Haikal masuk ke kelas, belum ada siapa pun di sana. Haikal lalu meletakan tas di bangku dan langsung mengambil ponsel di saku celananya.
Haikal membuka grup yang beranggotakan Dzawin, Dziwan dan dirinya.
“Oi kalian di mana? Jangan lupa hari ini jadwal paket kita. Gue udah di kelas nih, mau gue ambilan sapu gak?”
“Iya ambil. Kita otw nih. Sepuluh menit lagi sampai.”
“Oke..”
Haikal langsung menuju ke aula, untuk mengambil sapu dan kemoceng.
Sekolah memiliki kebijakan bahwa semua kelas harus mengumpulkan sapu, kemoceng dan alat kebersihan di satu ruangan. Meski sapu dan yang lainnya sudah di labeli nama kelas, namun tetap saja, jika telat semua sapu akan habis di ambil atau di pinjam kelas lain. Mereka jadi harus menunggu yang lain untuk bisa piket. Dan itu sangat memakan waktu.
Setelah mengambil sapu, Haikal meletaknya di belakang pintu.
Haikal lalu membenamkan wajahnya di tumpukan kedua tangannya. Sembari menunggu kedua sahabatnya, Haikal barang sejenak bisa tidur menuruti matanya yang masih ingin tidur karena semalam begadang.
Baru Haikal hampir terlelap, sebuah suara menyapa indra pendengarnya.
“Permisi...”
Suara cewek. Semakin menambah kemalasan Haikal untuk mengangkat kepalanya.
“Boleh pinjam sapu gak, bentar aja? Belum di pake kan? Sapu di gudang habis.”
“Iya pinjam aja. Anak kelas berapa? “
“Kelas sebelah.”
“Cepat ya pinjamnya, kita juga belum piket.”
“Iya.”
Setelahnya Haikal benar-benar terlelap.
“Kal ....”
“Oi ...”
“Bangun .... “
Haikal tersentak dari tidurnya. Dzawin dan Dzawan berdiri di hadapan dengan sapu dan kemoceng di tangan mereka.
“Susah banget bangunin Lo..,” kata Dzawin.
Haikal mengerjap, entah sudah berapa lama dia tertidur, kelas yang tadinya hanya ada dia seorang, sekarang sudah ramai banyak orang. Tidak biasanya Haikal bisa tidur sepuas ini dalam keadaan duduk, sampai tidak terbangun oleh banyaknya suara berisik yang ada.
“Buru yuk piket, “ ajak Dzawin. “Sepuluh menit lagi masuk nih.”
“Eh, tapi tadi sapu ada yang pinjam kita.”
“Siapa? “
“Anak kelas sebelas.”
“Ha? Gak ada. Dari tadi ada cuman ada dua sapu.”
“Tapi gue ambil tiga. Ada yang minjam.”
“Lo ngigau kali...”
“Lah kok ngiggau sih...? “
“Orang Lo dari tadi tidur sih... Gak ada anak sebelah yang pinjam, mereka aja nungguin kelas lain mau pinjam sapu.”
“Iya, maksud gue, sebelum gue tidur...” Haikal memutar bola matanya. “Ya udahlah... yang penting ada dua sapu.”
“Orang gak ada yang pinjam,” Dzawin masih kekeh pada pendapatnya.
“Kalo gue bilang ada, ya ada! “ Haikal tersulut emosi, perkataan Dzawin salah dia terjemahkan menjadi kalimat meremehkan.
“Gak ada, Kal...“
“Ada! “
“Gak ada! “
“Ada!”
“Kemarin Lo juga gitu, bilang ada yang pinjam kemonceng. Padahal gak ada.”
“Iya, kemarin itu gue cuman lupa. Sekarang beneran tadi ada yang pinjam.”
Dziwan menghela nafas panjang. “Ya udah terserah Lo aja deh. Makanya jangan kebanyakan begadang. Gak baik buat kesehatan.”
Meski terkesan menang, kalimat Dziwan malah membuat Haikal meragukan dirinya sendiri.
Haikal memilih mengabaikan pikirannya dengan memperhatikan siswa-siswi yang lalu lalang di depan kelasnya sembari membersihkan kaca. Seperti biasa Haikal hanya akan melihat anak kelas sebelah yang rute kelasnya selalu melewati kelas 12 IPA 1.
“Bentar.....”
Suara itu menghentikan pergerakan tangan Haikal. Haikal menoleh, mengedarkan pandangnya. Tapi tidak ada siapa pun di sana, kecuali gadis yang sekarang tengah mencabut rumput halaman depan kelasnya.
Gadis itu berdiri, tersenyum ke arah temannya lalu masuk ke kelas.
.
.
“Kal, diam-diam aja. Kenapa?” tanya Dawan sembari memasukan bakwan ke dalam mulutnya.
“Masih marah soal sapu tadi, Kal? “ sambung Dziwan.
“Apaan, gue ngantuk makanya diam aja,” sahut Haikal, sembari menopang dagunya.
“Ngantuk doang gak lapar ?”
“Gak, malas ngunyah.”
“Idih...males ngunyah. Selain malas keluar kelas, Lo sekarang udah punya hobi baru ya.” Dzawin dan Dzawan terkekeh.
“Eh, tadi ada pengumuman apa sih? “tanya Haikal refleks mengucek pelan matanya yang masih saja mengantuk.
“Pengumuman ekstrakurikuler. Katanya bakal ada ekskul wajib gitu.”
“Ekskul wajib gimana? “
“Entahlah, desas-desusnya semua siswa wajib punya ekstrakurikuler kalo gak ada bakal di masukin ke ekskul wajib.”
“Lo masih ekskul mading, Kal ?”
Haikal menggeleng. “Baru bulan lalu gue keluar dari sana.”
“Wah, siap-siap Lo di masukin ke ekstrakurikuler wajib.”
“Kalian berdua emang punya ekskul?”
Dzawan tersenyum bangga. “Punya dong, ekskul futsal, walau gak aktif setidaknya nama kita berdua terdaftar di klub sana, Lo sih kita ajakin gak mau.”
Haikal menghela nafas panjang. “Ya udah masukin nama gue sekarang deh, gue daftar jadi anggota pasif.”
“Oh tidak bisa furguso, udah di tutup pendaftaran,” kata Dzawin. “Lo dah telat.”
“Ya udahlah gue pasrah....”
“Eh, gue ada ide.” Dzawan menyomot sepotong bakwan terakhir di bungkus sebelum melanjutkan kalimatnya. “Gue dengar anak rohis (organisasi islam) selalu nerima anggota baru. Lo gabung sana aja.”
“Tapi...”
“Dari pada Lo di masuki ke ekskul antabranta, mending ekskul rohis.”
Haikal termenung, pikirnya melayang pada dua pekan sebelumnya. Di mana dia tanpa sengaja membuat masalah dengan ketua rohis putra. Alasannya simpel, mereka berebut sapu yang tinggal satu di gudang.
Haikal spontan menghela nafas berat. “Sulit oi...”
“Sulit kenapa? “
“Gue pernah sengaja ngijak kaki ketua rohis biar bisa dapat sapu. Dan itu kayaknya gak akan melupakan deh, soalnya kakinya bengkak besoknya.”
“Oh iya, gue baru ingat.” Dzawan terkesiap.
“Parah Lo, Kal.” Dzawin menggeleng-geleng dramatis.
“Terus gue mesti gimana?”
“Ya udah santai aja. Dalam Islam kan gak boleh dandam. Dia pasti legowo.”
“Lo tenang aja, kita berdua bakal bantuin Lo buat di terima di sana.”
“Caranya? “
**
Setiap malam jumat, semua santri akan berkumpul di aula untuk membaca surah Al-Kahfi dan yasin bersama-sama.
Fatiha sudah siap dengan mukena bunga-bunga miliknya, di bahunya tersampir sajadah yang dilipat menjadi kecil dan Al-Qur’an berukuran sedang di tangan kanannya.
“Guys, kuy ke aula,” seru Fatiha.
“Bentar, Iah, “ kata Billa sembari melipat sajadahnya.
Lail sedang di kamar mandi mengambil wudu, Lingsi menunggu gilirannya di ambang pintu. Sedangkan Rani duduk bersila di dekat pintu kamar sembari memainkan ponsel, dengan mukena yang sudah terpasang rapi.
“Mbak Ran udah siap? Ke aula sekarang yuk...,” ajak Fatiha.
“Ayo.” Rani bangkit mengganti ponselnya dengan mushaf Al-Qur’an.
“Iah, tadi kamu udah ambil rantang makanan, kan? Lauknya apa? “
“Ikan kuning.”
“Ikan kuning lagi? “ Rani mendesah pelan.
Beberapa pekan ini, ikan kuning menjadi menu andalan catering, entah kenapa. Banyak santri yang mengeluh perihal bosan atau tidak terlalu bumbu kuning yang membuat ikan menjadi sangat berminyak.
“Bosen banget tahu. Aku nanti mau protes deh sama abang catering-nya biar menunya di ganti. Anak yang lain juga pada bosen, aku liat di tong sampah banyak banget yang dibuang, kan sayang banget...”
“Iya nanti mbak bilang aja ke abangnya, biar menunya di ganti.”
“Eh, Iah, orang yang pernah video call kamu itu siapanya Bila ?”
“Ha? “
“Iya, kayaknya bukan abangnya ya? Kok gak mirip wajahnya. Bukan abangnya, kan? “
Fatiha mengangguk samar, tidak ingin jelas mengatakan ya atau tidak.
“Kamu tahu gak dia siapa? Soalnya waktu ke mahad putra aku pernah gak sengaja liat dia sama Billa.”
“Kapan mbak? “
“Hem, beberapa hari yang lalu.”
“Oh...”
“Memangnya kenapa? Kamu tahu ya? “
“Tahu apa mbak? “
“Siapa dia? “
“Ha? “
“Teh Rani, Iah, buruan ke aula.....” sela Gina, heboh.
Rani mendumel pelan, mencepatkan langkah, santri yang ada di belakang mereka juga mempercepat langkahnya ke aula.
“Eh, aku balik ke kamar bentar,” Fatiha memutar langkahnya.
“Iah, kok balik lagi sih? “ tanya Lingsi dan Lail yang baru saja keluar dari kamar.
“Billa mana?”
“Masih di kamar.”
Fatiha langsung masuk ke kamar.
“Besok, iya. Hem. Waaalikumsalam.”
Billa berbalik setelah mematikan panggilan telepon. Fatiha berdiri tepat di belakang Billa. Billa nampak terperanjat, tangannya dengan cepat menyembunyikan benda mungil miliknya di balik mukena panjang yang ia gunakan.
“Ngapain, Iah? “tanya Billa, mengalihkan rasa gugupnya.
Fatiha tersenyum kecil, mencoba untuk tidak tahu apa-apa. “Yuk, ke aula. Gina udah heboh tuh panggil kita.”
“Eh—iya.”
Fatiha berbalik, membiarkan Billa dengan gerakan kecil menyimpan ponselnya, menggantinya dengan mushaf Al-Qur’an.
“Bill, gimana soal keputusan kamu? “
“Aku udah lepas dari dia, Iah.”
Fatiha mengangguk kecil.
“Soalnya, mbak Rani bilang liat kamu ketemuan sama dia, di mahad putra.”
Billa spontan berhenti melangkah.
“Serius? Gak mungkin Mbak Rani liat aku!”
“Makanya mungkin mbak Rani salah liat aja,” kata Fatiha.
“Gak mungkin kamu berduaan sama cowok, iya kan?”
“Lagian kamu udah ambil keputusan buat lepasin dia. Aku salut banget sama kamu. Aku tahu ini gak mudah, tapi kamu bisa. Semoga Allah menjaga hati kamu, dan keputusan kamu ini mendapat hadiah terendah dari Allah.”
“Aamiin.”
“Aamiin, makasih, Iah.”
.
.