“Dek!” Haikal mengangkat kepalanya dari komik yang sedang ia baca lalu berdeham pelan, merespon kedatangan abangnya yang kini memicingkan mata. “Lo ke manain CV gue?”
“Oh, itu, gue kasih ke lembang taaruf, “ kata Haikal enteng, bak lagi mesen makan di warteg.
“Apaan Lo! “ Dengan gerakan cepat Fauzan menoyor kepala Haikal.
Haikal mendelik, lehernya jadi korban. “Kalo gue patah leher gimana ?! Noyor gak kira -kira.”
“Biarin aja, biar gue ganti leher ayam!” sahut Fauzan kejam, Haikal meringgis membayangkan lehernya di ganti dengan leher unggas yang tidak bisa terbang itu. “Siapa yang kali Lo izin, nyerahi CV gue seenak dengkul Lo aja.”
“Lah, bukannya bang Fauzan yang nanya caranya.” Haikal ngotot tidak mau jadi pihak tersudutkan. Haikal bangkit mengubah posisinya menjadi duduk, jaga-jaga jika tiba-tiba abangnya itu menyerangnya lagi.
“Iya tapi kan gue gak ada kasih Lo izin buat nyerahi CV gue?! “
“Tuh, tuh, Abang sendiri yang bilang iya. Terus salah gue di mana? Gue kan cuman menjalankan tugas sebagai adik yang baik, membantu abangnya move on di tinggal doi nikah.”
“s**l Lo!” Fauzan hendak menerbab Haikal yang duduk di kasur, beruntung kali ini mampu membaca pergerakan Fauzan dan segera mengelak secepat kilat. Kini posisi berubah menjadi Haikal berdiri dan Fauzan tengkurap di kasur.
“Lagian Bang, cewek yang bakal di jodohin sama Lo juga, Lo kenal kok. Mbak Rani, sahabatnya, mantan calon Lo.”
“Itu masalahnya! “ Fauzan mendesah lelah. “Gimana gue bisa move on kalo gue sama Rani? Itu malah buat gue makin ke ingat dia terus. Gue gak mau hidup dalam bayang-bayang dia!”
Ah iya juga ya... Kenapa gue gak kepikiran, batin Haikal. Haikal tidak tahu kalo urusan cinta sejak jaman purba memang selalu merepotkan.
“Dan Lo tahu, dia setuju,” kata Fauzan pasrah.
“Serius Bang? “ Haikal mendelik.
“Serius! “ Fauzan menatap sengit Haikal. “Gara-gara Lo!”
Haikal tidak mampu mengelak.
“Lo aja sana nikah sama dia.”
“Eh, enak aja. Gue mana boleh nikah sekarang, gue kan masih di bawah umur.” Haikal sengaja menekan kalimat terakhirnya, lagi-lagi membuat Fauzan mendesah kesal. “Ini kan baru masuk tahap CV, Lo kan berhak buat nolak, Bang, setahu gue.”
“Bacot Lo bocah! “ Fauzan menenggelamkan wajahnya di bantal. “Gue tahu rasanya di tolak sesakit apa. Dan sekarang gue harus nolak orang. Cewek lagi...gimana entar perasaan dai. Gue yang cowok aja nangis, gimana dia? “ resah Fauzan.
“Lagian dia kok cepat banget langsung terima.” Haikal bergumam pelan.
“Lo masih nanya! “ Fauzan melempar bantal ke wajah Haikal. “Semua itu karena Lo! Kalian berdua! Rani pasti mikirnya gue juga pasti gak akan nolak. Kan kalian yang buat seolah-olah perasaan orang bisa diatur kayak acara.”
“Heheheheh... Maaf Bang.” Haikal mengaruk kepalanya, tidak mengira bahwa perjodohan ini malah sangat rumit. “Maklum Bang, masih amatiran... “ Haikal nyengir.
“Amatiran...amatiran...” Fauzan mencibir.
“Terus gimana, Bang?” tanya Haikal, beringsut mendekati Fauzan yang menenggelamkan semua wajahnya di bantal, nyaris tanpa suara, tubuhnya juga tidak bergerak. Jika saja Fauzan tidak mengangkat kepalanya di panggil kedua, mungkin Haikal sudah mengira abangnya sedang aksi bunuh diri.
“Lo pikir gue harus apa?! Otak gue buntu.”
“Hem, mau dengar saran gue gak, Bang? “
“Gak!” tolak Fauzan cepat.
“Dih gitu amat, dengerin dulu aja kali,” Haikal memutar bola matanya, jengah. “Coba aja dulu, Bang, siapa tahu kalian cocok.”
“Coba dulu?” Fauzan mengulang, Haikal mengangguk-ngangguk yakin. Plak. Lagi kepala Haikal terkena toyoran Fauzan. “ Sudah gue duga ide Lo pasti gak akan bener. Enak banget bilang coba aja dulu, ini mau nikah bukan mau pacaran yang seenaknya kalo gak cocok langsung putus.”
“Terus Lo mau apa Bang sekarang? “ tanya Haikal, mengenyampingkan rasa kesalnya ditoyor terus.
“Banyak tanya Lo! “ Fauzan bangkit, tangan kekeranya yang sering digunakan men-dribbel bola basket, mendorong tubuh Haikal menuju pintu kamar.
“Eh..eh, Bang, kok, mau kemana... “
“Bacot!” sentak Fauzan. “Gue mau tidur, keluar sana!”
“Eh, tapi ini kan kamar gue?” Haikal hendak menerobos masuk, mulai sadar abangnya sedang melakukan kudeta pada kamarnya.
“Karena Lo seenak jidat ngasih CV gue, ini hukuman buat Lo. Malam ini, ini jadi kamar gue!”
“Eh, gak bisa—“
Brak. Pintu tertutup tepat di depan hidung Haikal.
“Bang!” teriak Haikal kesal. “Bukain! Gue ada PR belum dikerjain! “
“Gue minta maaf deh, Bang. Gak lagi-lagi gue gini.”
“Bang bukain dong. Gue ambil buku aja nih.. Cuman buku doang, terus gue keluar lagi.”
“Bang, buruan bang, gurunya tuh galak banget. Bisa habis gue kalo gak buat PR.”
“Bang....”
“Mata gue lagi merem, jadi gak denger Lo ngomong apa,” sahut Fauzan dari dalam kamar.
Haikal berdecak kesal. Tidak ada gunanya membujuk manusia berkepala batu itu, sia-sia. Haikal beranjak ke kamar abangnya, maksud hati untuk tidur di sana, tapi yang terjadi, kamar itu dikunci.
“ABANG!! “
**
Haikal mencak-mencak datang ke sekolah, wajahnya kusut begitu pun langkah kakinya yang berat akibat ngantuk. Haikal sempat berpapasan dengan Fatiah saat di koridor sekolah, tapi karena hawa ngantuk, mata Haikal tidak sampai menyadari orang yang melewatinya Fatiah, saat sudah sampai di kelas Haikal baru sadar.
“Oh, iya, tugas...” Dengan lesu Haikal, membuka tasnya. Dia belum membuat PR lagi-lagi karena ulah abangnya itu. Tidak baik memang mengerjakan PR di sekolah, tapi Haikal tidak punya pilihan, ini keadaan darurat. Dan Haikal memang sengaja datang sepagi ini untuk melancarkan aksinya itu. Tidak ada orang di kelas, hanya dia seorang.
“Assalamualaikum...” Suara perempuan menghentikan kegiatan khidmat Haikal membuat PR dengan kecepatan maksimal.
Haikal mendongka. “Waalaikumsalam.”
“Eh, ada apa? “tanya perempuan yang tidak lain Fatiah. Fatiah sengaja tidak masuk kelas karena hanya ada Haikal di sana.
Haikal mengernyit, tidak paham akan pertanyaan Fatiah. Melihat Haikal bingung, Fatiah memperjelas kalimatnya.
“Kenapa manggil aku? “ tanya Fatiah lagi,
Haikal meringgis, sejak kapan ia memanggil anak kelas lain ke kelasnya? Lingkup pertemanannya saja hanya sebatas Dzawin dan Dzawan. Haikal tidak seterkenal itu punya teman dari kelas lain, ya.. Selain Fatiah.
“Kal,” panggil Fatiah yang mulai bingung menunggu jawaban Haikal.
“Siapa yang manggil ka—“
“Aaargghhh!!!! “ tiba-tiba ada yang melempar kecoa di dekat kaki Fatiah. Fatiah berteriak kencang dan berjingkrak kaget masuk ke dalam kelas, belum pulih dari rasa kaget, tiba-tiba ada tangan yang menarik pintu kelas. Pintu kelas terkunci dari luar.
Haikal melonggong bingung sebenarnya apa yang terjadi.
“Eh, kok ke kunci sih ?” tanya Fatiah yang baru pulih dari kagetnya.
Haikal mengangkat bahunya ke atas. “Kayaknya ada yang sengaja ngunci deh...”
“Iya, tadi aku liat ada yang sengaja juga ngelempar kecoa. Di dekat kaki aku.”
“Liat siapa orangnya? “
Fatiah menggeleng pelan. “Ke tutupan tembol tadi mukanya.”
“Oh, orang iseng mungkin,” asumsi Haikal yang tidak ingin repot-repot menerka.
“Iya mungkin,” sahut Fatiah. “Terus gimana aku keluar dari sini? “
“Lewat jendela aja.”
“Aku? “
Haikal mengernyit, kenapa ekspresi wajah Fatiah kaget seperti itu, seolah pernyataannya tadi sangat aneh. Anak kelasnya biasa sih lewat jendela kalo lagi malas lewat pintu, ya, biasanya emang anak cowok yang sering ngelakuin itu, karena jendele yng cukup tinggi jadi menyulitkan anak cewek yang menggunakan rok panjang. Ah... Hikal baru ngerti kenapa wajah Fatiah kaget seperti itu.
“Oke, karena itu pintunya ke kunci dari luar. Biar aku aja yang keluar dari jendela. Buka pintu, dan kamu bisa keluar dari pintu.
Fatiah mengangguk setuju. Haikal langsung menggeser meja, agar bisa dijadikan alat untuknya melompat dari jendela, semoga saja tidak ada guru BK yang berkeliling, bisa mampus Haikal jika ketahuan melompat dari jendela. Baru hendak melangkah menjulurkan kakinya keluar jendela, kepala Haikal berulah karena kurang tidur semalam, keseimbangan tubuh Haikal terganggu, dan bruk.... Kaki Haikal kepleset, lututnya sedikit menghantam ujung meja.
“Eh, Kal, kamu gak pa-pa? “ Fatiah panik.
Haikal meringgis tapi tidak separah itu untuk mengubah ekspresi wajah orang lain. Haikal mengangkat tangannya membentuk simbol oke.
“Tapi, kayaknya aku gak bisa lompat lewat jendela deh. Lututku lumayan nyeri.”
“Eh, iya, gak papa kok. Gak usah dipaksain,” kata Fatiah. “Bentar lagi juga pasti banyak anak kelas kamu yang datang.”
“Iya bener juga.” Haikal mengelus lututnya. Bertepatan dengan itu, tiba-tiba ponsel Haikal di atas meja bergetar. Fatiah menawarkan diri untuk mengambilnya. Haikal setuju.
“Ada notif dari i********:,” kata Fatiah, menyerahkan ponsel Haikal lalu memilih duduk di salah satu kursi yang jauh dari Haikal.
“Astagfirullah! “ tiba-tiba Haikal terlonjak dari duduknya. Kepalanya menggeleng -geleng dramatis, pandangnya belum beralih dari layar ponsel.
“Eh, kenapa? “terpancing rasa penasaran Fatiah bertanya.
“Ini.” Haikal menunjukkan sesuatu pada layar ponselnya. Fatiah memicingkan mata, tidak mampu melihat apa yang Haikal tunjukan karena jarak mereka yang terlalu jauh.
“Apa? “tanya Fatiah lagi.
“Semua ini ulah mereka,” kata Haikal. “Haikal Fatiah lovers ..”
“Ha?” Kening Fatiah berkerut. “Itu apaan ?”
“Aku juga gak tahu, tapi dari bio di akun mereka, katanya mereka kayak fanbase.”
“Fanbase kita? “ Mata Fatiah membulat sempurna. “Eh, kok?! “
“Aku juga gak tahu kapan dan kenapa.” Haikal kembali duduk. “Dan mereka nuntut kita buat mengaminkan keinginan mereka.”
“Keinginan apa? Mereka buat ulah apa? “ tanya Fatiah gemas.
“Semua ini. Dari mulai pura-pura manggil kamu ke sini, sampai lempar kecoak dan nutup pintu. Mereka gak mau bukain pintu kalo kita gak buat siaran ngumumin kalo kita emang punya hubungan spesial,” Haikal jengah membaca pesan dari salah satu akun yang katanya fans mereka.
“Mereka gila ya! “Fatiah berdecak keras, kenapa semua yang berhubungan dengan sosial media sejak dulu selalu membuatnya kesal. Terkenal, fans, semua itu membuatnya muak
“Dek, sekarang kamu pura-pura tidur ya, mama mau foto.”
“Tapi Iah gak mau tidur, Ma. Kaki Iah sakit.”
“Bentar doang. Mama cuman mau foto kamu lagi tidur di kasur rumah sakit. Tante-tante online kamu pada nanyain nih...”
Haikal kaget mendapati reaksi Fatiah yang tiba-tiba terlihat sangat marah. Fatiah yang biasanya sangat jarang mengangkat wajahnya, matanya yang biasanya menunduk, menyalak besar.
“Iah, kamu baik-baik aja, kan? “ panggil Haikal.
“Iah... “
“Fatiah... “
“MAU SAMPAI KAPAN MAMA GITU! AKU GAK MAU TERKENAL KAYAK MAMA!”
**