“Suster apa nanti sore saya boleh pulang? “
“Sesuai dengan pemeriksaan, Mbak boleh pulang nanti sore. Tapi sebelum itu mbak harus menyelesaikan administrasi terlebih dulu ya, mbak.”
“Administrasi....” Billa spontan menggigit bawah bibirnya. Apa uang tabungannya cukup?
“Suster kalo boleh tahu biaya administrasi berapa yang, Sus? “
“Hm, sekitar satu juta plus obat.”
Satu juta? Mata Bila terbelalak, uang tabungannya jauh dari kata cukup, bahkan tidak sampai seperempat dari satu juta.
“Kalo gitu saya keluar dulu ya.”
Bila tersentak dari lamunannya. Kepalanya langsung mengangguk kaku. “Iya, suster.”
Dari mana ia mendapatkan uang untuk keluar dari rumah sakit ini. Billa tidak mungkin menelepon kedua orang tuanya yang sekarang juga tengah mengalami gagal panen di desa. Bila menghela nafas panjang, gusar.
“Assalamualaikum.”
“Bill...”
Pintu terbuka, Billa segera menarik sudut bibir di wajahnya.
“Iah, cepat banget makannya. Yang lain mana?”
“Iya, aku tadi gak terlalu lapar sih, cuman makan roti doang. Terus aku juga bawa roti nih buat kamu.” Fatiah menunjukkan bungkus putih yang ada di tangan kanannya.
“Makan gih, kamu belum makankan dari tadi? Aku tahu kamu kan gak suka bubur. Makanya aku beliin roti.”
Bila tersenyum. “Tahu aja nih sobat magerqu.”
“Buru gih makan, lagi sakit malah nunda-nunda makan. Gak baik tahu, entar drop lagi. Buruan makan.”
“Iya.”
“Eh, Bil, kamu pulang, kan sore ini? “
“Ha? “
“Iya, mbak Rani tadi bilang gitu.”
“Hm.” Billa tersenyum sekilas, ingatnya kembali terusik akan nominal yang harus dibayarnya.
“Mikirin apa?”
“Ha? “
“Itu, rotinya gak di makan-makan, malah bengong aja.”
“Aku tahu kamu mikirin apa? “
“Ha? Tahu dari mana? “
“Tahulah. Pasti kamu lagi mikirin stok diterjen ya? Tenang kamu pake yang aku aja.”
Bila bernafas lega, seketika langsung tersenyum.
“Iah, kita ada gak sih dana kesehatan dari mahad? “
“Hm, kenapa emangnya? “
“G-gak, nanya doang.”
“Assalamualaikum...”
Pintu diketuk, tak lama terlihat Rani, Lingsi dan Lail dengan wajah super kenyang.
“Serius deh makanan di kantin rumah sakit ini tuh worth it banget. Nyesel kamu Iah gak mau nyobain mie ayamnya tadi,” kata Lail.
Billa terkekeh. “Kalo kamu tadi makan apa, Ling?”
“Soto.”
“Wah enak tuh.”
“Alhamdulillah, enak banget.”
“Eh, Bil, kamu pulang sore ini kan? “
“Hm,” Bila berdeham pelan.
“Weh ana gak bisa nih nungguin Billa, ana ada kuliah sore ini,” kata Rani.
“Iya udah mbak, gak pa-pa kita ada kok buat nemenin Billa.”
“Iya, Kak, kuliah yang tenang.”
“Si engkoh kuliah yang tenang, kek apa aja dah,” sahut Rani. “Kalo gitu, ana izin pulang duluan ya.”
“Iya, Kak, hati-hati di jalan sampai ke sandung pas liat cogan.”
“Si engkoh asal aja kalo ngomong. Udah ah.. assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
“Hm, Lail, Lingsi, aku titip Billa ya. Aku mau keluar, agak lama.”
“Eh, mau kemana emang, Iah? “
“Hm..” Fatiah tersenyum bingung. “Gak papa, kan?”
“Iya, sok aja atuh, kita jagain Billa di sini,” sahut Lingsi.
“Bil, aku keluar ya.”
“Iya, Iah.”
.
.
“Udah boleh pulang sekarang, kan?”
Fatiah mengangguk. “Tepat jam empat, kita langsung boleh pulang.”
“Bagus kalo gitu. Aku udah pesen mobil online dulu ya. Lingsi temenin ke depan yuk, abangnya bingung mau nunggu di mana.”
“Kalian tunggu di luar gerbang aja. Gak perlu masuk, kasihan abangnya, entar kena cass pintu masuk.”
“Oke. Kita langsung tunggu di sana ya.”
Fatiah mengangguk. Keduanya lalu pergi. Billa termenung melihat pintu yang sekarang setengah terbuka.
“Mau di buka pintunya? “
“Ha? “
“Kamu dari tadi bengong aja, Bil. Ada yang masih sakit kah? “
Billa langsung menggeleng. Memaksa senyum terbit namun malah terlihat seperti seringai menyedihkan. “Kayaknya sore ini aku belum bisa pulang dalam deh.”
“Lah kenapa? “ Dahi Fatiah berkerut.
“Aku belum ada uang buat bayar administrasi.”
“Oh masalah itu. Kamu tenang aja. Administrasi udah beres kok.”
“Serius, Iah? “
Fatiah mengangguk pasti.
“Alhamdulillah.” Kebingungan yang menimpa benaknya seketika langsung lenyap. “Tapi Gimana ceritanya administrasi udah beres? Ada donatur yang bayarin ya, Iah? “
Fatiah tersenyum sembari mengangguk pelan.
“Ya Allah, alhamdulillah. Siapa nama donaturnya ? Aku mau bilang terima kasih.”
“Beliau gak mau namanya dikasih tahu ya, Iah ?“
Fatiah mengangguk.
“Oh, ya udah kalo gitu. Pokoknya aku bersyukur banget masih ada orang baik yang masih peduli dengan sesama. Aku dari tadi udah bingung banget Gimana caranya bayar administrasi. Dan sekarang masyallah, Allah kirimkan orang-orang baik yang bersedih bantu tanpa pamrih bahkan namanya aja gak mau di sebut.”
“Semoga donatur itu selalu mendapatkan kebahagiaan, di ampuni segala dosanya, dia angkat derajatnya di dunia dan akhir, dipermudah hidupnya serta tercapai semua keinginannya. Aamiin.”
“Aamiin,” sahut Fatiah. “Yuk sekarang kita pulang. Udah jam empat. Lail sama Lingsi pasti udah nungguin di parkiran.”
“Iya, yuk.” Billa turun dari ranjang pasien, Fatiah berdiri di sebelahnya berjaga-jaga, bila ternyata Billa masih belum kuat untuk menopang tubuhnya sendiri.
“Gimana? “
“Tenang, Iah. Aman. Udah gak pusing lagi.”
“Alhamdulillah, bisa jalan atau mau pakai kursi roda.”
“Jalan aja lah. Tapi pelan-pelan ya.”
“Iya. Kita jalannya sambil ngobrol aja.”
“Oh iya, Iah, gimana sekolah tadi? “
“Gak ada apa-apa sih, dua guru gak masuk, terus yang masuk cuman kasih catatan dikit. Entar liat aja di buku catatan aku.”
“Oke.”
“Eh, itu Lail sama Lingsi.” Fatiah dan Billa segera menghampiri Lail dan Lingsi yang tengah berdiri, mengobrol sembari menanti sesuatu.
“Lail, mana mobilnya ?”
“Lagi nunggu, Iah.”
“Dari tadi belum sampai ?”
“Mobil awal udah sampai sih, tapi diganti orang lain. Katanya ada urusan darurat, buru-buru gitu. Makanya kita kasih ajalah.”
“Emang siapa? “
“Gak tahu, gak kenal.”
“Lail, tapi adiknya kayaknya aku pernah liat deh di sekolah.”
“Iya, kah? “
“Iya. Paparan aja gitu.”
“Gak tahu aku. Aku gak liat soalnya.”
“Tapi gak tahu juga sih, aku gak terlalu jelas juga liatnya.”
“Guys, mobilnya dah datang tuh. Yuk kita langsung pulang, biar gak kesorean. Daerah sini rawan macet banget kalo jam pulang kerja.”
“Iya, ayo.”
“Lail, kamu duduk di bangku depan ya.”
“Okeeehhh...”
.
.
Rani mengangkat kepalanya lesu, seumpama bunga yang sedang layu di terpa hujan. Langkahinya berjalan kecil, bukan bimbang akan tujuan langkahnya, hanya saja, ia nampak kehilangan semangat yang biasanya mengalir deras.
“Huft...! “ desaan itu keluar tepat saat Rani sampai di ambng pintu kamar enam.
Di dalam Fatiah, Billa, Lail dan Lingsi tengah mengobrol hingga terlihat banyak senyum yang langsung menyambutnya yang sama sekali tidak b*******h untuk balas tersenyum.
Rani menjatuhkan dirinya di ubun lantai, bergabung dengan keempat temannya berharap kebahagiaan mereka bisa segera bertransfer padanya, agar ia bisa melupakan mengenai fakta yang sejak tadi menganggu benaknya.
“Lesu banget, Mbak. Banyak tugas ya di kampus?” tanya Fatiah.
“Minum dulu mbak, kayak lagi kurang cairan, mukanya pucat banget.” Billa yang berada tepat di sebelah Rani menyodorkan segelas air.
Rani mengambilnya dengan gerak sangat lambat, ia hendak meminumnya, namun tidak jadi setelah sesaat memandangi kosong, ke dalam gelas.
“Gak haus.” Rani meletakan gelas itu di sisi kirinya.
“Udahlah, Kak. Tugas gak usah di pikirin,” celetuk Lail.
“Betul tuh, Kak, tugas itu bukan dipikirin tapi dikerjain,” tambah Lingsi.
Rani mendesah pelan. Bukan tugas yang membuat semangatnya patah, membuat hatinya nyeri dan membuat gama langkahnya.
“Kalian pernah jatuh cinta gak sih? “ tanya Rani.
“Belum lah. aku masih anak sekolah, satu SMA, belum pantas begini, begitu,” sahut Lail dengan nada.
“CK! Serius engkoh! “
“Serius, Kak. Aku belum pernah jatuh cinta, kalo cuman sebatas suka, kagum sih ada.”
“Kalian? Lingsi? Billa? Fatiah? “
“Aku sih, belum mau mikirin cinta-cintaan,” sahut Fatiah yang setali mata uang dengan Lingsi yang mengangguk setuju.
“Aku udah, Kak,” jawab Billa, Rani langsung memutar tubuhnya menghadap Billa.
“Terus gimana? Berhasil ?”
Billa mengedarkan pandangnya, Lingsi, Lail dan Fatiah kini juga mengubah posisinya, yang awalnya tidak beraturan menjadi terpusat padanya.
“Gak gimana-gimana sih, Kak. Ya gitulah.”
“Terus gimana berhasil?” desak Rani yang tidak menemukan jawaban dari pernyataan Billa.
“Namanya jatuh yang gak ada yang enak, Mbak. Termasuk jatuh cinta. Kadang karena cinta kita ruh bisa mendadak blo’on. Kadang juga receh bin alay. Pokoknya pas review masa lalu, bawaanya geli, kok bisa ya dulu anggap semua ini keren.”
Rani mengangguk-angguk setuju. “Tapi jatuh cinta ruh candu banget ya. Udah tahu sakit, tapi tetap aja mau jatuh cinta.”
“Sifat alami manusia kan emang mau dicintai, Mbak,” sahut Fatiah, dari kursi penonton.
“Iya, sih. Tapi kalo gini, sakitnya gak main-main. Mau ke dokter juga gak bisa minta obat atau minta minimal diperiksa.”
“Sebenarnya cintanya gak salah, yang salah itu harapan berlebihan yang hadir karena cinta. Itu yang sakit, Mbak. Saat kita terlalu besar berharap, maka saat itu, Allah sang pencemburu, menyemburii hati yang berharap kepada selain-Nya. Kalo di tahap itu kita patah hati, itu tandanya Allah menjaga kita dari harapan lebih besar lagi pada manusia.”