IV

2116 Words
“Ada empat tingkat dalam membaca Al-Qur’an yang pertama At-Tahqiq ini merupakan cara baca Al-Qur’an yang paling rendah atau pelan. Cara baca ini biasanya digunakan bagi mereka yang sedang belajar atau mengajar Al-Qur’an.” Fatiha mencatat apa saja yang dikatakan mudabiro dengan khidmat. Beberapa santri juga melakukan hal yang sama dengan Fatiha, dan beberapa nampak hanya mendengarkan saja atau malah diam-diam bermain ponsel. “Iah, entar liat ya catatannya, aku lupa bawa buku,” bisik Rani. Fatiha mengangguk pelan. Bagi Fatiha semua yang diajarkan di mahad sangat penting, mengingat bahwa latar belakang keluarga yang tidak terlalu agamais atau sangat tidak agamis, sehingga Fatiha hanya tahu hal-hal umum tentang agamanya sendiri. Fatiha terkadang merasa iri pada mereka yang terlahir dari keluarga yang kental beragama, dari keluarga yang tidak asing dengan kitab tafsirnya, lingkungan pondok, dan hal-hal yang sangat dekat dengan agama , sedangkan dia, keluarganya.... Fatiha segera menepis pemikirannya, saat ia hampir tenggelam dalam lamunan mengenai keluarganya. “Fokus Fatiha...,” gumamnya pelan. “Yang kedua, At-Tartil merupakan cara baca dengan tenang, jelas, terarah dan tepat sesuai makhraj huruf serta sifat-sifatnya terpelihara ukuran panjang-pendeknya dan berusaha mengerti maknanya.” “Yang ketiga At-Tadwir cara membaca yang berada di pertengahan antara tartil dan hadr. Dan yang terakhir Al-Hadr, cara membaca Al-Qur’an yang paling cepat.” “Tapi mesti diingat ya, ini cepatnya bukan asal cepat, tapi harus sesuai kaidah hukum baca tajwid. Gak kayak orang kesurupan—“ “Aaargghhh....” Tiba-tiba dari arah belakang terdengar teriakan. Fatiha spontan menoleh ke belakang, kaget. Begitu pun semua orang yang langsung menyoroti sumber suara. Terlihat Billa meraung dengan mata yang membesar, mengeluarkan suara gertak, laksana dua batu yang beradu. Tangannya mengejang kaku, diiringi raungan yang membuat bulu kuduk rasanya meremang. “Aaargghhh!” Billa tiba-tiba mencengkam lengan santri yang ada di sebelahnya, ketakutan seketika pecah di langit-langit aula. Santri yang menjadi objek cengkraman Billa hanya bisa menangis, antara takut dan sakit pada lengannya yang sekarang terlihat memerah. Beberapa santri berhamburan lari meninggalkan aula, santri yang masih tetap, maju mundur untuk mendekati Billa. Fatiha melihat ke arah Ustadzah Lala yang pasang badan untuk mendekat, “Iya, aku di guna-guna orang. Tetangga aku sendiri.” “Ha? Kamu tahu dari mana? “ “Karena setiap aku aku kumat, aku bisa liat apa aja yang dia lakuin ke aku. Misalnya ngeliat dia tusuk-tusuk boneka, atau jampi-jampi. Kayak lagi nonton video.” “Serius, Bill? “ “Iya.” “Emang kenapa tetangga kamu guna-guna kamu? “ “Gak tahu, aku cuman tahu dia suka sama aku, tapi aku gak tahu, terus katanya aku sombong. Pada hal aku aja gak pernah ketemu sama dia.” Fatiha langsung menghampiri Billa yang sekarang di kerumuni ustadzah dan beberapa santri. “Guys kalian jangan pada teriak-teriak!” kata Gina—ketua asrama putri, menenangkan. “Iah, ini Billa kenapa? Dia anak kamar kalian, kan? “ “Billa pernah bilang kalo dia di guna-guna orang,” kata Fatiha. “Astagfirullah...terus ini gimana?” Fatiha menggeleng bingung. “Gue kasih tahu ustadzah deh.” Ponsel Fatiha berdering. Panggilan video masuk dari nomor yang tidak dikenal beberapa kali. “Dek, Billa kumat ya? “ Suara barinton pria mengagetkan Fatiha, tidak lama terlihat wajah pria memenuhi layar ponsel Fatiha. “Ini siapanya, Billa? “ tanya Fatiha ragu. “Mana Billa, nya? “ “Dia lagi di obatin ustadzah.” “Mana coba saya mau liat.” “Tapi ini siapanya, Billa? “tanya Fatiha lagi. “Buruan, Dek. Mana Billa, nya? Buruan, mau saya obati.” Tiba-tiba Billa menggeram lagi, membuat seisi mahad yang di huni perempuan langsung menjerit kaget. “Dek, buruan! “ Fatiha bingung, sebelumnya dia tidak mengenal pria itu, apakah dia mahram Billa atau bukan, terlebih sekarang Billa sedang tidak menggunakan jilbab. Tapi dalam keadaan panik, Fatiha mengarahkan ponselnya ke arah Billa. . . “Bill, maaf ya, aku kira dia abang kamu.” “Iya gak papa, Iah.” “Eh, terus dia siapa kamu? “ “Hem—tetangga.” “Oh.....tapi kok—“ “Fatiah, kemarin kamu jadi ke warung? “ sela Billa. “Belum, habis nyuci males keluar lagi.” “Ya udah sekarang aja yuk, sekalian ngobrol-ngobrol di jalan.” “Ayo.” Fatiha dan Billa izin keluar mahad. “Bill, tadi katanya mau ngobrol, kenapa malah diam? “ Fatiha menyelaraskan langkahnya dengan langkah kecil Billa. Meski Billa mengaku sudah baik-baik saja, tapi bisa terlihat jelas bahwa tubuhnya masih lemas, tatapan matanya layu dan wajahnya sedikit pucat seperti terlalu banyak ditaburi bedak. Billa masih belum pulih, semalam ia juga tidak bisa tidur. “Iah...” Billa menoleh. “Aku salah apa ya? Kenapa ada orang sejahat ini sama aku?” Billa menunduk sedih. “Bukan kamu yang jahat Bil. Kamu orang baik yang lagi di uji. Allah gak akan menguji hambanya diluar kemampuan hambanya. Kalo kamu di kasih ujian ini, itu tandanya Allah verifikasi kalo kamu mampu.” “Verifikasi? “ Senyum muncul di wajah Billa. “Berasa akun ya, Bun.” “Bener Loh, Bil... Kamu kan yang paling legowo.” “Sa ae...kata siapa aku legowo, aku mah sering dongkol kalo orang lagi nyebelin. Apalagi kalo kamar lagi berantakan gak ada yang mau beres-beres.” “Tapi kamu yang paling fear. Kamu to the point kalo ada yang kamu gak suka.” “Iyalah, kita gak boleh pendam perasaan gak nyaman, apa lagi di kamar itu udah kayak keluarga. Kalo ada yang salah kita tegur, bukan buat menjatuhkan tapi buat perbaikan.” “Iya kamu bener....” “Kamu juga harus berani speak up, Iah. Jangan manut-manut aja, kalo dirasa gak nyaman, di omongin biar sama-sama enak. Jangan gak enakan terus, kamu mau buat orang lain enak, tapi kamu ngorbani diri sendiri. Gak adil tahu....” Keduanya terlalu asik berbicara sampai tidak menyadari ada motor yang berjalan lambat di belakang mereka. Fatiha baru sadar setelah menoleh sekilas ke belakang. “Ini perasaan aku atau emang...?“ Fatiha memberi kode pada Billa. Bila melirik ke belakang diam-diam. “Iya, kenapa kayak ngikutin kita ya? “ Billa ikut melirik. “Biar aku marahin.” “Eh, jangan. Mungkin emang dia mau jalan ke sana, kita liat aja, kita belok ke sana, kalo dia ikut berarti fiks dia ngikutin kita.” Billa mengganggu setuju. Mereka bersikap biasa saja seperti tadi, mereka berbelok dan motor itu juga ikut. “Fiks, Iah. Dia ngikutin kita! “ Billa langsung memutar langkahnya, Fatiha menahan Billa, tapi Billa kepalang tersulut emosi dan langsung menyamperi pengendara motor itu. “Hei! Lo ngapain ngikutin kita! “ Pengendara motor mematikan motornya. “Billa, mending kita pergi aja...” bisik Fatiah, tidak mau ada keributan. “Tunggu dulu, Iah. Kita tanya dulu kenapa dia ngikutin kita! Gak sopan banget! “ “Eh, Lo, kenapa diam aja? Ayo jawab! “ “Udah gak usah, Bill.” Fatiha langsung menarik tangan Billa, menjauh dari sana sebelum pengendara itu membuka helmnya. “Iah, kenapa malah kita yang kabur?” “Udah Bill, mending sekarang kita balik ke Mahad.” “Iah, kamu kenapa? Kok malah ketakutan sih? Kalo tuh orang jahat, kita tinggal teriak aja, di sana juga ramai. Dia gak akan berani ngapa-ngapain.” Billa kembali hendak memutar langkahnya. Fatiha menahan tangan Billa. “Bila, aku mohon, kita balik ke mahad aja sekarang... “ “Tapi, Iah, kita belum beli sabun.” “Iya, nanti aja,” tungkas Fatiha cepat. “Iah kamu kenapa sih? “ Fatiha tidak menjawab, dia sibuk mempercepat langkahnya. “Iah, santai aja jalannya.” Billa mencoba menyamai langkahnya dengan langkah Fatiha, namun tidak bisa sejajar, langkah Billa tertinggal, Billa memanggil Fatiha beberapa kali tapi Fatiha seperti menuli, kakinya berjalan dengan sangat cepat seolah ada capit kepiting yang mengejarnya. “Iah kenapa sih? “gumam Billa menatap heran Fatiha yang sekarang berada jauh di depannya. “Billa,” Langkah Billa terhenti. “Ya Allah....ya Allah... ya Allah...,” rapal Fatiah di dalam hati selama langkahnya bergerak. . Fatiha baru berhenti saat sudah terlihat gerbang hitam bertuliskan mahad Al-Qur’an di pelupuk matanya. Fatiha langsung mengatur nafas yang berantakan, menenangkan diri setelah rasa cemas menguap sebagian. “Billa, Maaf ya—“ Fatiha menoleh dan baru tidak ada Billa di belakangnya. “Astagfirullah...” Fatiha menepuk pelan dahinya. “Billa ke mana? “ Fatiha merasa bersalah. Dia terlalu cemas hingga lupa akan kondisi Billa. Dirundung rasa cemas akan Billa yang tidak kunjung terlihat, Fatiha kembali menyusuri jalan tadi. “Billa kok gak ada di sini? “ “Duh, dia ke mana ya? “ “Atau jangan-jangan dia pingsan? “ “Ya Allah, Fatiha!” “Ceroboh banget sih! “ “Duh, kok gak ada di warung ini juga sih....” Fatiha mengedarkan pandangnya, menoleh kanan-kiri persis seperti orang yang hendak menyebrang. “Eh itu Billa bukan sih?” Sorot mata Fatiha terhenti pada seorang gadis yang tengah berbicara dengan seseorang di atas motor. Meski gadis itu membelakangi Fatiha, tapi Fatiha yakin itu Billa, dari postur tubuh dan jilbab yang dia kenakan. “Iya.” “Pekan depan aja.” “Mau aku anterin sampai depan gerbang? “ “Gak usah. Aku bisa pulang sendiri kayak biasanya.” “Tapi kondisinya beda, kamu lagi gak fit. Entar kalo jatuh di jalan gimana? “ “Gak, insyallah. Kamu balik aja sana.” “Lagian, kamu kenapa sakit-sakit malah keluar, sih, sayang....” “Bill...” “Iah....kamu...” Billa menoleh kaget. “Ehm, maaf tadi ninggalin.” Fatiah melirik orang yang Billa ajak bicara tadi. Fatiha kenal siapa pria itu, dia orang yang terus menelepon Fatiha untuk menanyakan keadaan Billa. “Aku ikuti dari belakang aja.” “Gak usah.” Billa menggeleng cepat. “Kamu pulang aja.” “Gak papa lah. Cuman mau mastiin aja kamu sampai dengan selamat.” “Gak usah. Udah yuk Iah, kita pulang.” Billa langsung menggandeng tangan Fatiha. “Dia orang yang waktu itu video call kan?” tanya Fatiha, memastikan. Bila mengangguk kecil. “Yang kata kamu tetangga kamu? “ Anggukan kepala Billa tidak seenteng tadi, Billa seperti hendak mengangguk dan menggeleng secara bersamaan. “Tadi aku gak sengaja dengar obrolan kalian ...” Fatiha memperhatikan respon Billa. Billa nampak kaget, jari jemarinya menjadi pelampiasan atas rasa kaget yang berusaha sebaik mungkin dia tutupi. “Orang itu bilang Babe ke kamu.” “Kamu salah dengar Fatiha.” “Iya, kah? “ “Iya, dia gak pernah panggil aku babe.” “Kalo bukan babe terus dia panggil kamu apa? Sayang?” Billa seketika terdiam. “Apa dia pacar kamu, Bil? “ Billa menghela nafas panjang, menatap tidak berdaya Fatiha yang sebenarnya sudah tahu fakta yang ada. “Iah...” panggil Billa, setelah beberapa menit terjadi keheningan di antara mereka. “Iya? “ “Tolong jangan beritahu semua orang tentang ini, Iah.” Fatiha refleks menghentikan langkahnya, menoleh pada Billa. Billa menunduk dalam. Kebijakan mahad jelas tertera bahwa santri di larang pacaran. Santri yang diam-diam pacaran di luar mahad, bisa mendapat sanksi berubah teguran, surat peringatan atau jika masih membandel bisa di keluarkan dari mahad. “Aku tahu pacaran itu dosa, tapi...Aku gak bisa lepasin dia. Aku cinta banget sama dia, Iah.” Bila mengangkat kepalanya, memohon. “Tolong jangan buat aku di posisi sulit seperti ini, Bil. Kita sama tahu kalo pacaran itu berdosa. Walataqrobuzina. Jangan dekati zina ! Perintah Allah sudah jelas, Bil. Kita sering bahas ini, kamu setuju kalo pacaran melupakan gerbang dari zina. Kalo aku biarin kamu di berdiri terus di depan gerbang itu, sama aja kayak aku secara gak langsung mendukung kamu buat masuk ke dalam sana! Gimana kelak aku mempertanggungjawabkan semua ini, Bill?” “Iah, aku sama dia bentar lagi nikah. Kita serius dengan hubungan ini. Dia udah melamar aku.” Billa menunjukkan cincin berwarna putih berhiaskan permata kecil di tengah, sebagai pemanis. Cincin yang akhir-akhir ini sering Billa pakai dan menjadi alasan senyum tiba-tiba terbit di wajahnya. “Kapan kalian nikah? Satu tahun lagi? Itu masih lama Bil. Sebelum satu tahun itu, gimana? “ Fatiha menanti jawaban Billa yang enggan mengangkat kepalanya itu. “Kalo kamu tega aku di keluarkan dari mahad, silahkan aja, Iah. Beritahu yang lain.” Fatiha membuang nafas berat. Bukan itu maksudnya. “Bill...” “Kamu bebas buat bilang hal ini ke mudabiro dan ustadzah, aku gak akan marah. Ini memang konsekuensi yang harus aku tanggung.” “Kalo pun nanti aku kasih tahu ustadzah dan mudabiro, itu semata-mata karena aku gak mau kamu makin jauh melangkah.” “Tapi sebelum mereka yang bertindak, aku mau kamu yang selesain semuanya, Bil. Kalo cinta kalian tulus untuk membina rumah tangga, menjalankan sunnah Rasul maka jangan takut untuk melepaskannya sejenak. Karena takdir milik kita, tidak akan pernah melewati kita, dan apa yang bukan takdir kita akan melewati kita, sekuat apa pun kita genggam.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD