“WOW, PENULIS KITA DEBAEK BANGET! “Lail heboh menepuk-nepuk pelan bahu Fatiah.
Rani menunduk dalam, seolah tulang-tulang kepalanya nampak sangat lelah untuk menegakkan kepalanya terlalu lama.
“Mbak, patah hati ya? “tanya Bila yang tahu betul ciri-ciri orang yang mengalami galau.
“Iya guys, hati aku remuk, padam, gosong gak bersisa. Dia tiba-tiba nikah.”
“Serius, Mbak?”
“Orang yang mbak suka itu kan? “
Rani mengangguk lemas.
“Mbak yang tabah ya. Mungkin dia emang bukan jodoh terbaik buat, Mbak.”
“Apa yang gak baik dari dia, Iah. Dia sholeh, dia pintar, dia baik, dia sayang keluarga, ngajinya bagus, suaranya merdu, ganteng. Apa yang gak baik dari dia? “
“Dia emang baik, Kak. Tapi bukan buat kakak.,” celetuk Lail.
Rani langsung menatap nanar Lail. “Jadi maksud kamu aku yang gak baik buat dia? “
“Eh?”
“Bukan gitu mbak maksud Lail. Tapi maksudnya gini, jeruk nipis itu baik, asamnya bisa buat ngilangin mual. Tapi jeruk nipis gak baik untuk orang yang maag karena asam yang ada bis abuat maag makin kumat. Sama kayak gitu, mbak baik, dia juga baik. Tapi kalian gak baik untuk saling melengkapi.”
Lail manggut-manggut. “Nah, itu maksud aku, Kak.”
“Mbak Rani, dari pada galau, mending kita nyeblak aja, makan sebelak bareng. Kita pesan level pedes biar manyosss,” sahut Billa.
“Iya Oh, enak ya, malam-malam gini makan sebelak ceker. Kue lah beli,” dukung Lingsi.
“Kuy lah. Biar aku pesen online. Guys kalian mau sebelak apa? Sebelak bakso? Ceker? Atau campur? “
“Aku bakso aja,” sahut Fatiah.
“Aku sama Lingsi ceker ayam.”
“Mbak Rani, apa? “
“Aku mau campur. Level paling tinggi.”
“Minumnya, mau pesen apa? “
“Boba aja.”
“Iya, samain aja guys.’
“Udah aku pesen. Lima menit lagi abangnya sampai.”
“Kalo gitu ana mau beres-beres dulu, mau mandi sama ganti baju. Tolong nanti bayarin dulu, punya ana ya, guys.”
“Iya, Mbak, nanti pakai uang aku dulu aja,” sahut Billa.
“Syukron.”
“Eh, abangnya dah sampai. Duh, kurang seribu nih guys. Ada yang punya seribu gak? Iah punya? “
“Hm, punya. Ada di saku jaket. Jaket yang di gantung dekat jendela itu, Bila.”
“Oh, jaket itu? Aku izin ngambil ya.”
“Iya, ambil aja Bil.”
Bill merogoh saku jaket berwarna biru dongker. Jaket yang tadi Fatiah pakai saat di rumah sakit.
Tangan Billa mendapati logam bulat yang ia kenal uang receh seribuan. “Akhirnya dapat juga.”
Billa menarik kembali tangannya keluar, tapi tanpa sengaja punggung tangan Billa menjatuhkan keras benda kecil yang sekilas seperti struktur belanja di minimarket atau mall.
“Kertas apa ini? “ Billa mengambilnya. Membaca tulis yang ada di sana, sebelum akhirnya dia terdiam seribu bahasa. Kaget.
Itu bon administrasi rumah sakit.
“Di saku jaket, Iah? “
“Itu artinya...”
“Eh, siapa yang mesem sebelak ? Abang kurirnya udah nungguin noh di depan pagar,” teriak Gina.
Billa tersadar. Buru-buru ia menyimpan kertas bon itu, lalu melangkah cepat ke gerbang utama mahad.”
“Ini, Bang uangnya. Makasuh ya.”
“Iya sama-sama, Neng.”
Untuk sampai di kamar enam, Billa harus melewati aula. Di sana Billa bertemu ustadzah yang namoak khusyuk membaca sesuatu di tangannya, sebelum akhirnya melirik dari atas buku.
“Pesen makanan, Bil? “
“Na'am ustadzah.” Billa mengangguk canggung.
“Beli makanan apa sih malam-malam gini?”
“Biasa Ustadzah lagi pengin sebelak.”
“Oh alah.” Ustadzah Lala mengangguk kecil setelah rasa keponya terlunaskan. Tapi kini Billa yang balas memutar langkahnya, menghadap ustadzah Lala sepenuhnya.
“Ustadzah Lala, tadi ada donatur yang datang ke rumah sakit ya, besuk ana? Ustadzah Lala tahu gak siapa donaturnya? “
“Emang tadi siang ada donatur ya datang ke rumah sakit? Perasaan gak ada donatur yang datang.”
Billa membisu, terusik akan apa yang dia temukan di saku jaket Fatiah.
“Memangnya kenapa? Pas ustadzah datang, semua udah beres. Bahkan biaya administrasi. Kata Fatiah kamu yang bayar sendiri.”
“Bayar sendiri? “ Mata Billa melebar, tapi tidak sampai membuatnya mengekspresikan wajah kaget. Ustadzah Lala juga tidak menyadari itu. Billa langsung pamit kembali ke kamar.
“Ye, seblaknya sampai...,” sorak Lail girang, di tangannya sudah sedia mangkuk dan sendok. “Kuy guys, makan.”
Mereka semua berkumpul di sudut depan kamar, tempat yang masih memiliki ruang di dalam kamar.
Di sana mereka meletakan meja mini yang di ambil dari aula yang digunakan untuk kajian, diubah menjadi rak untuk meletakkan beberapa sendok dan piring yang mereka dapatkan dari hadiah deterjen. Di bagian atas kadang digunakan untuk meletakkan roti, mie dan s**u kaleng jika tiba-tiba lapar di malam hari, atau saat catering datang terlambat.
Sembari makan mereka bercerita banyak hal, kadang melempar godaan, gurauan dan kata kata bijak ala-ala motivator seminar untuk Rani yang tengah patah hati.
Mereka selesai tepat saat jam menunjukan pukul sebelas malam. Lail mengusap perutnya yang sekarang sedikit mengembung. "Masyaallah kenyang banget. Kalo dah gini bawan jadi ngantunk."
"Iya ih, mau bobok ah." Lingsi bangkit, menuju sekat tempat tidur, membentak kasur miliknya bersebelahan dengan mbak Rani yang sudah duluan tepar karena ngantuk dan lelah menggalau.
"Bila, ganti uang kamu besok pagi aja ya. Aku ngantuk banget sekarang," kata Lail, ikut bangkit mengikuti jejak Lingsi.
"Tumben Lail, tidur cepat banget?"
"Iya nih, habis makan sebelak ngantuk banget."
"Aku juga besok ya, Bil," sahut Lingsi yang kini sudah rapi terbungkus selimut setengah tubuhnya. Mata kerap-kerlip saat ia paksaan untuk terbuka.
"Iya, santai aja guys."
Billa meraih ponselnya, tampak belum berniat untuk segera tidur, matanya masih terang menatap layar ponsel yang menyala.
"Bill, aku bayar sekarang aja deh, takut lupa kalo besok. Jadi total semuanya 20 rb, kan?"
"Gak usahlah. Kamu gak usah bayar."
"Kok?"
"Aku udah sering banget repotin kamu. Aku juga pasti udah habisin uang tabungan kamu."
"Maksud kamu apa?" Alis Fatiah terangkat. Masih belum paham apa yang Billa maksudkan.
"Administrasi rumah sakit."
Kata kunci itu membuat Fatiah sedikit kaget, dari mana Billa tahu?
"Oh itu," mulut Fatiah membulat kecil.
"Makasih ya, Iah. Insyaallah,aku janji kalo abah kirim uang saku bakal langsung bayar. Tapi aku minta gak bisa bayar sekarang, di desa mak sama abah lagi gagal panen."
"Santai aja Bill." Fatiah mencoba menenangkan Billa yang nampak tidak enak hati.
"Terus gimana?"
"Gimana apanya? Tenang Bill, itu dana darurat, jadi amanlah...." Fatiah kembali tersenyum.
"Duh, makasih ya, Iah. Aku janji kalo ada langsung bayar."
“Udah jangan dipikirin Bill. Kamu baru aja sembuh, entar sakit lagi kalo banyak pikiran."
"Sae nih sobat magerqu."
"Belum mau tidur Bill?
"Belum. mau nonton acara misteri dulu."
"Misteri apa? Jurnal yang cari hantu itu ya?"
Billa mengangguk pelan. "Video di upload bentar lagi."
"Gak seram tengah malam nonton gituan?" Fatiah bergidik.
Billa terkekeh. "Seru tahu, Iah.”
“Idih apanya yang seru.”
“Eh Bila, kamu tahu gak sih puasa putih kata Gina pas di kelas.”
“Oh puasa putih, aku sering dulu pas di pondok.”
“Kamu juga pernah puasa mutih? Buat apa sih itu? “
“Sebenarnya gak ada syariatnya sih, cuman ya gitu, aku ikut-ikut aja.”
“Katanya cuman boleh makan nasi putih doang ya? Garam kan putih, kenapa gak boleh juga? “
“Iya syaratnya juga gak boleh makan yang berasa.”
“Terus, sanad yang kata Gina itu apa? Aku dulu pernah diceritai eyang aku soal ini. Terus aku gaya-gaya mau cobain gitu. Eh tapi gak jadi, kata tanteku lagi masa pertumbuhan nanti kurang gizi.”
“Dulu di pondok aku sering banget puasa putih, terus sering puas setengah hari, kadang aku juga dzikiran di gudang kosong terus kamu tahu gak, aku pernah di datangin kakek moyang aku gitu.”
“Kakek moyang? Jin gak sih, Bill. Gak mungkin orang yang udah meninggal.”
“Iya sih, aku juga tahu.”
“Kamu lagian, ngapain dzikir di gudang kosong malam-malam lagi. Serem tahu. Dzikir tuh di masjid, di mushola, di nikahan orang juga gak papa. Jangan di gudang aduh, Neng.”
“Gak tahu sih, aku dulu suka banget yang gitu-gitu. Malah aku bisa loh buka indra ke enam orang.”
“Untung sekarang gak lagi ya.”
“Iya.” Billa tersenyum geli. “Kamu gak tidur tah? Mau begadang juga? “
“Gak sih, ini udah ngantuk mau tidur. Tapi mau sholat witir dulu.”
“Oalah.”
Fatiah bergegas ke kamar mandi, melaksanakan semua rutinitasnya mulai dari berwudu, salat witir, dzikir, membaca surah Al-Mulk, ayat Qursi, dan ditutup dengan bacaan dua ayat terakhir Al-Baqoroh. Dan tidak lupa Fatiah juga merawat fisiknya, ber-skin care riang, pakai toner dan serum.
Fatiah membentang kasurnya, meraih selimutnya. Fatiah siap untuk tidur. Matanya sudah satu watt.
Tiba-tiba ponsel Fatiah bergetar, berulang-ulang kali di atas meja kecil, tempat mereka makan tadi. Hampir-hampir saja jatuh jika Fatiah tidak segera mengambilnya.
“Berisik banget tuh ponsel, Iah.” Billa melirik ponsel Fatiah, alisnya naik-turun memberi senyum kecil. “Banyak yang ngechat mah beda ya.”
“Apaan. Paling juga grup.”
“Grup apa? “
“Kayaknya grup angkat kita.”
“Tumben tuh grup ramai.”
“Emang kamu gak gabung di grup itu? “
“Kemarin nomor aku kan ke out.”
Fatiah mengangguk kecil, baru ingat.
“Bahas apa sih, Iah ?” tanya Billa.
“Gak tahu bahas apa tadi. Ke buru aku matiin ponsel. Mau bobok dulu.”
.
.