LI

1660 Words
“Fatiah! Dari mana kamu! “ “Memangnya kenapa? Tumben mama sama papa khawatir? Atau jangan-jangan ada kamera ya di sini?” Fatiah memicingkan matanya, menatap ke atas setiap sudut rumahnya yang tidak nyaman ini. “Lagi ikut reality show, gitu ya?” kata Fatiah berbisik. “Mama tanya, kamu ke mana tadi? Kenapa kamu gak ada di sekolah?” Wanita di hadapan Fatiah menatap tajam Fatiah. Tatapan yang seharusnya membuat gadis yang baru duduk di bangku SD kelas enam itu menunduk takut layaknya anak normal yang tidak suka jika ibunya marah, tapi apalah daya Fatiah, dia sudah terlalu sering melihat tatapan itu, itu bukan hal baru buat Fatiah. Dalam segala kesempatan ibunya selalu menatapnya dengan tatapan seperti itu, semua yang dia lakukan selalu salah, bahkan jika bernafas juga dihukumi sebagai kegiatan, perempuan di hadapannya ini pasti akan memarahinya. “Ma, jangan marahi adek. Adek mungkin bosan sama pelajarannya.” Sebuah tangan merangkul pundak Fatiah, seorang gadis yang tak lain kakaknya menatap Fatiah penuh iba. “Kamu kenapa bolos?” bisiknya. “Boleh aku ke kamar sekarang? Bukannya mama yang selalu bilang untuk langsung ke kamar jika pulang sekolah?” Fatiah melepaskan pelukan hangat kakaknya. Langkah kecilnya melangkah melewati mereka semua yang di sebut keluarga. “Tunggu dulu! “ Tiba-tiba lengan Fatiah di tarik. “Kamu kenapa bau alkohol? “ Fatiah mengerjap memegangi kepalanya yang berdenyut tidak karuan. “Eh, kok aku ada di sini? “ Fatiah terlonjak begitu penglihatan matanya menampilkan dengan sempurna di mana dia berada. “Rumah sakit? “ Tolong, bisa jelaskan apa yang terjadi? Seingat Fatiah, terakhir kali dia berada di kelas bersama Haikal, lalu dia marah dan sekarang dia ada di ruang serba putih ini? Fatiah beranjak, . dari kasur, melepas selang infus yang menempel di tangannya, dia sudah sadar jadi selang infus itu tidak dibutuhkan lagi, kan? Fatiah berjalan mondar-mandir memikirkan kemungkinan adegan yang terjadi sampai dua bisa ada di ruangan ini. “Semoga semuanya baik-baik aja, semua bakal baik-baik aja, aku gak ngelakuin apa pun. InsyaAllah baik-baik aja.” Fatiah merancau tidak jelas. Kalimat itu terus ia ulang-ulang, sampai terdengar derap pada gagang pintu pertanda ada orang yang akan masuk. Fatiah berpikir cepat, harus kembali ke kasur atau duduk di sofa aja untuk menunjukkan dia baik-baik saja. “Eh, Iah, kok udah berdiri aja sih? “ Fatiah kalah cepat. Dia tertangkap sednag melangkah menuju kasur. Beruntung yang masuk Billa. “Bill.” Fatiah menghela nafas panjang. “Bagus kalo Lo datang. Gue butuh penjelasan sekarang. Lo harus jelasin semuanya dari awal.” Bukannya menjawab, Billa malah memandangi Fatiah dengan tatapan yang tidak Fatiah mengerti. Fatiah menggerakkan kepalanya bertanya kenapa, lalu seulas senyum tampil di wajah Billa. “Aneh, aja, logat kamu kok mendadak berubah. Terus gak biasanya kamu pake gue-lo. Kesambet jin Jakarta mana nih? “kekeh Billa. Berbeda dari wajah Billa yang menganggap itu hal biasa, wajah Fatiah seketika langsung merah padam. Fatiah langsung membekap mulutnya. “Udah cocok jadi anak Jakarta nih,” tambah Billa lagi. Fatiah tidak merespon, tangannya masih setia menutup mulutnya. Billa menoleh bingung. “Kenapa, Iah? Kamu gak enak badan lagi? Mau muntah ya?” Fatiah menggeleng. “G-gak.” “Ih, kamu buat aku cemas aja deh, dari tadi pagi tadi tahu.” Cemas... Fatiah langsung mendekati Billa yang hendak menarik satu kursi agar bisa duduk di sebelah ranjang Fatiah. “Gimana ceritanya? Aku gak ngelakuin hal-hal aneh, kan? “tanya Fatiah cepat. “Hal aneh apa? Orang kamu pingsan, gak sadar-sadar sampai semua orang panik. Terus si, siapa itu yang teman cowok kamu itu? “ “Haikal,” jawab Fatiah cepat. “Nah, dia yang nelepon ayahnya buat minta kamu di antar ke rumah sakit. Soalnya lima jam kamu gak sadar-sadar, bidan yang dipanggil ke uks juga takut ada apa-apa gitu sama kamu, makanya kamu ada di sini.” Billa berhenti sejenak, memandangi Fatiah yang terlihat sehat-sehat saja. Alis Fatiah terangkat, merasa bingung dengan tatapan Billa. “Tapi kamu sekarang kelihatan baik-baik aja. Kok bisa pingsan sampai lima jam? “ Billa mengaruk kepalanya yang tertutup hijab. Fatiah mengangkat pelan bahunya. “Jangan bilang kamu ada riwayat penyakit berat, terus selama ini kamu pendam aja. Supaya gak ada yang khawatir....” Fatiah hampir tertawa geli dengan praduga Billa yang terlalu ala-ala dunia n****+. “Sebenarnya aku emang ada sebuah rahasia. Tapi kamu harus janji gak akan pernah ceritai hal ini ke orang lain.” Billa memandang serius Fatiah, kepalanya pelan-pelan mengangguk khidmat. “Janji.” “Sebenarnya aku itu,” Fatiah sengaja berhenti. Raut wajah Billa makin diambang penasaran akut. “Titisan putri tidur...” tawa Fatiah pecah. Raut wajah serius Billa langsung sirna. “Aku pikir kamu beneran ada penyakit!” protes Billa. “Ya gak lah. Mungkin tadi aku tuh kecapean aja. Makanya pas pingsan, ya sekalian aja tubuh aku minta istirahat,” tambah Fatiah. “Tapi gak wajar sih, ada orang pingsan persis orang koma gitu.” “Ya wajar-wajar aja. Buktinya aku contohnya.” “Iya juga sih...” Billa akhirnya setuju dengan penjelasan Fatiah. “Atau jangan-jangan emang kamu tidur ya tadi. Awalnya emang pingsan, terus sadar, terus tidur lagi? “ “Astagfirullah ukhti, gak boleh fitnah gitu.” Fatiah menggeleng-geleng dramatis. “Aku beneran pingsan loh tadi.” “Astagfirullah, ya Allah, maaf, Iah, gak maksud gitu...” Billa mode panik on. Fatiah cekikikan. Ada-ada saja temannya. “Btw, jadi orang asrama udah pada tahu kalo aku pingsan?” Billa mengangguk cepat. “Di asrama lagi sibuk tahu.” “Sibuk apa? “ “Donatur terbesar kita mau pada datang.” “Ha?” mata Fatiah membesar. “Ngapain? “ “Entahlah,” Billa mengangkat kecil bahunya. “Tiba-tiba aja mereka nelepon mau datang, setelah kabar kamu pingsan merebak.” Fatiah tertegun, menanti kalimat Billa selanjutnya yang nampak berpikir sejenak sebelum menyambung kalimatnya. “Katanya mau sekalian ikut ustadzah buat besuk kamu.” Billa memandangi Fatiah dengan seksama, membuat tenggorokan Fatiah seketika terasa gersang seperti di gurun pasir. “Aneh ya...? “ “Ha? “ “Ini kali pertama donatur kita nunjukin dirinya, biasanya kan hak pernah mau.” Billa tersenyum kecil. “Pasti kamu juga bingung. Beban banget kalo ada orang kaya bertandang,” Billa tertawa pelan, “Entar kamu tidur-tiduran jas biar gak banyak ditanya.” “Ck! “Fatiah mendesah kesal. “Mau apa coba mereka datang ke sini? “ “Sabar ukhti,” Billa menepuk-nepuk pelan pundak Fatiah, berlaga akan memberi semangat. “Harus berpikiran positif. Siapa tahu mereka besuk buat jadiin kamu calon mantu.” “Ngawur mana ada mereka anak laki-laki,” sahut Fatiah cepat. Tangan Billa berhenti mendadak. Billa mengerjap, menatap Fatiah lekat. “Kamu kenal siapa donatur kita? “ ** “Aku beberan hak nangka banget loh...” Billa mendekap erat bantal miliknya, sebagai pelampiasan akan rasa senang yang berlebihan. “Ternyata artis.. cantik banget aslinya.” “Eh, iya, tah? Siapa? “ tanya Rani langsung mengubah posisinya menjadi duduk menghadap Billa. “Itu, Sofia.” “Sofia?” mata Rani membulat telur seiring anggukan yakin Billa. “Artis, model, penyanyi yang lagi naik daun itu? “ “Iya, Kak, asli, cantik banget loh orangnya. Nih liat aja fotonya.” Billa meraih ponselnya. Rani langsung beringsut meninggalkan kasurnya, berpindah ke kasur Billa. “Masyaallah, ini mah bidadari. Cantik banget...” “Ih kalo liat aslinya, dua kali lipat dari ini, Kak. Aku aja sampai kedip-kedip Gak percaya ada manusia kok secantik itu.” Billa menggelang-geleng dramatis membayangkan bagaimana dia tadi sore saat bertemu artis yang memiliki banyak followers itu. “Kamu cuman punya foto satu doang sama dia, tah? “ tanya Rani yang masih mengkudeta ponsel Billa. “Iya, tadi dia buru-buru. Pas aku datang, udah mau pulang kak Sofia nya.” Billa mengantup bibirnya. “Fatiah tuh banyak kayaknya foto sama beliau. Beruntung banget dia.” “Gak seberuntung itu juga. B aja,” sela Fatiah tiba-tiba dari luar. “Eh, Iah dari mana?” tanya Billa, mengiringi langkah gontai Fatiah yang memilih menjatuhkan dirinya di sudut tembok, menempelkan pundaknya di sana, nafasnya terlihat berantakan, Fatiah menarik nafas dalam-dalam. “Habis di suruh bersihin got depan tuh,” katanya dengan mata terpejam. “Dih parah ustadzah, orang baru sakit malah di suruh bersihin got,” cibir Rani. Billa masih jadi pendukung di belakang Rani. Fatiah membuka matanya, mengelap keringat di dahinya. “Iya nih, capek banget.” “Udah gak sakit lagi kamu, tah? “ tanya Rani. “Gak sih, Mbak. Alhamdulillah.” “Eh, Iah, kata Billa kamu banyak ya foto sama artis kemarin? Liat dong...” Fatiah menoleh, menatap sayup Billa dan Rani secara bergantian. “Cuman satu. Yang lainnya aku hapus.” “Ha? Kamu hapus?! “ Rani melotot. Fatiah tidak mengerti, kenapa ekspresi keduanya terlihat sangat berlebihan. “Masa foto sama artis kamu hapus sih?” “Serius kamu hapus, Iah?” timpal Billa, dengan mulut mengangga. “Iya, HP aku penuh.” “Kenapa gak hapus foto yang lain aja. Kenapa foto sama artis malah di hapus?” kata Rani. “Cuman foto itu yang gak penting.” “Foto sama artis juga penting tahu.” “Pentingnya di mana?” pertanyaan Fatiah membuat Rani dan Billa seketika membisu, mereka juga bingung apa sebenarnya yang spesial dari bisa berfoto dengan artis. “Gak ada!” sarkas Fatiah. “Ada Loh... Kan bisa kita upload di sosial media,” jawab Billa. “Buat apa? Buat dapat pujian? Pengakuan dari orang-orang kalo kita hebat karena bisa foto sama artis? Apa kamu segitu hausnya validasi dari orang? Terus apa bedanya kita sama Firaun? Sama-sama haus validasi, sombong, suka pamer ?” Billa mengerjap, tidak sampai berpikir ke sana. Dia hanya ingin seperti orang-orang yang bersenang-senang dengan mengupload foto dirinya dan artis. Berfoto dengan artis itu sulit dan disitulah titik istimewa kalo mereka bisa berfoto dengan artis. “Gak seburuk itu juga Fatiah. Kok kamu malah nyamain kita sama Firaun sih?” Billa mendesah kesal. “Kamu kenapa sih, dari kemarin kalo bahas artis itu bawaanya marah terus?!” **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD