LII

1589 Words
“Dek...! “ Sebuah bantal melayang tepat mengenai wajah Haikal yang tengah fokus menatap layar ponselnya. “Ngapain sih? Sibuk banget...” Tidak peduli tatapan kesal Haikal, Fauzan naik ke atas kasur, menjatuhkan dirinya di sebelah Haikal. “Bang, bisa gak jangan ganggu gue dulu? “Haikal mendesah frustasi. “Masih sakit tuh lutut? “ Fauzan tidak menghiraukan protes Fauzan. “Udah agak mendingan.” “Emang Lo apain? “ “Di kompres air dingin tadi sama ayah.” “Udah enakan? “ tanya Fauzan lagi. Haikal melirik abangnya dengan sudut ekor matanya, memastikan pertanyaan tadi, benar-benar pertanyaan bukan olokan dari sifat usil abangnya itu.. Yang Haikal dapati Fauzan menatap lekat lututnya dengan bibir melengkung sedikit ke bawah, alisnya nyaris bertaut. “Iya, alhamdulillah udah enakan gak nyeri lagi.” kata Haikal selengkap-lengkapnya. “Gue baik-baik aja Bang, gak perlu khawatir.” Pluk! Lagi wajah Haikal menjadi sasaran lempar bantal Fauzan. “Siapa yang khawatir. Gue cuman lagi mikir.” Haikal mencibir. Dasar besar gengsi, bilang aja sih kalo khawatir. “Ya udah sana keluar kalo gak khawatir.” “Gue lagi mikir, gimana proses lutut Lo bisa ciuman sama ujung meja.” Haikal berdecak keras, meraih bantal, maksud hati mengenai wajah songong abangnya itu, tapi yang terjadi, Fauzan berhasil selamat dari bantal melayang. Fauzan tersenyum penuh kemenangan. “Udah ah bang, gue lagi sibuk nih,” usir Haikal. Bukannya pergi, Fauzan malah makin mengokohkan dirinya di kasur Haikal. “Sibuk apa Lo? Main hp doang gitu.” “Gue lagi sibuk browsing..” kata Haikal, dengan pandangan yang sepenuhnya sudah fokus pada layar pipih di hadapannya. “Cari apa?” Kepala Fauzan menyundul ke arah ponsel Haikal. Dengan gerakan cepat Haikal langsung menjauhkan ponselnya dari jangkauan mata panjang abangnya itu. “Dek, gue mau liat! “ “Gak boleh, ini privasi gue, Bang! Lo gak boleh asal liat-liat aja,” protes Haikal. “Ih jangan-jangan,” Fauzan mengganti posisi menjadi duduk. “Lo browsing hal yang gak-gak ya, makanya Lo takut gue liat...” Haikal memicingkan matanya. “Idih, sembarangan aja. Gue gak browsing yang aneh-aneh.” Fauzan terkekeh. Lalu kembali merebahkan dirinya di kasur. “Bang...gue mau tanya...” “Hem, tanya apa?” Fauzan bergumam, dia sudah hampir terlelap jika tangan Haikal tidak dengan lancang tiba-tiba mengoncang-goncang pundaknya. “Emang ada orang yang punya sindrom takut terkenal? “ tanya Haikal. “Hem....” Fauzan bergumam pelan. AC di kamar Haikal selalu berhasil membuainya untuk tertidur. “Bang....” panggil Haikal setelah menunggu lima menit, tidak kunjung terdengar suara abangnya. “Bang...” Haikal menyolek pundak Fauzan yang membelakanginya, tidak ada tanggapan. Haikal mendekatkan tubuhnya, terdengar suara dengkur halus. “Bang, Lo tidur ya!” Haikal mendengus kesal. Dia ingin bertanya malah ditinggal tidur. Haikal bangkit dari kasurnya, kepalanya sejak semalam masih dipenuhi dengan kejadian kemarin. Aku gak mau terkenal kayak mama! Teriakan itu terasa masih menggema di telinganya. “Apa maksudnya ?” Haikal sekali lagi mem-browsing mengenai macam-macam pobia aneh yang ada. Tidak Haikal temui pobia mengenai rasa takut terkenal. “Sebenarnya Fatiah kenapa? “ gumam Haikal. ** Fatiah menatap selembaran berwarna kuning yang baru ia cetak bersama Billa. Selembaran berisi tentang kegiatan bantuan sosial ( bansos ), pandangan gadis itu memang terarah pada lembaran- lembaran yang sekarang sudah di tumpuk di meja TU, tapi pikiranya tidak kearah sana. Fatiah masih terbayang-bayang kejadian di kelas waktu itu. Apa saja kira-kira yang ia katakan sebelum pingsan. Fatiah hanya ingat, bahwa dia meneriaki Haikal lalu setelahnya Fatiah tidak ingat apa pun. “Fatiah, hari ini gak ada kerjaan, kan? “ tanya ustadzah Lala tiba-tiba, menghentikan Fatiah dari lamunan panjangnya. “Gak ada kerjaan, kan? “tanya ustadzah Lala lagi. Fatiah berdeham pelan, tidak langsung menjawab. Gadis itu berusaha berpikir cepat akan pertanyaan yang sepertinya akan berlanjut pada tugas-tugas berikutnya, tapi apalah daya, karena tidak enak hati membiarkan ustadzah menunggu, kepala Fatiah sudah lebih duluan menggeleng menjawab pertanyaan tersebut. “Ustadzah minta tolong ya..” Tuhkan... baru juga sampai, masa udah langsung disuruh keluar lagi, batin Fatiah. “Kamu tolong cek-in ya siapa aja yang daftar. Kamu jadi admin pendaftaran relawan,” kata ustadzah Lala sembari membuka laptop miliknya, menyodorkannya pada Fatiah. “Nanti kamu catatin siapa aja yang mau jadi relawan. Gitu doang, bisa, kan? “ Mata Fatiah menjelajah cepat, membaca apa yang tertera di layar laptop. “Ustadzah, ini relawan apa sih? Relawan buat bansos? “ Ustadzah Lala mengangguk. “Kita butuh tenaga pria, tapi anak mahad cowok juga lagi ngadain bansos di mahad, jadinya mereka gak bisa buat datang ke sini. Makanya pihak mahad nyarani buat open relawan.” “Oh gitu.” Fatiah mengangguk-ngangguk, paham. “Tolong ya, kamu data.” “Iya, ustadzah.” . . “Dek, tanggal lahir berapa? “ “Parah banget sih Bang, tanggal lahir adik sendiri gak ingat. “ Haikal mengetuk-ngetuk pelan pulpennya, kedatangan Fauzan ke kamarnya selalu berhasil membuyarkan semua konsentrasinya yang berusaha mati-mati fokus mencari nilai X dan Y. Sepertinya saran Dzawin untuk memasang gembok di pintunya akan segera Haikal realisasikan. “Iya gue lupa tanggalnya, sembilan apa sepuluh? “ tanya Fauzan. “Sebelas.” “Oh iya, ya, sebelas.” Fauzan tersenyum lebar, tangannya dengan lincah mengetik sesuatu pada ponselnya. “Cie, kesambet apa nih bang..” Haikal tersenyum simpul, yang dibalas Fauzan dengan sebelas alis yang terangkat. “Takut lupa tanggal lahir gue ya? Pake segala di catat. Jadi terharu..” kata Haikal. Dahi Fauzan masih mengernyit, tidak paham. Haikal melanjutkan kalimatnya. “Gak perlu mahal-mahal kok Bang kadonya. Sepatu vans original dan jaket bomber warna hijau, itu aja cukup kok, Bang.” Setelah sadar akan arah pembicaraan Haikal, Fauzan refleks tertawa, ia menyodorkan layar ponselnya di depan mata Haikal. “Formulir pendaftaran...” Haikal mengeja. “Iya formulir pendaftaran relawan atas nama Lo.” “Ha? Kok gue, Bang? “ “Biar Lo gak nolep,” sahut Fauzan enteng. “Enak aja, Bang! Pekan depan gue udah janji mau main bola kaki. “ “Di mana?” Fauzan memicingkan matanya. “Ehm itu, di..” Haikal gelagapan. “Di kamar, kan? Alias main PS doang kan Lo.” Haikal nyengir lebar. “Bang, gue udah janji sama Dzawan, Dzawin.” “Terus ?” Haikal memutar bola matanya. “Yang artinya gue gak bisa Bang.” “Pekan besok ya. Jangan lupa jam sembilan. Katanya yang namanya udah di daftar gak akan bisa ditarik,” kata Fauzan seraya melenggang pergi. “BANG! Gue gak bisa! “panggil Haikal, yang sama sekali tidak digubris oleh Fauzan yang berjalan terus. “Dasar jomblo! “teriak Haikal, kesal. ** Karena lomba cerdas cermat bahasa Indonesia diundur jadi bulan depan, Haikal dan Fatiah yang sebelumnya kejar tayang dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi lomba, kini diberi kelonggaran waktu satu pekan tanpa ekskul. Sebenarnya itu kabar baik bagi Fatiah hanya saja, Fatiah jadi tidak punya kesempatan untuk bertanya pada Haikal tentang hari itu, sebelum ia pingsan. “Hufffft...” lagi-lagi Fatiah mendesah pelan, hampir-hampir tiap hari dia memikirkan hal-hal buruk yang mungkin saja dia katakan sebelum pingsan. “Kenapa? Gak suka pulang cepat ya? “tanya Billa sembari mengerli matanya, menggoda Fatiah yang sendari tadi memasang wajah kusut, seolah tidak berminat untuk pulang. “Udah biasa pulang sore ya? Atau sedih gak ketemu Aa.” “Apaan sih.” Fatiah cemberut. “Terus kenapa tuh wajah dari tadi kayak banyak banget beban.” Fatiah menghela nafas panjang. “Gak kok, cuman lagi kepikiran hal random aja.” “Contohnya? “ Billa membuka ponselnya. “Ha?” Fatiah menggaruk keningnya. “Udah liat grup? “ “Grup asrama ? “ Fatiah menggeleng. “Hp aku habis baterai.” “Kamu di calonin mbak Rani jadi pembawa acara di acara bansos,” kata Billa. Fatiah mendelik, kabar itu bak petir yang nongol di siang hari baginya. “Kok aku sih? “ Fatiah masih tidak terima. “Aku kan udah di kasih tugas buat jaga stand meja orang yang nau nyumbang.” “Iya yah, ya udah protes aja.” “Kenapa mbak Rani lancang banget sih main calon-calonin orang aja,” Fatiah menghela nafas kuat. “Kenapa gak mbak Rani aja yang jadi pembawa acaranya? Dia kan belum kebagian tugas apa-apa,” Fatiah menghentak kakinya, melampiaskan rasa kesal yang menimbun, gadis itu berjalan dengan sangat cepat, sampai-sampai tidak sadar berpapasan dengan Haikal. Haikal tersenyum dan melambaikan tangan, tapi Fatiah tidak membalas sama sekali, tetap berjalan cepat dengan raut wajah jutek. Billa yang tidak enak hati dengan Haikal yang menjadi korban kekesalan Fatiah, membalas seadanya senyum Haikal, sebelum melangkah cepat menyusul langkah Fatiah. “Kok gitu sih? “tanya Billa yang masih berusaha menyusul langkah Fatiah. “Kenapa jadi marah sama Haikal? Kasihan tuh anak orang jadi bingung tiba-tiba di jutekin.” Langkah Fatiah langsung berhenti mendadak. “Siapa yang dijutekin? “ “Itu Haikal, tadi papasan sama kita.” “Ha? Kok aku gak liat? “ “Itu karena kamu lagi marah. Makanya ke tutup tuh mata.” Fatiah menghela nafas panjang. Entah apa yang Haikal pikirkan tentang dirinya sekarang. Cewek aneh, pemarah...entahlah.. “Iah, kamu lagi ada masalah, kah?” Billa menatap Fatiah dengan seksama. Raut wajah gelisah memang sering sekali terlihat akhir-akhir ini di wajah Fatiah. “Kenapa akhir-akhir ini kamu kayak mudah banget marah. Biasanya kalo pun mau marah, kamu handal buat nahannya.” “Maaf ya Bill, maafin aku,” jawab Fatiah lirih. “Iah...” Billa kaget melihat bahu Fatiah yang tiba-tiba gemetar. “Kamu kenapa?” “Bill....mungkin gak sih, orang jahat jadi orang baik?” Fatiah mengangkat kepalanya, menatap Billa dengan mata memerah. **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD