, bukannya langsung di sampain hal pentingnya apa, ini malah sibuk main-main dulu, sibuk sana-sini gak jelas. Berasa buang-buang waktu banget.”
“Dan gak tahunya zonk!”
“Hal pentingnya gak ada penting-pentingnya sama sekali dan mereka minta kumpul lagi hari ini sepulang sekolah.”
“Yah...tapi gimana kalo ternyata hari ini emang ada yang penting ?”
“Gak Bil. Gak ada yang penting. Mereka ternyata emang sengaja alibi mau kumpul organisasi, biar bisa seharian di sekolah.”
“Serius? “
“Iya. Makanya aku berhenti dari ekskul itu. Lagian dari jadwal yang aku liat, kenaikan logo tepat di bulan-bulan ujian sekolah. Yah masak aku relain sekolah cuman buat organisasi? Mana banyak banget yang harus disiapin udah kayak ospek aja, pake segala bawa tas karung, topi kardus.”
“Tapi sayang banget, Iah. Kamu udah mau naik pangkat jadi kakak kelas tahu. Selama ini kamu kan udah berjuang banget buat dapat logo itu.”
“Iya sih, tapi yah... mau gimana lagi, kakak-kakaknya gak mau ngunduri jadwal kenaikan logo, kekeh mau di bulan segitu. Tujuan aku ke sini yah untuk sekolah. Sekolah itu utama, organisasi cuman tambahan. Organisasi boleh tapi jangan sampai mengorbankan sekolah. Kalo bentrok gini, yah jelas aku pilih sekolah.”
“Iya juga sih.” Billa manggut-manggut. “Jadi sekarang kamu fiks gak ada eksul lagi ya? “
“Iya, sama kayak kamu.”
Billa terkekeh. “Masih ada kok.”
“Apa? “
“Mager klub.”
.
.
“Duo mager baru pulang, tumben telat dua menit.” Rani melirik jam yang terlilit di pergelangan tangannya. Kegiatan memainkan ponsel berhenti sejenak setelah melihat Fatiha dan Billa.
“Eh, beneran Mbak telat dua menit? “tanya Fatiha, heboh, menyeimbangi gaya bicara Rani.
“Iya.”
“Maklum, Mbak, tadi macet,” sahut Billa, asal.
Rani spontan terkekeh. “Gaya benar dah... Emang tadi naik Pajero mana? Bisa kejebak macet.”
“Biasa Mbak, lebih hebat dari pajero. Gak perlu di isi bensin cukup kasih nasi dah bisa gas.” Billa jongkok, mengucap hamdala, lalu menepuk bangga kakinya yang telah setia melaksanakan tugasnya setiap hari tanpa pambri.
“Masyallah....” Rani terkekeh.
“Ngapain mbak, siang-siang gini nangkring di aula ? Gak bobok siang?”
“Gak ah, di kamar panas naudzubillah. Ana mah gak tahan. Meni gerah pisan... Ihh...”
“Kan sekarang di kamar udah ada dua kipas, Mbak. Kipas punya Fatiha, masih belum adem? “
“Belum ihhh...masih panas, gak kayak di Sukabumi. Di sini panas banget,” jawab Rani dengan logat khasnya.
“Oh ya udah, kita ke kamar dulu ya, Mbak. Mau ganti baju sama istirahat,” kata Fatiha.
“Sipp...”
“Yuk, Bill.”
Sesampainya di kamar, Fatiha da
“Astagfirullah, lupa ambil rantang makan di depan.” Fatiha menepuk pelan dahinya yang sekarang tidak lagi terhalang dalaman jilbab.
“Duh, mana udah buka jilbab, males banget mau keluar kamar lagi.”
“w******p mbak Rani aja. Minta ambilin beliau pas sekalian balik ke kamar,” sahut Billa yang sekarang sudah membentangkan kasur single di lantai.
Fatiha meraih ponselnya dan mengetik apa yang Billa sarankan. Setelahnya Fatiha menghampiri Billa sembari membawa kaca kecil miliknya. Kaca yang dia dapat dari bekas wadah bedak padat. Fatiha lalu duduk di sebelah kaki Billa yang sekarang tengah rebahan santuy.
Billa sibuk dengan ponselnya sedangkan Fatiha terfokus pada wajahnya di pantulan kaca.
Fatiha memiliki wajah bulat kecil, matanya berukuran sedang, hidung minimalis yang pas dengan pipi setengah cabi yang hanya terlihat menggelembung saat dia makan dan warna kulit sawo matang khas gadis Jawa.
Perhatian Fatiha tertuju pada benjolan kecil yang ada di wajahnya, merah merona, pertanda siap panen. Tangan Fatiha sudah gatal untuk memecahkan jerawat itu, meski Fatiha tahu hal itu tidaklah baik tapi tetap saja Fatiha tidak bisa menahan diri untuk segera memusnahkan premis kecil yang mengganggu wajahnya itu.
“Bissmillah...”
Fatiha tersenyum puas, setelah melakukan aksinya itu. Hal inilah yang paling Fatiha sukai dari memecahkan jerawat, kepuasan yang entah kenapa—mungkin puas karena dia penyebab jerawat hadir akibat tangannya, bersemi karena kemalasannya dan musnah karena tangannya lagi. Sebuah rute per-jerawatan yang Fatiha rawat seperti Malika.
“Senyum muluk, gak kering tuh gigi? “celetuk Billa, terkekeh. “Ngapain sih, Iah? Pecahin jerawat lagi ?”
“Tempe aja nih.”
“Jahil banget dah tuh tangan.”
“Bill, entar sore mau ke luar gak? “
“Beli sabun? “
Fatiha terkekeh. “Tahu aja.”
“Iyalah, kamu kan kalo keluar cuman jajan sabun.”
“Tapi sekarang aku ngantuk, mau bobok cantik. Entar bangunin ya, kalo Mbak Rani dah balik ke kamar.”
“Oke.”
Fatiha lalu beranjak membentangkan kasurnya, tidak lama Fatiha terlelap.
Fatiha terbangun saat mendengar salam dan suara langkah memasuki kamar.
“Astagfirullah, tidurnya kelamaan, udah jam tiga aja, belum cuci baju,” gumam Fatiha, mengucek pelan matanya. Fatiha segera bangkit dari kasur.
“Huftt....capek banget....” keluh Lail berjalan gontai ke kasurnya, mata sipitnya makin menyipit karena lelah.
Lail langsung menjatuhkan diri di kasur miliknya yang baru ia bentak asal. Sedangkan Lingsi terlihat tengah melepas atribut sekolah.
“Makin lama aja pulangnya Lail...,”kata Fatiha.
“Iya nih, ada tambah les dadakan tadi.”
“Oh pantas aja.”
Meski satu sekolah, waktu pulang kelas sepuluh dan kelas sebelas itu berbeda. Perbedaan itu terjadi karena kelas sepuluh sudah memakai kurikulum K13 yang mewajibkan siswanya nonstop di sekolah dari pukul tujuh sampai pukul tiga siang. Sedangkan Fatiha dan Billa masih menggunakan kurikulum 2006, sebagai angkatan terakhir yang memakai kurikulum itu.
“Ngantuk banget, tapi lapar...” Lail mengelus perut ratanya. “Udah ada makanan belum, Iah? “
“Udah ada dari tadi, tapi lupa ambil,” sahut Fatiha yang baru saja merendam pakaian sebelum mencucinya sebentar lagi.
“Lapar, Iah....” keluh Lail. “Iah, ambil gih sekarang.”
“Sabar aja, Lail. Bentar lagi juga mbak Rani balik bawa rantang makanan. Udah aku WA tadi. Sekarang aku mau cuci baju dulu.”
Lail mendesah kecewa, namun dia tidak protes karena masih ada harapan dari rasa malasnya. Seperti arah angin tidak selalu searah dengan keinginan, begitu pun harapan mereka langsung sirna seketika, saat Rani dengan santainya masuk ke kamar tanpa membawa apa pun di tangannya.
“Mbak, kenapa gak ambil rantang makanan?” Fatiha mengingatkan. Dia sudah beberapa kali mengirim pesan, untuk menghindari hal ini terjadi tapi, nyatanya masih terjadi. Entah lupa, atau memang tidak mau.
“Ha? Oh iya, lupa,” jawab Rani santai tanpa beban. “Biasanya kan kamu yang ambil, kamu ambil aja sekarang.”
“Aku lagi cuci baju, Mbak. Belum selesai.” Kepala Fatiha muncul dari dalam kamar mandi.
Fatiha tidak mau ambil pusing soal rantang makanan yang belum di ambil. Toh, jika mereka lapar mereka akan mengambilnya sendiri, lagian berjalan ke depan tidak akan sesulit menahan perut keroncongan, kan?
Fatiha selesai mencuci baju setelah seperempat jam, dia langsung menjemur pakaiannya di halaman belakang mahad meski hari sudah tidak lagi terik lagi.
“Alhamdulillah, akhirnya selesai juga.” Fatiha bergegas membawa ember kosongnya kembali ke kamar. Udara sore sedikit membuat Fatiha kedinginan karena pakaian yang dikenakan basah.
“Langsung mau mandi deh...,” gumam Fatiha.
“Eh, Fatiha...”
“Iya, Mbak Ran ?“
“Nyucinya udah selesai?”
“Udah.”
“Ambil rantang makanan dong, ana dah lapar banget.”
“Iya, Iah kita udah nunggu dari tadi,” tambah Lail yang sibuk dengan ponselnya.
“Iah, tolong ya...” Lingsi ikut bersuara yang sedang asik rebahan di kasur.
Fatiha bergeming, mengabaikan perintah yang berbungkus permintaan tolong. Jika mereka bisa egois untuk tidak mau bergerak bahkan untuk perut mereka sendiri, lalu kenapa mereka memaksa orang lain untuk kebutuhan perut mereka? Mereka malas tapi mereka menuntut Fatiha untuk tidak malas.
Mereka ingin memuaskan rasa lelahnya tapi abai pada rasa lelah orang lain. Kenapa orang yang terlihat ramah, lemah, selalu menjadi santapan dunia? Semua orang seolah-olah berlomba untuk mengukur seberapa kuat dia dengan cara menginjaknya seperti ini.
“Tolong ya, Iah. Kan kamu ketua kamar...”
Ketua kamar atau babu kamar?
Hufttt.....
**