Lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an terdengar menyeruak dari kamar gadis itu. Gadis itu rebahan sembari mendengar murotaal Al-Qur’an di telinganya. Naluri untuk mempertahankan hafalnya saat sedang haid. Namun sejujurnya meski sudah melewati empat surah terakhir di juz 29, tetap saja pikirannya masih di sita oleh mimpi yang barusan ia alami.
Gadis itu berusaha fokus, namun hanya bertahan beberapa menit sebelum akhirnya dia kembali terngiang mimpi semalam.
“Huft..”
Gadis itu menghela nafas panjang, bangkit dari kasurnya sembari menatap kaca. Hati gadis itu bertanya-tanya, kenapa semalam dia bermimpi bertemu seseorang yang dia kenal di dunia nyata namun hanya sebatas tahu wajah saja, bahkan nama saja tidak kenal.
Sebelum tidur, meski haid ia masih tetap menjalankan sunnah nabi sebelum tidur, seperti berwuduh dan membaca doa. Seingatnya juga ia tidak melakukan sesuatu yang bisa memicu mimpi itu timbul.
Mimpi itu kembali berputar di kepalanya. Ia masih ingat cerita itu,
Ada dua orang yang berkelahi untuk mendekati, mereka bahkan mati-matin untuk belajar pencak silat agar dikatakan layak. Lalu ada lomba membaca Al- Quran dengan beraneka ragam nagom. Gadis itu juga bermimpi ke pasar bersama temannya tapi di tengah jalan mereka terpisah karena kerumunan yang ramai.
Tiba-tiba ada seorang pria yang berdiri di belakang gadis itu sembari berkata, “Umi, ini calon istriku.”
Gadis itu refleks menoleh. Dan terkejut mendapati wanita paru baya menatapnya sembari tersenyum.
Gadis itu tidak berpikir pria itu sedang memperkenalkan dirinya pada wanita paru baya itu. Gadis itu hendak beranjak, ke pasar sebrang, tapi yang anehnya keduanya mengikutinya di belakang. Dan gadis itu mendengar,
“Oh, ini calonnya ya....”
“Masyallah, orangnya sederhana sekali sekali. Umi suka.”
Gadis itu refleks kembali menoleh. Kali ini aku tidak salah duga—batinnya. Orang ini sedang memperkenalkan dirinya. Tapi kenapa?
Gadis itu memelankan langkah, hingga sejajar dan spontan mencium pelan tangan wanita paru baya itu.
Pria ini tidak berkata apa-apa. Terbesit dipikirkan gadis itu bahwa dia ingin minta bantuan berpura-pura menjadi calon istrinya. Apa salahnya membantu orang lain. Jadi gadis itu mengikuti semua dramanya. Uminya dan pria itu lalu mengajak gadis itu ke toko emas.
“Mas, cari cicin emas, yang 125 karat.”
Pria itu sibuk memilih-milih cincin. Dia masih tidak mengatakan apa pun meski uminya sudah menjauh dari kami.
“Eh, ada lomba ya di masjid sana? Maunya ikut lomba apa?
“Iya saya mau ikut, lomba tilawah Al-Qur’an. “
Deg !
Mendengar perkataan itu, seketika terbesit di benak gadis itu doanya yang selalu dia panjatkan mengenai jodoh yang datang tanpa perlu proses pacaran, atau apapun itu, serta mampu membimbing dirinya dalam mengaji.
Meski tidak mengenalnya tapi entah kenapa hatinya berdesir hebat, bahkan saat hanya mengingatnya saja.
“Bukankah selama ini, beginilah cinta yang aku ingini? Cinta yang membuat mengingatkan ku pada sang pencipta. Hafalan dia juga baik, aku bisa dibimbingnya saat hafalanku buruk.”
Dari yang dia ketahui, pria itu seorang mudabiro di pondok pesantren. Ia kuliah sambil kerja. Dan caranya berbicara pada uminya begitu sopan. Gadis itu terus memikirkan hal itu sampai dia tiba-tiba harus meninggalkannya, karena tiba-tiba ada urusan mendadak.
Adegan beralih, pria itu mengajakku untuk bertemu di taman, dia ingin meminta cincin itu kembali.
“Aku tidak akan mengembalikan apa yang sudah ada di jariku.”
Pria itu tersenyum. “Ya sudah kalo kamu gak mau balikin, kamu harus nikah sama saya.”
“Ya, aku mau.”
Gadis itu menghela nafas malu. Rasanya sangat malu mengingat mimpi semalam.
“Kenapa mimpi gini sih...”
Gadis itu berdecak sekali lagi melampiaskan rasa malunya.
“Nulis cerpen lagi?” tanya Billa tiba-tiba menghentikan jari-jemari Fatiha yang bergerak lincah di atas keyboard ponselnya.
“Iya,” sahut Fatiha, singkat. Matanya tetap fokus pada layar ponselnya, hingga tanpa sadar kalo Billa mendekatkan wajahnya ke ponsel Fatiha.
“Eh, dari tadi aku baca kok gak ada nama tokohnya? Pake ‘gadis itu' aja, gak pake nama aja ?”
Fatiha kaget dan spontan menjauhkan ponselnya dari jangkauan mata Billa.
“Itu cerita kamu ya? “
“Ha? “
“Cie...” alis Billa naik turun. “Jodohku bertemu dalam mimpi.”
“Itu kisah nyata ya? Semalam kamu mimpi itu kah? Pantes aja semalam aku dengar kamu ngigau bilang....” Billa menjeda kalimatnya, menikmati ketegangan yang menghampiri Fatiha.
“Bilang apa Bil? Gak aneh-aneh kan? “
“Dan BTW aku punya rekaman suaranya loh... “
**
“Kal, jajan ke kantin yuk, perut gue udah konser nih.”
Haikal mengangkat kepalanya tapi bukan untuk menoleh ke sumber suara yang berada di sebelahnya, tapi untuk melihat papan tulis.
“Auksin merupakan hormon...”
Tangan Haikal lalu sibuk menggerakkan pulpen dengan kecepatan sedang di atas kertas, menulis ulang kalimat yang ada di papan tulis, mengabaikan Dzawin yang merupakan teman satu bangkunya.
Dzawin yang merasa diabaikan haikal, menaikkan satu oktaf suaranya,
“Kal...!"
“Apa sih..,” Haikal menoleh sinis.
“Ke kantin yuk....”
“Gak ah, gue mau selesai catatan biologi dulu baru ke kantin. Emang Lo juga belum selesai, kan?”
“Belum sih.” Dzawin spontan menggaruk tengkuk kepalanya. Cengegesan.
“Tapi gue kan lapar...”
Haikal menghela nafas panjang. Kembali menyuarakan orasi panjang kali lebar yang sangat Dzawin hafal.
Haikal merupakan tipe murid yang tidak pernah berbuat onar tapi juga tidak pintar cemerlang. Wajah Haikal juga gak tidak tampan bak para most wanted sekolah, incaran siswi-siswi, yang bisanya berasal dari kalangan anak eskul dan anggota OSIS. Haikal hanya murid biasa. Nilai biasa, tingkah biasa dan uang jajan biasa. Tidak ada hal yang menonjol pada dirinya membuat Haikal ingin hidupnya tenang-tenang sja atanpa riak. Dan mengikuti semuanya secara menyeluruh adalah pilihan terbaik sepanjang risetnya bersekolah. Meski tidak pintar setidaknya nilainya selalu baik.
“Ye...selesai.” Dari arah belakang, Dzawan—kembaran Dzawin bersorak riang sembari merentangkan kedua tangannya pertanda bebas dari tugas yang mengikat dirinya sejak tadi.
Dzawin dan Dzawan mereka sama biasanya seperti Haikal. Tidak neko-neko, mengalir seperti air. Kesamaan itu yang tanpa sadar membuat mereka membentuk circel pertemanan dan menjadi akrab.
“Bang, Lo udah selesai, kan? Bang, ke kantin ya sana. Gue titip gorengan sama es teh aja.” Dzawin memberikan selembar uang sepuluh ribu pada kembarannya itu. Tidak lupa memasang wajah super memelas.
“Kal, Lo mau nitip juga gak, Kal? “tanya Dzawin tanpa menunggu jawaban saudara kembarannya.
“Iya, gue nitip gorengan aja deh.” Haikal mengeluarkan selembar uang sepuluh ribu dari sakunya tanpa berpaling sedikit pun dari aktivitas mencatatnya.
Dzawan mendengus. “Masa gue sendirian sih ke kantin.”
“Ya gak pa-pa lah Bang. Kita berdua belum nih....”
“Malas ah gue kalo sendirian. Nitip aja sama anak yang lain kayak biasanya.”
“Setuju,” sahut Haikal.
Haikal tahu betul bahwa keluar kelas adalah hal paling memalaskan dalam sejarah hidupnya, apalagi sendirian. Jika bukan karena desakan lambung atau panggilan alam tiba-tiba, mungkin Haikal tidak akan pernah keluar kelas selama tiga tahun, kecuali pulang sekolah.
Setelah rumah, di dalam kelas adalah tempat ternyaman menurut Haikal.
Tidak heran, jika dalam satu angkatan jarang ada yang mengenal Haikal, terutama jika tidak pernah sekelas. Bahkan sekadar tahu wajah saja. Haikal sejenis makhluk yang ada tapi tiada.
.
.